"Mas?"
Nara membuka perlahan pintu ruang kerja suaminya. Kurang lebih sudah dua jam yang lalu para anak buahnya sudah pulang, akan tetapi sang atasan sampai detik ini masih berkutat sendirian di dalam sana. Entah sedang melakukan apa, Nara tak tahu. Yang jelas ia merasa sangat khawatir, apa lagi prianya itu sudah melewati jam makan siang."Sayang? Ada apa? Apa ada yang kamu butuhkan?"Nara menghela napas, sambil berjalan pelan mendengar pertanyaan itu. Ia tidak butuh apa-apa lagi, selain dari suaminya. Dirinya benar-benar merasa khawatir, apa lagi rambut hitam yang biasanya tertata rapi tersebut terlihat sangat berantakan saat ini.Siapa yang tidak pusing, kalau tiba-tiba saja kantornya kebakaran? Ya, itu memang musibah yang tak dapat ditebak dan dicegah. Akan tetapi, tetap saja hal tersebut membuat dampak yang cukup besar dan sedikit melelahkan untuk menangani semuanya."Aku hanya ingin tahu kabarmu, Mas. Kenapa tidak ikut makan siang ta"Astaga, suara apa itu?"Dimas yang mendengarnya seketika langsung bergerak refleks ingin mendekati sumber suara, akan tetapi sayang langkahnya telah lebih dulu ditahan oleh sang istri."Sayang, kamu tunggu di sini dulu saja ya? Aku hanya ingin mengeceknya sebentar. Itu seperti suara Bi Inah," ucapnya cepat, yang memang tanpa mau mengulur waktu.Mendapati langkah suaminya yang mulai sedikit maju, Nara tentu juga ikut bergerak maju. Ia tak mau ditinggal sendirian, walau nyatanya masih di dalam rumah. Namun bukan karena alasan takut, akan tetapi karena dirinya yang juga merasa sangat penasaran dengan apa yang telah terjadi di belakang."Aku ikut denganmu," uap Nara seolah mempertegas maksudnya.Walau terdengar tak ada nada penekanan di sana, akan tetapi Dimas bisa pastikan bahwa kemauan istrinya itu saat ini tak bisa dilarang lagi. Sehingga alhasil kini ia langsung memimpin langkah berjalan pelan ke arah belakang, dan langsung berlari mengh
"Enggh!"Suara lenguhan itu keluar tepat setelah Nara membaringkan seluruh tubuhnya di atas ranjang besar yang empuk. Ia merenggangkan otot-ototnya yang terasa sangat lelah dan pegal sesaat, sampai akhirnya beralih posisi sedikit menyamping. Menatap seseorang yang sudah terlelap lebih dulu, ketika dirinya masih sibuk mengatur beberapa barang di kamar barunya."Kasihan kamu, Mas," gumam Nara pelan, seraya mengusap rahang tegas yang tengah bersandar di atas sebuah bantal itu.Tanpa menanggapi waktu yang kian bergerak cepat menuju tengah malam, Nara masih sama sekali belum bisa memejamkan matanya. Ia seolah lebih ingin terus menatap wajah Dimas yang tengah tertidur dengan pulas, setelah seharian ini melihat pria itu berusaha kuat menghadapi masalah yang datang tanpa memberikannya waktu istirahat."Mereka semua?"Nara kembali bergumam, setelah mengingat kembali kata-kata yang sempat terlontar dari mulut suaminya. Wanita yang tengah berbadan d
"Apa? Kenapa tiba-tiba saja dibatalkan? Kenapa keputusan ini bisa diambil secara sepihak begitu saja? Itu tentu tidak adil! Apa alasan mereka!"Pagi ini Dimas sudah melampiaskan amarahnya, karena sebuah kabar yang baru saja ia dengar. Beberapa rencana proyek yang akan dikerjakan ke depan nanti, terpaksa dibatalkan dengan alasan yang tidak begitu jelas. Dan tak hanya itu saja, beberapa acara produksinya juga masih belum bisa sepenuhnya berjalan dengan lancar, karena harus beradaptasi dengan tempat beberapa peralatan baru yang serba seadanya. Bahkan ada juga beberapa program acara yang harus terpaksa harus dihentikan, karena terbatasnya jumlah dana yang dimiliki oleh perusahaan.Ya, sepertinya inilah ambang batas kehancuran DMS Hitz. Kata-kata hanya sebentar yang tadinya sempat dilontarkan oleh pemilik perusahaan itu pada istrinya, ternyata hanyalah sebatas kata-kata yang tak bisa dibuktikan kebenarannya.Sudah hampir satu bulan, Dimas bersusah-payah melewatinya. Namun nyatanya, waktu y
"Ingat perkataanku baik-baik ya! Aku tidak akan segan-segan menuduhmu, jika sampai terjadi hal buruk!""Oh, ya? Kalau begitu saya juga tidak akan segan-segan untuk menuduh Anda sebagai pembunuh, jika Nara atau pun anak yang ada di dalam kandungannya tak terselamatkan!" balas sosok itu tersenyum tak mau kalah.Deghh!Bi Inah terdiam, seraya mendengkus kesal. Bisa-bisanya ucapannya dibalikkan dengan mudah oleh sosok yang umurnya jauh lebih muda darinya itu. Sampai akhirnya karena tak mau membuang waktu lagi, dengan segera ia berbalik dan memberikan instruksi pada beberapa rekan kerjanya untuk segera membawa Nyonya Dimas Aditya itu masuk ke dalam mobil merah yang ada di belakangnya."Darren! Ah, terima kasih karena telah memberikanku tumpangan!" ucap Nara dengan napasnya yang semakin tersengal."Tidak apa-apa, Ra. Ini semua 'kan demi calon keponakanku," jawab sosok itu tersenyum dengan santai, seraya hendak kembali menuju kursi kemudinya.Bi Inah yang melihat hal itu pun, kini lagi-lagi
"Tunggu dulu! Jangan terlalu terburu-buru!" hentak Haris yang seketika ikut beranjak dari tempat duduknya.Pria kembali menyesap batang rokoknya sesaat, dan menghampiri Evan yang tengah terdiam menunggu apa yang akan dikatakannya setelahnya."Aku punya penawaran yang bagus untukmu, bagaimana?" tawar pria berperut buncit itu, seraya menyeringai penuh misterius.Dari kejauhan, Dimas semakin penasaran apa yang telah pria pengusaha kaya itu katakan pada Evan. Namun sayang kenyataannya pria tersebut malah berbicara berbisik, sehingga setelahnya ia tak mendengar apa-apa selain dari tawa renyah yang terdengar sangat tak lucu."Aku mau lebih dari itu!""What?!""Iya! Kenapa? Tidak bisa?" tutur Evan yang kini berbalik mentertawakan lawan bicaranya.Terlihat jelas di mata Dimas saat ini, bahwa Haris bertingkah seperti seorang yang sedang menimbang urusan penting. Entah apa yang ingin diminta lebih oleh Evan, ia tak tahu. Namun yang jelas, dari semua ini nampaknya mereka berdua telah sama-sama m
"Apa maksudmu? Kau hanya mengancamku saja 'kan?"Darren terkekeh setelahnya. Dirinya sama sekali tak menganggap serius ucapan wanita paruh baya yang ada di hadapannya, karena selama ini ia sudah berusaha sebisa mungkin untuk bermain dengan cara yang sangat bersih.Sementara untuk Bi Inah sendiri, wanita itu tak mempedulikan kekehan renyah tersebut. Ia langsung membuktikan ucapannya dengan merogoh saku untuk mengambil ponsel. Hingga setelahnya, Bi Inah langsung menunjukkan salah satu bukti rekaman video yang baru saja didapatkannya beberapa hari yang lalu."Bagaimana? Sudah jelas ini dirimu, Darren! Sebelum kau mendatangi kediaman Tuan Dimas waktu itu, ternyata kau sudah rutin lalu-lalang untuk mencari tahu keadaan sekitar. Dan di video itu, sudah jelas kau sendiri yang melakukan pelemparan batu malam itu! Aku mendapati rekaman ini secara tidak sengaja, dan ini hanyalah sebagian kecil saja dari bukti yang kumiliki!" geram Bi Inah tak tertahankan lagi.Habis sudah kesabaran Bi Inah deti
“Tidak! Ini tidak mungkin! Kenapa harus memilih salah satu di antara mereka?! Mereka berdua harus diselamatkan, Dok!” ujar Dimas frustasi, seraya mengusap gusar wajahnya. Lembaran kertas yang ada di hadapannya, sungguh bagaikan kertas penentu nasibnya. Dimas tak pernah menyangka, kalau selama ini Nara membohongi hasil pemeriksaannya. Selama ini, istrinya tersebut mengatakan semua hal yang baik-baik saja tentang kandungannya. Nara tak pernah mengeluh tentang apa yang telah dideritanya, dan selalu terlihat sehat seperti biasa di hadapannya. Namun siapa sangka, ternyata di balik itu semua istrinya itu malah menyembunyikan sesuatu yang telah diwanti-wanti oleh dokter sebelumnya. “Maaf, Pak. Kami pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan istri dan anak Bapak. Namun keputusan ini tetap harus diambil, Pak. Ada sesuatu yang mungkin tidak berjalan dengan harapan dan segala usaha kita, dan di saat yang seperti itulah terkadang kita harus terpaksa memilih salah satu di antara
Sayup-sayup terdengar suara dentingan yang cukup mengganggu, membuat seseorang terganggu dari tidur panjangnya dan bergerak hendak membuka kedua matanya.Walau itu sangat sulit untuk dilakukannya, akan tetapi ia tetap berusaha. Rasa penasarannya sudah terlanjur membumbung tinggi, hingga sedetik kemudian dahinya mengernyit. Dirinya heran, karena hanya mendapati beberapa suster yang sedang membereskan beberapa alat-alat di sekitarnya."Sus ...."Sebenarnya ada banyak kata-kata yang ingin Nara lontarkan, akan tetapi sayangnya saat ini tenggorokannya terasa sangat kering sekali. Seluruh tubuhnya juga sedikit sulit digerakkan, hingga dirinya tak bisa berbuat banyak selain mengungkapkan panggilan itu."Bu Nara? Syukurlah Ibu sudah sadar," ucap suster tersebut seraya tersenyum lega ke arah pasiennya.Nara mengangguk, akan tetapi itu bukan kata-kata pertama yang diharapkannya. Untuk saat ini, ia hanya ingin tahu keadaan anaknya. Dirinya ingin bertemu dengan sosok mungil yang baru saja dilahir