Tanpa berbasa-basi lagi, Bu Halimah melewati Satria, untuk menuju ruangan dokter. Agar anaknya bisa melihat cucu tirinya dan berharap hubungan mereka makin mendekat. "Dasar! lelaki yang tidak punya tanggung jawab!" oceh Bu Halimah dan masih bisa di dengar oleh Satria. Satria hanya bisa mengulum senyum di bibirnya yang tipis, menutupi hatinya yang teriris. Dikarenakan harus kehilangan cinta pertamanya yang ingin dia nikahi, saat dia kembali ke kota kelahirannya. Pertama kali dia melihat wajah Rima, yang menjadi orang tua korban, Satria langsung lemas, dan meminta bawahannya yang mengurus kasus. Rima yang melihat Satria hanya menghembuskan napas berat yang tidak terlalu kentara, kemudian menanyakan ada keperluan apa lagi dan Satria hanya mengatakan, jika dia hanya ingin memastikan keadaan Rima saat ini, karena dia mengira James meninggalkannya sendirian. Lalu, Satria pergi setelah mengucapkan salam. "Itu polisi yang menangani kasus Sherly?" tanya Bu Rina dan Rima mengangguk. "Ibu mau
"Pa ... Papaa yang kenapa!" ketus Sherly yang merasakan sakit di tangannya.Satria yang menolong Sherly hanya bisa menghela napas panjang, sepertinya dia tahu, jika James menaruh curiga padanya.James dengan kasar menepis tangan Satria dan mengangakat tubuh Sherly ke atas ranjang. Tatapan mata James terlihat seperti ingin membunuh, membuat Satria hanya bisa tersenyum."Lain kali, gunakan sopan santun! Ketuk pintu dulu, sebelum masuk ke dalam ruangan orang lain!' kesal James."Papa kenapa, sih! Dia yang membantuku. Dari tadi, aku manggilin papa!" Sherly membela Satria, yang membuat laki-laki yang sedang dibakar cemburu itu diam."Saya hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja, Pak. Ini sudah tugas saya!" Satria mulai berbicara.James tetap diam, tapi gestur tubuhnya mengatakan bahwa dia tidak menyukai keberadaan Satria di sini. James ingin bertanya lebih dalam, tapi kondisi lagi-lagi tidak mendukungnya.Helaan napas panjang terdengar dari Satria, sebelum dia berpamitan. Meningalka
Satria menatap ke arah Sinta, wanita yang terlihat ceria itu, kini diam menunduk."Sehati?" tanya Satria dengan nada kepo."Iya," jawab Sinta. "Sama-sama mencintai orang yang tidak mencintai kita!" imbuhnya."Kamu harus membuka hati untuk orang lain, agar tidak membuat waktumu sia-sia!" pesan Satria."Apakah kamu tidak bisa membuka hatimu untukku?" tanya Sinta dengan suara serak.Satria menghela napas panjang, dan mengatakan dirinya tidak patut dicintai, karena cintanya telah habis untuk Rima, wanita yang kini menjadi istri orang lain.***Setelah dua minggu dirawat, Sherly dan Rima sudah kembali ke rumah mereka. Akan tetapi, Sherly tidak pernah keluar dari kamar. Memilih menangis sepanjang hari dan menyesali perbuatannya, dan terkadang dia histeris. Rima hanya bisa memandang dari kejauhan, karena Sherly menolak dirawat oleh ibu sambungnya."Mas, bagaimana kelanjutan kasus Sherly?" tanya Rima."Kita akan kirim Sherly ke Surabaya, tante Celine sudah kuhubungi dan sudah mempersiapkan se
Pesan yang di kirim oleh Rima hanya di baca saja oleh ibunya, saat ini Bu Halimah sedang berpikir bagaimana harus menyikapi masalah putrinya. Saat sedang memikirkan caranya, suara pintu di ketuk, membuyarkan lamunan Bu Halimah. "Ada apa kamu ke sini? Kok tahu alam rumah ini?" tanya Bu Halimah yang pulang ke rumahnya, karena di minta oleh Rima. Satria seperti biasa, mengambil tangan Bu Halimah dan salim takzim. Meski Bu Halimah menunjukan ketidak suakaannya pada dirinya. "Saya hanya ingin menjalin silahturahmi yang sempat terputus karena kesalahpahaman," balas Satria. "Apapun itu, semua hanya masa lalu, Rima sudah bahagia dan kamiharap kamu juga bahagia," Meskipun menyimpan kekesalan, Bu Halimah tetap memberikan doa tulusnya. Satria tidak beranjak dari tempatnya berdiri, dan tidak juga bertanya ataupun berkata. Bu Halimah pun hanya diam, bingung menghadapi Satria. "Apa boleh saya duduk, Bu?" tanya Satria lembut. Bu Halimah menarik napas panjang, sebelum mempersilahkan tamunya dud
"Assalamualaikum, Bu," salam James. Bu Halima yang baru saja masuk ke dalam rumah, kini harus kembali lagi keluar untuk menemui James. "Waalaikumusalam," balas Bu Halimah, setelah membuka pintu. Terlihat wajah lesu James, yang sangat tidak sedap dipandang. Bu Halimah meminta menantunya untuk masuk dan berbicara empat mata tanpa gangguan. Bu Halimah berpamitan pada putrinya, dengan alasan pergi berbelanja kebutuhan dapur. Rima enggan ditinggal sang ibu, karena hatinya benar-benar sedang sanat terluka saat ini, akibat ucapan sang anak tiri. "Kamu harus membicarakannya dulu pada James, jika suamimu tidak menemukan jalan, maka ibu yang akan memberikan caranya," ujar Bu Halimah mencoba menenangkan sang anak. Setelah mengatakan itu, Bu Halimah mengambil dompetnya dan berlalu dari hadapan Rima. James yang mengetahui mertuanya ingin pergi, menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi langsung ditolak oleh sang mertua. "Kalian bicarakan dulu sebaik mungkin, jangan menggunakan emosi di situas
James nampak frustasi, dia menyugar rambutnya dan menjabaknya dengan kesal. Lalu, mengusap wajahnya kasar. Rima baru melihat suaminya seperti saat ini, dia merasa keputusannya menjauh adalah kesalahan. Akan tetapi, dia belum bisa menerima hinaan anak sambungnya yang dilontarkan berkali-kali. Rasanya sangat menyakitkan. "Sherly semakin lepas kontrol, jika kamu seperti ini. Dia hanya ingin meluapkan rasa kecewanya padaku, tapi kamulah yang jadi sasaran empuknya. Aku menikahimu bukan hanya karena ingin menyalurkan hasrat saja, tapi karena aku yakin, kamulah yang terbaiak untuk keluarga kecilku. Saat ini, ada duri yang menusuk kaki kita sangat dalam, Semua tergantung kita, bagaimana cara mengambil durinya, agar semua tidak tersakiti. Pelan, tapi pasti." James tidak lagi merayu Rima, hanya mengatakan apa yang ada di benaknya. James menunduk dalam, dia benar-benar kalut. Anaknya sedang terluka dan depresi berat, istrinya sudah lelah dipernikahan mereka yang baru seumur jagung. "Aku moho
"Enggak niat, Bu. Tadi saya ingin menanyakan masalah kelanjutan laporan mengenai kasus Sherly pada Pak James, tapi saya tunggu di luar mereka tidak keluar, meski sudah beberapa kali mengucapkan salam," bantah Satria.Bu Halimah melemparkan senyum sinis, tapi berusaha untuk tetap terlihat menghormatinya. Wanita paruh baya itu baru tahu, jika Satria memang benar-benar mencintai Rima. Hatinya pun ikut goyah saat mengetahui kebenaran dari Satria, tentang mengapa dirinya meninggalkan Rima dan baru kembali lagi. Semata-mata, untuk mengejar pendidikan, dan Satria pun sudah berusaha mencari Rima saat dia kembali."Lebih baik, kamu menanyakannya melalui telepon atau wa saja. Jangan sampai kamu jadi duri dalam daging, dan kamu akan mendapatkan fitnah!""Seperti janji saya, Bu. Saya akan menunggu Rima, cinta di hati saya untuknya tidak akan pernah usai atau hilang." jawab Satria dan dia langsung berpamitan.Bu Halimah hanya bisa menatap punggung lelaki yang hampir menjadi menantunya, akak tetapi
"Doakan hatiku kuat, Mas!" jawab Rima dengan suara berat. James langsung mengambil ke dua tangan Rima, dan duduk bersimpuh. Mengatakan doa yang tulus dari atinya, agar pernikahnya dengan Rima akan langgeng dan semua baik-baik saja. "Alhamdulillah, semoga Allah meridhoi. Jika istrimu masih mau di sini, biarkan saja, mungkin bisa menghilangkan rasa yang masih tersimpan di dadanya dan makin menguatkan tekadnya untuk terus menjadi istri dan ibu yang baik," saran Bu Halimah. James hanya mengangguk, tapi setelah Bu Halimah masuk ke dalam, lelaki berjenggot tipis itu merengek dan meminta Rima untuk pulang bersamanya. Terpaksa diiyakan oleh Rima. "Bu Rima harus pulang," pamit Rima dan Bu Halimah mencoba memahaminya. Sebagai ibu, Bu Halimah tidak ingin anaknya menjadi di umur pernikahannya yang baru. Akan tetapi, dia juga merasa kasihan pada anak semata wayangnya. *** "Mas, mampir ke super market, ya. Ada banyak yang mau aku beli, tapi kalau kamu sibuk, aku sendirian saja!" pinta Rima.
Rima melukai sedikit peni*s Dito, membuat remaja itu meringis kesakitan. "Baru tergores! Belum terpotong!" ancam RIma dan Dito hanya mengangguk. Rima kembali pergi, dengan membawa serta belati yang melukai Dito, sedangkan Dito memaki wanita yang tengah menyanderanya dengan kata-kata kasar. Remaja itu tidak menyangka, jika Rima bisa berbuat sejauh ini. Bahkan dirinya menjadi ciut berhadapan dengan ibu tiri dari remaja yang dia lece*hkan. "Brengsek!" teriaknya. Rima hanya tersenyum mendengar makian dari Dito, kemudian dia berjalan dengan cepat untuk keluar dari persembunyian. Kemudian dia membuka CCTV yang terhubung dengan laptopnya, menghidupkannya kembali dengan posisi semula, meski sedikit dimodifikasi. "Bu, sudah benarkan saya keluar dari sana?" tanya Bik Irah yang masih memegang alat pel. "Sempurna, Bik. Sekarang bibik masak aja, untuk sarapan kita," pinta Rima. "Besok saja membersihkannya, sehari enggak dibersihkan, enggak masalah." Rima menjawab sebelum Bik Irah bertanya, da
Pagi-pagi sekali, Rima keluar dari rumah. Menuju ke supermarket terdekat, mengambil beberapa cemilan, roti dan juga susu. Kemudian menuju kasir, untuk membayar semua yan sudah dibeli olehnya."Makasih, ya, Mbak!" ujarnya setelah sang kasir memasukkan semua belanjaan ke dalam kantong yang dibawa oleh Rima."Sudah semua, ya, bersama titipannya," balas sang kasir dengan lirih di ujung kata-katanya.Rima keluar dengan membawa kantong yang berisi penuh dengan semua aneka camilan, dan dia taahu, jika ada sepasang mata yang memperhatikannya dengan sangattajam, sembari berpura-pura memgang minuman."Kalian masih mengintaiku?" gumam Rima kesal.Ponsel Rima berbunyi, dan wanita itu langsung menerima panggilan dari ternyata dari Satria. Mantan kekasihnya itu menanyakan, apakah dirinya aman setelah menerima bingkisan darinya ataau tidak. Rima membaritahu Satria, jika dirinya aman dan sudah sampai di rumah.Semalam, Rima menanyakan tentang efek samping dari penggunaan obat itu pada Satria. Bagaima
"Bukan begitu, sayang. Aku_"Rima langsung memotong ucapan James dengan cepat."Sudahlah, Mas. Yang penting aku selalu jaga hati dan tubuhku hanya untuk kamu,"Rima langsung mengakhiri panggilan, dan meletakan ponselnya di atas meja. Mendengkus kesal, karena merasa tidak dihargai oleh suaminya sendiri."Bibik aja yang angkat!" ucap Rima malas. "Bilang saja, aku sedang tidak mau diganggu!" Rima menambahkan sedikit permintaan.Bik Irah mengangguk dan segera menerima panggilan dari James untuk kedua kalinya. Seperti dugaan Rima, Bik Irah bisa diandalkan. Rima meyakini, jika suaminya itu bertanya banyak hal pada Bik Irah. Terbukti jawaban dari wanita tua di sampingnya itu, yang kadang tersenyum dan terkadang terlihat khawatir."Siap, Pak!"Di akhir panggilannya, dan Bik Irah meletakkan ponsel Rima kembali di tempatnya semula."Apa aja yang ditanya Mas James, Bik?" Rima bertanya seperti menyelidik."Pak James hanya khawatir pada ibu, dan menanyakan apa ibu pernah pergi dalam waktu yang lam
Rima terlihat marah pada Satria, yang menyangkal tentang keterlibatan Sandi dalam kasus anak sambungnya. "Aku mendengar sendiri, jika dia menggauli Sherly dan mengatakan hal tidak senonoh padaku!" bantah Rima. "Tidak, yang aku tahu, dia tidak ikut dalam pencab*lan itu!" Satria masih kukuh pada ucapannya. "Dan kamu sudah tahu siapa saja yang melakukan hal bejad itu, kan?" tanya Satria kemudian. "Pergila, aku hanya meyakini apa yang memang terjadi dan kuketahui!" Rima pun tidak merubah keputusannya. "Jangan gegabah, nanti kamu salah sasaran!" ketus Satria. Lelaki itu, lalu berpamitan dan meninggalkan Rima yang masih yakin dengan apa yang akan direncanakannya. Sedangkan Satria menghela napas panjang, terlalu sulit untuk membuktikannya sekarang. Rima duduk di kursinya dan kembali menyesap teh lemon buatannya, Menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong. "Bu, saya melihat diary milik non Sherly," bisik Bik Irah. Perhatian Rima teralihkan, meminta Bik Irah untuk mengambilnya. Wanit
Ayah Dito langsung memperintahkan anak buahnya untuk mengeledah seisi rumah dan melihat CCTV yang terpasang di rumah Rima. Sedangkan Rima dan Bik Irah duduk dengan santai di meja makan, bahkan Rima menyedu teh lemon hangat dan menyesapnya perlahan. Setengah jam mereka mencari dan berputar-putar dengan sangat teliti, tapi tidak menemukan apa yang mereka cari, dengan kesal ayah Dito mendekati Rima. Mengacungkan senjata dan mengancam wanita yang pura-pura lemah itu. "Cepat, katakan di mana anakku?" tanyanya dengan menekan ujung pist*lnya di pelipis Rima. Satria yang melihat itu tentu saja sangat geram, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini, karena baju yang sedang dia kenakan. "Saya sudah mengijinkan bapak untuk mencari anak bapak di sini, dan apakah saya mengijinkan bapak untuk mengancam saya?" tanya Rima yang makin membuat emosi lelaki di depannya memuncak. "Kamu tidak tau siapa saya?" tanyanya dengan membentak Rima, dan matanya melotot sempurna. Sehingga memperlihatkan am
Rima langsung mengakhiri panggilan dan menatap remaja yang mulai sadar akan keberadaannya yang menyedihkan."Tante, Lepasin aku!" teriak Dito dan hanya ditangapi dengan senyum hina dari Rima.Dito terus memaki, ingin rasanya Rima membalasnya. Akan tetapi disadarkan oleh Bik Irah yang menanyakan tentang makanan yang dia bawa tadi.Rima berjalan ke meja, lalu mendekati Dito yang masih terus menhardiknya. Tatapan Rima, sebenarnya membuat nyali Dito sedikti ciut, tapi dia tidak mau kalah dari wanita yang dia anggap tidak ada apanya."Kamu butuh asupan untuk terus menghardikku, jika tidak kamu akan kelapan dan tidak ada yang bisa menolongmu. Bahkan harta orang tuamu yang sangat banyak itu! Ingat, kamu belum membuatku merasakan kenikmatan yang kamu tawarkan," ujar Rima dengan nada penuh penekanan.Dito diam, setelah mendengar penuturan Rima, mungkin dia berpikir, benar apa yang dikatakan Rima. Dirinya tidak akan bisa keluar dengan selamat, jika dirinya tidak memiliki tenaga.Rima meminta Bi
Rima meletakkan dompet Dito, dan menguyur tubuhnya berkali-kali. Sebenarnya dia tidak ingin melakukan hal yang menjijikkan, akan tetapi tuntutan dari pembalasan dendamnya, mengharuskan dirinya melakukan hal yang bertentangan dengan nuraninya.Sejenak Rima berpikir, dan satu ide muncul dalam benaknya dan ingin segera dia laksakan."Wooow, kamu cantik sekali," puji Dito, setelah Rima keluar dari kamar mandi.Rima tidak menyangka, remaja yang seusia Sherly sudah sangat mendewakan S*x. Seharusnya dia dan Sherly bisa menikmati masa-masa remaja yang menyenangkan."Tante, bisa ambilkan obat di saku depanku?" pinta Dito, yang masih tetap terikat dengan tubuh gemetaran.Dengan santai, Rima mengambil celana Dito yang tadi dia lepaskan dan dilempar jauh. kemudian mengambil sebuah plastik klip berukuran 7 x 10cm di dalam sakunya. Ketika melihatnya, Rima tau, obat apa yang dimaksud oleh Dito.Semua yang direncanakan Rima, berbeda dengan kenyataannya, tapi cukup membuat dirinya bersemangat. Dengan
Dengan susah payah, Rima dan pembantunya--Bik Irah, memindahkan Dito ke ruang rahasia yang ditemukan oleh Rima beberapa waktu lalu. "Bik, sebaiknya bibik pulang kampung saja. Jika terjadi sesuatu, bibik tidak akan terkena imbasnya," ujar Rima dengan menggenggam kedua tangan renta milik Bik Irah. "Sherly sudah seperti cucu bibik, dari dia lahir, besar, ditinggalkan ibunya, dan sekarang tertimpa kesialan gegara lelaki seperti ini, Bibik enggak akan biarkan mereka hidup dengan tenang." Dengan semangat dia menolak permintaan Rima. Rima menghembuskan napas kasar, dia tidak ingin orang lain mendapatkan masalah karena perbuatannya, tapi dirinya pun tidak bisa menjalankan sesuatunya seorang diri. "Kalau saja waktu itu bibik tidak melihat kemaluan yang ibu mut*lasi, maka bibik tidak akan pernah bisa membalaskan rasa sakit melihat orang yang disayang terluka!" tambah Bik Irah. Ya, waktu itu Rima pulang bersama Sherly dengan keadaan yang tidak pernah dia pikirkan. Rima terlihat tegar, setela
"Saat Mas James sudah mengucapkan ijab qobul, maka tanggung jawabku pun bertambah, termasuk membalas perlakuan mereka pada orang yang menyakiti anak-anak!" ujar Rima."Aku akan menungu kamu untuk di sisiku. Aku tidak rela kamu harus berkorban begitu banyak!" ujar Satria yang dibalas dengan senyuman sinis dari Rima.Satria tahu, Rima tidak akan mudah berpaling setelah menentukan apa yang dia mau. Jika pun berpaling, maka dia akan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan sangat teliti. Seperti saat Rima menerima James dan menghilangkan kenangannya dengan Satria. lelaki bertubuh tegap itu hanya bisa mnegela napas, karena terlambat datang memenuhi janjinya. Saat ini, dia hanya ingin dekat dengan wanita yang dia jadikan belahan jiwa sejak dia berjanji pada Bu Halimah dulu.Rima sudah memastikan ikatan yang dibuatnya cukup kuat dan tidak mudah lepas, dia menatap remaja yang sangaqt angkuh diusianya saat ini. Tentu semuanya karena ajaran yang diberikan oleh kedua orang tuanya, dan juga cont