Akhirnya, Rima dan Satria sampai pada tujuannya. Meskipun tadi sempat tersesat, karena kurang akuratnya titik map yang dikirim oleh Tina, mungkin saat mengirimnya dia sedang berada di dalam mobil. Insting Rima cukup kuat, saat mereka tadi salah jalan,"Biar aku yang menyelamatkan gadis itu," ujar Satria yang mencegah Rima turun."Tidak. Wajahnya saja, kamu tidak tahu!" ejek Rima dan ditanggapi dengan senyuman oleh Satria, karena ucapan Rima benar adanya.Saat Rima turun, dia menyiapkan ponselnya untuk merekam dan posisi ponsel itu ada di tas yang sudah di desain dengan sangat baik untuk pengintaian."Kamu seperti detektif profesional," sanjung Satria gemas, melihat Rima mulai mengendap-endap.Mendengar pujian dari Satria, Rima hanya melirik dan kembali menelusuri gedung yang tidak terpakai. Benar dugaan Rima, ada dua mobil yang terparkir di sana dan Rima tahu milik siapa itu."Dugaanku benar," ucap Rima lirih.Satria hanya mengangguk dan memperhatikan sekitar, walau bagaimana pun ini
Rima dan Satria mendadak menjadi kikuk, setelah keduanya dikejutkan dengan suara yang menggelegar."Siapa yang membantumu!" tanya seseorang yang belum pernah Rima temui.Sepertinya, kasus Sherly banyak melibatkan orang-orang penting. Terbukti, satu-persatu mereka menunjukkan diri tanpa diminta.Rima hanya bisa menggeram, saat rambut Tina ditarik ke belakang oleh lelaki yang berpenampilan sangan eksentrik. Rima melangkahkan kaki kanannya dan langsung ditahan oleh Satria."Sabar dulu, jangan gegabah, atau anak itu dalam bahaya!" Satria memperingati Rima.Rima kembali mundur, saat seseorang tidak sengaja melihat ke arah mereka. Bodyguard itu mendekat, tapi terhenti oleh suara sirine yang terdengar dari kejauhan. Mereka saling pandang, lalu dengan cepat pergi meninggalkan Tina, hanya menyisakan dua orang. Lelaki berpenamapilan eksentri dan satu orang bodyguard yang terlihat sangat sangar.Sirine semakin terdengar mendekat, membuat dua orang penjah*t tersebut ketar-ketir. Pasalnya, Dito me
Rima segera turun dari mobil dan berlari menuju tina yang berguling di aspal. tubuh setengah polosnya kembali terlihat, karena kain yang menutupi tubuhnya tersangkut pada jok mobil. "Kamu kenapa?" selidik Rima. Tina diam, menahan sakit pada siku tangannya yang terbentur aspal. Juga tubuhnya masih terasa perih akibat penyiksaan tadi. Dengan pelan, Tina memberi kode pada Rima, dengan lirikan matanya. Rima yang masih belum paham hanya bisa bertanya ada apa dan kenapa, membuat Tina pasrah. Namun, seketika wajah Tina berubah saat Satria mendekatinya. Lelaki yang sempat menjadi pujaan hati Rima, memeluk Tina dan meraba bra milik remaja itu, tapi terhenti saat mata Tina memberi kode. "Apa-apan kamu!" Rima terlihat sangat kesal pada Satria membuat dirinya mendorong lelaki yang jongkok di sampingnya. "Hmm, maaf!" ujar Satria lirih. Rima hanya tidak menyangka, jika Satria melakukan hal tidak senonoh di depannya. Mungkin hanya tergoda oleh tubuh sintal Tina. "Dia tu, harusnya kamu lindungi
Mata Rima melirik ke arah jalan, di mana para penjahat itu sedang duduk manis di dalam mobil. Mereka sepertinya sedang mendiskusikan sesuatu dan tidak lama kemudian, mobil melaju dengan sangat cepat, meninggalkan rumah sederhana yang menjadi tempat Rima, Satria dan Tina. Rima menarik napas dalam dan menghempaskannya dengan bertenaga."Maaf!" ujar Rima dengan senyum manis ke arah Satria, yang masih memegangi pipinya."Sakit!" balas Satria dengan wajah cemberutnya, karena taqhu itu hanya untuk berpura-pura, tapi sakitnya nyata.Jika Rima tidak menikah, mungkin Satria dan Rima menjadi pasangan yang sangat serasi. Tina pun merasa seperti itu."Om dan tante saling kenal?" tanya Tina."Kenal semenjak Sherly menjadi pesakitan," ujar Rima lirih.Rima tidak melihat Satria yang melambaikan tangan pada Tina, menandakan mereka sudah lama kenal. Meski masih remaja, Tina tahu artinya. "Kalian seperti kekasih yang lama tidak jumpa, dan terhalang oleh pernikahan tante Rima," tebak Tina, dan sukses m
Setelah tidak ada yang membantah, Rima meminta Satria untuk membawa Tina berobat dan menjaganya beberapa hari ke depan."Jangan mengatakan apa pun perihal aku padanya, bisa-bisa semuanya hancur!" bisik Rima pada Tina sebelum dirinya pergi.Tina mengangguk patuh dan memberikan pelukan pada Rima, berharap Rima akan baik-baik saja melawan keluarga Dito yang sangat kaya raya dan sulit terjankau oleh tangan hukum."Aku pergi dulu, ojek sudah menunggu," ujar Rima yang sudah memesan ojke sebelum mengatakan hal-hal tadi, karena dia tahu bagaimana Satria."Kenapa sih, kamu seperti ini?" tanya Satria."Apa perlu kita bahas sekarang?" tanya Rima dengan nada rendah, tapi terdengar menyakitkan bagi Satria.Rima melangkah pergi, dengan ojek yang sudah menunggunya. Setelah memastikan semua aman, Rima meminta tukang ojek mengantarnya pada alamat yang dia tuju, atau tidak sesuaai dengan apa yang tertera di aplikasi."Om, meski tante Rima ceroboh, tapi dia bisa seperti iblis yang menakutkan disaat terd
"Om, kenapa tidak menggunakan lelaki aneh itu untuk menarik perhatian Dito?" ujar Tina, setela keluar dari bayangan kelam beberapa bulan lalu."Itu yang sedang aku pikirkan, dan bagai mana caranya agar Dito menjauh dari para bodyguardnya!" jawab Satria dengan tatapan lurus ke depan."Umpankan saja aku! Karena orang aneh itu sangat ingin memilikiku mesksi aku sudah dilecehkan oleh banyak lelaki!" Tina berucap lirih."Nanti, om pikirkan cara yang lainnya, kamu pikirkan saja tentang dirimu sendiri!" balas Satria cepat.Satria tidak ingin melibatkan Tina dalam hal ini, biarlah dia membantu Rima dari belakang tanpa wanita yang dicintanya tahu."Kita sudah sampai!" Satria memarkirkan mobilnya pada sebuah rumah yang cukup besar. "Ayo turun," ajak Satria kemudian.Satria dan Tina masuk ke dalam rumah, dan ternyata sudah ada yang menungu mereka. Dengan tenang Satria menitipkan Tina pada temannya untuk diobati dan di jaga. Lalu, Satria pergi, meski sempat ditahan oleh Tina karena tidak percaya
"Wow, motornya bagus sekali!" puji Satria pada Dito yang duduk santai di atas motornya."Iya, dong!" jawabnya pongah. "Ini keluaran terbaru," lanjutnya dengan menepuk body motor.Satria melihat sekitar, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Kemudian, dia kembali memuji motor milik Dito yang terlihat sangat mengkilap dan bersih. Meski pujian sederhana, sudah membuat yang dipuji terbang, karena bangga."Kalau boleh tahu, beli di mana?" tanya Satria. "Siapa tahu, dapat recomendasi harga bisa kurang," imbuhnya."Tenang, Om. Kalau om mau beli, saya yang kasih diskon sepuluh persen!" Dito berkata dengan pongah, sambil menepuk dadanya.Satria berlagak sangat senang, dan antusias untuk membeli. Meminta Dito untuk memberikan alamatnya, agar dia bisa segera meluncur. Dito yang terus dipuja-puji, tentunya tidak membiarkan Satria pergi sendiri. Dengan suka rela dia mengantarkan lelaki yang tadi dia ikuti."Dit, haus nih, mampir mini market, ya," Satria mencoba mencari alasan.Dito pun menghenti
"Saat Mas James sudah mengucapkan ijab qobul, maka tanggung jawabku pun bertambah, termasuk membalas perlakuan mereka pada orang yang menyakiti anak-anak!" ujar Rima."Aku akan menungu kamu untuk di sisiku. Aku tidak rela kamu harus berkorban begitu banyak!" ujar Satria yang dibalas dengan senyuman sinis dari Rima.Satria tahu, Rima tidak akan mudah berpaling setelah menentukan apa yang dia mau. Jika pun berpaling, maka dia akan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan sangat teliti. Seperti saat Rima menerima James dan menghilangkan kenangannya dengan Satria. lelaki bertubuh tegap itu hanya bisa mnegela napas, karena terlambat datang memenuhi janjinya. Saat ini, dia hanya ingin dekat dengan wanita yang dia jadikan belahan jiwa sejak dia berjanji pada Bu Halimah dulu.Rima sudah memastikan ikatan yang dibuatnya cukup kuat dan tidak mudah lepas, dia menatap remaja yang sangaqt angkuh diusianya saat ini. Tentu semuanya karena ajaran yang diberikan oleh kedua orang tuanya, dan juga cont
Rima melukai sedikit peni*s Dito, membuat remaja itu meringis kesakitan. "Baru tergores! Belum terpotong!" ancam RIma dan Dito hanya mengangguk. Rima kembali pergi, dengan membawa serta belati yang melukai Dito, sedangkan Dito memaki wanita yang tengah menyanderanya dengan kata-kata kasar. Remaja itu tidak menyangka, jika Rima bisa berbuat sejauh ini. Bahkan dirinya menjadi ciut berhadapan dengan ibu tiri dari remaja yang dia lece*hkan. "Brengsek!" teriaknya. Rima hanya tersenyum mendengar makian dari Dito, kemudian dia berjalan dengan cepat untuk keluar dari persembunyian. Kemudian dia membuka CCTV yang terhubung dengan laptopnya, menghidupkannya kembali dengan posisi semula, meski sedikit dimodifikasi. "Bu, sudah benarkan saya keluar dari sana?" tanya Bik Irah yang masih memegang alat pel. "Sempurna, Bik. Sekarang bibik masak aja, untuk sarapan kita," pinta Rima. "Besok saja membersihkannya, sehari enggak dibersihkan, enggak masalah." Rima menjawab sebelum Bik Irah bertanya, da
Pagi-pagi sekali, Rima keluar dari rumah. Menuju ke supermarket terdekat, mengambil beberapa cemilan, roti dan juga susu. Kemudian menuju kasir, untuk membayar semua yan sudah dibeli olehnya."Makasih, ya, Mbak!" ujarnya setelah sang kasir memasukkan semua belanjaan ke dalam kantong yang dibawa oleh Rima."Sudah semua, ya, bersama titipannya," balas sang kasir dengan lirih di ujung kata-katanya.Rima keluar dengan membawa kantong yang berisi penuh dengan semua aneka camilan, dan dia taahu, jika ada sepasang mata yang memperhatikannya dengan sangattajam, sembari berpura-pura memgang minuman."Kalian masih mengintaiku?" gumam Rima kesal.Ponsel Rima berbunyi, dan wanita itu langsung menerima panggilan dari ternyata dari Satria. Mantan kekasihnya itu menanyakan, apakah dirinya aman setelah menerima bingkisan darinya ataau tidak. Rima membaritahu Satria, jika dirinya aman dan sudah sampai di rumah.Semalam, Rima menanyakan tentang efek samping dari penggunaan obat itu pada Satria. Bagaima
"Bukan begitu, sayang. Aku_"Rima langsung memotong ucapan James dengan cepat."Sudahlah, Mas. Yang penting aku selalu jaga hati dan tubuhku hanya untuk kamu,"Rima langsung mengakhiri panggilan, dan meletakan ponselnya di atas meja. Mendengkus kesal, karena merasa tidak dihargai oleh suaminya sendiri."Bibik aja yang angkat!" ucap Rima malas. "Bilang saja, aku sedang tidak mau diganggu!" Rima menambahkan sedikit permintaan.Bik Irah mengangguk dan segera menerima panggilan dari James untuk kedua kalinya. Seperti dugaan Rima, Bik Irah bisa diandalkan. Rima meyakini, jika suaminya itu bertanya banyak hal pada Bik Irah. Terbukti jawaban dari wanita tua di sampingnya itu, yang kadang tersenyum dan terkadang terlihat khawatir."Siap, Pak!"Di akhir panggilannya, dan Bik Irah meletakkan ponsel Rima kembali di tempatnya semula."Apa aja yang ditanya Mas James, Bik?" Rima bertanya seperti menyelidik."Pak James hanya khawatir pada ibu, dan menanyakan apa ibu pernah pergi dalam waktu yang lam
Rima terlihat marah pada Satria, yang menyangkal tentang keterlibatan Sandi dalam kasus anak sambungnya. "Aku mendengar sendiri, jika dia menggauli Sherly dan mengatakan hal tidak senonoh padaku!" bantah Rima. "Tidak, yang aku tahu, dia tidak ikut dalam pencab*lan itu!" Satria masih kukuh pada ucapannya. "Dan kamu sudah tahu siapa saja yang melakukan hal bejad itu, kan?" tanya Satria kemudian. "Pergila, aku hanya meyakini apa yang memang terjadi dan kuketahui!" Rima pun tidak merubah keputusannya. "Jangan gegabah, nanti kamu salah sasaran!" ketus Satria. Lelaki itu, lalu berpamitan dan meninggalkan Rima yang masih yakin dengan apa yang akan direncanakannya. Sedangkan Satria menghela napas panjang, terlalu sulit untuk membuktikannya sekarang. Rima duduk di kursinya dan kembali menyesap teh lemon buatannya, Menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong. "Bu, saya melihat diary milik non Sherly," bisik Bik Irah. Perhatian Rima teralihkan, meminta Bik Irah untuk mengambilnya. Wanit
Ayah Dito langsung memperintahkan anak buahnya untuk mengeledah seisi rumah dan melihat CCTV yang terpasang di rumah Rima. Sedangkan Rima dan Bik Irah duduk dengan santai di meja makan, bahkan Rima menyedu teh lemon hangat dan menyesapnya perlahan. Setengah jam mereka mencari dan berputar-putar dengan sangat teliti, tapi tidak menemukan apa yang mereka cari, dengan kesal ayah Dito mendekati Rima. Mengacungkan senjata dan mengancam wanita yang pura-pura lemah itu. "Cepat, katakan di mana anakku?" tanyanya dengan menekan ujung pist*lnya di pelipis Rima. Satria yang melihat itu tentu saja sangat geram, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini, karena baju yang sedang dia kenakan. "Saya sudah mengijinkan bapak untuk mencari anak bapak di sini, dan apakah saya mengijinkan bapak untuk mengancam saya?" tanya Rima yang makin membuat emosi lelaki di depannya memuncak. "Kamu tidak tau siapa saya?" tanyanya dengan membentak Rima, dan matanya melotot sempurna. Sehingga memperlihatkan am
Rima langsung mengakhiri panggilan dan menatap remaja yang mulai sadar akan keberadaannya yang menyedihkan."Tante, Lepasin aku!" teriak Dito dan hanya ditangapi dengan senyum hina dari Rima.Dito terus memaki, ingin rasanya Rima membalasnya. Akan tetapi disadarkan oleh Bik Irah yang menanyakan tentang makanan yang dia bawa tadi.Rima berjalan ke meja, lalu mendekati Dito yang masih terus menhardiknya. Tatapan Rima, sebenarnya membuat nyali Dito sedikti ciut, tapi dia tidak mau kalah dari wanita yang dia anggap tidak ada apanya."Kamu butuh asupan untuk terus menghardikku, jika tidak kamu akan kelapan dan tidak ada yang bisa menolongmu. Bahkan harta orang tuamu yang sangat banyak itu! Ingat, kamu belum membuatku merasakan kenikmatan yang kamu tawarkan," ujar Rima dengan nada penuh penekanan.Dito diam, setelah mendengar penuturan Rima, mungkin dia berpikir, benar apa yang dikatakan Rima. Dirinya tidak akan bisa keluar dengan selamat, jika dirinya tidak memiliki tenaga.Rima meminta Bi
Rima meletakkan dompet Dito, dan menguyur tubuhnya berkali-kali. Sebenarnya dia tidak ingin melakukan hal yang menjijikkan, akan tetapi tuntutan dari pembalasan dendamnya, mengharuskan dirinya melakukan hal yang bertentangan dengan nuraninya.Sejenak Rima berpikir, dan satu ide muncul dalam benaknya dan ingin segera dia laksakan."Wooow, kamu cantik sekali," puji Dito, setelah Rima keluar dari kamar mandi.Rima tidak menyangka, remaja yang seusia Sherly sudah sangat mendewakan S*x. Seharusnya dia dan Sherly bisa menikmati masa-masa remaja yang menyenangkan."Tante, bisa ambilkan obat di saku depanku?" pinta Dito, yang masih tetap terikat dengan tubuh gemetaran.Dengan santai, Rima mengambil celana Dito yang tadi dia lepaskan dan dilempar jauh. kemudian mengambil sebuah plastik klip berukuran 7 x 10cm di dalam sakunya. Ketika melihatnya, Rima tau, obat apa yang dimaksud oleh Dito.Semua yang direncanakan Rima, berbeda dengan kenyataannya, tapi cukup membuat dirinya bersemangat. Dengan
Dengan susah payah, Rima dan pembantunya--Bik Irah, memindahkan Dito ke ruang rahasia yang ditemukan oleh Rima beberapa waktu lalu. "Bik, sebaiknya bibik pulang kampung saja. Jika terjadi sesuatu, bibik tidak akan terkena imbasnya," ujar Rima dengan menggenggam kedua tangan renta milik Bik Irah. "Sherly sudah seperti cucu bibik, dari dia lahir, besar, ditinggalkan ibunya, dan sekarang tertimpa kesialan gegara lelaki seperti ini, Bibik enggak akan biarkan mereka hidup dengan tenang." Dengan semangat dia menolak permintaan Rima. Rima menghembuskan napas kasar, dia tidak ingin orang lain mendapatkan masalah karena perbuatannya, tapi dirinya pun tidak bisa menjalankan sesuatunya seorang diri. "Kalau saja waktu itu bibik tidak melihat kemaluan yang ibu mut*lasi, maka bibik tidak akan pernah bisa membalaskan rasa sakit melihat orang yang disayang terluka!" tambah Bik Irah. Ya, waktu itu Rima pulang bersama Sherly dengan keadaan yang tidak pernah dia pikirkan. Rima terlihat tegar, setela
"Saat Mas James sudah mengucapkan ijab qobul, maka tanggung jawabku pun bertambah, termasuk membalas perlakuan mereka pada orang yang menyakiti anak-anak!" ujar Rima."Aku akan menungu kamu untuk di sisiku. Aku tidak rela kamu harus berkorban begitu banyak!" ujar Satria yang dibalas dengan senyuman sinis dari Rima.Satria tahu, Rima tidak akan mudah berpaling setelah menentukan apa yang dia mau. Jika pun berpaling, maka dia akan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan sangat teliti. Seperti saat Rima menerima James dan menghilangkan kenangannya dengan Satria. lelaki bertubuh tegap itu hanya bisa mnegela napas, karena terlambat datang memenuhi janjinya. Saat ini, dia hanya ingin dekat dengan wanita yang dia jadikan belahan jiwa sejak dia berjanji pada Bu Halimah dulu.Rima sudah memastikan ikatan yang dibuatnya cukup kuat dan tidak mudah lepas, dia menatap remaja yang sangaqt angkuh diusianya saat ini. Tentu semuanya karena ajaran yang diberikan oleh kedua orang tuanya, dan juga cont