"Menyingkirlah dari kakiku dan cepat pergi dari sini sebelum aku berbuat lebih!" teriak Dharma dengan penuh kilat emosi.
Pria itu sangat marah, ia tidak menyangka sang istri akan menyakitinya seperti ini. Padahal apa kurangnya ia selama ini? Selama ini ia berusaha semaksimal mungkin menjadi imam yang baik untuk Rika. Bahkan ia rela menentang keinginan sang nenek yang ingin menjodohkannya dengan cucu temannya, karena ia sangat mencintai Rika. Dan sekarang apa balasannya? Ia malah mendapatkan sebuah pengkhianatan yang sama sekali tak pernah bisa dengan mudah ia maafkan.
"Mas, aku mohon. Jangan ceraikan aku. Aku tahu, aku sudah berbuat salah sama kamu, Mas. Tapi Mas harus dengerin penjelasan a--" Perkataan Rika terputus karena Dharma langsung menyela.
"Apa lagi yang akan kamu jelaskan Rika?! Bagi aku semuanya sudah jelas! Kamu berkhianat dariku, Rika! Jadi jangan katakan apa pun untuk membuat pembenaran!" bentak Dharma.
Isak tangis Rika semakin menggema di ruang tamu rumah mewah tersebut. Bahkan kini keadaannya benar-benar terlihat memprihatinkan. Namun itu semua tak membuat Dharma iba dan menarik perkataannya. Dharma sudah terlanjur kecewa dengan wanita itu.
"Mas, aku mohon, jangan ceraikan aku. Bagaimana dengan nasib anak ini, Mas. Dia--" Lagi-lagi perkataan Rika disela oleh Dharma.
"Bukan! Dia bukan anakku! Kamu sendiri yang bilang, bahwa kamu ragu anak itu anak aku atau anak si Yuda sialan itu!" hardik Dharma.
Rika menggelengkan kepalanya. Ia kembali berusaha meraih kaki Dharma, namun dengan cepat laki-laki itu menghindar hingga tubuhnya tersungkur ke lantai.
"Mas ..."
Dharma mengusap kasar wajahnya. Hari ini ia cukup frustrasi dengan segala fakta yang terkuak dan tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bahkan rasa cintanya kepada Rika kini sudah luntur karena satu kesalahannya itu.
"Saya bilang kamu cepat pergi dari rumah ini! Saya sudah talak kamu dan secepatnya saya akan urus perceraian kita ke pengadilan agama!" tegas Dharma.
Karena tidak ingin hatinya goyah melihat kondisi Rika saat ini, Dharma pun terpaksa meninggalkan wanita hamil itu sendirian di ruang tamu. Ia sudah cukup lelah fisik dan mental untuk hari ini dan saat ini juga ia butuh menenangkan diri, tanpa ada siapa pun yang mengganggu.
Sementara itu Rika hanya bisa menatap nanar punggung lebar Dharma yang menjauh. Hatinya sangat sakit sekali melihat Dharma begitu membencinya. Ia tahu ia sudah melakukan kesalahan sangat fatal, tetapi mengapa Dharma tega menalaknya saat ia sedang dalam keadaan hamil seperti saat ini. Apakah Dharma tidak bisa menundanya, minimal sampai ia melahirkan?
Rika menghela napasnya berat, lalu meraih dua buah koper hitam yang tergeletak tak jauh darinya. Menurutnya sudah tak ada yang bisa ia harapkan lagi dari Dharma. Laki-laki itu sudah benar-benar membencinya.
"Salah sendiri, sih. Udah punya suami baik, mapan, dan penyayang banget, malah disia-siakan. Ya, jadi gini akibatnya," celetuk salah seorang pekerja di rumah mewah itu yang sejak tadi mengintip pertengkaran majikannya.
"Hush, kalau ngomong suka asal ceplos aja! Nanti kedengaran loh, sama non Rika!" Mbak Atun refleks menyikut rekan kerjanya itu.
"Maaf, Bi." Pelayan yang barusan sempat mencibir Rika langsung meminta maaf karena tidak ingin terkena masalah.
Rika tertawa miris mendengar celetukan salah satu pekerja di rumah ini. Memang benar apa yang dikatakan mereka. Ia memang telah menyia-nyiakan kepercayaan Dharma. Betapa bodohnya dirinya.
Tanpa menunggu lama-lama lagi di rumah mewah itu yang menjadi saksi cintanya bersama Dharma, Rika pun segera pergi dari sana sebelum laki-laki yang beberapa jam yang lalu menalaknya kembali menggila dan berakhir melukai calon buah hatinya.
Rika pun menyeret dua buah kopernya keluar dari rumah mewah itu. Malam ini sepertinya ia akan kembali ke kediaman orang tuanya, meskipun ia ragu karena takut orang tuanya mengetahui fakta yang selama ini susah payah ia sembunyikan dari orang-orang.
Rika sempat menengok ke belakang berharap Dharma menahannya pergi. Namun mengingat kembali apa yang telah ia lakukan kepada laki-laki itu, seolah menjadi tamparan keras baginya untuk tidak berharap lebih pada Dharma.
"Maafkan aku, mas...," ucapnya dengan lirih.
Sementara itu di atas balkon sana, Dharma tengah memperhatikan wanita yang diceraikannya beberapa waktu yang lalu tengah menyeret kopernya keluar dari istana megah yang sengaja ia bangun untuk Rika. Namun sepertinya segala pengorbanannya berakhir sia-sia, karena Rika telah melanggar janji suci cinta mereka.
"Harusnya kamu tahu, dari dulu aku sangat membenci pengkhianatan. Namun kenapa kamu malah melakukan apa yang aku benci, Rika? Apa kurangnya aku selama ini? Apakah lima tahun yang kita lalui tidak ada artinya bagi kamu?" batin Dharma.
Ya, Dharma sangat membenci pengkhianatan karena ibunya dulu menderita karena sebuah pengkhianatan yang telah dilakukan oleh ayahnya. Ayahnya pergi bersama selingkuhannya dan meninggalkan dirinya dan ibunya. Dan sekarang Rika melakukan hal yang sama, mengingatkannya akan kebrengsekan sang ayah. Maka dari itu ia tidak dapat menoleransi lagi kesalahan yang telah Rika lakukan. Karena baginya pengkhianat tetaplah menjadi seorang pengkhianat.
***
Setelah menempuh waktu tiga jam akhirnya Rika sampai di kediaman orang tuanya. Setelah membayar ongkos taksi dan juga menurunkan kedua koper besar miliknya, Rika pun berjalan masuk ke dalam kediaman orang tuanya yang tampak sepi dari luar. Maklum, langit sudah beranjak gelap, pasti kedua orang tuanya dan juga para pekerja saat ini sedang berada di dalam rumah.
"Non Rika!"
Rika tersenyum ke arah bi Kiyah yang baru saja menyerukan namanya.
"Apa kabar, Bi?" tanya Rika.
"Alhamdulillah baik, Non. Gimana kabar Non, sendiri? Dedek utunnya juga sehat 'kan?" balas bi Kiyah.
"Alhamdulillah, Bi. Saya dan dedek bayi dalam keadaan sehat walafiat," jawab Rika.
Bi Kiyah melirik dua buah koper di tangan Rika. Keningnya tampak mengerut. Sepertinya dia penasaran mengapa anak bungsu majikannya itu membawa dua buah koper besar ke rumah ini.
"Bi, ayah sama ibu ada 'kan?" tanya Rika.
"Ada, Non. Malahan non Rani sama den Kevin juga ada di dalam," jawab bi Kiyah.
Raut wajah Rika pun sontak berubah menjadi cerah mendengar penuturan bi Kiyah. "Oh ya?"
"Lebih baik Non masuk ke dalam. Udah malam, enggak baik buat ibu hamil. Sini, biar kopernya Bibi aja yang bawa," ucap bi Kiyah.
"Iya, makasih ya, Bi." Rika pun menyerahkan kopernya kepada bi Kiyah. Lalu setelah itu ia bergegas masuk ke dalam rumah untuk menemui orang tuanya dan juga keponakannya.
Sesampainya di dalam Rika menemukan keluarganya sedang bersenda gurau. Mereka terlihat bahagia sekali. Bahkan ayahnya yang terkenal dingin itu kini tengah tertawa lebar karena ulah cucunya.
Sudut bibir Rika pun tertarik ke atas, membentuk sebuah lengkungan senyum. Ia melangkahkan kakinya mendekati keluarganya.
"Ayah, Ibu!"
Namun beberapa saat kemudian Rika dibuat syok dengan apa yang dilakukan oleh sang ayah.
Bukannya disambut dengan pelukan hangat, Rika justru disambut dengan tamparan sang ayah ke wajahnya hingga membuat rasa panas dan perih di pipi bagian kanannya. Bahkan bukan hanya pipinya saja yang perih, hatinya juga ikut perih. Pasalnya ini pertama kalinya ayahnya bermain fisik kepadanya."Ayah ...," lirih Rika seraya memegangi pipinya yang baru saja ditampar keras oleh sang ayah."Untuk apa kamu ke mari?!" bentak Marwan. Marwan melirik ke arah bi Kiyah yang tengah mematung serta membawa dua buah koper besar yang ia yakini milik putrinya. Lalu Marwan terkekeh. "Oh, kamu ke sini karena diusir sama suami kamu, ya? Itu memang pantas kamu dapatkan setelah apa yang kamu perbuat kepada suamimu itu!" cibir Marwan. Setelah tamparan barusan, Rika kini kembali dibuat tercengang dengan perkataan ayahnya. Tunggu! Apa ayah dan ibunya sudah tahu mengenai masalah rumah tangganya dengan Dharma? Apakah Dharma mengadu kepada orang tuanya tentang pengkhianatan yang telah ia lakukan? "Yah ...""Ke
Rika keluar dari rumah orang tuanya dengan langkah gontai. Ia merasa sedih dan putus asa. Setelah ini ia harus pergi ke mana? Ia tak yakin sanak saudaranya ada yang mau menampungnya, apalagi setelah mengetahui aibnya. Begitu pula dengan teman-temannya, ia yakin mereka tidak ingin terseret dengan permasalahan yang sedang terjadi padanya. Jujur Rika sangat menyesal telah bermain api dengan Yuda. Namun sekarang penyesalannya itu tidak ada gunanya. Dharma dan orang tuanya sudah mengusirnya. Mungkin jika dirinya sendiri tidak masalah, tetapi saat ini ia sedang mengandung. Mencari pekerjaan pun sepertinya akan sulit karena pastinya perusahaan tidak akan menerima karyawan yang sedang hamil, terlebih sekarang usia kandungannya sudah memasuki trimester akhir. "Seandainya aku enggak nurutin ego aku, mungkin semuanya akan baik-baik aja. Aku enggak akan berpisah dari mas Dharma," gumam Rika.Rika tampak mengusap perut buncitnya. "Maafin Mama, Nak. Gara-gara Mama, kamu harus kena dampaknya. Pada
Mendengar seseorang memanggilnya Dharma pun sontak membalikan tubuhnya. Begitu pun dengan Lia yang saat ini sedang bersamanya.Dharma membelakan matanya melihat wanita yang tiga hari lalu ditalaknya itu tengah berjalan ke arahnya dengan kilat amarah yang jelas tampak di kedua iris hitamnya. Dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa dia ada di sini?"Jadi selama ini dugaan aku benar kalau kamu ada main belakang sama dia!" ucap Rika seraya menunjuk wajah Lia yang berdiri tepat di belakang tubuh tegap Dharma."Kamu jahat, Mas! Kamu maki-maki aku sampai berani ngusir aku karena aku ada main sama mas Yuda, tapi ternyata ..." Rika tidak melanjutkan perkataannya, lalu ia terkekeh kecil."Ternyata kamu sama aja kayak aku, Mas. Munafik!" lanjut Rika disertai seringaian yang mampu membuat wajah Dharma terlihat merah padam."Sejak kapan, Mas?! Atau jangan-jangan udah lama ya, pas satu tahun yang lalu aku enggak sengaja mergokin kalian berdua di rumah makan?" tanya Rika. Dharma tampak mengepalkan ta
Dua puluh dua tahun kemudian,Semua orang yang berada di dalam ruangan itu tampak tercengang mendengar pengakuan seorang pria yang menjadi putra sulung di keluarga itu. "Lo cuman ngeprank kita 'kan, Kak?!" pekik seorang gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya."Apa Kakak kelihatan bercanda?" Pria yang dipanggil kakak itu malah balik bertanya."Kevin!" "Kenapa sih, Pa?" Kevin tampak acuh meskipun suasana di ruangan itu terasa sangat panas."Kamu masih bilang kenapa atas apa yang telah kamu lakukan?!" teriak Roy frustrasi. Bisa-bisanya putranya terlihat santai setelah membuat huru-hara.Saat semua orang menuntut penjelasan atas pengakuan Kevin beberapa saat yang lalu, seorang wanita yang sejak tadi terdiam memilih meninggalkan ruangan itu dengan derai air mata dan juga kekecewaan. Bisa-bisanya suami yang sangat dicintainya itu tega membuat pengakuan yang sungguh membuat hatinya terluka sebagai seorang istri. "Kak Nada mau ke mana?" tanya Kiara yang melihat pergerakan kakak ipa
Tak terima putrinya direndahkan seperti itu oleh Kevin, Dharma dan Lia pergi melabrak Kevin dan keluarganya setelah Nada tertidur, karena jika Nada tahu maka putrinya itu pasti akan melarangnya. Dharma bersumpah akan memberikan pelajaran yang setimpal kepada Kevin, karena menantu tak tahu dirinya itu telah membuat putri semata wayangnya terluka. "Di mana Kevin?!" Sesampainya di kediaman Roy dan Rani, Dharma tanpa basa-basi menanyakan keberadaan laki-laki yang sudah menyakiti putrinya. Ia sudah tak peduli lagi dengan sopan santun bertamu ke rumah orang lain. "Emm ... Den Kevin ada di dalam, Pak. Bapak sama Ibu silakan masuk, biar saya panggilkan den Kevin-nya dulu," jawab Sari--asisten rumah tangga di kediaman Roy dan Rani.Tanpa banyak bicara, Dharma mengikuti instruksi dari Sari. Ia tak sabar ingin segera menghajar Kevin karena sudah berani menduakan putrinya. "Bapak sama Ibu mau minum ap--" Belum sempat Sari menuntaskan perkataannya, Dharma sudah kembali menyela. Apakah Sari tid