Rasanya Ben ingin putar balik. Kekhawatirannya sia-sia, karena Thalia tampak sangat baik-baik saja.
“Jarang sekali ada anggota keluarga yang mengunjungi pasien di sini,” ujar staf Rumah Sakit Jiwa sebelum ia melenggang pergi. “Pasien di sini sangat membutuhkan dukungan lebih dari apa pun. Senang rasanya masih ada yang memedulikan anggota keluarga mereka yang sakit.”
Ben terkejut mendengar itu. Sang staf pasti tahu bahwa Ben bukan lagi bagian dari keluarga Thalia, sebagaimana yang tertulis dalam formulir pengunjung, jadi kenapa ia berkata seperti itu? Ben pikir ia harus menyangkal, tetapi mendadak lidahnya kelu.
“Oh! Aku juga akan tunggu di ruang tunggu saja.” Ashana lebih dulu berbicara. “Jangan khawatir, aku tidak akan menunggu terlalu lama. Begitu bosan, aku akan langsung
“Ayah! Sudah kunci pintunya belum?”Ben yang tengah berbaring di atas karpet mengintip dari balik lengannya yang ia tempatkan di atas mata. Melihat anak gadisnya tengah berdiri sambil menyilangkan tangan. “Hmm … sudah, kok,” jawab pria itu sambil kembali terpejam. Menikmati hawa dingin malam yang diam-diam masuk dari celah tipis di bawah pintu. Seharian ini ia telah bekerja sangat keras di bawah sinar terik matahari, serta meminum cukup banyak minuman beralkohol untuk melawan rasa frustrasi yang biasa menyerangnya di minggu-minggu sibuk seperti ini. Dinginnya malam menjadi penyejuk setiap ototnya yang kelelahan.“Beneran?”“Iya.”“Kalau gitu, ini apa?” Tanpa mengalihkan pandangan dari Ben sedikit pun, Ali
“A-apa maksudmu? Kenapa kau yang membunuhnya?” Sangat sulit bagi Ben untuk mengendalikan suaranya. Tatapan peringatan dari staf Rumah Sakit Jiwa terus berkelebatan di ingatannya, membuatnya berusaha keras untuk mengendalikan emosi. Namun, tentu saja itu tidak mudah apalagi ia juga harus berhati-hati dengan ucapannya.Entah kenapa firasat Ben mengatakan bahwa jika ia salah bicara satu kali saja, Thalia tidak akan lagi mau berbicara kepadanya.“Jika maksudmu … kau membunuh Alisya secara tidak langsung karena sebagai orang tua kamu tidak cukup memperhatikannya, maka kesalahanku pun sama besarnya,” sambung Ben. “Tidak. Justru aku jauh lebih bersalah karena aku ayahnya. Aku seharusnya melindunginya dengan segenap jiwaku. Seluruh napas ini seharusnya kupersembahkan untuk kesehatan dan kebahagiaannya, tetapi aku telah gagal. Aku pe
“Hukum saja aku, Ben.” Thalia menangis sejadi-jadinya. Keinginannya terbagi, antara ingin berkata jujur atau melindungi orang yang ia cintai. “Maafkan ketidakmampuanku yang membuat kita menderita. Aku bersedia menanggung semuanya. Biar aku saja yang merasakan neraka itu, Ben.”Ben mengepalkan tangannya guna menahan amarah. Thalia jelas-jelas tengah melindungi pelaku yang telah merenggut nyawa Alisya. Meskipun Thalia adalah wanita yang pernah dan masih mengisi hatinya, Ben tidak akan mengabaikan situasi ini begitu saja.Sang pembunuh masih berkeliaran di luar sana. Menikmati hari demi hari dalam kebebasan yang tidak pantas ia miliki. Dengan seenaknya terus melakukan kejahatan dan membiarkan orang lain yang mengemban tanggung jawabnya.Ben bertekad untuk menghentikannya, meskipun ia harus mengesampingkan rasa ibanya terhadap Thalia.“Aku akan menyingkirkanmu jika itu perlu.” Perlahan-lahan, sosok Ben terlihat semakin mengerikan. Ia memperlihatkan ‘t
Beberapa bulan lalu ....“Wah, waah …. Kerja para anak buahmu semakin baik, ya.”Tony yang sedari tadi sibuk memantau jalannya bisnis sambil menikmati ayam goreng kesukaannya lantas berbalik setelah mendengar suara merdu dari wanita yang menjadi kekasihnya. Bibirnya yang dipenuhi remah makanan lantas tersenyum lebar, bersamaan dengan kedua tangan yang terentang ke depan. “Lilii. Kupikir kamu tidak akan datang hari ini?”“Aku punya banyak waktu luang sejak anak dan menantuku tidak lagi hidup menumpang di rumahku,” jawab sang wanita sambil memainkan jaring di topinya. Kerutan di sudut bibirnya terlihat samar oleh tebalnya bedak yang melapisi. “Ups! Maksudku, anak, menantuku, dan mantan menantuku. Thalia sudah bebas dari Ben dan baru saja menikahi Garry, pria yang
Sejak Alisya lahir, Elina mungkin tidak pernah memandang cucunya itu dengan tatapan penuh kasih sayang. Selalu datar, seolah-olah ia hanya sedang berhadapan dengan anak tetangga, bocah yang sama sekali tidak punya hubungan dengannya. Baru kali ini, ada ekspresi berbeda saat Elina melihat Alisya.Bukan, bukan kasih sayang. Biar bagaimanapun Alisya tetap seorang gadis merepotkan, yang hanya tahu indahnya dunia. Tidak sadar akan seberapa menderitanya orang di sekitarnya berjuang untuk mempertahankan senyum di bibirnya. Elina selalu cemburu melihat betapa Alisya terlihat muda dan enerjik.Mungkin karena itulah, tanpa sadar kini kedua matanya memelototi Alisya dengan garang. Sang cucu bukan hanya telah mengganggu urusannya, tetapi juga melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui. Ada sedikit rasa cemas di dada Elina, takut kalau-kalau Alisya akan segera kabur d
“Katamu semua akan baik-baik saja. Tapi sekarang lihat aku! Baju ini sangat sesak, aku juga mulai muak melihat dinding kusam dan jeruji berkarat!” Tony berteriak, hampir tidak bisa menahan diri dari memukul meja di hadapannya. Dengan kasar ia membuka kancing bagian atas baju tahanan yang ia kenakan. “Pakaian macam apa ini? Sangat menyesakkan! Mereka bahkan tidak mengizinkan aku untuk membawa bajuku sendiri!”Elina yang berpakaian sangat tertutup dengan masker menutupi bagian bawah wajahnya sempat melirik ke arah petugas yang berjaga tidak jauh dari tempatnya menemui Tony. Sebuah kaca dengan beberapa lubang kecil menghalangi dirinya dari bersentuhan langsung dengan sang tahanan, membuat Elina sedikit kecewa karena dia jadi tidak bisa menegur Tony dengan pukulan.Helaan napas berat akhirnya keluar setelah Elina melepas maskernya. “Be
Ben mengerutkan kening sambil menyilangkan kedua tangan. Ia berdiri menyandar ke dinding gedung Rumah Sakit Jiwa, sosoknya sedikit tersembunyi oleh sebuah pohon yang tumbuh besar dan rindang. Cuaca sangat cerah dengan matahari yang tidak terlalu terik dan suhu udara yang cukup segar, sama sekali tidak ada alasan bagi Ben untuk berlindung di pojokan. Namun, pria itu memiliki alasan lain yang membuatnya terpaksa menyingkirkan diri dari keramaianSenyum kebahagiaan menghiasi orang-orang di sekitar, baik pasien yang mengenakan seragam biru terang maupun staf yang mendampingi. Sebagian kecil pasien ditemani oleh orang-orang tercinta, bercengkerama guna melepas kerinduan yang terpendam akibat terpisah selama proses perawatan. Sementara sebagian besar lainnya cukup merasa puas hanya dengan beraktivitas di luar ruangan.Semua pemandangan itu membuat Ben semakin r
Sudah setengah jam berlalu sejak Ben memarkirkan mobil mewahnya di pelataran parkir yang ia kira tidak akan pernah ia datangi. Kedua tangan pria itu masih siap di atas setir, kunci masih berada di tempatnya, sehingga apabila ia berubah pikiran, tidak akan lama untuknya pergi dari sana. Namun, kedua mata Ben terus menolak untuk mengalihkan pandangan dari bangunan bercat putih dan biru di hadapannya.Beberapa orang berseragam terlihat mondar-mandir di balik pintu kaca. Kerut di kening mereka hampir serupa, seperti tatapan mereka yang sangat tidak ramah. Sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang polisi yang mengabdi kepada masyarakat.Kenangan buruk yang terngiang di kepala membuat kedua tangan Ben menggenggam setir dengan semakin erat. Dirinya yang dulu berteriak-teriak memohon pertolongan di gedung itu dan berakhir diabaikan, lalu harus pulang menyaksikan orang yang berusaha ia tolong telah meregang nyawa dengan sia-sia. Dirinya yang dulu begitu direnda
Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men
Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.
“Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka
Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat
Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga
“Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te
“Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul
Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan
Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”