Ben mengernyit, melihat kue-kue kecil berwarna-warni berjajar di atas meja. Buah-buahan yang terlihat segar mendekorasi bagian atas setiap kue dengan kilau yang menggoda, tetapi Ben justru muak melihatnya.
“Coba bayangkan kandungan gula di dalamnya,” ujarnya sambil duduk bersandar dengan tangan bersedekap di dada. “Bukankah wanita biasanya memperhatikan apa yang mereka makan? Apa kamu akan baik-baik saja memakan semua krim dan gula itu?”
“Ssttt! Diam dulu!” Ashana menegurnya dengan heboh. Kedua tangan gadis itu bergerak lincah, mengarahkan sudut kamera ponselnya agar sesuai dengan yang diinginkan. “Jarang sekali aku bisa membeli semua dessert ini sekaligus! Aku harus mengabadikannya.”
Ben menemui jalan buntu.Semua tidak berjalan sesuai keinginannya. Bukannya mendapatkan solusi, menemui Ashana justru membuat beban pikiran Ben bertambah. Ia sama sekali belum menemukan cara memanfaatkan informasi tentang identitasnya untuk penyelidikan kematian Alisya. Kenyataan bahwa ia adalah anak tunggal dari pasangan fenomenal tampaknya belum cukup. Kalaupun Ben mengambil langkah besar seperti mengungkapkan jati dirinya di depan khalayak ramai, ia pikir semua itu tidak akan menimbulkan efek yang berarti. Bisa jadi identitas dirinya tidak sehebat yang ia kira.Meskipun begitu, Ben tentu saja tidak menyerah. Berhenti berjuang sama sekali tidak ada di dalam kamus hidupnya.“Tidak perlu memaksakan diri untuk mencari wartawan atau penguntit lain yang juga ada di sekitarku.” Jari-jari Ben mengetik pesan u
Semuanya terasa seperti angin semilir yang hanya lewat pelan-pelan. Terasa sangat samar, ia bahkan tidak membuat tatanan rambut berantakan, tetapi ia sungguh ada di sana. Membuat para manusia yang kebetulan dilewatinya merasa lebih nyaman dan sejuk.Begitu pula dengan yang Ben rasakan saat ini. Kesadarannya seakan-akan mengambang antara ada dan tiada. Setiap orang dan benda yang ia lewati hanya terlihat seperti blur belaka, tetapi ia sama sekali tidak khawatir apalagi takut. Sebab ia hanya sedang melayang ke atas awan oleh kebahagiaan. Hatinya juga dipenuhi rasa tenteram yang sudah lama tidak menghampiri.Ben masih sulit memercayai hal-hal baik yang terjadi kepadanya hari ini.“Menurutmu, apa kita juga bisa belikan sepatu? Tapi kita tidak tahu ukuran yang tepat.” Ashana bergerak lincah ke sana kemari. Me
Elina berdiri dengan gagah dalam balutan pakaian krem mewah, lengkap dengan topi berjaring khas miliknya. Salah satu tangannya menunjuk wajah Ben penuh penghinaan. “Sudah kuduga. Tidak mungkin kamu tidak mempunyai perempuan lain! Hah! Lagaknya aja mau tetap setia sama Thalia!”Ben menghela napas, seketika paham apa maksud mantan mertuanya. “Maaf, kamu hanya salah paham, Elina. Kami hanya berteman,” jawabnya sambil melangkah mendekat. Diikuti oleh Ashana yang seketika tersenyum.“Tuh, kan! Bagimu juga kita ini berteman!” celetuknya setengah berbisik.“Ibu ada perlu apa kemari?” Ben mengabaikan Ashana dan memilih untuk memberi perhatian kepada sang mantan mertua. Tanpa sengaja ia bahkan kembali memanggil Elina dengan sebutan ‘Ibu’. “Ada yang bisa kami b
“Kamu tidak perlu repot-repot melakukan itu.”Ucapan Ben memecah keheningan yang terbentuk sejak mereka menempuh perjalanan pulang. Ashana yang masih mengemudi penuh konsentrasi lantas menoleh dengan salah satu alis terangkat.“Tidak perlu melakukan apa?”“Yang tadi. Bagaimana bisa kamu bersikap kasar kepada seorang ibu yang tidak kamu kenal?” Ben menghela napas sambil duduk bersandar dengan relaks. Kedua matanya terpejam sementara mulutnya masih berbicara. “Jangan terlalu terlibat dengan masalahku lebih dari yang telah kamu lakukan. Masih ada banyak hal penting yang harus kamu perhatikan.”“Seperti apa?”“Seperti bagaimana caranya agar kamu bisa naik pangkat.
“Lho? Lho? Ada apa dengannya?” Ashana menoleh ke sana kemari dengan kebingungan. Perlahan, ia kembali mencoba mendekati sang anak, tetapi dengan segera ia berhenti di tempat saat anak itu malah semakin menjerit. “Bukan aku! Aku tidak melakukan apa pun!”Anak-anak kecil mulai menertawakan sikap Ashana yang mengangkat kedua tangan dengan heboh, layaknya seorang penjahat kelas teri yang tertangkap basah. Sementara itu, anak-anak yang sudah sedikit lebih dewasa mencoba menenangkan tangisan sang bocah kecil.“Jangan khawatir, Kak. Rafa memang sering seperti ini,” jelas salah seorang gadis. Usianya tidak tampak lebih dari 10 tahun, tetapi dengan sangat sabar ia menenangkan anak yang lebih kecil darinya layaknya saudara kandung.“Sudah sering?” Ashana berjongkok sambil tetap
“Hah? Eh, itu ….” Ashana berdeham lalu menarik napas dalam-dalam. Tidak ada alasan untuknya merasa takut. Ia memiliki niat yang baik. “Aku hanya merasa heran kenapa Rafa begitu ketakutan. Dia seperti pernah mengalami kekerasan.”Mayang membelalakkan mata, tetapi dalam hitungan detik ia kembali mengatur ekspresinya agar terlihat tenang. “Aku baru tahu kalau kamu begitu peduli dengan anak-anak di sini. Bukankah alasanmu kemari adalah untuk mendekati Ben?” tuduh perempuan yang biasanya bersikap begitu bersahabat. Kini ia menatap Ashana tajam sambil menyilangkan tangan.“Itu memang alasan utamaku,” jawab Ashana penuh percaya diri. “Tapi konsentrasiku cukup bagus. Aku bisa fokus pada lebih dari satu hal.”“Hebat sekali. Tapi kurasa kamu hanya akan m
Ben menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa. Rossa, sebaiknya kamu kembali ke kamar.”“Tenang saja, Ben. Aku hanya ingin jalan-jalan sebentar,” jawab Rossa sambil tersenyum, tetapi senyumnya kemudian menghilang saat ia bertatapan dengan Ashana. “Sedang apa kamu di sini? Kalau ingatanku tidak salah, aku sudah beberapa kali melarangmu datang.”“Eh, itu …,” Ashana meminta tolong kepada Ben melalui tatapan memelas. Namun, Ben sama sekali tidak berniat untuk memaksa Rossa mengingat hal yang perempuan paruh baya itu lupakan. “Memang benar, itu aku, tapi beberapa hari ini aku bersikap baik sehingga Anda memperbolehkanku untuk datang bersama Ben,” jawabnya sedikit ragu-ragu.“Aku begitu?”“Iya &hel
“Pertanyaan macam apa itu?” Ben tertawa mengejek. “Bukankah sejak awal, kamu tidak pernah meminta izin untuk apa pun dan hanya melakukan semua yang kamu inginkan? Kamu datang ke hidupku seperti banteng yang mengejar kain matador. Kupikir aku harus waspada agar tidak diseruduk olehmu.” Ashana merengek sambil memukul bahu Ben, tetapi Ben dengan sigap menangkap lengannya dengan satu tangan. “Baru beberapa menit lalu aku minta maaf soal itu, tapi kamu sudah membahasnya lagi! Lalu bagaimana bisa kamu tega membandingkan wanita cantik sepertiku dengan banteng?” “Itu hanya perumpamaan.” “Tetap saja terasa menyebalkan!” Gadis itu menghela napas keras-keras. “Ya, sudahlah! Sekarang jawab saja pertanyaanku. Apa aku masih bisa berada di sisimu atau tidak?” “Kamu terdengar seperti sedang melamarku.” “Ben!” “Iya, iya. Terserah kamu saja. Aku tidak keberatan.” Dalam sekejap, Ben menyingkirkan sikap jahilnya, dan tersenyum tulus. Ia menepuk bagian saku bajunya yang sedikit menyembul karena menyi
Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men
Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.
“Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka
Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat
Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga
“Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te
“Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul
Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan
Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”