Ben menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa. Rossa, sebaiknya kamu kembali ke kamar.”
“Tenang saja, Ben. Aku hanya ingin jalan-jalan sebentar,” jawab Rossa sambil tersenyum, tetapi senyumnya kemudian menghilang saat ia bertatapan dengan Ashana. “Sedang apa kamu di sini? Kalau ingatanku tidak salah, aku sudah beberapa kali melarangmu datang.”
“Eh, itu …,” Ashana meminta tolong kepada Ben melalui tatapan memelas. Namun, Ben sama sekali tidak berniat untuk memaksa Rossa mengingat hal yang perempuan paruh baya itu lupakan. “Memang benar, itu aku, tapi beberapa hari ini aku bersikap baik sehingga Anda memperbolehkanku untuk datang bersama Ben,” jawabnya sedikit ragu-ragu.
“Aku begitu?”
“Iya &hel
“Pertanyaan macam apa itu?” Ben tertawa mengejek. “Bukankah sejak awal, kamu tidak pernah meminta izin untuk apa pun dan hanya melakukan semua yang kamu inginkan? Kamu datang ke hidupku seperti banteng yang mengejar kain matador. Kupikir aku harus waspada agar tidak diseruduk olehmu.” Ashana merengek sambil memukul bahu Ben, tetapi Ben dengan sigap menangkap lengannya dengan satu tangan. “Baru beberapa menit lalu aku minta maaf soal itu, tapi kamu sudah membahasnya lagi! Lalu bagaimana bisa kamu tega membandingkan wanita cantik sepertiku dengan banteng?” “Itu hanya perumpamaan.” “Tetap saja terasa menyebalkan!” Gadis itu menghela napas keras-keras. “Ya, sudahlah! Sekarang jawab saja pertanyaanku. Apa aku masih bisa berada di sisimu atau tidak?” “Kamu terdengar seperti sedang melamarku.” “Ben!” “Iya, iya. Terserah kamu saja. Aku tidak keberatan.” Dalam sekejap, Ben menyingkirkan sikap jahilnya, dan tersenyum tulus. Ia menepuk bagian saku bajunya yang sedikit menyembul karena menyi
Ashana memasuki kamar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Mandi di pagi hari terasa menyegarkan seperti biasanya, hanya saja hari ini ia tidak bisa sepenuhnya menikmati sebab harus mengompres lengan kanannya yang membiru. Gadis itu melemparkan handuk basahnya ke sembarang arah, sebelum mengambil minuman kaleng dingin yang kemudian ia tempelkan ke lengan yang sakit.Guna mengalihkan perhatiannya dari rasa ngilu, Ashana memilih berjalan mengelilingi kamarnya yang tidak seberapa besar. Hanya butuh beberapa langkah untuknya berkeliling. Dengan perlahan, ia mengamati berbagai foto yang menghias dinding.Satu sisi dinding berisi foto-foto semasa sekolah. Penuh dengan memori bersama teman-teman yang diabadikan lewat lensa kamera Polaroid. Senyum Ashana kala itu terlihat mencolok di antara banyaknya senyum lain dari remaja seusianya. Berhasil mengundang bibir
Ben melangkah ke luar dari kamar mandi mengenakan jubah mandi mewah berwarna biru tua. Segelas sampanye di tangan kanannya, sementara tangan kirinya ia sematkan ke dalam saku. Uap hangat mengepul di sekitarnya, sisa kegiatan berendam air panas yang ia lakukan untuk melemaskan otot-otot tubuh.Untuk pertama kalinya selama beberapa tahun terakhir, Ben merasakan dirinya begitu relaks. Tanpa repot-repot berganti pakaian, ia berjalan mengitari hunian barunya yang kedua. Sebuah griya tawang yang berada di lantai 28 bangunan paling mewah di kota tetangga kota Patah. Ben berhasil mendapatkannya dengan harga yang cukup masuk akal.Agen properti mengatakan bahwa hunian itu dirancang oleh seorang arsitek ternama yang hanya memproduksi bangunan terbaik dalam jumlah terbatas. Desain interiornya juga tidak main-main, dibuat dengan mempertimbangkan kegunaan serta keindahan. J
Sudah lama sekali sejak terakhir kali Ashana bangun dari tidur dengan rasa nyeri luar biasa di kepala. Rasanya ia takut untuk bergerak sedikit pun karena rasa sakit akan langsung menyerang dirinya. Meskipun begitu, ia cukup bersyukur masih dapat bangun dan bernapas pagi ini.“Terakhir kali Ayah mengamuk seperti itu adalah saat aku ketahuan memilih jurusan jurnalistik,” pikir Ashana yang masih melamun di atas tempat tidur. “Untunglah semua berakhir sebelum semakin parah.”Gadis itu memaksakan diri untuk duduk, hanya untuk menyadari kedua tangannya dipenuhi noda darah yang telah mengering. Noda itu hampir mengotori hampir seluruh telapak tangannya bahkan masuk ke sela-sela kuku. Ashana mengerutkan kening. “Apa aku lupa mencuci tangan sebelum tidur?”Dengan tenang ia bangkit dan berj
“Hei! Kau! Kemari!” Seorang pria yang mengenakan pakaian serba oranye sedikit berteriak di balik jendela berjeruji. Sebisa mungkin ia membuat suaranya tidak terlalu nyaring, tetapi dapat terdengar oleh pria berseragam biru muda dan hitam di luar sana. “Apa hari ini juga tidak ada titipan apa-apa untukku? Sudah lama sekali sejak terakhir kali ada yang memberiku sesuatu!”Jelas sekali pria yang dipanggilnya tidak senang diajak bicara di tengah malam. Meskipun semua orang telah tertidur, dan hanya ada beberapa orang yang berpatroli, kamera pengawas tetap menyala. Siapa pun akan curiga jika ia berinteraksi dengan seseorang di balik jeruji.“Paul, aku tahu aku berhutang banyak kepadamu. Tapi kamu tidak bisa terus bertingkah seenaknya begini. Aku bisa kehilangan pekerjaanku!” protes pria berseragam itu.
“Kau! Berhenti mengatakan semua sampah itu atau kamu tidak akan bisa mendengar suaramu sendiri untuk selamanya!” ancam Sander dengan salah satu tangan mengepal di udara. Sementara itu, Ben hanya terdiam dengan raut wajah mengeras. Jelas sekali ia tengah menahan emosinya.Paul terkekeh, sama sekali tidak terguncang oleh ancaman Sander. “Sekali lagi kukatakan, kalian tidak akan mendapatkan apa pun dariku. Apalagi dengan kekerasan seperti ini. Kalian sama saja seperti para pemabuk berseragam yang selalu merasa posisi mereka lebih tinggi dari siapa pun.”Ucapannya itu sukses mencoreng harga diri Ben yang lantas menutup kedua matanya dengan satu tangan. Ia tidak sanggup melihat Paul, melihat bukti penganiayaan yang telah dilakukan Sander demi dirinya.Hampir separuh hidupnya Ben habiskan dengan be
Tanpa pikir panjang, Ben berlari menyeberangi jalan. Hanya butuh waktu beberapa detik untuknya menghampiri Garry yang baru saja membantu seorang wanita memasuki mobil. Sadar bahwa ada seseorang yang berlari ke arahnya, suami Thalia itu lantas mempercepat langkahnya menuju kursi pengemudi. Namun, Ben yang cekatan mampu menghentikannya tepat di saat ia hendak membuka pintu mobil. Cengkeraman Ben terlampau kuat hingga Garry meringis. “Hei! Apa masalahmu?” tanya Garry berang. Ia berusaha mengempas tangan Ben sekuat tenaga, tetapi gagal. Rupanya, ia jauh lebih lemah dari mantan suami Thalia. Tentu saja ia tidak akan mengakuinya. Dengan segera Garry memasang ekspresi tenang, dengan kedua mata memandang rendah Ben. “Lepaskan tanganku sebelum kubuat kau menyesal!” ancamnya kemudian. Ben yang masih mencoba memahami situasi tidak mendengarkannya dan sibuk mengintip ke dalam mobil, di mana wanita yang Garry bawa tengah duduk dengan nyaman. Wanita itu memakai gaun ketat hitam serta perhiasan y
Elina menendang sofa, membanting vas bunga, bahkan mendorong semua foto dan hiasan di atas meja sambil terus berteriak. Rambut cokelatnya yang biasa tertata rapi kini hanya diikat ke belakang seadanya. Tidak ada topi yang menutupi kepalanya, sehingga tanda lahir berbentuk lingkaran yang cukup besar di bagian atas keningnya terlihat jelas. Tanpa memedulikan apa pun, perempuan itu terus saja menghancurkan setiap benda yang dilihatnya.Ben berdiri tidak jauh dari sana. Menjaga jarak yang cukup agar ia tetap bisa melihat semuanya tanpa berisiko terluka oleh pecahan barang yang tersebar ke mana-mana. Sementara itu, Pram mengambil sebuah kain dari ruangan terdekat sebelum mencoba mendekati Elina sambil merentangkan kain itu di kedua tangannya.“Elina, tenanglah! Kumohon!” pinta Pram setelah ia berhasil membalut tubuh Elina dengan kain. Ia memeluk sang ist
Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men
Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.
“Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka
Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat
Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga
“Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te
“Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul
Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan
Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”