Meski memegang pistol, Rosa tak bisa menembak lagi. Sebuah kekuatan misterius menahan kedua tangannya untuk bergerak. Saat ini, dia tak ubahnya manekin di toko baju. Sementara itu di hadapannya, sosok yang tadi tampaknya hanya pria biasa itu kini terlihat begitu agung, sekaligus menakutkan. Rosa seperti sedang berhadapan dengan raksasa, bukan manusia. "Aku tak terbiasa menghajar wanita, jadi aku akan memberimu kesempatan untuk bicara. Kenapa kau diperintahkan membunuhku?"Ucapan itu sebenarnya biasa saja, tetapi entah kenapa, ketika sampai di telinga Rosa, otaknya dengan cepat memprosesnya sebagai ancaman. Rosa akan terkejut jika saat ini dia bercermin. Wajahnya yang biasanya tampak menarik itu kini begitu jelek. "Aku tahu kau agen intelijen yang andal. Tentunya, seseorang sepertimu bisa mengukur kekuatan orang yang kau hadapi, dan dengan cepat kau bisa menyadari situasimu saat ini. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan."Rosa menelan ludahnya sendiri. Apa yang dikataka
Di sebuah rumah di kawasan timur Kota HK…Prang!!!Donald melempar gelas wine di tangannya ke lantai. Pecahan-pecahan gelas itu berserakan di antara genangan cairan berwarana merah.“Sialan! Sialan kau, Bocah Tengik!” rutuknya.Dia adalah salah satu tentara paling berkuasa di militer saat ini, dan baru saja, dia diancam dan ditekan oleh orang yang usianya 20-an tahun di bawahnya, dan orang itu berhasil.Donald memang menyukai Rosa hingga di tingkatan di mana dia merasa tak bisa hidup tanpa agen kesayangannya itu.Sebenarnya dia menyadari kalau itu bisa dijadikan senjata oleh seseorang untuk menekannya. Tapi, sebab percaya pada kemampuan Rosa, dia tak pernah mengkhawatirkannya.Tak pernah dia menduga ada seseorang yang bisa menyandera Rosa, apalagi sampai benar-benar mengancam nyawanya.Kini dia mau tak mau harus memikirkan ulang permintaan spesial Jonathan Weiss padanya itu.Donald berutang budi dan menaruh hormat kepada ayahnya Jonathan, tapi kepada pria itu sendiri, dia sebenarnya b
Di sebuah rumah di kawasan timur Kota HK…Prang!!!Donald melempar gelas wine di tangannya ke lantai. Pecahan-pecahan gelas itu berserakan di antara genangan cairan berwarana merah.“Sialan! Sialan kau, Bocah Tengik!” rutuknya.Dia adalah salah satu tentara paling berkuasa di militer saat ini, dan baru saja, dia diancam dan ditekan oleh orang yang usianya 20-an tahun di bawahnya, dan orang itu berhasil.Donald memang menyukai Rosa hingga di tingkatan di mana dia merasa tak bisa hidup tanpa agen kesayangannya itu.Sebenarnya dia menyadari kalau itu bisa dijadikan senjata oleh seseorang untuk menekannya. Tapi, sebab percaya pada kemampuan Rosa, dia tak pernah mengkhawatirkannya.Tak pernah dia menduga ada seseorang yang bisa menyandera Rosa, apalagi sampai benar-benar mengancam nyawanya.Kini dia mau tak mau harus memikirkan ulang permintaan spesial Jonathan Weiss padanya itu.Donald berutang budi dan menaruh hormat kepada ayahnya Jonathan, tapi kepada pria itu sendiri, dia sebenarnya b
Jonathan memapah Agnes yang telah separuh sadar itu ke sebuah ruangan.Ruangan itu terkunci, dan untuk bisa memasukinya seseorang harus menggunakan kartu akses istimewa.Jonathan, tentu saja, memiliki kartu akses tersebut sebab dia adalah salah satu member premium eksklusif di Restoran G.Pintu terbuka, dan Jonathan membawa Agnes masuk.Arman, yang sudah lama menunggu kemunculan mereka berdua, tersenyum lebar lalu menjulurkan lidahnya."Semuanya lancar?" tanyanya."Lancar, Kawanku. Semuanya berjalan sesuai rencan," jawab Jonathan.Mereka berdua memang telah merencanakan semuanya, mulai dari kemunculan Jonathan di restoran di dekat kantor Wistara Group hingga tawaran darinya agar Agnes menghadiri gala dinner.Dan kini, bersama mereka di ruangan khusus untuk tamu kehormatan itu, Agnes telah kesulitan membuka kelopak matanya.Dia masih bisa mendengar bebunyian dan suara-suara, tetapi otaknya sudah tak bisa lagi memprosesnya dengan baik."Seleramu memang yahud, Bro. Wanita ini, harus kuak
Orang-orang berseragam khusus itu adalah pengawal-pengawal pribadinya Jonathan.Mereka yang tadi berjaga di belakang restoran langsung merangsek masuk saat mendengar bunyi keras yang dihasilkan dari pintu yang didobrak Morgan.Dan baru saja, mereka melihat tuan mereka tertimpa pintu dan tak sadarkan diri.“Cepat turunkan wanita itu! Sekarang juga!” teriak salah satu dari mereka lagi.Mereka tak tahu, sosok yang mereka todong itu bisa saja melumpuhkan mereka semua dengan mudah.Tapi, saat ini, Morgan tak ingin melakukan itu. Yang menjadi fokusnya saat ini adalah Agnes.Istrinya itu harus diberi pertolongan sesegera mungkin atau sesuatu yang buruk bisa terjadi pada tubuhnya.“Dengar, aku hanya akan memperingatkan kalian sekali saja. Menyingkirlah atau kalian semua kubuat cacat!”Saat mengatakannya, Morgan membiarkan aura Dewa Perang-nya keluar, sehingga orang-orang berseragam khusus itu tercekat.Memang mereka masih menodongkan pistol ke arah Morgan, tapi tiba-tiba mereka tak bisa berge
"Semuanya, kepung dia!" seru si pria di samping Bram.Segera saja, anak-anak buahnya yang baru masuk itu melangkah maju, mengepung Morgan dari berbagai sisi.Mereka tampak berani, tentu karena saat ini Morgan tak mengeluarkan aura Dewa Perang-nya.Tetapi haruskah dia melakukannya lagi?Kembali, Morgan menatap istrinya yang berdiri jauh di belakang. Dia tak tahu apa yang dipikirkan wanita itu sekarang. Yang dia lihat: istrinya itu tampak bingung.Kemudian dia melihat tamu-tamu undangan lain yang kini juga berada jauh di belakang, yang masih menatapnya dengan penuh penghakiman seolah-olah mereka tahu betul apa yang tadi terjadi. Sayangnya memang, tak satu pun dari orang-orang itu mengenalnya; Morgan belum lama menjadi pemilik Charta Group dan belum sempat berinteraksi membahas bisnis dengan orang-orang ini.Sekarang dia agak menyesali keputusannya untuk tak mengajak Felisia. Kalau wanita itu ada, mungkin dia bisa mencoba menyadarkan orang-orang ini kalau mereka telah diperdaya.Morgan
Yang baru saja berteriak itu adalah Ethan Weiss. Sosok kharismatiknya langsung mengubah suasana ketika dia masuk ke restoran.Dan dia tak sendiri. Bersamanya ada seseorang yang sangat familier bagi Morgan: Jenderal Yudha.“Apa maksudnya semua ini? Bukankah yang kau adakan malam ini di sini adalah gala dinner, Bram? Kenapa aku melihatnya berbeda?”Ethan Weiss mengatakannya sambil menghampiri Bram, adiknya. Bram tampak terkejut, dan bingung.“Ethan, si barbar itu menghajar anakmu sampai kakinya patah. Sekarang kita akan menghukumnya. Apakah itu salah?” protes Bram.Bram menatap Morgan yang berdiri di tengah kepungan setengah lingkaran itu. Tatapannya sulit diartikan.“Benarkah itu, Anak Muda? Kau yang menghajar Jonathan dan membuat kakinya patah?” teriak Ethan, lantang.Tanpa dia meminta, orang-orang yang mengepung dan akan menghajar Morgan itu memberi jalan bagi Ethan. Kini Ethan dan Morgan bisa saling menatap satu sama lain tanpa terhalangi siapa pun.“Benar. Aku yang melakukannya,” k
Tak lain dan tak bukan, yang berteriak itu adalah Henry. Tadi setelah Morgan membawa Agnes keluar dari restoran, dia pun cepat-cepat menyusul.“Agnes, ayo kita pulang! Jangan lagi kau bicara dengan si pengacau ini!” ujarnya.Kemunculan Morgan, dan apa yang dilakukan menantu sampahnya itu, telah membuat malamnya kacau.Situasi di gala dinner sudah tak memungkinkan baginya untuk benar-benar menjalin relasi dengan para pebisnis top seperti yang dia rencanakan.Kini, dia hanya ingin membawa putrinya itu pulang.“Lepaskan tanganmu dari putriku, Keparat!” bentaknya saat dia sudah cukup dekat dengan mereka.Selanjutnya dia meraih tangan putrinya itu, menariknya ke arah tadi dia datang.Namun, baru juga dua langkah, putrinya itu tiba-tiba berhenti dan menarik tangannya.“Papa, bisakah Papa sekali saja tak membentak-bentak Morgan seperti itu? Bagaimanapun dia itu suamiku, Pa!” kata Agnes.Henry menatap Agnes dengan mata membulat. Dia lalu menatap Morgan dengan kebencian yang menyala-nyala.“Sa
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat