Di sebuah rumah di kawasan timur Kota HK…Prang!!!Donald melempar gelas wine di tangannya ke lantai. Pecahan-pecahan gelas itu berserakan di antara genangan cairan berwarana merah.“Sialan! Sialan kau, Bocah Tengik!” rutuknya.Dia adalah salah satu tentara paling berkuasa di militer saat ini, dan baru saja, dia diancam dan ditekan oleh orang yang usianya 20-an tahun di bawahnya, dan orang itu berhasil.Donald memang menyukai Rosa hingga di tingkatan di mana dia merasa tak bisa hidup tanpa agen kesayangannya itu.Sebenarnya dia menyadari kalau itu bisa dijadikan senjata oleh seseorang untuk menekannya. Tapi, sebab percaya pada kemampuan Rosa, dia tak pernah mengkhawatirkannya.Tak pernah dia menduga ada seseorang yang bisa menyandera Rosa, apalagi sampai benar-benar mengancam nyawanya.Kini dia mau tak mau harus memikirkan ulang permintaan spesial Jonathan Weiss padanya itu.Donald berutang budi dan menaruh hormat kepada ayahnya Jonathan, tapi kepada pria itu sendiri, dia sebenarnya b
Jonathan memapah Agnes yang telah separuh sadar itu ke sebuah ruangan.Ruangan itu terkunci, dan untuk bisa memasukinya seseorang harus menggunakan kartu akses istimewa.Jonathan, tentu saja, memiliki kartu akses tersebut sebab dia adalah salah satu member premium eksklusif di Restoran G.Pintu terbuka, dan Jonathan membawa Agnes masuk.Arman, yang sudah lama menunggu kemunculan mereka berdua, tersenyum lebar lalu menjulurkan lidahnya."Semuanya lancar?" tanyanya."Lancar, Kawanku. Semuanya berjalan sesuai rencan," jawab Jonathan.Mereka berdua memang telah merencanakan semuanya, mulai dari kemunculan Jonathan di restoran di dekat kantor Wistara Group hingga tawaran darinya agar Agnes menghadiri gala dinner.Dan kini, bersama mereka di ruangan khusus untuk tamu kehormatan itu, Agnes telah kesulitan membuka kelopak matanya.Dia masih bisa mendengar bebunyian dan suara-suara, tetapi otaknya sudah tak bisa lagi memprosesnya dengan baik."Seleramu memang yahud, Bro. Wanita ini, harus kuak
Orang-orang berseragam khusus itu adalah pengawal-pengawal pribadinya Jonathan.Mereka yang tadi berjaga di belakang restoran langsung merangsek masuk saat mendengar bunyi keras yang dihasilkan dari pintu yang didobrak Morgan.Dan baru saja, mereka melihat tuan mereka tertimpa pintu dan tak sadarkan diri.“Cepat turunkan wanita itu! Sekarang juga!” teriak salah satu dari mereka lagi.Mereka tak tahu, sosok yang mereka todong itu bisa saja melumpuhkan mereka semua dengan mudah.Tapi, saat ini, Morgan tak ingin melakukan itu. Yang menjadi fokusnya saat ini adalah Agnes.Istrinya itu harus diberi pertolongan sesegera mungkin atau sesuatu yang buruk bisa terjadi pada tubuhnya.“Dengar, aku hanya akan memperingatkan kalian sekali saja. Menyingkirlah atau kalian semua kubuat cacat!”Saat mengatakannya, Morgan membiarkan aura Dewa Perang-nya keluar, sehingga orang-orang berseragam khusus itu tercekat.Memang mereka masih menodongkan pistol ke arah Morgan, tapi tiba-tiba mereka tak bisa berge
"Semuanya, kepung dia!" seru si pria di samping Bram.Segera saja, anak-anak buahnya yang baru masuk itu melangkah maju, mengepung Morgan dari berbagai sisi.Mereka tampak berani, tentu karena saat ini Morgan tak mengeluarkan aura Dewa Perang-nya.Tetapi haruskah dia melakukannya lagi?Kembali, Morgan menatap istrinya yang berdiri jauh di belakang. Dia tak tahu apa yang dipikirkan wanita itu sekarang. Yang dia lihat: istrinya itu tampak bingung.Kemudian dia melihat tamu-tamu undangan lain yang kini juga berada jauh di belakang, yang masih menatapnya dengan penuh penghakiman seolah-olah mereka tahu betul apa yang tadi terjadi. Sayangnya memang, tak satu pun dari orang-orang itu mengenalnya; Morgan belum lama menjadi pemilik Charta Group dan belum sempat berinteraksi membahas bisnis dengan orang-orang ini.Sekarang dia agak menyesali keputusannya untuk tak mengajak Felisia. Kalau wanita itu ada, mungkin dia bisa mencoba menyadarkan orang-orang ini kalau mereka telah diperdaya.Morgan
Yang baru saja berteriak itu adalah Ethan Weiss. Sosok kharismatiknya langsung mengubah suasana ketika dia masuk ke restoran.Dan dia tak sendiri. Bersamanya ada seseorang yang sangat familier bagi Morgan: Jenderal Yudha.“Apa maksudnya semua ini? Bukankah yang kau adakan malam ini di sini adalah gala dinner, Bram? Kenapa aku melihatnya berbeda?”Ethan Weiss mengatakannya sambil menghampiri Bram, adiknya. Bram tampak terkejut, dan bingung.“Ethan, si barbar itu menghajar anakmu sampai kakinya patah. Sekarang kita akan menghukumnya. Apakah itu salah?” protes Bram.Bram menatap Morgan yang berdiri di tengah kepungan setengah lingkaran itu. Tatapannya sulit diartikan.“Benarkah itu, Anak Muda? Kau yang menghajar Jonathan dan membuat kakinya patah?” teriak Ethan, lantang.Tanpa dia meminta, orang-orang yang mengepung dan akan menghajar Morgan itu memberi jalan bagi Ethan. Kini Ethan dan Morgan bisa saling menatap satu sama lain tanpa terhalangi siapa pun.“Benar. Aku yang melakukannya,” k
Tak lain dan tak bukan, yang berteriak itu adalah Henry. Tadi setelah Morgan membawa Agnes keluar dari restoran, dia pun cepat-cepat menyusul.“Agnes, ayo kita pulang! Jangan lagi kau bicara dengan si pengacau ini!” ujarnya.Kemunculan Morgan, dan apa yang dilakukan menantu sampahnya itu, telah membuat malamnya kacau.Situasi di gala dinner sudah tak memungkinkan baginya untuk benar-benar menjalin relasi dengan para pebisnis top seperti yang dia rencanakan.Kini, dia hanya ingin membawa putrinya itu pulang.“Lepaskan tanganmu dari putriku, Keparat!” bentaknya saat dia sudah cukup dekat dengan mereka.Selanjutnya dia meraih tangan putrinya itu, menariknya ke arah tadi dia datang.Namun, baru juga dua langkah, putrinya itu tiba-tiba berhenti dan menarik tangannya.“Papa, bisakah Papa sekali saja tak membentak-bentak Morgan seperti itu? Bagaimanapun dia itu suamiku, Pa!” kata Agnes.Henry menatap Agnes dengan mata membulat. Dia lalu menatap Morgan dengan kebencian yang menyala-nyala.“Sa
Morgan meluncur ke apartemennya Vivi. Tadi dia dan wanita itu sempat saling berbalas chat. Dari apa yang dikatakan Vivi, agaknya dia sedang berada dalam bahaya.Malam sudah cukup larut saat Morgan tiba di apartemennya Vivi. Karena tak punya kartu akses, Morgan terpaksa menunggu di lobi tower setelah memberitahu Vivi kalau dia sudah tiba.Sekitar lima menit kemudian, Vivi muncul, mengajaknya masuk.“Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali. Lingkar hitam di matamu juga terlihat jelas. Kau kurang tidur belakangan ini?” cecar Morgan saat mereka berada di lift.“Begitulah. Aku terus-terusan diteror beberapa hari ini,” kata Vivi.“Diteror? Oleh siapa?”“Herman.”Morgan menghela napas. Rupanya begitu. Meski tempo hari dia telah memberi pelajaran kepada orang-orang suruhannya Herman, si dokter arogan itu ternyata belum kapok.Kalau dipikir-pikir, Morgan memang punya urusan yang belum selesai dengan Herman. Haruskah dia menyelesaikannya sekarang?Di unit apartemennya Vivi, Morgan dan Vivi dud
Tanpa diminta oleh Morgan, Vivi meraih tangan Morgan yang lain, mengarahkannya ke buah dadanya yang satunya lagi.Morgan kesulitan untuk menahan dorongan liarnya itu, sehingga dia menurut saja.Kini, dengan kedua tangannya, dia meremas-remas buah dada Vivi, membuat wanita itu mendesah dan terus mendesah sambil memejamkan mata.Morgan tahu, jika dia tak melakukan apa pun dan membiarkan dorongan liarnya itu menguasainya, interaksinya dengan Vivi ini akan semakin intens, dan pada akhirnya mereka akan berhubungan badan—sesuatu yang tak dikehendakinya.Maka Morgan pun melakukan perlawanan di dalam dirinya, mencoba menekan dorongan liarnya yang sudah semakin kuat itu, sebisa mungkin mendorongnya balik.Tapi tentu itu tidak mudah, apalagi Vivi, di hadapannya, sudah benar-benar hilang kendali karena dia mabuk berat.Desahan-desahan Vivi mulai diiringi oleh gerakan-gerakan yang membuat tubuh mulusnya itu tampak lebih menggiurkan.Ketika wanita itu membuka mata dan menatap Morgan, dia menjulurk