“Serangan drone skala besar? Apa maksudmu, Jenderal?” tanya Morgan sementara Yudha dan Komandan mendekat.“Aku baru saja mendapatkan info terbaru. Musuh kita ini rupanya telah menyiapkan setidaknya sepuluh drone untuk digunakan meneror seisi kota,” jawab Yudha.“Ini… buruk. Satu drone saja hampir membunuhku tadi. Kalau sampai sepuluh drone sekaligus, kita bisa kelabakan,” tanggap Morgan.“Anggaplah yang satu tadi itu termasuk ke dalam sepuluh drone yang mereka siapkan. Artinya tinggal sembilan lagi. Itu masih jumlah yang banyak,” komentar Kris.“Oh ya, bagaimana kalian mengatasi drone yang tadi itu?” tanya Morgan.“Dengan pesawat jet, Dewa Perang.”“Pesawat jet? Memangnya di sini ada pesawat jet?”“Di sini tidak. Kita juga tidak punya pilot pesawat tempur. Tadi itu saya secara khusus meminta pertolongan ke markas angkatan udara terdekat. Mereka kemudian mengirimkan satu jet tempur untuk menembak jatuh drone yang mengincar Anda tadi.”Ting!Sebuah ide melintas di benak Morgan.“Bagaima
Melisa berjalan dengan langkah-langkah cepat menyusuri koridor rumah sakit.Baru saja dia mendengar Gaby memanggilnya, tapi dia tak peduli. Terus saja dia berjalan. Dia harus pulang ke rumah untuk mengambil baju ganti dan beberapa hal lainnya.“Nyonya Melisa, tunggu! Anda harus tetap berada di sini!”Begitulah Gaby berseru. Dari bunyi langkah-langkahnya yang mencepat, Melisa menduga Gaby berlari.Dia lantas mempercepat langkahnya. Kesal sekali dia pada tingkah Gaby. Seorang pembantu sepertinya mestinya tak melarang-larangnya seperti ini.Saat Melisa akan tiba di ujung koridor, tiba-tiba seorang pria muncul dari kanan.Melisa menatap pria itu dengan curiga. Pasalnya, jelas sekali, orang asing yang tak dikenalnya itu menatapnya lekat-lekat.Melisa mencoba untuk tak berpikir lebih jauh, tapi si orang asing itu tiba-tiba saja memosisikan diri di depannya, menghalangi jalannya.“Hey, apa-apaan kau ini? Minggir!” ucap Melisa.Pria itu bergeming. Dia menatap Melisa tanpa mengatakan apa pun.
Gaby tak tahu kedua orang ini siapa, tapi dia bisa memastikan kalau mereka berbahaya.Jelas mereka bukan orang biasa. Dia tak bisa bertindak gegabah terhadap mereka.“Kalian mau membawaku ke mana?” tanya Gaby, menurunkan tas jinjingnya, menaruhnya di samping kanannya.“Pertanyaan yang bagus. Sayangnya kami tak harus menjawabnya,” kata si wanita. “Sekarang angkat tanganmu!”Gaby melakukan apa yang diminta si wanita yang menodongnya itu. Wanita itu kemudian memberi isyarat kepada si pria untuk menghampiri Gaby.Pria itu berpostur jangkung dengan rambut bergelombang. Hidungnya yang mancung dan kulit mukanya yang pucat membuatnya terlihat seperti model.Namun, Gaby yakin, orang ini bukan model. Kalau bukan anggota mafia, kemungkinan dia intel. Begitu dia menyimpulkan.“Diam dan jangan melawan,” kata si pria jangkung saat menaruh kedua tangan Gaby di perut dan kemudian memborgolnya.Gaby meringis sebentar. Si pria jangkung lantas mendorongnya, memintanya maju ke arah mobil.Gaby sempat men
Memanfaatkan perhatian Gaby yang teralihkan ke ponsel, si wanita yang bahunya terluka itu mencoba menyerang Gaby.Tapi Gaby bergerak lebih cepat. Nyaris instingtif, dia arahkan moncong senapan ke dada wanita itu dan menarik pelatuk.Dor!Peluru itu menembus dada si wanita, tepat di area jantung.Wanita itu pun terkapar. Matanya terbuka begitu juga mulutnya.“Casey!!!” teriak si pria jangkung.Gaby cepat-cepat mengambil ponselnya dan keluar dari mobil.Dia melepaskan satu tembakan ke arah si pria jangkung, tapi si pria jangkung berhasil menghindar dan peluru itu lagi-lagi mengenai kaca depan, menimbulkan retakan-retakan di situ.Gaby kemudian menembak ban depan mobil, membuatnya langsung kempes saat itu juga.‘Dengan begini, setidaknya dia tak akan bisa mengejarku dengan mobil,’ pikirnya.Lantas dia berlari meninggalkan tempat itu, terus berlari tanpa menoleh sekali pun.Dia masih memegangi pistol di tangan kanan, ponsel di tangan kiri, dan kedua tangannya itu masih dalam keadaan terbo
Matthew menjelaskan rencana mereka itu dengan jelas. Kemal dan Bernard menganguk-angguk, tanda bahwa mereka paham dan setuju dengan alur tersebut. Kini tinggal eksekusinya saja.“Jadi, kapan kira-kira percikan-percikan itu muncul?” tanya Kemal. Sedari tadi dia memang terlihat orang yang paling tak sabar.Matthew menengok jam tangannya, berkata, “Tak lama lagi. Kita tinggal duduk menikmati makan malam kita di sini, sambil menunggu kabar baik dari tim yang kita kerahkan.”“Semoga saja tak ada masalah. Akan repot kalau tiba-tiba ada pihak-pihak yang muncul dan merusak alur yang telah kita tetapkan itu,” sambut Bernard.“Maksudmu seperti yang terjadi di Kota KL tempo hari itu?” tanya Kemal.Bernard mengangguk. Dia lalu menatap Matthew dengan serius. Matthew bisa menebak apa yang ada di pikiran Bernard.“Tenang saja. Kegagalan di Kota KL tempo hari salah satunya disebabkan oleh persiapan yang kurang. Lagi pula yang kita kerahkan waktu itu adalah orang-orang gila yang sulit sekali diatur. P
Di sebuah pusat perbelanjaan yang ramai, di pinggiran Kota HK.Ribuan orang berlalu-lalang, di dalam pusat perbelanjaan maupun di luar.Ini memang Sabtu malam. Anak-anak muda biasanya menghabiskan waktu hingga larut di kawasan ini, bersenang-senang dengan teman atau pasangan.Sekilas melihatnya, tak ada yang istimewa. Hanya malam biasa dengan keramaian yang biasa.Namun, di balik itu semua, ada ancaman yang membayang.Beberapa di antara ribuan itu adalah para penyusup yang berada di sana bukan untuk bersenang-senang, bukan juga untuk sekadar menikmati berlalunya waktu.Mereka mengemban misi yang “mulia”. Tujuan mereka adalah menyadarkan ribuan orang itu kalau kehidupan mereka sebenarnya tak seaman yang mereka kira.Tidak mudah mengenali orang-orang itu. Masing-masing, puluhan jumlahnya, mengenakan pakaian yang membuat mereka membaur dengan sempurna di kerumunan dan lalu-lalang orang.Adapun yang membuat mereka terhubung dan bisa mengenali satu sama lain adalah alat komunikasi canggih
"Yeah!!!"Drone itu meledak. Salah satu roket yang ditembakkan ke arahnya berhasil mengenainya.Tentara-tentara itu bersorak. Morgan sendiri masih memakai teropong, memantau ke arah mana si drone itu jatuh sekaligus mencari-cari keberadaan drone-drone lain.Ini baru satu drone. Mereka harus bersiap-siap kalau-kalau ada drone lainnya.Sementara Morgan menjadi radar alami bagi pasukannya ini, orang-orang yang berhasil mereka tangkap dan kumpulkan itu kini tampak lesu.Mereka diberitahu kalau akan ada drone yang diluncurkan untuk membantu mereka menuntaskan misi. Tapi baru saja mereka melihat, dengan mata kepalanya sendiri, bahwa drone tersebut ditembak jatuh."Habislah kita. Misi ini benar-benar gagal total," kata salah satu dari mereka."Kenapa jadi begini? Bukankah kita telah melakukan persiapan dengan baik?”“Siapa yang berkhianat di antara kita? Mereka bisa tahu rencana kita sampai sedetail ini pastilah karena ada yang membocorkannya kepada mereka, kan?!”“Benar juga! Ada yang berkh
Morgan dan pasukan yang dipimpinnya baru saja meninggalkan kawasan di mana pusat perbelanjaan tadi berada.Mereka telah memastikan bahwa kekacauan berhasil dicegah, bahwa orang-orang yang diterjunkan langsung ke kawasan itu sudah mereka tangkap semua.Drone-drone yang dikerahkan pun berhasil ditembak jatuh semuanya.Ini kemenangan mutlak. Mereka berhasil menuntaskan misi dengan nilai sempurna!Dan hal yang sama pun terjadi pada tim-tim lain yang dikerahkan ke lokasi-lokasi lain.Morgan merasa bungah. Tubuhnya mendadak terasa begitu ringan. Rasanya telah sangat lama sejak dia merasakan kemenangan yang memuaskan seperti ini.Dan dengan keberhasilannya ini pun, dia seolah-olah menebus keteledorannya waktu menghadapi orang-orangnya Rudolf tempo hari.Kini Morgan bisa melupakan kekacauan yang terjadi ketika itu. Dia juga yakin dia bisa tertidur lelap malam ini, meski bukan di rumahnya.Sesuai rencana, sebab situasi belum sepenuhnya kondusif, Morgan akan menumpang dulu di markas militer Kot
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat