“Hentikan.”Suara rendah hampir tanpa nada itu membuat Flora mengerjap beberapa kali.“Kamu.”Saat akhirnya sang pemilik suara mengalihkan pandangan dari kamera dan menoleh padanya, Flora baru sadar jika orang yang pria itu maksud adalah dirinya.“Ya?”Kairo mendengus pelan. “Berhenti menatapku sambil tersenyum seperti idiot.”Alih-alih merasa tersinggung, senyum Flora malah semakin lebar. Abraham yang baru menyelesaikan sesi foto bahkan sampai mengernyit samar, menyelipkan sedikit ironi dalam tatapannya seolah menganggap Flora sudah tidak waras.“Jangan salah sangka, ini namanya senyum ramah dan sopan. Sikap seperti ini adalah landasan kesopanan seorang sekretaris.” Flora menimpali santai dengan mata yang berbinar.Kairo memindai cepat Flora dari rambutnya yang digulung rapi hingga sepatu berhak hitamnya. “Yah, kamu memang cocok dengan peran bodoh menyedihkan. Setidaknya otakmu sedikit bisa berguna.” Ujung bibir Kairo sedikit terangkat, menyunggingkan seringaian beriringan dengan nad
Jarak halte dengan rumahnya sebenarnya tidak lebih dari tiga ratus meter, namun malam ini langkah Flora terasa berat dan jarak yang tidak seberapa itu terasa amat panjang dan melelahkan. Dengan langkah yang hampir terlihat seperti diseret, Flora meniti jalan yang nyaris tidak ada seorang pun yang lewat. Helaan napas berat berkali-kali lolos dari bibirnya.Luna. Nama itu menyesaki pikirannya. Wajah wanita itu membayang jelas pada setiap ayunan kaki Flora. Isakannya, gurat kelelahannya, pun tatapannya yang goyah. Flora tidak tahu apa yang harus dilakukannya setelah ini. Keraguan yang tidak pernah diperkirakannya datang begitu saja seolah menunjukkan jika dia memang masih manusia bernurani.Melewati jalan setapak yang membelah taman kecil di depan rumahnya, Flora mendorong pintu bertepatan dengan tangannya yang memijat pelan pelipis ketika ia merasakan pening menghinggapi kepalanya. Saat ini, Flora hanya ingin cepat-cepat membersihkan diri lalu bergelung di bawah selimut yang lembut.“Ah
Studio itu hangat. Lantai pertama diperuntukkan untuk pekerjaan. Flora bisa melihat beberapa kamera tua diletakkan di meja dan rak sebagai pajangan, dan pintu sedikit terbuka di sisi kanan menunjukkan sebagian ruangan berdinding putih dengan berbagai perlengkapan pemotretan. Ada tangga spiral yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua—lantai pribadi yang sepertinya juga digunakan sebagai tempat tinggal Kairo.Flora duduk di sofa hitam empuk, satu tangannya melintang untuk memeluk lengan yang lain. Gaun tidur berlengan pendek itu sekarang baru terasa tidak nyaman. Rasa dingin karena hujan baru terasa menjalar, pun perih dari telapak kakinya yang terluka.Suara pintu dari arah kanan membuat Flora menoleh sekilas, lantas segera menunduk. Kairo datang dengan selimut tipis, mengulurkannya pada Flora dengan ekspresi agak enggan.“Terima kasih,” gumam Flora sembari menerima selimut yang segera ia gunakan untuk membalut tubuhnya. Aroma yang ‘Kairo’ sekali langsung menyambut hidungnya, k
Tidak seperti bayangan Flora, kamar Kairo ternyata cukup rapi dan aroma yang menguar di dalam ruangan sekitar lima kali lima meter yang bernuansa gelap itu terasa menyegarkan. Entah itu berasaL dari pengharum ruangan atau parfum yang dikenakan Kairo, Flora mencium aroma “kebebasan” dalam wangi seperti pepohonan di hutan.“Kalau kamu membutuhkan sesuatu, jangan mencariku. Lakukan segalanya sendiri, aku tidak ingin direpotkan dan diganggu.” Kairo menyandarkan bahunya pada daun pintu, melemparkan sorot malas pada Flora yang tengah mengamati kamarnya.Flora mengelap hidung yang masih memerah dengan tisu, matanya yang sembab mengerjap lambat. “Lalu kamu mau tidur di mana?”“Di mana lagi? Hanya ada satu kamar di sini dan aku jelas tidak mau dekat-dekat denganmu—sudah cukup kamu membuatku merinding. Jadi kalau ingin melakukan omong kosong atau enyah dari sini, saat melewati sofa ruang tamu kuharap kamu cukup tahu diri untuk tidak membuat suara apa pun.” Seusai mengatakannya dengan nada sebal
Aroma teh chamomile begitu harum dan menenangkan. Saat Flora menyesapnya, hangat dan ringan benar-benar menjadi sesuatu yang terasa spesial dengan kondisinya yang menyedihkan ini.“Selimutnya hangat, tehnya juga hangat dan enak. Saya berutang banyak pada Pak Abraham.” Flora tersenyum tulus pada Abraham yang baru kembali dari dapur dengan semangkuk bubur ayam yang tadi dibelinya.Abraham meletakkan mangkuk di depan Flora. “Melihat bagaimana kacaunya kamu sekarang, saya yakin kamu belum menyentuh makanan sejak pulang kerja.”Flora mengerjap, menatap bergantian Abraham dan bubur ayam. Ia lantas memiringkan kepala sambil tersenyum agak geli. “Saya sudah salah.”Kedua alis Abraham berkerut samar. “Apanya?”Telunjuk Flora menunjuk Abraham. “Pak Abraham ternyata tidak seburuk itu.” Flora meringis saat Abraham memberinya tatapan tajam. “Bapak memang seperti manusia berdarah dingin yang akan langsung menebas leher bawahan jika membuat kesalahan—saya yakin semua orang yang pertama kali melihat
‘Namanya bukan akhir jika tidak selesai.’Ucapan Kairo terus terngiang di kepala Flora, membuatnya terjaga meski dini hari sudah hampir pergi. Langit-langit kamar tamu di rumah Abraham menjadi objek pandang Flora sejak satu jam yang lalu. Di hamparan putih itu, Flora memproyeksikan pembicaraan singkatnya bersama Kairo. Berkali-kali. Sampai-sampai sekarang ia ingat bagaimana tepatnya ekspresi pria itu.Ada kebimbangan besar, pertarungan di batas antara logika dan nurani itu tidak ingin berhenti mengusik. Padahal dendam itu sempat membara hingga asap kelabunya seolah hendak menenggelamkan langit, namun seiring berjalannya waktu, setelah melalui berbagai macam untaian peristiwa, keraguan yang tidak pernah Flora harapkan datang begitu saja.Seharusnya waktu tidak pernah bisa menyembuhkan luka. Seharusnya waktu tidak bisa melenyapkan amarah. Dan seharusnya, Flora tidak mengenal belas kasih.Helaan napas berat Flora mengisi ruangan, seiring ia yang bangkit dari tempat tidur. Jelas ia tidak
Hangat dan nyaman. Ketika terjaga dari mimpi yang terasa panjang itu, tubuh Flora terasa ringan. Kelopak matanya perlahan terbuka, mendapati selimut tebal yang membungkus sekujur tubuhnya, dan tempat tidur empuk yang membuat punggungnya luar biasa nyaman.Butuh dua detik bagi Flora untuk menyadari jika ia tertidur di kamar tamu Abraham—tunggu. Flora bergegas memutar ingatan. Terakhir, ia hanya ingat menangis dengan Abraham yang duduk di sampingnya, lalu ... lalu—sial, sepertinya Flora ketiduran di sana. Terlalu banyak menangis, tubuh lelah, dan merasa beban tekanan antara harus melanjutkan balas dendam atau berhenti itu lenyap. Lengkap sudah. Ia ketiduran dengan perasaan lega.Oh, apa itu artinya ... Abraham yang membawanya kemari? Abraham yang itu? Wah, cukup mengerikan kalau dibayangkan.Flora terlonjak saat melihat terik yang menerobos lewat tirai yang tidak tertutup sempurna, matahari sudah cukup tinggi. Ia melompat dari selimut, bergegas keluar dari kamar. Flora sedikit tersentak
Kemarin Flora tidak terlalu menyadari, namun saat jam makan siang ini semuanya jadi terlihat gamblang. Setiap Luna lewat, beberapa karyawan akan meliriknya dengan tatapan yang ... entahlah, Flora merasa orang-orang itu sedang melakukan penghakiman kecil. Bisik-bisik yang jelas sedang menggosipkan juga menyusul, Flora menghabiskan setiap langkah menuju kantin perusahaan sambil menilai situasi.Rupanya kabar Luna sebagai pelaku perundungan ketika SMA itu sudah menjadi rahasia umum.“Perutku sedang tidak enak, rasa-rasanya aku tidak bisa makan nasi.”Ucapan yang datang dari arah kanannya membuat Flora mengejap, memutus atensi pada desas-desus bervolume rendah di sekitar mereka. Ia menoleh ke arah Luna yang berjalan di sampingnya. “Mau aku belikan bubur kalau begitu? Kamu bisa menunggu di kantin, aku akan keluar sebentar.”Luna menggeleng. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja, hanya perlu memaksakan diri sedikit.”Flora memasang wajah prihatin. “Jangan begini. Ayo kita periksa ke dokter lagi.
“Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo
Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt
Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana
“Apa ini semacam Ibu Peri dan Cinderella?” Sebelum masuk ke ruang ganti, Flora menoleh ke arah Abraham yang berdiri bersedekap dengan tampang tanpa minat.“Kamu mulai melantur.” Abraham menjawab dengan nada tak acuh.Flora berdecak masam. “Pasti di mata Bapak saya terlihat seperti upik abu kumal yang perlu sihir modern agar layak dilihat. Saya juga punya baju bagus di rumah, tidak perlu buang-buang uang seperti ini.”Mereka sedang ada di butik—tempat yang sama seperti saat Flora bereksperimen dengan melakukan kombinasi aneh terhadap pakaian Abraham, bahkan pegawai yang melayani mereka juga masih sama. Awalnya Flora berpikir ini semacam pembalasan dendam, namun dress yang diberikan padanya sekarang tampak sangat menawan.“Anggap saja sebagai investasi untuk setidaknya tiga tahun ke depan. Setiap kali saya butuh bantuan kamu lagi, pakai itu saja. Kamu mendapat baju baru, saya juga mendapat keuntungan karena jasa kamu. Kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.”Mulut Flora terbuka sepa
“Kairo?”Dahi Flora mengernyit dalam saat melihat nama ‘Kairo’ yang tercantum sebagai nama pengirim paket yang baru ia terima. Ia meletakkan kardus kecil itu di meja, lalu mulai membukanya.Kebingungan Flora semakin menjadi-jadi saat menemukan sebuah sendok bayi berwarna biru di dalam plastik penyimpanan barang bukti seperti yang sering polisi gunakan. Oh, dan ada secarik kertas di dalam kardus itu. Isinya singkat saja: Lakukan tes DNA dengan ini.“Sendok bayi? Tes DNA? Tes DNA dengan siapa? Apa-apaan dia—oh ....”Mendadak, Flora membeku, jantungnya terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Jangan bilang sendok bayi ini milik ... putra Luna.Jantung Flora berdentam keras. Ia tahu apa yang Kairo inginkan. Pria itu menyuruh Flora melakukan tes DNA putra Luna dengan Sakha.Bagaimana bisa Kairo mendapatkan sendok ini? Lalu, bukankah sudah jelas jika Sakha adalah ayah biologis anak Luna? Tidak mungkin Sakha mau mengurus anak orang lain dan terlihat sangat tulus jika anak itu bukan darah dagin
Luna menatap alamat di buku catatannya dan bangunan di depannya secara bergantian, memastikan ia tidak salah. Ia kemudian menengadah untuk menatap hamparan langit malam tanpa bintang, mencoba menguatkan tekad. Mengembuskan napas sekali, ia akhirnya melangkah menuju pintu, menekan bel.Jantungnya berpacu selagi menunggu seseorang dari dalam sana membukakan pintu. Untuk mengalihkan kegugupan, ia merapikan penampilan sembari tarik-buang napas berkali-kali.Derak halus pintu yang perlahan terbuka membuat kegugupan menyerang dua kali lebih cepat. Ia menahan napas demi menemukan seseorang dari balik pintu yang mengenakan pakaian santai—celana panjang dan kaus lengan pendek.“Se-selamat malam, Tuan Kairo.” Luna sudah mencoba mengendalikan suaranya, namun ia masih tetap terbata.Kairo mengernyit, menelengkan kepalanya. “Ya?”“Ah, maaf mengganggu malam-malam.” Luna berdeham, mengambil napas. Tidak ada yang perlu ditakutkan, ia sudah berlatih. “Saya berencana membuat paspor. Mengenai foto, saya
Sebenarnya situasi macam apa ini? Flora mengitarkan pandangan pada orang-orang yang mengelilingi meja. Kairo, Abraham, dan Luna. Lalu ia mendesah samar menyadari keabsurdan yang sedang terhampar di depannya. Kairo, yang telah membangkitkan iblis dalam dirinya. Abraham, yang menjadi penentu keberhasilan balas dendamnya. Dan Luna, yang meluluhlantakkan dunianya sekaligus menjadi target balas dendam. Ketiga orang itu sedang berada di meja yang sama, duduk melingkari meja dengan Flora yang menjadi bagian dari mereka. Bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun, hal semacam ini tidak pernah tergambar. “Flo? Flo ....” Panggilan dari Luna itu membuat lamunan Flora buyar. Ia menoleh ke arah kirinya. “Ya?” “Kenapa tidak langsung dimakan? Nanti pastanya keburu dingin.” “Ah, ya ....” Tiba-tiba Flora merasa kikuk, melirik Kairo yang duduk di sebelah kanannya. Pria itu tampak santai menyesap air putihnya. “Oh, ratatouille? Restoran ini menyediakan makanan seperti ini juga, ya? Pak Abra sering ma
Kemarin Flora tidak terlalu menyadari, namun saat jam makan siang ini semuanya jadi terlihat gamblang. Setiap Luna lewat, beberapa karyawan akan meliriknya dengan tatapan yang ... entahlah, Flora merasa orang-orang itu sedang melakukan penghakiman kecil. Bisik-bisik yang jelas sedang menggosipkan juga menyusul, Flora menghabiskan setiap langkah menuju kantin perusahaan sambil menilai situasi.Rupanya kabar Luna sebagai pelaku perundungan ketika SMA itu sudah menjadi rahasia umum.“Perutku sedang tidak enak, rasa-rasanya aku tidak bisa makan nasi.”Ucapan yang datang dari arah kanannya membuat Flora mengejap, memutus atensi pada desas-desus bervolume rendah di sekitar mereka. Ia menoleh ke arah Luna yang berjalan di sampingnya. “Mau aku belikan bubur kalau begitu? Kamu bisa menunggu di kantin, aku akan keluar sebentar.”Luna menggeleng. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja, hanya perlu memaksakan diri sedikit.”Flora memasang wajah prihatin. “Jangan begini. Ayo kita periksa ke dokter lagi.
Hangat dan nyaman. Ketika terjaga dari mimpi yang terasa panjang itu, tubuh Flora terasa ringan. Kelopak matanya perlahan terbuka, mendapati selimut tebal yang membungkus sekujur tubuhnya, dan tempat tidur empuk yang membuat punggungnya luar biasa nyaman.Butuh dua detik bagi Flora untuk menyadari jika ia tertidur di kamar tamu Abraham—tunggu. Flora bergegas memutar ingatan. Terakhir, ia hanya ingat menangis dengan Abraham yang duduk di sampingnya, lalu ... lalu—sial, sepertinya Flora ketiduran di sana. Terlalu banyak menangis, tubuh lelah, dan merasa beban tekanan antara harus melanjutkan balas dendam atau berhenti itu lenyap. Lengkap sudah. Ia ketiduran dengan perasaan lega.Oh, apa itu artinya ... Abraham yang membawanya kemari? Abraham yang itu? Wah, cukup mengerikan kalau dibayangkan.Flora terlonjak saat melihat terik yang menerobos lewat tirai yang tidak tertutup sempurna, matahari sudah cukup tinggi. Ia melompat dari selimut, bergegas keluar dari kamar. Flora sedikit tersentak