"Kenapa, Mas dengan kulkasnya?" tanya Mahira dengan santai. "Kenapa kulkasnya dikunci? Aku mau minum air dingin!" bentak Nizam geram. "Maaf, Mas! Aku sengaja kunci kulkas karena aku baru saja menuhi isi kulkas itu dengan belanjaan yang dibeli Mas Rahman. Aku gak mau dong, kamu nanti ngambil apa yang udah dibelikan untuk aku dan anak-anak. Kan, sekarang kita makan masing-masing!" jawab Mahira. "Kamu benar-benar perhitungan sama suami!" "Jelas dong harus! Soalnya Mas juga gitu sama aku dan anak-anak! Mas selalu memberi apa yang Siska dan Ibu minta tanpa memikirkan perasaan kami jadi aku hanya meniru apa yang telah kamu ajarkan, Mas!" jawab Mahira. Dia, melipat kedua tangan di depan dada dan danau menikmati wajah kesal Nizam. "Sialan, kamu! Cepat buka kulkas ini!" titah Nizam. "Maaf, Mas gak bisa! Lagipula kulkas itu yang beli Ibu dan listriknya aku yang bayar, jadi kamu gak ada hak!" jawab Mahira. "Kalau begitu, apa gunanya kamu jadi istri? Percuma aku punya istri kalau kamu bers
"Kayla, cerita sama Ibu!" ucap Mahira dengan lembut. "Ayah beli bakso, Bu! Jadi Bila nanya, mana bakso untuk dia? Tapi kata Ayah, cuma beli untuk Tante Siska aja. Jadi Bila nangis. Kenapa Ayah tidak pernah membelikan kami makanan? Selalu Tante Siska saja. Ayah juga sering membentak kita berdua, Bu! Ayah nggak sayang sama kita!" ucap Kayla dengan mata berkaca-kaca sambil memeluk adiknya. "Benar, Mas yang Kayla katakan itu?" tanya Mahira seraya menatap tajam pada Nizam. "Emangnya kenapa kalau aku belikan untuk Siska? Mereka berdua kan tanggung jawab kamu! Jadi kalau mereka mau apa-apa, ya minta sama kamu, bukan ke aku!" jawab Nizam tanpa merasa bersalah. "Kamu itu kalau ngomong dipikir, Mas! Aku dan anak-anak sebenarnya tanggung jawab kamu! Tapi kamunya aja yang zolim sama istri dan anak-anak kamu. Lebih memilih memenuhi kebutuhan keluarga kamu daripada kami! Denger ya, Mas! Rezeki yang kamu berikan kepada keluarga kamu itu ada hak kami bertiga. Jadi jika kami tidak ridho kamu lihat
"Bu, ada anak-anak, jangan ngomong kayak gitu!" tegur Nizam pada Bu Hartini. Untung saja Kayla dan Bila sedang asyik menonton di handphone yang dipinjamkan Mahira. "Ibu udah benar-benar benci, Man sama Nizam! Jangankan Mahira, dengan anak-anaknya saja dia bersikap seperti itu! Gak ada yang bisa diharapkan lagi dari laki-laki seperti itu, Ra! Dunia gak apalagi akhirat! Pantas saja almarhum Bapak dari awal menolak Nizam untuk menjadi menantunya! Mungkin beliau sudah feeling Nizam bukan lelaki yang baik. Entah apa yang kamu lihat dari Nizam! Sampe kamu ngotot tetap ingin menikah dengannya!" cecar Bu Hartini. "Bu, udah! Jangan ungkit masa yang telah lalu! Kasihan Mahira!" ucap Rahman. Dia melirik ke arah Mahira yang hanya bisa menundukkan kepala. "Dek, jangan terlalu dipikirkan, ya! Ibu ngomong gitu karena beliau kuatir sama kamu dan anak-anak! Abang serahkan keputusan sama kamu, Dek! Jika kamu merasa tidak bisa bertahan lagi dengan suamimu, lepaskanlah! Tapi, jika kamu yakin, dia akan
Dilihatnya Siska sedang mengomel karena minyak goreng yang tertumpah. "Ngapain kamu?" tanya Bu Hartini. "Ini! Gara-gara anak Ibu yang gak mau masak, jadi saya yang harus turun tangan!" jawab Siska. "Kok jadi salah anak saya?" Bu Hartini balik bertanya. "Ya iyalah! Coba ya, Mbak Mahira itu ikut apa perintah Mas Nizam, jadinya kan gak kayak gini? Saya yang malah disuruh nyiapin makanan!" gerutu Siska. "Eh, Siska! Salahin Mas kamu itu! Jadi suami gak guna! Mau seenaknya saja! Minta dilayani sebagai suami tapi gak pernah memberi hak Mahira sebagai istri!" cecar Bu Hartini. "Siapa yang bilang Mas Nizam gak ngasih haknya sebagai istri? Rumah sudah ada. Kendaraan juga sudah ada. Uang belanja juga dikasih, kan? Apalagi yang kurang? Anak Ibu saja yang keterlaluan sama suami. Ngebangkang terus!" balas Siska. "Rumah ini saya yang kasih Dp bukan Nizam. Kendaraan yang kamu bilang itu, Mahira dapatkan dari sebelum menikah dengan Nizam! Dan uang belanja yang kamu bilang itu, saya mau tanya sa
Pagi ini Mahira sengaja membuat sarapan untuk anak-anak dan Ibunya saja. Seperti kesepakatan yang dia buat dengan suaminya.Mahira membuat sarapan kali ini yaitu nasi goreng dengan topping sosis, bakso dan telur dadar. Ditaburi dengan bawang goreng dan tak lupa kerupuk telah Mahira siapkan untuk Ibu dan kedua anaknya. Mereka menyantap makan pagi dengan gembira. Kayla dan Bila pun merasa senang karena sarapan ini begitu istimewa. Nizam keluar dari kamar setelah selesai mandi dan berpakaian rapi. Nizam melirik ke arah meja makan. Terlihat istri, anak serta mertuanya begitu menikmati nasi goreng buatan Mahira. Dia menelan ludah. Merasa gengsi untuk meminta tapi perutnya keroncongan karena tadi malam tidak makan.Mahira yang melihat Nizam melirik-lirik ke meja makan kemudian berdiri dan mengambil kopi yang telah dibuatkannya untuk Nizam. Walau bagaimanapun kopi tetap disediakan oleh Mahira. "Ini Mas, kopinya udah aku buatin dari tadi. Aku taruh di sini ya!" ucap Mahira seraya meletakka
"Kenapa kamu matikan teleponnya, Sus?" tanya seorang pria di seberang, temannya Bu Susi. "Ada Siska! Aku gak mau dia mendengar percakapan kita!" jawab Bu Susi "Oh, ada Siska. Jadi, sampai kapan kita kucing-kucingan sama anak-anakmu?" tanya pria itu lagi. "Nantilah, aku belum tahu sampai kapan! Aku masih nyaman dengan keadaan seperti ini!" jawab Bu Susi lagi. "Terserah kamu aja deh, Sus!" timpal pria itu lagi. "Ya sudah, kalau begitu aku mau mandi dulu, ya! Kamu kerja yang rajin, jangan males-malesan! Tahunya minta uang aja sama aku!" gerutu Bu Susi. "Yah, mumpung kamu ada usaha, Sus! Kalau aku kan kerjanya serabutan. Kamu tahu sendiri penghasilanku berapa. Cuma bisa untuk rokok dan pulsa aja!" jawab pria itu. "Iya, bawel! Dah dulu ya! Kamu kerja hati-hati!" pesan Susi. "Oke, sampai ketemu nanti siang!" "Iya, Hen!" jawab Bu Susi lalu mengakhiri teleponnya. Bu Susi beranjak dari pembaringan dan keluar dari kamar menuju dapur. Dilihatnya meja makan bersih tanpa ada apapu
Mahira menuju kamarnya kemudian meraih handphone yang diletakkannya di dalam tas. Kemudian dia menghubungi Rizal, adik kelasnya yang janji akan memasang CCTV di rumahnya. "Halo, assalamualaikum, Mbak!" jawab Rizal. "Wa'alaikumussalam, Zal! Kamu di mana? Kamu jadi datang, kan hari ini?" tanya Mahira. "Maaf banget, Mbak! Hari ini Rizal gak bisa datang ke rumah Mbak. Kebetulan ada kerjaan yang nggak bisa ditinggalkan. Paling kalau bisa masang besok atau lusa, Mbak! Maaf banget ya, Mbak! Rizal juga baru mau ngabarin ke Mbak!" jawab Rizal. "Oh gitu, ya udah nggak papa, Zal! Mbak pikir kamu lupa. Kalau memang ada kerjaan, Mbak nggak bisa maksa kamu juga. Sesempatnya kamu aja, Zal. Tapi kalau kamu mau datang, kamu kabarin Mbak dulu, ya!" pinta Mahira. "Iya, Mbak! Pasti Rizal ngabarin kalau mau ke rumah Mbak." "Ya udah kalau gitu, Zal! Makasih sebelumnya ya, assalamualaikum!" ucap Mahira mengakhiri panggilan. "Waalaikumussalam, sama-sama Mbak!" jawab Rizal Mahira kembali menaruh
"Yah, Ibu nggak mau aja nanti buat perkara dan masalah baru! Kamu tahu sendiri gimana Nizam itu! Apa-apa di perkarain, apa-apa dimasalahin! Ibu sampai pusing lihatnya!" gerutu Bu Hartini. "Iya, Bang! Belum lagi kalau nanti Siska datang genit-genit sama Abang! Bikin bete aja!" timpa Mahira. "Ya sudah, kalau gitu abang nggak perlu pamitan lagi sama mereka. Cukup sama ibu dan Mahira aja. Sampaikan aja salam Abang pada mereka ya!" ujar Nizam seraya tersenyum. "Insya Allah nanti Mahira sampaikan, Bang!" jawab Mahira. "Bang, Mahira lanjutin masak dulu ya! Abang ngobrol bareng Ibu aja di ruang tengah!" pinta Mahira. "Oke, sip Dek! Masak yang enak ya!" gurau Rahman. "Pasti, Bang! Apa sih yang nggak untuk Abangku tersayang!" Mahira balik menggoda Abangnya. Rahman malah terkekeh mendengar godaan dari Mahira. Rahman bersama Bu Hartini melangkah ke ruang tengah sambil menonton TV. "Ada kejadian apa tadi malam, Bu?" tanya Rahman saat mereka sudah duduk di sofa bed. "Kepo juga ya kam
Semua mata tertuju pada Bu Susi. Bukan hanya karena kedatangannya yang tiba-tiba, tetapi juga karena ucapannya. "Kamu ngapain, Mel? Suruh Ibu pulang ke rumah lagi? Bukannya kamu yang mau tinggal di sana?" tanya Bu Susi pada Melani. "Mel nggak pernah bilang kalau kami mau tinggal di sana! Tapi Ibu sendiri yang memaksa untuk pindah ke rumah itu! Sekarang Mel mau kasih tahu Ibu, kalau Mel dan Mas Farhan dapat rumah dinas yang cukup besar. Jadi kami tidak akan pindah ke rumah itu! Sekarang nggak ada alasan lagi Ibu untuk menetap di rumah Nizam! Biarkan mereka membina rumah tangga mereka bersama anak-anaknya. Dan ibu bisa pulang ke rumah seperti sedia kala!" titah Melani. "Ibu nggak mau pindah lagi! Ibu capek! Mendingan di sini ada yang bantu ngurusin ibu. Ibu ini udah tua Mel, harusnya ibu nih, nggak perlu bekerja lagi!" ucap Bu Susi. "Siska kan, tinggal sama Ibu! Jadi apa gunanya anak perempuan Ibu itu, kalau dia nggak ngurusin ibu? Siska juga punya tanggung jawab, Bu! Mahira hany
"Mbak Melani!" Nizam tak percaya di ambang pintu berdiri Melani, kakak kandungnya beserta suaminya, Farhan. "Sekali kamu sentuh Mahira, Mbak laporin kamu ke polisi!" ancam Melani. Dia mendekati Mahira diikuti Farhan yang melangkah di belakangnya. "Mbak, kok malahan belain dia, sih? Yang adik Mbak itu aku, bukan Mahira!" protes Nizam. Dia tak percaya justru kakaknya sendiri membela istrinya. "Mbak membela bukan lihat dia adik Mbak atau siapa, tapi Mbak membela yang benar!" sahut Melani. "Mbak pikir dia benar? Dia udah nampar Nizam dua kali dan Nizam sedikitpun belum membalasnya! Apa Itu yang Mbak bela? Yang sudah kurang ajar pada suaminya?" cecar Nizam. "Mbak gak tau apa yang terjadi, tapi Mbak gak akan izinkan kamu main tangan pada istrimu!" balas Melani. "Ada apa ini?" Bu Hartini keluar dari kamar masih dengan menggunakan mukena. "Kenapa ribut sekali kedengarannya?" tanya Bu Hartini lagi. "Ibu!" sapa Melani. Dia kemudian mendekati Bu Hartini dan menyalaminya. "Melani,
Nizam baru saja akan ke kantin kantor. Siang ini memang dia tidak ingin pulang ke rumah untuk makan siang. Hatinya masih kesal karena kejadian pagi tadi. "Bisa-bisanya dia melakukan itu padaku! Dasar istri gak berguna!" maki Nizam dalam hati. "Hei, Bro! Tumben makan di kantin?" tanya Doni, rekan kerja Nizam satu divisi. "Iya, Mahira lagi gak enak badan, dia gak masak! Terpaksa aku makan di sini! Padahal kamu tau sendiri, kan, aku paling gak bisa makan di luar!" jelas Nizam. "Bilang aja, kamu pelit, Zam! Gak bisa makan di luar? Kayak orang gak tau kamu, aja!" cibir Doni dalam hati. "Oh, istrimu lagi sakit!" Doni manggut-manggut. "Iya," jawab Nizam. Doni dan Nizam memilih tempat di sudut ruangan. Baru saja Nizam hendak duduk di bangku kantin terdengar bunyi pesan masuk dari ponselnya. Nizam membuka pesan. Terlihat kiriman sebuah foto yang masih buram. Nizam kemudian menekan layar ponsel untuk memperjelas foto tersebut. Betapa dia terkejut melihat foto yang dikirimkan oleh S
"Ra, ibu tadi malam tidak sengaja terbangun. Saat ibu ingin mengambil wudhu untuk tahajud dan melewati kamar Siska, terdengar suara orang berbicara. Ibu penasaran sehingga Ibu menguping siapa yang dini hari seperti ini berbicara dengan Siska. Ternyata ibu mendengar suara suamimu, Nizam!" jelas Bu Hartini. Beliau menarik napas dan membuangnya perlahan. Mahira hanya diam mendengarkan penjelasan ibunya. "Dan kamu tahu, apa yang mereka bicarakan? Nizam meminta Siska melayaninya!" Mahira membelalakkan matanya tak percaya. "Apakah yang pernah kudengar itu benar adanya? Mereka ada hubungan?" batin Mahira. "Namun di situ Siska menolak dengan alasan capek dan besok dia harus bekerja. Dia menyuruh suamimu untuk meminta kamu yang melayaninya. Tapi suamimu menolak karena katanya dia tidak sedang mood dengan kamu! Ibu benar-benar nggak habis pikir, Ra! Mereka itu kan adik-kakak! Bagaimana bisa mereka melakukan hubungan terlarang seperti itu?!" Bu Hartini merasa heran. "Memang Ibu tidak meli
"Buat sarapan apa, Ra?" tanya Bu Hartini mendapati putrinya sedang mengaduk-aduk sesuatu di kuali. "Ini, Bu! Mi goreng! Yang biasa Ibu bikin untuk sarapan Ira sama Bang Rahman dulu." "Pake resep yang sama?" tanya Bu Hartini seraya tersenyum. "Iya, Bu! Sama! Mudah-mudahan rasanya gak beda jauh sama buatan Ibu!" ujar Mahira. Dia menuangkan kecap manis ke dalam kuali dan kembali mengaduknya. "Pasti sama rasanya kalau resepnya sama!" jawab Bu Hartini. Mahira tersenyum. "Ra, kamu sudah hubungi Dila, bilang kalau kamu gak datang lagi ke butik?" tanya Bu Hartini. Mahira menatap Ibunya. Dia mengecilkan api kompor dan duduk di hadapan Ibunya. "Bu, Ira udah ngomong sama Dila tapi Ira bilang kalau Ira sekarang gak bisa datang tiap hari. Nanti, dalam seminggu paling dua atau tiga kali Ira ke sana! Mas Nizam, kan kerja juga, Bu! Dia gak bakalan tau juga Ira pergi atau gak!" bisik Mahira. "Iya, juga, ya! Dia kan, pergi kerja pagi! Pulang juga siang pas makan. Oh ya, hari ini dan seter
"Ibu!" Nizam membelalakkan matanya. Dia langsung menurunkan tangannya yang sudah sempat terangkat. "Iya, saya! Emangnya kenapa?" tanya Bu Hartini sinis. Dia mendekati Mahira. "Bu …bukannya Ibu pulang sama Bang Rahman?" tanya Nizam gugup. "Kenapa kamu pikir saya akan pulang? Untuk membiarkan putri saya kamu sakiti lagi! Nggak akan pernah, Nizam!" jawab Bu Hartini emosi. "Nggak gitu, maksudnya, Bu! Mahira terlalu pelit jadi orang. Siska udah kelaparan dan minta makan. Dan Mahira nggak mau ngasih!" Nizam memberi alasan. "Kalian ini, orang bodoh atau memang orang yang pura-pura bodoh?! Kesepakatannya sudah jelas! Mahira tidak akan mengurus masalah makanan kalian lagi, tapi masih itu juga yang kalian protes! Heran, saya!" ucap Bu Hartini dengan ketua. "Ra, masuk ke dalam kamar!" titah Bu Hartini. Mahira menganggukkan kepala. Di kemudian langsung melangkah menuju kamarnya. "Ra, kasih dulu makanannya ke Siska!* seru Nizam. "Bayar!" ucap Mahira tanpa melihat Nizam. "Uangku yang
Bu Hartini kembali ke kamar cucu-cucunya. "Kenapa, Bu? Sepertinya kesal sekali setelah bertemu dengan besan!" goda Rahman. "Bukan lagi, Man! Bisa-bisa Ibu darah tinggi dibuatnya. Mulutnya itu, lho! Seenaknya ngatain Mahira dan bilang Ibu gak pernah mendidik anak Ibu! Lah, dia sendiri gimana? Emang sudah benar kelakuan anak-anaknya? Yang laki gak bertanggung jawab dan egois. Yang perempuan genit minta ampun! Kayak jadi orang tua yang paling benar aja!" tutuk Bu Hartini. "Sabar, Bu! Ibunya Mas Nizam emang kayak gitu. Dari dulu sifatnya gak berubah! Ira sebenarnya masih bertanya-tanya apa tujuan dia tinggal di rumah ini! Kayak ada sesuatu hal yang direncanakannya bersama Siska!" timpal Mahira. "Benar, Ra! Ibu juga ngerasa begitu! Dia dan anak perempuannya itu pasti memiliki niat yang jahat khususnya ke kamu!" sahut Bu Hartini. "Ibu, dan kamu, Ra!Jangan menuduh sebelum ada bukti! Itu namanya suudzhon!" tegur Rahman. "Kita gak nuduh, Bang! Hanya curiga! Abang bayangin aja! Siska
"Mahira, kamu di mana? Kenapa tidak ada makanan di atas meja?!" teriak Bu Susi. Mahira yang sedang berada di dalam kamar anak-anaknya bersama Rahman dan Bu Hartini sedikit terkejut mendengar teriakan Bu Susi, mertuanya. Karena mereka tidak mendengar ucapan salam dari luar. "Mahira, kamu dengar nggak, saya panggil? Kamu di mana sih? Budeg apa?!" teriak Bu Susi lagi. Mahira segera berdiri namun ditahan oleh Bu Hartini. "Biar ibu saja yang keluar! Kamu diam di sini!" titah Bu Hartini. "Baik, Bu!" jawab Mahira sambil menganggukkan kepala. Bu Hartini melangkah menuju pintu dan membukanya. Kemudian dia menghampiri besarnya yang sedang duduk di meja makan. "Bu Susi, baru pulang?" tanya Bu Hartini sambil melipat tangan di dada. "Ya, iyalah! Emangnya nggak lihat apa, saya baru nyampe?! Mana anak kamu? Suruh siapin makanan buat saya! Saya laper banget, tadi di toko nggak sempat makan!" jelas Bu Susi. "Saya nggak tau, soalnya nggak ada ucapan salam dari depan. Tiba-tiba terdengar te
"Saya nggak ada maksud nyakiti Mahira, Bang! Saya hanya minta Mahira menghapus status WAnya, hanya itu saja?" jawab Nizam ketakutan. Baru kali ini dia berhadapan dengan Rahman yang terlihat begitu emosi. "Apapun alasannya, kamu sudah berani menyakiti adik saya! Apalagi kalau saya tidak ada di sini! Bisa-bisa adik saya, kamu bunuh!" ucap Rahman dengan mata nyalang. "Bang, jangan gitu dong! Saya nggak akan mungkin sampai segitunya nyakitin Mahira. Sampe Abang menuduh saya sejahat itu! Semua ini terjadi karena Mahira yang memulainya terlebih dahulu. Saya merasa kesal karena sebagai suami saya tidak dianggap. Masa dia buat di status WA mau ganti suami. Maksudnya apa, coba?" tanya Nizam. "Kamu, kan bisa tanya baik-baik sama dia? Kenapa dia melakukan itu? Tidak akan mungkin ada asap jika tidak ada api! Sekarang abang mau tanya sama kamu, Mahira! Kenapa kamu membuat status seperti itu?" "Mas Nizam duluan, Bang! Dia buat status WA mau tukar tambah istri! Dipikirnya Mahira apaan? Dan