Bab 19) Mewujudkan Keinginan FahriSembari sesekali melirik sang suami yang masih tertidur, Hanum memilih bermain ponsel. Masih ada waktu setengah jam lagi untuk membangunkan suaminya. Lelaki itu terlihat sangat lelah dan butuh istirahat.Hanum mengerti suaminya berada di posisi yang sangat sulit. Di satu sisi ia harus menuruti orang tuanya. Namun di sisi lain ia tidak boleh mengabaikan Hanum sebagai istri. Benar, Fahri sudah berusaha untuk bersikap adil. Akan tetapi, bagaimana keadilan bisa ditegakkan jikalau ibu mertua selalu berperan sebagai penentu setiap keputusan yang mereka ambil?Dia tahu apa yang ibu mertuanya inginkan. Sebagai istri, ia akan berusaha untuk menjalani perannya sebaik mungkin, walaupun mungkin tak sempurna. Dia tak pandai memasak dan tidak bisa membantu suami bekerja di sawah. Itu memang kekurangannya. Namun apakah dengan kekurangan itu, lantas ia di anggap tidak pantas mendampingi Fahrian Muzaffar Shiddiq, putra kesayangan di keluarga besar haji Yahya?Rasanya
Bab 20) Menantu Penuh KejutanIsmah menatap nanar kepergian anak dan menantunya. Suara deru motor menimbulkan debu-debu beterbangan menghiasi halaman. Dia benar-benar tak menyangka. Maksud hati ingin membuat Hanum terpukul dengan apa yang ia lakukan, tapi ternyata tidak. Hanum rupanya sosok menantu yang penuh dengan kejutan. Entah apa yang sedang direncanakan oleh Hanum. Tumben wanita muda itu mau diajak Fahri untuk mengajar di TPA, padahal Ismah tahu, dulu Hanum pernah menolak dengan alasan belum cukup ilmu untuk mengajar. Ismah berpikir mungkin karena saat itu Hanum sadar diri, bahwa pendidikannya memang tidak memadai untuk mengajar anak-anak mengaji. Ismah yakin itu karena Hanum memang tidak pintar. Jika Hanum memang benar-benar berpendidikan tinggi, buat apa hanya diam di rumah, tidak mau diajak mengajar oleh suaminya? Apa guna ijazah kalau tidak di pakai untuk mengajar? Bahkan Hanum juga tidak bersedia jika diminta oleh ibu-ibu membaca doa di saat acara yasinan ibu-ibu pada set
Bab 21) Kedatangan Yasmin Bahkan kini gaji yang diterima oleh Zainab tidak lagi full karena harus dipotong dengan cicilan di bank. Setelah ayah Zaid meninggal, Zainab membeli sebuah rumah kecil dengan uang hasil penjualan emas simpanan terakhirnya, kemudian rumah itu direnovasi sehingga menjadi rumah yang sekarang. Namun akibatnya ia harus berhutang banyak, tak kurang dari 50 juta, dengan jangka cicilan sekitar 10 tahun. Selama itu pula ia harus prihatin. Untung saja Zaid masih sekolah dasar. Dia hanya butuh uang untuk keperluan sehari-hari dan jajan Zaid. Untuk beras, ia tidak perlu khawatir, karena Zainab pun bekerja di sawah, walaupun sawah yang dikerjakannya adalah milik orang lain dengan cara bagi hasil. Cukup lama keduanya berpelukan, mencurahkan kesedihan masing-masing tanpa kata. Kekecewaan yang menumpuk di hati karena hidup tak sesuai dengan ekspektasi, terutama Ismah yang sangat berharap bisa meraih kebahagiaan dan kenyamanan di masa tuanya. Zainab menyeka air matanya yan
Bab 22) Mengembalikan Baju Yasmin Hanum mengekor langkah sang suami masuk ke dalam rumah. Tiga orang yang tengah duduk di sofa itu memandangi mereka seakan tanpa kedip. Hanum berusaha untuk tetap tenang melihat kehadiran Yasmin diantara ibu mertua dan kakak iparnya. "Hai, Yasmin," sapanya ramah sembari menyodorkan tangannya. "Halo juga, Hanum," sambut Yasmin. Perempuan itu masih tidak bergerak, duduk diantara Ismah dan Zainab. "Jangan banyak basa-basi, Hanum. Yasmin ke sini karena ia ingin mengambil baju yang kemarin dipinjamkan kepadamu. Kamu belum mengembalikannya, kan?" tukas perempuan tua itu. "Oh, iya." Hanum kembali teringat dengan baju Yasmin yang dipinjamnya malam itu. "Maaf ya, aku belum sempat berkunjung ke rumah paman haji Alwi," ujar Hanum lagi. "Itu cuma alasan kamu saja, Hanum. Kamu suka kan, dengan pakaian itu? Ah, siapa juga yang nggak suka dengan barang bermerek? Baju Yasmin itu semua bagus-bagus. Kamu berharap baju itu diberikan saja kepadamu, bukan?" Seperti b
Bab 23) Jebakan"Tumben berangkatnya sekarang? Ini belum masuk jam belajar di TPA lo, Kak," protes Hanum saat melihat sang suami sudah rapi, mengenakan baju koko berwarna putih dengan bawahan sarung bermotif kotak-kotak. Tak lupa kopiah putih melekat di kepalanya. Keduanya baru saja selesai makan siang dan menunaikan ibadah shalat zuhur. Seharusnya ini adalah waktu istirahat untuk mereka. "Emang sengaja, Sayang, karena mau mampir dulu ke rumah paman haji Alwi. Katanya beliau ada yang ingin dibicarakan. Mungkin menyangkut soal teknis menyambut bulan suci Ramadhan di mushola kita," jawab Fahri. "Oh, gitu. Ya sudah, nggak papa." Hanum menghela nafas. Entah kenapa kali ini ia merasa berat melepaskan kepergian sang suami. Firasatnya tidak enak. Lelaki itu mendekat perlahan, merentangkan tangan, memeluk sang istri yang masih mengenakan mukenanya. "Nanti kamu nyusul ya, Sayang. Berangkat sendiri jalan kaki. Tidak apa-apa, kan?" Hanum menggeleng. "Tidak apa-apa, Kak." Lelaki itu masih m
Bab 24) Tidak Ada Bukti"Paman!" Masih dengan suaranya yang meraung, Yasmin menubruk lelaki setengah tua itu, memeluknya kuat-kuat. "Dia...." Jari telunjuknya menuding sosok Fahri yang hanya bisa berdiri mematung."Ada apa? Ada apa ini? Kenapa kalian berduaan di rumahku? Apa yang sudah terjadi?" Lelaki itu mengurai pelukan sang keponakan seraya menatap Fahri dengan perasaan bingung.Dia tidak habis pikir, kenapa Fahri bisa sampai berada di rumah ini saat dia dan istrinya sedang tidak ada di rumah.Sehabis makan siang dan shalat zuhur, haji Alwi dan istrinya memang pergi ke kebun kelapa yang letaknya tidak berapa jauh dari rumahnya. Namun ketika sampai di kebun, ia melupakan parang yang seharusnya ia bawa. Akhirnya haji Alwi kembali ke rumah melewati pintu belakang, karena saat ia akan membuka pintu depan rumah, ternyata dalam keadaan terkunci."Katakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Paman, Fahri. Kenapa kamu sampai berada di rumah ini bersama Yasmin, sementara kami tidak ada di
Bab 25) FitnahMerasa tidak punya pilihan, akhirnya Fahri pulang ke rumah. Dia hanya mendapati Ismah dan Mila di rumah ini. Sementara Hanum sudah berangkat ke TPA. Fahri boleh merasa lega untuk sesaat. Urusan dengan Hanum bisa di pikirkan nanti."Kenapa kamu pulang lagi, Fahri?" Ismah menyambut dengan tatapan heran melihat wajah putranya yang keruh.Fahri menjatuhkan tubuhnya di lantai, mencium kaki ibunya. "Maafkan aku, Ma!""Hei, kamu kenapa? Apa yang sudah terjadi?" Tubuh tua itu spontan membungkuk, menarik tangan sang putra, mengajaknya berdiri, membimbingnya menuju sofa di ruang tamu."Mama diminta oleh paman haji Alwi untuk datang ke rumahnya sekarang," beritahu Fahri setelah mereka terdiam cukup lama. Dia berusaha keras untuk menetralkan detak jantung yang sejak tadi terus saja berpacu memompa darahnya.Rasanya dunia mau kiamat. Fitnah ini begitu kejam. Dia terjebak, kemudian Yasmin justru memfitnahnya, memutar balikkan fakta.Seandainya Fahri tidak memiliki istri, mungkin dia
Bab 26) Fitnah (2)Fahri kembali bungkam. Kenyataannya ia memang tidak memiliki bukti apalagi saksi. Dia hanya berduaan di rumah itu dengan Yasmin. Tak ada seorangpun yang melihat dan Yasmin justru memberikan pengakuan sebaliknya.Soal yang paling membuat Fahri khawatir adalah Hanum. Apa yang harus ia katakan kepada istrinya? Tergambar di benaknya wajah Hanum yang pasti akan marah besar. Hanum pasti akan berpikiran yang tidak-tidak.Fahri menggeram. Bahkan dengan Hanum pun ia tidak bisa membuktikan, bahwa dirinya tidak pernah melakukan apapun terhadap Yasmin. Apa yang harus ia lakukan, sementara haji Alwi, Rahma dan ibunya malah lebih mempercayai pengakuan Yasmin ketimbang dirinya?Fahri meratapi kebodohannya dalam hati, kenapa juga ia mau percaya begitu saja dengan kata-kata Yasmin tadi siang, saat mencegahnya di jalan saat pulang dari sawah?"Kamu tidak punya bukti, kan?" Kali ini Rahma angkat bicara. Perempuan itu menatap lekat wajah Fahri. Fahri pun mengangkat wajahnya."Bibi, aku
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny