Bab 205) Seperti Inikah Rasanya Dimanfaatkan?Namun Ismah dan Zainab tidak menyerah. Keduanya terus mengiringi Mila sampai ke kamar, meskipun tidak bersuara apapun lantaran tak mau mengusik Alina yang mulai terlelap.Mila membaringkan Alina di tempat tidur, kemudian memutar tubuhnya menghadap dua orang tamu yang tak diundang itu. Dia melewati Ismah dan Zainab, lantas keluar dari kamar menuju ke ruang tamu."Itu tidak semudah yang kalian pikirkan. Kalian pikir setelah aku menjaminkan sertifikat rumah ini ke bank, lalu Mas Sandi dengan sukarela mau membayar cicilannya, begitu?! Apa sih yang ada di otak kalian? Kalian pikir suamiku tidak perhitungan, sehingga mau mengeluarkan uang lebih untuk membayar cicilan di bank?" ujar Mila setengah membentak."Tapi dia mau tidak mau harus membayar. Kalau tidak mau, rumah ini akan disita!" balas Zainab tak mau kalah."Kak, perkara rumah ini disita atau tidak, itu bukan urusan Mas Sandi lagi, karena aku adalah pemilik rumah ini. Mas Sandi memberikan
Bab 206) Mila berubah? "Anak itu tidak bisa diatur. Padahal Mama melakukan semua ini untuk kebaikannya juga. Kenapa ia tak juga mengerti? Apa susahnya sih membujuk Sandi?! Takut amat sama suami." Ismah terus mengomel meski mobil yang mereka tumpangi sudah meluncur di jalanan ramai. "Aku juga tidak mengerti jalan pikirannya, Ma. Aku merasa sejak menikah dengan Sandi, Mila mulai berubah," sahut Zainab menimpali. "Itulah yang sangat Mama sayangkan. Percuma saja menjadi istri muda orang kaya, tapi kehidupannya gitu-gitu aja. Masa iya minta uang 50 juta saja susah banget? Padahal seharusnya bagi orang seperti Sandi, uang 50 juta itu kecil, apalagi dia kan pengusaha...." "Mila sih tidak tegas. Padahal seandainya dia mau, aku rasa Sandi juga tidak akan menolak memberikan hal yang sama seperti yang sudah diberikannya kepada istri pertamanya. Mama masih ingat kan, gimana penampilan istri pertama Sandi saat pernikahan kemarin?" Zainab mengingatkan. Ismah menoleh ke arah putrinya, menatap w
Bab 207) Kita Pasti BisaDorongan keras dari Zainab membuat tubuh Husna oleng, bahkan nyaris terjungkal ke samping. Untung saja wanita itu berpegangan pada sandaran kursi yang ada di teras itu dan kebetulan berada di dekatnya.Pintu terbuka. Ismah dan Zainab bergegas masuk ke dalam dan menutup kasar pintu depan rumah mereka lalu menguncinya."Pokoknya Mama tidak mau tahu. Ketika Hanum dan Fahri pulang dari umroh, Mama harus bicara kepada Hanum. Kita harus sudah punya uang untuk membeli kembali sawah itu. Itu sudah merupakan rencana Mama saat menikahkan Mila dengan Sandi. Kamu tentu sudah tahu, bukan?" Wanita tua itu menghempaskan tubuhnya di sofa. Zainab menyusul duduk di sisinya."Tapi kita tidak bisa memaksa Mila, Ma." Lagi-lagi Zainab mendesah. "Kita pasti bisa. Kamu pikir saja. Mila itu jauh lebih muda dan cantik daripada istri pertama Sandi. Dia pasti akan lebih disayang. Kenapa Mila jadi setakut itu sama Sandi? Heran Mama. Tuh lihat, si Diana. Kamu tahu sendiri kan, gimana Aziz
Bab 208) Menyalakan PonselUdara kota Jeddah yang begitu dingin membuat Fahri mengeratkan rangkulannya ke tubuh sang istri. Sepintas keduanya terlihat begitu mesra. Pemandangan yang sekilas membuat orang-orang di sekelilingnya menjadi iri. Fahri dan Hanum seperti pasangan pengantin baru yang tengah berbulan madu sembari beribadah."Semoga ada kabar baik setelah ini ya." Fahri mengusap pelan perut istrinya yang rata. Mereka tengah berjalan menapak tangga pesawat. "Ish... apaan sih? Jangan ngadi ngadi, Kak. Adzkar masih kecil, belum pantas punya adik." Hanum mencubit pelan lengan suaminya."Nggak apa-apa. Kita besarkan anak-anak kita bersama-sama," sahutnya santai."Ngomong sih enak, tapi realitanya gimana? Nggak semudah itu, Sayang. Punya anak satu aja repot kok, apalagi Adzkar masih kecil, nggak ngerti kalau dia nanti punya adik.""Nggak apa-apa, Sayang. Biar saja. Mereka pasti akan terlihat seperti anak kembar."Bibir Hanum mengerucut. Dari saat mereka berkemas di hotel tempat meng
Bab 209) Perkara Oleh-oleh"Pak Rizal...." Zainab seketika gemetar."Selama ini saya diam, bukan berarti tidak tahu bagaimana perlakuan kalian terhadap putri saya, Hanum. Saya sangat menghargai kalian sebagai keluarga dari suami putri saya dan kalian semua sudah saya anggap seperti keluarga sendiri. Selama ini saya mencoba bersabar, menahan diri, tapi kalian memang sudah keterlaluan." Rentetan kalimat bernada penuh kecewa meluncur begitu saja dari mulut Rizal. Wajah lelaki separuh baya itu merah padam. Habis sudah kesabarannya. Dulu dia hanya mendengar lewat cerita istrinya. Namun sekarang kakak ipar putrinya, Zainab bermaksud menampar Hanum dan itu ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri.Sejak kecil hingga dewasa, tak pernah sekalipun dia menampar putrinya. Hanum dibesarkan dengan penuh kasih sayang, tanpa kekerasan sedikitpun. Hanum tumbuh menjadi pribadi yang lemah lembut, namun tegas. Dia selalu mengajarkan kepada Hanum untuk bersikap bijaksana, penuh ketegasan tanpa harus mela
Bab 210) Perkara Oleh-oleh (2)Saking semangatnya Diana mengacungkan tangan, dia sampai tak sadar jika tangan yang ia acungkan tengah menggenggam sebuah ulekan. Sisa-sisa bumbu yang tengah menempel di ulekan akhirnya malah berjatuhan mengenai lantai. Husna menyenggol Diana dan mengingatkan wanita itu.Diana berdecak sebal, melotot kepada kakak iparnya. Husna hanya menanggapinya dengan sikap santai. "Bersabarlah sedikit lagi. Kita ini masih dalam suasana berkabung, lebih baik sekarang kita persiapkan semua masakan buat acara tahlilan dengan sebaik mungkin," jawab Hanum. Tangannya begitu terampil menyiangi kangkung yang akan menjadi sayur untuk makan siang mereka nanti.Menu masakan untuk acara tahlilan nanti adalah ayam masak tuha, masakan khas kampung ini. Jika daerah lain mungkin mirip gulai. "Alah, itu paling cuma alasan untuk mengulur-ulur waktu. Nyatanya nggak akan ada oleh-oleh buat kita," ejek Mila meremehkan. "Ah, kamu benar sekali Mila. Kalau memang dia benar-benar pergi um
Bab 211) Perkara Oleh-oleh (3)"Aku dzalim?" Refleks Hanum menggeleng."Dzalim dari sisi mana, Kak? Orang yang menentukan siapa yang mendampingiku umroh itu bukan Hanum, tapi Haji Sofyan. Apalagi itu kan wasiat. Kita nggak boleh dong tukar menukar orang sesuka kita. Bukankah aku juga berjanji sama Mama, jika ada rezeki, Mama pun juga akan bisa berangkat umroh....""Tapi kenyataannya Mama sudah tiada, Fahri?" sergah Zainab. Wanita itu kembali meneteskan air mata. Bisa berangkat haji dan umrah adalah impian terbesar dari ibundanya. Namun sampai wanita itu meninggal dunia, niatnya tidak terlaksana."Kak." Tangan Hanum terulur, mengusap lengan coklat gelap itu. Namun dengan segera Zainab menepisnya. "Percayalah, aku tidak pernah menginginkan diberangkatkan umrah secara gratis. Seandainya aku ingin umroh beneran, aku bisa membiayai umrahku sendiri. Tapi masalahnya, ini adalah wasiat dan Kakak tahu apa arti sebuah wasiat, kan?""Tapi kan kemarin seharusnya kamu bisa membiayai Mama juga, bia
Bab 212) Sumbangan Untuk Acara Tahlilan"Jangan pura-pura lupa kalian! Kita harus mempersiapkan acara tahlilan tujuh hari meninggalnya Mama. Mana sumbangan dari kalian?" tagih Zainab seraya berkacak pinggang."Kak, acara itu kan masih 4 hari lagi. Masa iya Kakak menagihnya sekarang?" protes Fahri. Dia jelas tidak terima, karena kemarin saja ia sudah memberikan uang satu juta kepada Zainab untuk belanja kebutuhan acara tahlilan selama 3 hari berturut-turut. Memang uang satu juta itu kurang, tapi bukankah anak mendiang ibunya bukan cuma dirinya saja? Tidak mungkin saudaranya yang lain tidak menyumbang apa-apa, walaupun mereka tidak buka mulut soal berapa uang yang disumbangkan untuk keperluan penyelenggaraan jenazah sampai acara tahlilan."Memang. Tapi Kakak harus segera berbelanja....""Sudahlah, Kak," potong Hanum. Wanita itu memberikan lima lembar uang berwarna merah kepada Zainab."Cuma segini?" protes wanita itu. Matanya melotot. "Pelit banget kamu. Masa iya nyumbang acara tujuh ha
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny