Bab 37) Kurangnya Aku Tu Apalagi Sih, Ma?"Kamu pikir aku membual?" Wanita tua begitu gampang tersulut. Pengalaman pahit di masa muda membuat hatinya keras. Seperti dulu ia di perlakukan oleh mertuanya, nenek Fahri, seperti itulah sikap yang ia tunjukkan kepada Hanum. Bahkan kata-kata yang terlontar barusan adalah kata-kata yang dulu ia dengar dari ibu mertuanya untuk menekan dan membuatnya tunduk.Dia memang tidak bisa membalas perlakuan menyakitkan ibu mertuanya, tapi ia berjanji dalam hati, menantu-menantunya harus merasakan apa yang pernah ia rasakan dulu. Makanya ia tak suka Hanum berdagang. Hanum sudah mendapatkan uang hasil pernjualan gabah tahun ini tanpa sedikitpun menjejakkan kakinya di lumpur sawah, bahkan itu mengurangi jatahnya, yang seharusnya Ismah dapatkan seperti tahun-tahun yang lalu. Lha, sekarang Hanum berdagang pula. Penghasilannya menjadi double. Tetap dapat nafkah dari suami dan mendapatkan uang tambahan dari hasil jualan. Baginya ini tidak adil. Sebagai ist
Bab 38) Di Rumah Bunda Nia"Lho, kok cuma dua porsi? Harusnya kan empat. Buat Mama dan Mila mana?" Lelaki itu langsung protes saat mengeluarkan dua porsi nasi campur dari dalam kantong kresek."Emang cuma dua porsi, Kak," jawabnya sembari meringis. Dia membeli makanan itu cuma untuk coba-coba saja, testi rasa. Seharusnya Hanum memang memasak siang ini, tapi moodnya langsung hancur akibat ulah ibu mertuanya."Lauknya itu ukuran jumbo, Kak. Satu porsi untuk berdua. Gini aja deh. Gimana kalau aku bikin telur dadar buat variasi lauk? Kakak mau?" tawar Hanum sembari melangkah dengan sebuah mangkok besar di tangannya. Dia mengambil nasi dari magic jar, lalu meraih satu toples kerupuk udang."Boleh juga. Telor dadar kan cepat," ujar Fahri. Lelaki itu mengambil tiga buah gelas di rak, lalu mengisinya dengan air putih.Hanum membuka kulkas, mengambil dua butir telur dan daun bawang. Wanita itu memecahkan telur di sebuah mangkuk, membubuhinya dengan bubuk bawang putih, garam, penyedap rasa dan
Bab 39) Aku Bukan Intan, Bun Hanum menatap wajah tua di depannya dengan pandangan horor. "Darimana Bunda tahu soal kakekku?" Lagi-lagi tangan keriput itu mengusap kepala Hanum. "Apakah kamu lupa jika Bunda Nia ini berasal dari daerah dan kabupaten yang sama denganmu?" Wanita tua itu balas menatap Hanum. "Iya, Bun." Hanum tertunduk lemah. Wajahnya terlihat sedikit memerah. Warga kampung Bangun Jaya yang menjadi tempat tinggal Hanum sekarang, kebanyakan berasal dari kaum pendatang, termasuk bunda Nia dan keluarganya. Mereka terdiri berbagai daerah dan suku, membaur dengan indah, seiring sejalan dengan tetap merawat adat istiadat dari tempat asalnya masing-masing. "Siapa sih yang tidak mengenal almarhum kiai Hasan, sosok ulama sederhana yang tidak pernah mau menonjolkan diri? Kamu mewarisi sifat dari kakekmu, Nak," ujar wanita tua itu. Hanum merengkuh tangan keriput itu dan menciumnya kembali. "Tolong jaga rahasia ini baik-baik. Aku tidak mau ada yang tahu soal ini. Aku malu, Bun.
Bab 40) Perkara Amplop "Ustadzah Hanum...." Hanum menyalami ibu Murni yang menyambut kedatangannya di teras rumah, lalu mencium punggung tangan perempuan setengah tua itu. "Silahkan masuk, Ustadzah, Bu Ismah," ajaknya seraya menggandeng tangan Hanum masuk ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan para wanita berkerudung. "Loh, ini ada acara apa, Bu Murni?" tanya Ismah. Dia kaget tatkala melihat sebuah bantal di letakkan di depan menghadap kerumunan ibu-ibu. "Memang ada sedikit tambahan acara, Bu. Hari ini yasinan dan pembacaan manaqib Sayyidah Khadijah Al Kubra. Kebetulan saya ada nazar. Ustadzah Hanum yang mengisi acaranya," jawabnya. "Hanum?" Langkah Ismah seketika tertahan. Dia menatap Hanum yang tersenyum samar balas menatapnya, tetapi hanya sekilas. Hanum kembali meneruskan langkah menuju depan dan duduk di tempat yang sudah disediakan di samping bunda Nia. "Bunda saja yang memimpin membaca surah Yasin. Aku kebagian membaca manaqib saja ya," tawar Hanum saat perempuan tua
Bab 41) Tak Ada Kebencian Abadi "Bagaimana tadi acaranya, Sayang?" sapa Fahri saat sang istri mendekat. "Menyenangkan, tentu saja," sahut Hanum sembari merengkuh tangan kokoh itu, menciumnya dengan takzim. "Aku hanya merasa sedikit gugup dan aku berharap ini akan menjadi hal yang pertama dan terakhir. Aku tidak berbakat menjadi Ustadzah, Kak." Hanum tersenyum kecut. "Kita lihat saja nanti, Sayang. Jikalau nanti ada undangan lagi, masih bersedia, kan?" rayu Fahri. Dia menarik tubuh itu, mendudukkan di pangkuannya, walaupun saat ini ia tengah duduk di atas sajadah. "Aku tidak tahu, Kak. Yang jelas aku lebih suka berdagang, ketimbang mengajar." Hanum mencoba tertawa, apalagi saat mengingat kejadian di dapur, dimana ibu mertua dan adik iparnya barusan berebut amplop dan nasi berkat. "Posisi kita hanya sekedar membantu mengabulkan keinginan orang lain, bukan murni keinginan dari kita sendiri," balas Fahri tak mau kalah. Dia menarik jilbab yang dikenakan istrinya, kemudian mencium he
bab 42) Morning sickness?Fahri memekik keras seraya menghambur masuk ke dalam tanpa sempat menutup pintu kamarnya terlebih dulu. Sepasang tangannya seketika terjulur meraih tubuh istrinya yang ambruk di dekat pembaringan. Dia menggendong wanita itu, membaringkannya di atas kasur."Kamu kenapa, Sayang? Kamu sedang sakit?" Lagi-lagi ia terkejut melihat wajah Hanum yang pucat pasi."Mual sekali perutku, Kak." jawabnya lemah. Hanum memejamkan mata. Namun perutnya terus bergejolak. Sebelah tangannya mengusap perutnya di bagian atas, memijatnya perlahan, kemudian mengetuknya. Fahri memberikan minyak angin kepada istrinya."Apa perlu kita periksa ke seberang?" Suara laki-laki itu terdengar cemas. Seberang yang dimaksud olah Fahri adalah sebuah puskesmas, satu-satunya fasilitas kesehatan di kecamatan ini yang lokasinya berada tepat di seberang sungai."Mungkin hanya masuk angin biasa, Kak. Semoga segera mendingan," sahut Hanum. Gerakan tangannya lemah, mendekatkan botol minyak angin ke hidun
Bab 43) Kehidupan KecilWanita muda itu mulai mengingat-ingat kapan terakhir kali ia haid. Benar, ia sudah terlambat lebih dari satu bulan. Hanum tersenyum senang. Ada secerah harapan di hatinya. Dia kembali mengelus perutnya. Ah, mungkinkah ada kehidupan kecil di dalam rahimnya kini?Tak ingin terus diliputi berbagai pertanyaan dan prasangka, Hanum berdiri dan dengan langkah tertatih ia menuju lemarinya. Wanita itu mengambil sebuah tespek yang sebenarnya sudah ia sediakan sejak beberapa bulan yang lalu, sebagai persediaan seandainya ia terlambat kedatangan tamu bulanannya. Namun agaknya karena kesibukannya selama ini, membuat Hanum tak menyadari jika ia sudah terlambat datang bulan. Hanum melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi dan menampung air seninya. Dia mencelupkan benda itu sebentar."Garis dua!" Hanum nyaris memekik saking bahagianya. Wanita itu segera keluar dari kamar mandi, kemudian melangkah menuju pintu, keluar dari kamar sembari tetap memegang benda kecil berukuran se
Bab 44) Kunjungan Mbak FatmaHari masih pagi. Setelah membereskan bekas sarapan orang seisi rumah, Hanum segera mencuci pakaian. Pakaian yang dicucinya kali ini cukup banyak. Padahal di rumah ibu mertuanya ini tidak ada mesin cuci, sehingga Hanum benar-benar harus mencuci dengan tangannya sendiri.Keringat membasahi wajahnya saat wanita itu membawa baskom besar berisi penuh pakaian yang sudah selesai dicuci ke halaman menuju tempat penjemuran pakaian."Loh Mbak Hanum, kok bawa cucian sebanyak itu? Berat lo, Mbak," tegur seorang wanita diiringi dengan sebuah motor yang masuk dan berhenti di halaman rumah, tak berapa jauh dari tempat Hanum berdiri sekarang.Dia wanita yang sudah Hanum tunggu kedatangannya. Fatma, seorang bidan yang merupakan istri dari sahabat Fahri.Hanum mempercayakan urusan kehamilannya dengan Fatma, karena Hanum tidak kuat jika harus antri lama di puskesmas."Tidak apa-apa, Mbak Fatma. Saya kuat kok. Tuh, kan tidak apa-apa." Hanum meletakkan baskom besar berisi cuci
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny