“Anda keluarga pasien bernama Zaara Nadira?” Seorang dokter bertanya pada Haikal yang menghampirinya.Haikal hanya bisa menghela nafas panjang berhadapan dengan dokter tersebut dikarenakan pertanyaannya tak dijawab. Dokter UGD tersebut malah bertanya balik.“Bagaimana kondisi Zaara?” tegas Haikal yang tak senang berbasa-basi.“Dia sudah ditangani. Dia juga bisa pulang tetapi setelah cairan infusan habis. Dia mengalami syok dan dehidrasi. Adapun luka di kepalanya karena terbentur kemungkinan harus diperiksa ke lab, pemeriksaan CT scan untuk mengetahui apakah terjadi cidera pada kepalanya atau tidak. Namun sejauh ini pasien merespon dan bisa diajak bicara. Itu berarti tidak terjadi hal yang serius,” papar dokter tersebut dengan sedikit tergeragap karena melihat rona wajah Haikal yang begitu dingin dan suram.Baru pertama kalinya Haikal merasa mencemaskan seseorang. Dia sosok pemuda yang individualis, terkesan tak peduli dengan orang lain. Namun dia akan sangat protektif pada orang yan
Sekarang Zaara tak terlihat begitu mengenaskan seperti saat dia ditemukan. Pakaiannya robek dan kotor serta pashmina yang entah kemana terlepasnya. Saat ini perawat sudah menggantikan pakaiannya dengan pakaian rumah sakit. Rambutnya juga sudah tampak sedikit lebih rapi, tidak berantakan seperti tadi. Dia hanya mengenakan syal miliknya untuk menutup kepalanya sebab baik dia maupun Embun tak membawa kerudung cadangan.Dalam kondisi tidur sekalipun, gadis itu masih terlihat sangat cantik. Apalagi terlihat rambutnya yang tergerai. Dia memiliki rambut hitam legam, sangat panjang dan lebat. Sangat indah. Haikal tak pernah menyangka Zaara secantik itu saat tak berhijab. Tanpa sadar syal yang dipakainya melorot memperlihatkan keindahan mahkota yang acapkali dia sembunyikan.Pandangannya kembali turun melihat lehernya yang begitu mulus dan bersih. Ingin rasanya berada di sana, maksudnya menghidu aromanya sebentar saja. Bisa-bisanya dia meneguk saliva saat melihat pemandangan paripurna seorang
Embun menutupi rambut Zaara dengan syal. “Tadi kamu mandi?” telisik Embun sebab khawatir jika Haikal melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar mencuci rambutnya tanpa sepengetahuannya. Sepeka-pekanya orang buta tentu tidak akan mungkin menyaingi orang normal yang banyak akalnya. “Ish, kamu daritadi gak nyimak. Kalau mandi belum bisa sebab masih terasa perih sekali. Ya, kamu tahu sendiri keramas doang sama kamu juga ... Kalau tidak dicuci bau sekali. Mereka bener-bener sakit! Mereka sempat-sempatnya menyiramku dengan minuman, bir, tequila … koktail … bikin rambutku rusak,” omel Zaara dengan geram. Syukurlah, Mas Haikal tidak berbuat senonoh. Eh, tapi kalau mencuci rambutnya apa itu tidak senonoh? “Maafin aku sekali lagi, Ra,” lirih Embun dengan perasaan yang bersalah. “Niat hati makan malam dan bersenang-senang, malah kena penganiayaan,” “Ini sudah ke sembilan kali kamu meminta maaf,” desis Zaara dengan sedikit mendecak sebal. “Aku merasa bersalah sampai detik ini.” Embun meng
Zul duduk di kursi yang berhadapan dengan Haikal. Dia meletakkan berkas berisi data tentang pelaku penganiayaan terhadap Zaara. Haikal langsung menyambar file tersebut bahkan sebelum file tersebut mendarat sempurna di atas meja kebesarannya. Matanya bergerak-gerak saat melihat nama-nama pelaku. Sayang, Zul tidak melampirkan fotonya. Matanya berhenti bergerak saat melihat nama dari ketua geng sosialita tersebut. Sebuah nama familiar, Ayana Lathifa. Namun segera dia menyingkirkan file tersebut ke sisi kiri mejanya dan memilih ingin mendengar laporan secara verbal dan langsung dari mulut Zul.Haikal menatap Zul dengan tatapan yang menghunus. Namun Zul sama sekali tak merasa terintimidasi. Edi pernah melakukan hal yang lebih dari itu.“Saya sudah mengantongi rekaman CCTV. Tapi …”Zul berkata dengan begitu tenang.“Berita bagus,” sela Haikal dengan mata yang berbinar.“Tapi … Mas, bukti CCTV hanya menayangkan saat mereka makan di resto dan bergosip. Saat mereka melakukan penganiayaan, ta
Zaara tercenung saat menerima tongkat dari Embun. Setelah merabanya dia merasakan bahwa itu bukan tongkat miliknya. Itu tongkat baru dan mungkin lebih bagus dari tongkat sebelumnya.“Tongkat ini dikirim oleh pangeran berkuda putih lewat ajudannya,” bisik Embun ke telinga Zaara.Zaara tersenyum mendengar kata-kata Embun. Sudah bisa ditebak siapa pelakunya.“Mas Haikal,” tebak Zaara.“Hem,”“Ya Allah, dia membelikanku tongkat yang baru,” katanya terkekeh kecil.“Kalian sedang ngobrol apa? Kok bisik-bisik sih?” telisik Fatimah melihat mereka berdua berbicara.“Biasa Bu Imah, urusan anak muda,” ucap Embun lalu tanpa canggung ikut duduk bergabung bersama mereka.“Um, Ibu mencium bau sesuatu nih! Apa kalian tengah asik menggosipkan lelaki yang kalian taksir?” “Ada Bu, lebih tepatnya yang naksir an-ak Ibu,” ucap Embun yang mulutnya langsung dibungkam oleh tangan Zaara. “Tuh ‘kan, malu-malu begitu,”Dengan gerakan cepat Embun menarik tangan Zaara dan malah memeluk sahabatnya itu. “Kalau mal
Haikal menaikkan salah satu alisnya melihat sosok gadis yang pernah menemaninya saat masih remaja. Meskipun gedung tersebut minim pencahayaan tetapi Haikal masih bisa melihat wajahnya dikarenakan cahaya masuk dari sisi bangunan. Ayana Lathifa, gadis berwajah Arab mirip dengannya yang terkenal periang dan baik hati. Haikal tak percaya dengan adanya perubahan drastis dengannya baik segi fisik maupun sikap. Tak mungkin Haikal salah tangkap orang. Dia seorang yang teliti. Bahkan dia meminta Antonie menghubungi Embun untuk memastikan wajah gadis yang Zaara tampar malam itu. “Haikal, lepaskan tangan dan kakiku, sakit,” Ayana berkata dengan sedikit merengek dan memasang wajah memelas di hadapan mantan pujaan hatinya. Melihat gadis itu yang seperti kesakitan, Haikal menyuruh orang suruhannya untuk melepaskannya. Hanya Ayana Lathifa saja. Empat gadis yang lain masih dalam kondisi yang sama. Ayana berusaha berdiri mengimbangi Haikal yang berdiri tegap menatapnya. Namun tiba-tiba tubuh Ayan
Haikal tidak serius dengan perkataannya soal menghukum Ayana dan kawan-kawannya dengan melakukan penganiayaan yang sama. Masuk jeruji besi adalah hukuman yang patut mereka jalani meskipun hanya beberapa bulan karena penganiayaan yang dilakukan dianggap penganiayaan ringan. Dia hanya meminta Antonie untuk mengancam mereka lalu merekam pengakuan mereka.Embun pun pergi menemui Zaara yang tengah duduk di sebuah bangku sekitar TPU seperti biasa. Dia mengabarinya bahwa para pelaku penganiayaan telah dihukum. Zaara sangat senang mendengar kabar tersebut. Mereka telah menuai panen kejahatan apa yang mereka tanam.“Mas Haikal meneleponku dan meminta nomormu, Ra. Jadi … aku kasih nomor Bu Imah gak apa-apa ya,” seru Embun dengan begitu antusias. Dia ikut duduk di samping Zaara dan memainkan kakinya seperti seorang anak kecil. “Dia bilang gak enak menghubungiku terus.”“Untuk apa dia menghubungiku Embun? Kami sudah tidak punya urusan lagi,” jawab Zaara apa adanya meskipun dalam hati kecilnya dia
Zaara baru saja menikmati kabar gembira yang tiba-tiba berembus; para pelaku penganiayaan telah mendapat hukuman yang setimpal dan kedatangan Mae. Namun siapa sangka selain kabar tersebut, kabar buruk pun turut singgah tak ketinggalan. Seorang lelaki orang suruhan Safira mendatangi Zaara mengancamnya agar menjauhi Haikal.Semenjak Haikal mengucapkan kata putus pada Safira, mereka sudah tidak lagi melakukan komunikasi baik via telepon ataupun secara langsung. Ke dua waktu mereka tersita oleh pekerjaan masing-masing.Safira didera penasaran sebab dia mengira jika soal ‘putus’ hanyalah bualan belaka. Haikal sungguh tidak serius dengan keputusannya. Untuk memenuhi rasa penasarannya, dia mengunjungi kediaman Haikal.Namun rupanya takdir tak berpihak padanya. Mansion yang begitu mewah dan megah tersebut tidak ada penghuninya--semua yang tinggal di sana sibuk dengan aktifitas masing-masing di luar rumah.Kedatangan Safira hanya disambut oleh Hairi dan para pelayan muda nan cantik.“Tumben, M