Mendengar perkataan ayahnya itu, Dario berhenti di anak tangga pertama, tidak menoleh."Aku tidak akan kemana-mana," katanya sebelum melanjutkan langkahnya ke lantai atas.Begitu Dario menghilang, Viviana mendesah."Dia menyembunyikan sesuatu,” kata Viviana."Aku tahu,” kata Gigio sambil mengangguk pelan.Ruangan kembali sunyi.Di lantai atas, Dario masuk ke kamarnya, menutup pintu, lalu bersandar ke dinding. Tangannya terkepal.“Aku harus menemukan jalan keluar sebelum semuanya semakin buruk,” kata Dario, pelan.Gigio menghela napas panjang. Dia menatap meja di depannya dengan tangan yang terkepal di atas permukaan sofa yang terasa dingin. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab."Viviana," katanya akhirnya, suaranya rendah namun tegas.Viviana yang duduk di sofa di seberang meja menegakkan tubuhnya. "Ya, Ayah?""Panggil Albin. Dia ada di luar, bukan?"Viviana mengangguk. Tanpa berkata-kata lagi, dia bangkit dan berjalan keluar rumah.Di luar, Albin sedang duduk di tang
Angeline dan Cecilia saling bertukar pandang mereka terkejut dengan kedatangan Lisa dan Jeremy.Kedua perempuan itu segera bangkit dari sofa dan Cecilia mendekat lebih dulu, namun ekspresi waspada tetap terpahat di wajahnya. Angeline pun sama. Dia menatap dua orang yang baru datang dengan tatapan muak sekagus kesal."Silakan masuk," kata Cecilia, meski suaranya terdengar lebih sebagai formalitas ketimbang sambutan hangat. Lisa melangkah masuk dengan anggun, jauh berbeda dari sikapnya saat terakhir kali mereka bertemu. Ada kelembutan yang terjaga, seakan dia telah mempersiapkan diri dengan matang. Jeremy, di sisi lain, hanya mengangguk singkat sebelum ikut duduk.Angeline tidak mempersilahkan, dia hanya menatap dua orang itu tanpa senyum sama sekali. Jelas sekali wajah tidak sukanya.Setelah keheningan sejenak, Cecilia langsung to the point. "Ada apa datang ke sini, Ma? Ada yang mau dibahas lagi?"Lisa tidak menjawab langsung. Dia justru menatap Angeline dengan sorot mata yang sulit
Angeline tetap duduk dengan punggung tegak, matanya menatap Jeremy tanpa gentar."Kau benar-benar tidak tahu diuntung, Angeline!" Jeremy akhirnya meledak. "Hidupmu selama ini nyaman karena keluarga Jordan. Kau menikmati semuanya, tapi ketika keluarga ini membutuhkanmu, kau malah berlagak seperti orang luar!"Angeline mencibir sambil bertanya remeh, "Kau pikir aku berhutang pada keluarga ini?""Jelas!" Jeremy menatapnya tajam. "Tanpa perusahaan, kamu bukan siapa-siapa. Seharusnya kamu sadar siapa yang memberimu kehidupan seperti sekarang!"Angeline terkekeh, kali ini tawanya penuh kebencian. "Lucu sekali. Aku baru menyadari betapa menyedihkannya kalian. Selama ini, aku tidak lebih dari alat yang bisa kalian pakai kapan saja. Menjadi sapi perah untuk keuntungan kalian.”Jeremy mengepalkan tangannya, tetapi Lisa mengangkat tangan, menahannya."Kau masih punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan, Angeline. Jika kamu membantu kami, aku bisa menjamin posisimu di perusahaan Liquid akan dike
Julian baru saja hendak pergi ketika suara langkah halus terdengar dari arah dalam rumah. Dia menoleh dan langsung mengenali sosok yang muncul di ambang pintu.Rose.Wanita paruh baya itu masih memancarkan aura ketenangan dan wibawa, meski kerutan di wajahnya semakin dalam. Matanya yang teduh menyapu halaman, lalu tertuju pada Lucas yang masih duduk santai di kursi.Julian segera menundukkan kepala dengan hormat. "Ibu Rose."Rose tersenyum kecil. "Namamu Julian, ya? Sudah lama berteman dengan Lucas?”Julian mengangguk sopan. Lalu dia menjawab, "Sudah cukup lama, Bu. Semenjak Lucas tinggal di Ibu Kota.”Rose mengangguk pelan, lalu melirik Lucas. "Jika sudah selesai, aku ingin berbicara dengan putraku."Julian segera memahami isyarat itu. "Aku pamit dulu, Lucas."Lucas memberi anggukan singkat, dan Julian melangkah pergi dengan cepat, meninggalkan ibu dan anak itu dalam keheningan yang nyaman.Rose berjalan mendekat dan duduk di kursi di samping Lucas. Dia merapatkan kedua tangannya di
Peter kembali menatap layar laptopnya dengan penuh konsentrasi, tidak melanjutkan percakapannya dengan Magdalena.Tangan Peter bergerak cepat di atas keyboard, membuka berbagai situs berita, forum, dan media sosial yang berpotensi menyimpan informasi tentang Lucas dan Angeline.Matanya menyipit tatkala dia menemukan sesuatu yang menarik. Foto seorang pria bertubuh tegap dengan sorot mata tajam yang kemarin dia temui di kantor polisi bersama dengan Lucas.Julian.Peter mengeklik gambar itu dan membaca keterangannya. Wajahnya berubah tegang.Magdalena, yang duduk di seberang meja, memperhatikan perubahan ekspresi Peter."Ada apa?" tanya Magdalena curiga.Peter menunjuk layar laptop. "Orang yang bersama Lucas kemarin … dia bukan orang biasa."Magdalena mengernyit dan mendekat, membaca artikel yang terbuka di layar. Saat ia melihat namanya, matanya membesar."Julian, Ketua organisasi mafia Veleno di kota Verdansk?" Magdalena menatap Peter dengan ngeri.“Itu artinya Lucas bukan hanya seora
Setelah lama diam, Lucas kemudian menatap Gigio tanpa berkedip. Lalu dia bertanya, "Kapan aku bisa bertemu dengan Dario?"Nada suaranya tegas, hampir seperti perintah. Dia tidak suka menunggu. Apalagi untuk sesuatu yang bisa mengancam orang dekatnya.Gigio menarik napas panjang. Sebagai seorang ayah, instingnya ingin melindungi Dario. Tapi dia juga tahu, semakin lama ia menunda, semakin Lucas akan menganggapnya sebagai bagian dari masalah.Selain dia memiliki hutang budi dan hutang nyawa, dia juga sangat segan kepada Lucas karena kemampuan ilmu beladirinya yang hebat serta kepribadiannya yang luar biasa."Kalau begitu, sekarang juga kita temui Dario. Dia ada di rumahku. Jam segini, biasanya dia masih tidur," jawab Gigio akhirnya.Lucas mengangguk. "Bagus. Ayo kita pergi.”Tanpa banyak bicara lagi, mereka bersiap-siap dan meninggalkan rumah. Jarak antara rumah mereka hanya terpaut satu blok. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk tiba di kediaman Gigio.Saat mereka memasuki ruangan u
Ruangan itu masih dipenuhi ketegangan. Gigio berdiri dengan ekspresi penuh amarah, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Lucas tetap diam, hanya menatapnya dengan mata tajam yang penuh arti."Albin," kata Gigio akhirnya, suaranya berat dan berbahaya. "panggil penjaga rumah."Albin mengangguk dan segera bergegas keluar rumah. Beberapa menit kemudian, seorang pria berseragam masuk, wajahnya menunjukkan rasa gugup.Gigio menatapnya dengan dingin. Lalu dia bertanya, "Kapan terakhir kali kau melihat Dario?"Satpam itu menelan ludah, jelas tidak nyaman berada di bawah tatapan pria-pria berbahaya ini."Sekitar satu jam yang lalu, Pak,” terang Satpam itu.Lucas menyipitkan mata. "Dia pergi sendiri?""Ya, Tuan," jawab satpam itu, suara gemetar. "dia terlihat tergesa-gesa, tapi saya tidak mengira dia akan kabur. Saya pikir dia hanya pergi sebentar saja. Aku juga tidak tahu kalau tuan Dario tidak boleh keluar."Boom.Gigio menghantam meja di depannya dengan kepalan tangan."Brengsek!" pekik Gigio
Julian hampir berbalik pergi ketika sesuatu terlintas dalam pikirannya. Dia berhenti sejenak, lalu menoleh ke Lucas."Bos," kata Julian, suaranya lebih rendah. "bagaimana dengan pembicaraan semalam?"Lucas menatap Julian tanpa ekspresi. Selama beberapa detik, hanya suara angin yang terdengar, menggoyangkan permukaan danau.Pikiran Lucas langsung tertuju padanya. Wanita itu sedang terpuruk, dihancurkan oleh fitnah dan dijauhi oleh keluarganya sendiri. Dia butuh seseorang di sisinya.Namun, Lucas tahu satu hal, jika dia kembali ke rumah Angeline sekarang, tanpa membawa apa-apa, tanpa memberikan solusi, dia hanya akan menjadi sasaran amarah mertuanya.Lucas akhirnya menghela napas. Lali dia berkata, "Siapkan semuanya. Aku akan melimpahkan perusahaan keluarga Benedict kepada Angeline.""Aku hanya ingin memberinya jalan. Angeline harus berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang-orang yang hanya ingin menghancurkannya. Dia memiliki cita-cita yang baik dan sudah seharusnya aku mendukungnya,
Angeline melipat lengannya, bersandar di kepala ranjang sambil menatap langit-langit kamar yang temaram. Lucas masih memegang ponsel yang tadi bergetar.Kini nama Jeremy sudah tidak lagi terlihat di layar, tapi bayangannya masih menggantung di kepala mereka.“Dia makin lama makin mengganggu,” ucap Angeline dengan nada tidak suka.Lucas menoleh ke arahnya. “Dia melakukan apa lagi?”“Dua hari ini dia datang menemuiku,” jawab Angeline, suaranya tenang namun mengandung penekanan emosi. “dia bilang ingin membantuku menyelesaikan masalah dengan Carlos dan teman-temannya.”Lucas mengernyit. “Membantu? Dengan cara apa?”Angeline menghela napas, menatap Lucas sebentar lalu menunduk. “Katanya, dia bisa menghentikan Carlos agar tidak memviralkan kasus itu. Tapi dengan satu syarat.”Lucas menyandarkan punggung, tangannya terlipat di dada. “Syarat?”“Dia minta aku membantu menyelamatkan perusahaan Liquid,” jawab Angeline pelan. “dia bilang perusahaan di ambang kebangkrutan dan membutuhkan proyek b
Ponsel Jeremy bergetar di tengah hingar bingar musik klub malam. Lampu disko menyinari wajahnya dengan warna-warni menyilaukan, tapi ia tetap bisa membaca nama yang muncul di layar.Carlos.Dengan senyum kecil, Jeremy menerima panggilan itu dan menempelkan ponsel ke telinganya. Dia sudah menduga jika Carlos menghubungi karena dia setuju untuk menyerahkan masalah mereka kepadanya.‘Akhirnya kamu menghubungiku juga,’ kata Jeremy dengan ringan.‘Aku ingin bertemu denganmu. Kalau bisa sih, sekarang,’ jawab Carlos tegas.Jeremy melirik sekeliling. Musik EDM masih menggelegar.‘Hmmm … aku sedang di Imperial Room, klub malam di pusat kota. Kalau kamu mau bicara, datang saja ke sini,’ kata Jeremy.‘Baiklah, kalau begitu aku akan segera ke sana,’ kata Carlos.Setelah itu dia pun mengakhiri panggilan suara.Jeremy menaruh ponselnya ke atas meja dengan tawa lepas. “Aku tidak pernah gagal. Aku adalah seorang pemenang!” ucap Jeremy, berbangga diri. Dia pun memeluk seorang teman wanitanya, tapi bu
Langkah kaki Lucas menyusuri jalan yang sepi, meninggalkan jejak di rumput. Panggilan dari Angeline beberapa menit lalu masih membekas di benaknya. Nada suaranya terdengar tenang, tapi Lucas tahu, terlalu tenang justru menyembunyikan sesuatu.Rajendra m kembali ke rumah ibunya dan langsung menuju ke ruang keluarga. Di sana, ibunya sedang duduk santai di sofa sambil menonton tayangan ulang sinetron klasik. Volume televisi tak terlalu keras, namun cukup untuk mengisi kesunyian rumah mewah itu.Rose menoleh begitu melihat Lucas masuk. “Dari mana saja kamu, Nak?”Lucas menyandarkan tubuh di sandaran sofa. “Dari danau. Sekadar jalan-jalan.”Rose memiringkan kepala. “Ah, kamu benar. Udara di dekat danau, memang sangat bagus.”Lucas menoleh. “Ibu ingin ikut jalan-jalan?”Wajah Rose langsung berubah berseri. “Kalau boleh, aku ingin. Badanku rasanya kaku sekali. Dulu waktu kita masih tinggal di gang kecil, aku bolak-balik ke pasar. Masak buat dijual. Bergerak terus. Tapi sejak tinggal di sini,
“Apakah musuhmu itu bernamaLucas?” bisik Emilio lagi, kali ini lebih pelan, nyaris seperti gumaman yang tercampur rasa tidak percaya.Xena hanya menjawab dengan anggukan kecil.Tatapan Emilio mengeras. Dia bersandar ke sofa, memandangi Xena dalam diam. Beberapa detik kemudian, dia berkata, “Kalau benar kita punya musuh yang sama, artinya pria itu memang tidak biasa.”Hector melirik Emilio. “Don Emilio, apa kau yakin?”Emilio mengangguk pelan, meski sorot matanya tidak menunjukkan keyakinan yang sepenuhnya bulat. “Dia membunuh dua ketua cabang organisasi kami di kota Verdansk. Dalam waktu yang berdekatan.”Xena menatap Emilio tajam. Lalu dia berkata, “Dia juga telah membunuh keponakanku. Dan itulah kenapa aku menganggap dia sebagai musuhku.”Ruangan itu kembali sunyi. Emilio mencoba mengingat siapa saja keponakan Xena yang diketahui dalam lingkaran dunia bela diri. Tak banyak. Dan jika salah satunya tewas di tangan Lucas…“Apa? Dia membunuh keponakanmu?” tanya Emilio.Xena menatapnya.
Langkah kaki ringan namun tegas terdengar mendekati aula utama markas organisasi Dominus Noctis. Aroma wewangian bunga magnolia mengalir lebih dulu, seolah menandakan kehadiran sosok luar biasa.Pintu dibuka oleh pengawal, dan masuklah seorang wanita.Tubuhnya tegap namun elegan. Rambut hitam berkilau digulung anggun di atas kepala. Wajahnya tidak muda, namun tiap lekuk dan guratannya memancarkan ketegasan serta keanggunan yang menakjubkan. Sepasang mata tajam menyorot sekeliling dengan rasa percaya diri yang luar biasa.“Xena,” ucap Don Emilio dengan nada hampir tak percaya.Ia langsung berdiri. Tatapannya berubah dari dingin menjadi hangat seketika, seolah beban puluhan tahun menguap begitu melihat wanita itu.Xena tersenyum saat melihat Emilio. “Masih mengenaliku?” tanya Xena.“Mana mungkin tidak mengenalimu?” Emilio melangkah cepat mendekati, lalu memeluk Xena dengan erat. “Tuhan. Ini benar-benar kamu. Sudah berapa lama sejak kita terakhir bertemu?”“Hmmm … dua puluh tahun, mungki
Carlos mengernyit. “Perjanjian kecil macam apa?”Jeremy menepuk lututnya pelan dan tersenyum seolah tengah menawarkan harta karun dengan nominal tak terhingga.“Aku ingin kalian berlima bergabung ke perusahaan Liquid. Perusahaan keluargaku,” ucap Jeremy dengan nada meyakinkan. “kalian akan langsung bekerja, punya jabatan, dan tentu saja, kalian akan mendapatkan uang besar.”Fabian langsung mendecak. “Perusahaan Liquid? Perusahaan kecil itu? Serius?”Jeremy tak tersinggung. Malah tertawa pelan. “Aku tahu kalian akan berkata begitu.”“Kami dipecat dari perusahaan raksasa,” sahut Fabian lagi. “sekarang kamu suruh kami balik ke perusahaan gurem yang bahkan belum pernah kami dengar di berita lokal? Aku tidak mau mengakhiri karirku di lubang sumur.”Jeremy mengangkat tangan sambil berkata, “Tenang dulu. Ini baru awal. Aku belum selesai bicara.”Lucca menyipitkan mata. “Jadi maksudmu bagaimana?”Jeremy menatap ke sekeliling, melihat wajah-wajah yang penasaran. Lalu dia berkata dengan pelan,
Jeremy menelan ludah, pandangannya terombang-ambing antara Lucas dan Gigio. Aura tekanan di sekeliling terasa seperti dinding tak terlihat yang siap menekuk tubuh siapa pun yang berkata salah.“Aku, tentu saja aku tidak memanfaatkan situasi,” kata Jeremy akhirnya dengan suaranya yang bergetar tipis. “aku datang ke sini karena ingin membantu. Tapi aku tidak punya kekuatan apa pun untuk bertindak tanpa persetujuan Angeline. Karena itu, aku datang ke kamu. Kupikir, kalau kamu bicara, dia akan mendengarkan.”Lucas tetap berdiri, menatap Jeremy seolah menilai setiap gerak napasnya.“Lalu apa yang akan kamu lakukan untuk menghentikan Carlos? Apa rencanamu?” tanya Lucas.Jeremy menarik napas panjang. Kali ini dia merasa punya pijakan.“Aku akan bicara dengan Carlos secara langsung. Aku akan memberinya beberapa opsi penawaran damai,” terang Jeremy. “aku akan berusaha membujuknya untuk membatalkan rencananya dan menerima keputusan Angeline yang memecat mereka.”Lucas menyipitkan mata. “Dan kam
“Darimana kamu dapat info kalau Dario ada di sana?” tanya Lucas. Suaranya terdengar tenang. Tapi bagi mereka yang mengenalnya, itu bukan suara biasa. Itu adalah suara yang mengandung ancaman tersembunyi, dingin, tajam, dan siap menebas jika perlu.Gigio tahu itu.Dia menarik napas pendek, lalu menjawab hati-hati. “Aku menyewa detektif pribadi.”Lucas mengangguk sekali. Sorot matanya tidak bergeser dari wajah Gigio.“Detektif itu bilang mereka menemukan jejak Dario di sebuah rumah di selatan ibukota provinsi Everdale. Katanya dia tinggal di sana, diam-diam.”Lucas menyilangkan tangan di dadanya. “Apakah kamu sudah memeriksa rumah itu?”Gigio menatap Albin sekilas, lalu kembali menatap Lucas. “Sudah. Tapi rumah itu kosong. Tidak ada jejak Dario. Sepertinya mereka sudah pergi sebelum kami tiba.”Lucas tertawa pelan, lalu mengangguk dua kali. “Kamu menyewa detektif bodoh, Gigio.”Gigio mengerutkan kening. Tapi dia menahan diri untuk tidak tersinggung.Lucas melanjutkan, “Orang seperti Dar
“Aku tidak mau memikirkan hal ini sekarang,” ucap Angeline pelan namun tegas, sambil berdiri dari kursinya. “masih banyak pekerjaan yang lebih penting dan mendesak.”Jeremy menatapnya dengan ekspresi kecewa.“Angeline, kamu tidak bisa menganggap remeh masalah ini. Carlos dan keempat temannya tidak main-main,” tekan Jeremy, berjalan dua langkah mendekat.Angeline memutar tubuhnya, menatap langsung ke arah Jeremy. “Pak Jack Will tidak akan memecatku hanya karena lima orang pecundang yang sakit hati. Aku sudah menyelamatkan banyak proyek dan menjadikan BQuality tumbuh. Fakta itu tidak bisa dibantah hanya dengan satu video viral.”Jeremy tersenyum sinis. Lalu dia berkata, “Kamu benar-benar mulai sombong, ya. Sudah merasa tak tersentuh hanya karena jabatan?”“Bukan soal jabatan, tapi soal kebenaran,” potong Angeline.“Kalau begitu, jangan salahkan aku saat kamu jatuh tersungkur. Karena kesalahanmu akan segera mengejarmu!” seru Jeremy dengan emosi yang mulai memuncak.“Silakan keluar,” ujar