Setelah mengakhiri panggilan dengan Angeline, Lucas masih duduk di tepi ranjang, pikirannya berputar cepat. Kematian John Travis bukan sesuatu yang kebetulan. Semalam, pria itu masih berdiri tegap, masuk ke dalam istana Raja Verdansk. Dan sekarang, hanya dalam hitungan jam, dia sudah tak bernyawa.Ada seseorang yang menginginkan John mati.Dan jika Matteo, Luki, serta Ashton ada di sekitarnya saat itu, maka salah satu dari mereka adalah dalangnya.Lucas menghela napas, mencoba menyusun langkah selanjutnya. Namun sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, suara ketukan terdengar dari pintu kamarnya.Tok. Tok. Tok.Lucas menoleh, lalu bangkit. Dia membuka pintu, dan berdiri di sana seorang wanita dengan seragam rapi berwarna abu-abu. Lea, asisten rumah tangganya.Lea selalu menunduk saat berbicara dengan Lucas. Bukan karena takut, tapi karena dia tahu betapa menawannya pria itu. Beberapa kali, dia secara tidak sengaja melihat Lucas tanpa baju, dan setiap kali itu terjadi, jantungnya berdegup
Gigio menatap ponselnya dengan ekspresi tegang. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdetak lebih cepat.Matteo Bellucci.Gigio menoleh ke arah Lucas yang masih duduk tenang di sofa, menatapnya dengan tatapan penuh perhitungan.“Matteo menelepon,” kata Gigio dengan suara rendah. “apa yang harus aku lakukan?”Lucas terkejut mendengarnya. Dia pun menyilangkan tangan di dadanya seraya berkata, “Jawab.”Gigio ragu sesaat sebelum akhirnya menggeser layar ponselnya untuk menerima panggilan.“Tuan Bellucci —”Namun, sebelum Gigio sempat melanjutkan kalimatnya, panggilan itu tiba-tiba terputus.Gigio menatap layar ponselnya dengan ekspresi bingung. Kemudian dia menatap Lucas dan berkata, “Dia memutuskan panggilannya.”Albin yang duduk di sebelahnya ikut menatap ponsel Gigio dengan dahi berkerut. “Apa maksudnya?”Lucas tetap tenang, tetapi tatapannya semakin tajam. “Itu bukan kesalahan teknis.”Gigio menelan ludah. “Maksudmu…?”Lucas menarik napas perlahan sebelum menjawab, “Matteo
Setelah Julian pergi, Lucas tetap berdiri di tepi danau. Angin dingin menusuk kulitnya, tetapi pikirannya terlalu sibuk untuk peduli. Matanya menatap lurus ke permukaan air yang tenang, tetapi di dalam kepalanya, badai berkecamuk.Dia berpikir tentang keluarganya. Tentang ibunya, yang selalu menunggunya pulang dengan senyuman hangat. Tentang Angeline, istrinya, yang tanpa sadar sedang menjadi bagian dari permainan berbahaya ini. Tentang orang-orang yang tak bersalah, yang bisa saja menjadi korban dari pertarungan kekuasaan yang semakin memanas.Lucas tahu bahwa perang ini tak bisa dihindari.Dia harus menyelesaikan semuanya sebelum ada korban yang lebih banyak lagi.***Kantor Polisi VerdanskRuangan pengaduan di kantor polisi dipenuhi ketegangan. Keluarga John Travis duduk di seberang meja petugas, ekspresi mereka penuh dengan kemarahan dan kesedihan.“Kami ingin kasus ini diselidiki ulang!” seru salah satu anggota keluarga John, tangannya mengepal di atas meja.Petugas polisi yang d
Mirko duduk di ruangannya dengan ekspresi serius. Rekaman CCTV masih terpampang di layar laptopnya, memperlihatkan pelayan yang tampak ketakutan saat mengantar makanan John Travis.Di kepalanya, ada satu nama yang muncul.Lucas.Mirko tahu, sebelum kematian John, Lucas memiliki hubungan yang cukup rumit dengan pria itu. Mereka pernah berseteru. Dan meskipun belakangan ini tidak ada laporan konflik terbuka, bukan berarti dendam sudah berakhir.Lucas adalah orang yang paling mungkin memiliki motif.Namun, Mirko tidak bodoh.Dia tidak akan langsung menuduh Lucas. Dia hanya ingin menggali informasi.Mirko menarik napas panjang, lalu mengambil kunci mobilnya. “Baiklah, Lucas. Mari kita bicara.”Dia meninggalkan kantor polisi dengan tekad kuat.Rumah LucasMirko tiba di kediaman Lucas, sebuah rumah besar dengan arsitektur modern di kawasan elite Verdansk. Namun, setelah beberapa kali mengetuk pintu, tidak ada jawaban.Dia menekan bel sekali lagi. Dan seorang asisten rumah tangga keluar. Dia
Kediaman GigioLampu di ruang kerja Gigio menyala redup, memberikan nuansa suram di ruangan yang dipenuhi dengan dokumen-dokumen penting. Gigio duduk di kursinya dengan ekspresi tegang, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu mahal di depannya.Di seberangnya, Albin berdiri dengan ekspresi tenang, kedua tangannya terselip di saku jasnya.“Kematian John bukan kebetulan,” kata Gigio, suaranya terdengar berat. “Lucas benar. Matteo dan Raja Verdansk sedang bergerak. Kita tidak boleh lengah.”Albin mengangguk pelan, tatapannya tajam. “Dan kau yakin mereka mengincarmu, Ketua?”Gigio menghela napas, mengusap wajahnya. Lalu dia berkata, “Aku tidak tahu. Tapi masuk akal jika mereka menginginkanku mati. Matteo turun secara paksa dan aku menjadi penggantinya. Bisa saja dia dendam kepadaku.”“Kalau aku, tidak terlalu yakin,” kata Albin. “yang pertama mau disingkirkan oleh Matteo, susah pasti adalah Lucas.”Gigio mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata, “Ya, kemungkinan besar seperti
Lucas menatap Julian dengan mata tajam. "Aku ingin kau menambah jumlah mata-mata kita. Kita harus mendapatkan kabar secepat mungkin dan seakurat mungkin."Julian mengangguk. "Aku akan melaksanakannya malam ini juga."Angin dingin berhembus, membawa aroma tanah basah yang khas setelah hujan ringan sore tadi. Di tengah percakapan serius itu, suara langkah kaki halus terdengar mendekat. Lucas menoleh dan melihat ibunya berjalan ke arahnya dengan membawa jaket tebal di lengannya."Kau bisa masuk angin jika terus di luar seperti ini," kata Rose, suaranya lembut tetapi penuh ketegasan seorang ibu.Lucas menerima jaket itu tanpa banyak bicara dan mengenakannya. Ibunya melirik Julian sebelum bertanya, "Apa yang kalian bicarakan? Terlihat sangat serius."Lucas tersenyum tipis. "Hanya urusan bisnis, Bu."Rose mengangguk kecil, menerima jawaban itu tanpa mencurigai apa pun. "Baiklah. Tapi jangan terlalu memaksakan diri. Kau juga harus menjaga kesehatanmu, Lucas."Lucas tersenyum tipis. "Aku tahu
Ashton membawa Mirko masuk ke dalam rumah dengan sikap santai. Interior rumah itu luas dan mewah, dihiasi lukisan-lukisan mahal serta furnitur klasik yang menunjukkan kekayaan keluarga Carter. Namun, suasana di dalamnya terasa dingin dan penuh ketegangan.Luki berjalan di belakang mereka, ekspresinya jelas tidak senang dengan kehadiran polisi di kediaman mereka. Dia melirik Mirko dengan tatapan tajam, seolah polisi itu adalah hama yang mengganggu.Mirko dipersilakan duduk di sofa kulit yang empuk di ruang tamu. Ashton memberi isyarat kepada seorang pelayan yang berdiri tak jauh dari sana."Bawakan teh manis hangat untuk tamu kita," kata Ashton dengan nada sopan, meskipun ada sedikit nada ejekan dalam suaranya.Pelayan itu mengangguk dan segera pergi ke dapur.Ashton lalu duduk di sofa berhadapan dengan Mirko. Dia menyilangkan kakinya dan menatap Mirko dengan senyum ramah yang terasa dibuat-buat."Bagaimana kabarmu, Kapten Mirko?" tanyanya dengan nada ringan.Mirko tetap memasang ekspr
Mirko menatap Luki dengan penuh selidik. Kata-kata pria itu masih terngiang di kepalanya.‘Ya, bisa aku pastikan, kamu bahkan tidak sempat untuk menyesalinya.’Mirko tidak paham sepenuhnya, tetapi firasat buruk mulai menjalar di tubuhnya. Ada sesuatu di balik ancaman itu. Sesuatu yang lebih dari sekadar intimidasi verbal.Dia mengangkat dagunya sedikit, menunjukkan bahwa dia tidak terintimidasi. “Maksudmu apa, Luki?”Luki tidak segera menjawab. Dia hanya menatap Mirko dengan mata tajam, lalu melemparkan pandangannya ke Ashton.Ashton, yang sedari tadi bersikap tenang, akhirnya bicara. “Kapten Mirko, aku sarankan kau mengikuti saran adikku.”Nada suaranya terdengar sopan, tetapi Mirko bisa merasakan ancaman terselubung di dalamnya.“Penyelidikan ini hanya akan membuang waktumu,” lanjut Ashton. “John Travis meninggal karena serangan jantung. Itu fakta. Kau tak akan menemukan apa pun yang bisa mengubahnya.”Mirko menatap Ashton dengan dingin. “Aku tidak bisa menerima itu begitu saja.”As
Deni berdiri di tengah ruangan, wajahnya pucat. Napasnya memburu.“A-aku akan pergi,” kata Deni pada akhirnya. “aku akan pergi ke rumah wanita itu, seperti yang diminta oleh Bos Lucas. Aku akan minta maaf.”Hugo mendengus kecil. “Bagus.”Ia menatap Deni dengan dingin, lalu menepuk pelan pipi pria itu, bukan seperti menenangkan, tapi mengingatkan. “Kau beruntung masih ingat. Kupikir kau akan lupa. Dan kalau itu terjadi… kehancuranmu akan datang lebih cepat dari yang kau kira.”Deni buru-buru menggeleng. “Tidak … tidak. Aku tidak mungkin lupa. Janji pada Bos Lucas, mana mungkin aku abaikan.”Morris menyilangkan tangan. “Kalau begitu, segera berangkat. Bawa anak-anakmu juga. Suruh mereka minta maaf bersama.”“Baik. Setelah kalian pergi, aku akan ke sana,” ucap Deni seraya menunduk.Morris menyipitkan mata. Lalu dia berkata, “Aku tidak ke mana-mana. Aku akan ikut. Aku ingin melihat langsung bagaimana kau merendahkan harga dirimu.”Tenggorokan Deni terasa kering. Ia menelan ludah keras-ker
“Aku nggak percaya Ibu benar-benar mengizinkannya,” ucap Kai dengan wajah berseri. “Aku janji, Bos. Aku akan latihan dengan sungguh-sungguh. Aku akan jadi petarung yang hebat!”Lucas memandangnya sebentar. “Latihlah dulu hatimu sebelum tubuhmu.”Kai mengernyit. “Maksud Bos?”“Kamu harus bayar kepercayaan ibumu. Jangan kecewakan dia. Kamu tahu, kepercayaan itu mahal. Kalau kau gagal, kau bukan cuma jatuh, kamu menghancurkan harapannya.”Kai mengangguk cepat, wajahnya berubah serius. “Aku mengerti. Aku nggak akan mengecewakannya. Aku akan buat Ibu bangga. Dan suatu hari nanti ... aku akan bawa dia keluar dari kemiskinan ini.”Liana yang sejak tadi diam, menghela napas pelan. “Tapi ... kalau bisa jangan ikut tinju bawah tanah, ya. Latihan saja. Jangan sampai cedera.”Kai menoleh ke ibunya, lalu tersenyum kecil. “Itu tidak bisa, Bu. Dari mana aku dapat uang kalau tidak bertarung?”“Uang?” Liana mengernyit.Kai mengangguk. “Iya. Satu pertandingan bisa dapat bayaran besar. Bahkan lebih besa
“Aku masih tidak percaya,” kata Kai sambil berjalan di samping Lucas. “Bos Lyacs tadi seperti Raja Iblis turun dari langit.”Lucas tidak menjawab. Langkah kakinya tetap stabil, matanya lurus ke depan seperti tak terganggu oleh pujian itu.“Kamu tahu, Bos? Tadi itu benar-benar gila. Tujuh orang siap menghajarmu, dan Bos tidak bergerak sedikit pun. Tapi, mereka semua malah mundur sendiri. Itu bukan karena kekuatan fisikmu. Itu karena aura dan wibawamu, Bos. Kamu ... benar-benar luar biasa, Bos.”Lucas tetap diam.Kai tertawa kecil. “Aku pikir kita bakal baku hantam habis-habisan. Ternyata, cukup dengan satu kalimat: 'Dia adalah pemilik Sasana Brotherhood,' dan semuanya selesai. Mereka takut.”Lucas akhirnya berbicara, suaranya tenang dan datar. “Jangan lakukan itu lagi.”Kai mengerutkan dahi. “Lakukan apa?”“Jangan pernah bongkar siapa aku. Bahkan jika nyawamu terancam sekalipun.”Kai langsung berhenti melangkah. “A-aku ... aku hanya ingin melindungimu, Bos. Dan juga ingin menyelesaikan
“Serang dia! Hajar sampai mati kalau perlu! Jangan biarkan dia keluar dari rumah ini hidup-hidup!” bentak Tuan Deni, suaranya membelah udara seperti cambuk api.Anak buahnya langsung bereaksi. Tujuh pria berbadan besar dengan mata merah menyala menerjang maju. Tinju mereka terkepal, siap menghantam. Suara langkah kaki mereka bergemuruh seperti kawanan banteng yang menyeruduk liar.Namun Lucas tidak bergeming.Dia berdiri di tempat, tangan tetap dimasukkan ke saku celana, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa takut.Dia justru menyeringai.“Lucu,” gumamnya pelan, nyaris seperti bicara kepada diri sendiri. “Anak-anak taman kanak-kanak diajak tawuran.”Tepat ketika preman-preman itu hendak menyentuh jarak tempur, sebuah suara melengking memecah suasana.“Berhenti!”Semua orang membeku.Kai melangkah maju, berdiri di antara Lucas dan para preman, tubuhnya gemetar tapi matanya bulat penuh tekad.“Berhenti! Jangan sentuh dia!”Tuan Deni mendelik. “Kau gila, bocah?! Minggir!”Kai menel
Kai bergegas ke kamar mandi tanpa berkata apa-apa. Langkahnya tergesa, tangannya cepat meraih gayung dan menampung air di ember kecil yang ada di sana.Sementara itu, Liana masih berdiri di ruang tamu dengan tubuh gemetar.“Bos Lucas…” katanya lirih. “Tolong … batalkan niatmu pergi ke tempat Tuan Deni.”Lucas menoleh perlahan, matanya tenang namun tajam. “Kenapa?”“Aku tidak ingin ada keributan lagi. Aku tidak ingin kamu menyulut api lebih besar,” ucap Liana, suaranya gemetar. “tolong, cukup sampai di sini. Nantinya, aku yang akan repot karena aku yang pastinya akan dikejar-kejar oleh mereka.”Lucas menghela napas pelan. “Tenang. Aku akan menyelesaikan ini supaya tidak ada masalah di kemudian hari.”“Tidak seperti itu maksudku,” Liana cepat-cepat menimpali. “pokoknya jangan ke sana! Jangan menantang Tuan Deni! Dia bukan orang biasa, Lucas.”Langkah Kai terdengar dari lorong. Dia muncul sambil membawa gayung berisi air, menetes-netes di lantai.“Ibu, tenanglah,” katanya sambil menyerah
Pria bertubuh besar dengan suara bak halilintar itu berdiri di depan pintu. Wajahnya penuh kemarahan. Tato naga hitam menghiasi lengan kirinya, dan rantai emas tebal menggantung di lehernya.“Kamu tidak perlu ikut campur kecuali kamu mau mendapat masalah!” ucap pria bernama Baron.“Namaku Lucas,” jawabnya tenang, lalu menyunggingkan senyum dingin. “nama belakangku ‘masalah’. Jadi, aku sudah akrab dengan yang namanya masalah.”Baron mendecih. “Sialan.”Lucas melipat tangan di dada. “Sekarang jelaskan, kau ini siapa dan kenapa mencari Liana?”Baron menoleh ke arah Liana yang berada di balik Lucas. “Bukan urusanmu. Aku di sini untuk menagih utang.”Liana melangkah maju dengan wajah tegang. “Baron, aku sudah bilang, aku butuh waktu. Aku belum punya uangnya sekarang.”Baron mengangkat alis. “Waktu? Sudah cukup banyak waktu kau minta, Liana. Tapi utang tetap utang. Harus dibayar sekarang juga sesuai dengan perjanjian! Paham!”Kai langsung berdiri dari tempat duduknya. “Jangan bentak ibu say
“Bukti adalah segalanya,” gumam Angeline pelan, matanya masih terpaku pada lima nama di atas kertas.Nero berdiri tegak di hadapannya. “Buktinya akan menyusul, Bu Presdir.”Angeline menatapnya tajam. “Maksudmu?”“Pak Jack Will yang akan menyerahkannya,” jelas Nero tanpa ragu.Kening Angeline berkerut. “Kau sudah memberitahu Pak Jack Will sebelum memberitahuku?”Nero mengangguk. “Iya, Bu. Kebetulan kemarin saya tidak sengaja bertemu dengannya.”“Ya sudah… kalau pemilik perusahaan ini sudah tahu, bagaimana lagi.” Nada suaranya datar, tapi matanya menyimpan segunung beban.Nero menunggu sejenak, lalu bertanya hati-hati, “Kalau begitu, apa langkah selanjutnya? Apakah kelima orang ini langsung dipecat dan diproses hukum?”Angeline menggeleng perlahan. “Tidak. Kita tunggu saja Pak Jack Will. Aku tidak ingin gegabah.”“Baik,” kata Nero, menunduk hormat, mengikuti keputusannya.Sabrina, yang sejak tadi diam, mengambil berkas itu dan membacanya. Matanya membelalak. “Mereka… mereka semua orang
“Fokus! Jangan seperti anak kecil yang baru belajar berdiri!”Suara Grandmaster Xena menggema di tengah tanah lapang yang dikelilingi pohon-pohon tinggi.Dario terhuyung, peluh menetes dari dagunya. Dia menarik napas panjang lalu kembali ke posisi kuda-kuda.“Maaf, Bibi Xena,” katanya sambil menggertakkan gigi.“Tutup mulutmu! Ulangi gerakan ‘Naga Membelah Awan’ dari awal!”Dario mengangguk. Dia memutar tubuh, mengangkat kaki dan mengayunkannya dalam gerakan melingkar. Namun sebelum selesai sesuatu yang tidak terduga terjadi.Wussh!Sebuah pukulan dari tenaga dalam melesat seperti bola angin, menghantam pundaknya.Bruuuk!Tubuh Dario terpelanting sejauh 10 meter dan menghantam tanah dengan suara keras.“Gah!”“Lakukan gerakan yang benar!” seru Xena dingin.“Aku sudah melakukan dengan benar…” Dario mengerang sambil berusaha bangkit.Xena menyipitkan mata. “Kamu kira aku buta? Mataku masih tajam, bahkan bisa melihat lalat yang hinggap di jarum!”Dario buru-buru menggeleng. “Tidak! Aku t
Di kepala Lucas, adegan-adegan panas telah tersaji, membuat dia semakin bergairah.Otaknya pun mencari cara bagaimana dia bisa membuat Angeline mau melayaninya.Tangannya secara perlahan memijat pundak dan turun ke lengan. Dia sebisa mungkin menyentuh kulit Angeline yang saat ini sudah hanya mengenakan tanktop warna putih saja.“Aku sudah menghabiskannya.” Angeline berkata sambil menunjukkan gelas yang telah kosong.“Bagus. Sebentar lagi lelahmu akan hilang,” kata Lucas seraya mengambil gelas itu.Lucas pun meletakkan gelasnya ke meja.“Aku akan mandi dulu,” kata Angeline.Buru-buru, Lucas kembali dan memegang pundak Angeline sambil berkata, “Apakah kamu nggak mau dipijat dulu? Setelah dipijat, baru mandi. Bagaimana?”Angeline bertanya, “Apakah itu tidak apa-apa? Kamu tidak lelah?”Lucas melanjutkan pijatannya. “Tidak. Hari ini aku hanya mengadakan rapat saja di sasana tidak ada hal berat yang aku lakukan.”“Hmm … baiklah. Terima kasih!” ucap Angeline.Dari belakang, dada Angeline te