Part 72 Happy Ending?Seperti yang dikatakan oleh Jimi, jarak rumah sakit terdekat dari tempat ini membutuhkan setidaknya setengah jam. Karena jarak Brian dan Clay lebih dekat dan jika menyusul Jims dan Davina akan memakan waktu yang lebih lama, kedua pria itu memutuskan untuk menunggu di depan rumah sakit setelah mengirim ambulance yang bertemu di tengah jalan dan segera memberikan pertolongan pertama, terutama untuk Davina.Gadis itu nyaris kehabisan air ketuban yang terus merembes. Ditambah rasa sakit yang muncul yang semakin intens membuatnya mulai kewalahan harus menahan kepala Dirga tetap di pangkuannya.Begitu mobil yang membawa Dirga dan Davina muncul di halaman rumah sakit. Petugas rumah sakit segera membawa keduanya ke ruang operasi. Davina harus segera melakukan operasi cesar dan Dirga harus mendapatkan beberapa jahitan yang cukup serius di kepalanya. Begitu pun dengan Jimi yang mengalami luka cukup serius di perut.Setelah dua jam berlalu, Davina keluar lebih dulu. Harus b
Tangan Davina bergetar oleh kegugupan. Menatap wajah mungil yang masih memerah tersebut. Tetapi kemudian kedua tangannya terulur dengan hati-hati, membunuh ketakutannya karena ketakutan tersebut malah akan membuat bayinya terluka.Perawat dengan telaten mengajarkan Davina bagaimana cara menggendong yang baik. Davina belajar dengan cepat tanpa ia duga. Dan sekarang bayi mungil itu berada dalam pelukannya. Tangisan bayi segera berhenti begitu mendapatkan posisi yang nyaman dalam pelukan sang mama.“Dia mirip denganmu, kan?” Brian duduk di pinggiran tempat tidur, menjulurkan wajah menatap sang cucu. Ah, sial, sekarang ia sudah menjadi seorang kakek. Tapi … tidak masalah jika cucunya selucu dan semenggemaskan ini. “Wajahnya sepenuhnya milikmu.”“Matanya sama dengan mata Dirga.” Davina menyentuhkan ujung jarinya di hidung mungil tersebut dengan hati-hati. Kedua matanya terbuka, menatap ke arah Davina. “Dia tersenyum.”“Ya, dia bisa merasakan pelukanmu. Tapi …perawat bilang dia belum bisa m
Istri Sang TuanPandangan Davina dan Dirga saling bertemu untuk beberapa saat yang lama. Kedua pasang mata mereka saling melekat satu sama lain.“Siapa dia?”Brian dan Davina menoleh, keduanya saling pandang sejenak sebelum menjawab bersamaan dengan jawaban yang berbeda.“Pelayan Anda.”“Keponakanku.”Kening Dirga berkerut dengan kedua jawaban tersebut. Menatap Davina dan Brian bergantian.Sekali lagi Brian dan Davina saling pandang, dan memutuskan Brian yang menjawab, “Dia keponakanku yang kutitipkan di rumahmu dan dia bekerja sebagai pelayanmu.”Dirga tampak tak yakin dengan jawaban tersebut, tetapi memutuskan mengabaikannya karena merasa bukan hal yang penting. Pasti ada alasan Brian menitipkan keponakan pria itu di rumahnya.“Jadi, apa yang terjadi padaku? Dan apa yang kalian berdua lakukan di negara ini? Bukankah kalian memutuskan tinggal di luar negeri setelah berbulan madu?”Reyna dan Brian saling pandang. Ya, Dirga pasti masih ingat tentang pernikahan mereka, tetapi tidak deng
Wajah Dirga seketika membeku, menatap Brian dan Davina bergantian. Wajah keduanya memucat oleh keterkejutan. Well, apakah ini informasi yang keduanya sembunyikan dainya. “Bukankah kau bilang dia keponakanmu?” desisnya tajam pada Brian kemudian menatap Davina dengan penuh kebencian.“Ya, dia memang keponakanku. Dan dia juga anak kandung Jimi. Kau tahu keduanya.” Brian menjawab dengan tak kalah tegasnya sekaligus sinis ketika menatap ke arah Reyna. Wajah wanita seketika dipenuhi sesal karena sembarangan bicara, yang membuat Brian bisa membuka mulut kapan saja tentang fakta Davina sebagai istri Dirga.“Dan aku tetap mempekerjakannya sebagai pelayan di rumahku?”“Ya.” Brian mengangguk. “Jadi … karena dia bekerja di rumahku sehingga Jimi berhasil melakukan ini kepadaku?” Dirga menunjuk kepalanya yang masih diperban.Brian seketika terdiam. “Tidak sepenuhnya benar, tapi dia tidak mengkhianatimu.”Kedua mata Dirga membeliak tak percaya, kebencian di matanya sama sekali tak melunak terhadap
PrologDavina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tanpa emosi. Davina bangkit berdiri sambil menjatuhkan penutup toilet. “Sepertinya ada yang salah dengan p
"Jadi kau masih hidup?" Seringai Jimi naik lebih tinggi. Kelicikan dan kebengisan berkilat jadi satu di kedua matanya yang bengkak dengan luka lebam di sebelah kiri. Ujung bibir pria itu juga robek dan Dirga yakin luka di tubuh Jimi lebih banyak dari yang terlihat di wajah.Saga benar-benar memberi pria itu penderitaan yang lembuy. Perlahan dan menyiksa. Tetapi semua penyiksaan itu tak membuat kesombongan seorang Jimi Riley runtuh."Ya, jika pengkhianat sepertimu masih bisa bernapaa, kenapa aku tidak?"Jimi terkekeh lalu mendenguskan balasan. "Wanita Ganuo yang menyelamatkanmu, aku hampir melemparnya dari atas gedung. Nyaris. Seharusnya aku menembaknya sebelum Ganuo datang. Untuk merayakan tragedi yang sama."Wajah Dirga seketika menggelap, hanya untuk sejenak. Di detik berikutnya, ialah yang membalik posisi. Tangannya merogoh selembar foto dari saku kemeja dan menunjukkannya pada Jimi. "Dia memiliki mata yang sama denganmu. Lemah dan haus kasih sayang."Seringai Dirga naik lebih ting
Setelah jam sepuluh malam, akhirnya Dirga membiarkan Davina turun dari tempat tidur dan kembali ke kamarnya. Kamarnya tepat berada di samping kamar sang tuan. Yang meskipun ia tidak menempati kamar para pelayan karena memudahkan sang tuan menginginkan dirinya kapan pun.Tubuhnya terasa menggigil, lemah dan seluruh tenaganya teruras habis. Ia menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya dan memejamkan mata. Membiarkan kantuk berat menyelimutinya. Begitu cepat.*** Pagi itu, di ruang makan Galena menyambut kedatangan Dirga dengan senyum semringahnya. Ya, sejak kemarin wanita itu bermalam di rumah ini, untuk satu bulan ke depan atau untuk seterusnya jika ia berminat melanjutkan pertunangan mereka.Papa Galena menjadi investor terbesar di perusahaannya setelah Jimi mengobrak-abriknya. Membantunya selamat dari ambang kebangkrutan. Dan Galena sebagai putri kesayangan, yang secara kebetulan tertarik padanya, tentu saja tak membuang kesempatan itu. Meminta sang papa menjodohkan dirinya dengan
Praanggg ...Nampan di tangan Galena jatuh berhamburan ke lantai. "Kau tidak mendengar perintahku?" desis Dirga pada Galena. Sudah cukup keangkuhan wanita itu membuat selera makannya di meja makan raib, sekarang wanita itu mencoba menentang perintahnya. "Apa kau mencoba menantangku?"Bibir Galena membeku. Ketakutan merebak di dadanya. "A-aku hanya bermaksud melayanimu ...""Aku tak membutuhkannya.""T-tapi aku tunanganmu, Dirga? Kenapa kau begitu marah ...""Aku sudah mengatakan padamu, kan. Hanya butuh satu syarat kau tinggal di tempat ini. Patuhi peraturanku atau enyah dari hadapanku.""Kau benar-benar keterlaluan, Dirga!" Galena memberanikan diri untuk menentang. Kedua matanya berkaca-kaca oleh kekecewaan oleh kata-kata Dirga yang begitu dingin dan tak punya hati."Aku tak butuh istri yang tidak penurut, apalagi terlalu menuntut. Sekali lagi kuperingatkan padamu, ucapanku adalah peraturan di rumah ini. Jangan ganggu kesenanganku, urusanku, atau bahkan masalahku."Galena tak mengat