Part 62 Hormon Kehamilan? Atau Karmakah? Cukup sudah. Kesabaran Dirga yang hanya setipis kulit ari kini menguap seketika. Gemuruh di dadanya meluap-luap tak terkendali. Tak hanya oleh kata-kata Davina yang mengatakan bahwa hanya dengan melihat wajah David saja sudah meningkatkan selera makan gadis itu. Dan melihat Ega yang menyentuh wajah istrinya, maka raiblah semua kesabaran tersebut. Dirga menyeberangi ruang makan dengan langkah besar-besarnya. Tangannya menyapu meja pantry hingga semua makanan di sana jatuh berhamburan di lantai. Kemudian mendorong David hingga pemuda itu terhuyung ke belakang, menyentakkan tangan Ega menjauh dari wajah Davina. “Kita pulang,” desis Dirga menangkap pinggang Davina dan menurunkan sang istri dari kursi. Kemudian menyambar pergelangan tangan Davina dan menyeretnya pergi. David yang mendapatkan keseimbangannya dengan cepat mengejar Dirga dan berhasil pergelangan sang adik. “Tidak bisakah kau bersikap lebih lembut pada peremupuan, hah?” bentaknya de
"Aku butuh jawaban, gadis licik," desis Dirga lirih. Tepat di depan wajah Davina yang terdongak. Davina mengangguk. Merasakan keputus asaan yang begitu besar di dadanya. Menyadari ketololannya, menyadari dirinya yang begitu menyedihkan dengan perasaan cintanya pada Dirga. Untuk semua derita yang sudah ia terima, untuk semua siksaan dan keburukan yang dilimpahkan Dirga padanya. Dan bahkan dengan semua sisi buruk Dirga yang sebagian kecil sudah terpampang jelas di hadapannya. Dengan ketakutan yang seringkali menyeruak di dadanya oleh kekejaman pria itu. Kenapa perasaan di hatinya masih menetap dengan tanpa tahu diri? Pertanyaan yang masih belum ia temukan jawabannya. Mungkin tak pernah. Davina sudah dibuat frustrasi dengan semua tumpukan kemelut itu. Dan inilah yang dimaksud oleh Dirga. Tentang pengaruh pria itu baginya. "Aku butuh jawaban." Dirga mengulang. Ibu jarimu mengusap bibir bagian bawah Davina dengan kasar. Sengaja untuk menyadarkan Davina dari mimpi gadis itu. Membangun
Part 63 Hormon Kehamilan Sialan Sudah tengah malam dan Dirga hanya berguling di tempat tidur. Berguling-guling dengan gusar karena matanya tak kunjung terpejam. Mengerang kesal, Dirga melompat terduduk. Mengusap wajahnya dengan kasar dan tak habis pikir dirinya kembali ke kamar ini dengan kekecewaan dan merasa begitu menyedihkan. Ia bahkan tidak menggunakan parfum dan Davina mual setiap kali ia mendekati gadis itu. Karena aroma tubuhnya gadis itu bilang. Pada awalnya Dirga pikir itu hanyalah alasan yDavina untuk menolak keinginannya. Ia pikir gadis itu terlalu pandai bersandiwara hingga kebohongannya tak tertangkap olehnya. Namun, melihat kepucatan di wajah Davina yang kehabisan tenaga karena terus muntah setiap kali ia bergerak lebih dekat, Dirga pun memutuskan melepaskan Davina malam ini. Lewat tengah malam, karena matanya tak kunjung terpejam oleh hasrat yang tak tersalurkan yang tetap tak bisa teredam meski ia sudah mandi dengan air dingin, Dirga memutuskan pergi ke ruang kerj
Malam itu, Davina tiba-tiba terbangun oleh rasa haus. Gelas air putihnya di meja nakas sudah habis, memaksanya turun dari tempat tidur dan keluar kamar. Menuju dapur dan membasahi tenggorokannya. Ketika ia menyeberangi ruang tengah, langkahnya toba-tiba terhenti ketika berhenti di depan tangga. Melihat ke lantai dua. Lampu di atas sudah dimatikan, tapi ada pantulan cahaya yang berasal dari lorong sebelah kiri. Kaki Davina tiba-tiba mulai menaiki anak tangga. Dengan lambat dan hati-hati ia berpegangan pada pagar. Sampai di atas, langkahnya membawanya ke ruang kerja Dirga. Yang setengah terbuka dan lampunya masih menyala. Davina memelankan langkahnya. Mengintip dari celah pintu yang cukup lebar dan melihat Dirga yang duduk di balik meja. Wajah pria itu tertunduk, tampak serius dengan berkas yang ada di meja. Hanya sesaat ia mengamati pria itu, ketika tiba-tiba wajah Dirga terangkat dan menoleh ke arah pintu. Davina terkesiap pelan dan segera menyembunyikan diri. Bernapas lega tak t
Part 65 Menyambut PersalinanSatu menit penuh, Dirga hanya membeku dalam keterdiamannya. Ada sesuatu yang menyelinap di dadanya, yang tak hanya berhasil menyentuh perasaannya.Davina memahami keterkejutan Dirga, memberi waktu bagi pria itu untuk mencerna dengan perlahan dan hati-hati. Tak ada tanda-tanda penolakan di wajah Dirga, membuatnya semakin berani mencoba keberuntungannya dengan menggerakkan telapak tangannya dari sisi wajah Dirga, turun ke bawah. Hingga berhenti di dada pria itu. “Selain dendammu padamu ayahku di sini, selain perasaan yang kau miliki untuk masa lalumu. Apakah masih ada ruang di tempat ini, untukku?”Dirga masih tenggelam dalam keterkejutannya, matanya berkedip sekali. Menatap kedua mata Davina yang polos dan rapuh, dengan semua ketulusan tersebut, kepalanya mengangguk sekali. Sangat pelan tapi ia tahu Davina menangkap gerakan tersebut. Jarak mereka begitu tipis. Membuat setiap inci ketulusan di wajah Davina terpampang jelas.Senyum mengembang di kedua ujung b
Hubungan Dirga dan Davina semakin hari semakin membaik. Dirga merasa hari-harinya menjadi lebih menyenangkan. Semakin dan semakin membahagiakannya. Bahagia? Dirga bahkan lupa bagaimana caranya berbahagia, sudah sejak lama. Dan berjalannya waktu dengan hubungan mereka yang semakin dalam, ia mulai tahu cara merasakan perasaan tersebut. Pelan dan pelan.Begitu pun dengan Davina. Suasana hati yang baik membuat kehamilan gadis itu berjalan dengan sangat baik. Perkembangan janin di dalam perutnya juga bertumbuh dengan sehat.“Suaramu terdengar riang, ada sesuatu yang membahagiakan?” Ada ketidak sukaan yang sama sekali tak ditutupi oleh David ketika siang itu sang kakak menghubunginya.“Ehm, tidak ada. Aku hanya baik-baik saja seperti biasanya.”Davina bisa mendengar gerutuan David yang merasa bosan dengan jawabannya yang selalu dan masih sama. Aku baik-baik saja.“Baguslah kalau kau memang baik-baik saja.”Hening sejenak.“Ada yang ingin kukatakan padamu.”“Ya, apa?”“Minggu depan, aku haru
Part 66 Kemunculan Sang AyahNapas Davina tertahan. Mengingat kekejaman yang pernah dilakukan sang ayah pada Dirga, hanya ada kemungkinan terburuk yang ada di kepalanya. "Apa yang kau lakukan pada Dirga?"Jimi terkekeh, tak percaya dengan pertanyaan yang dilontarkan sang putri. "Kau mengkhawatirkannya?""Tidak cukupkah semua yang sudah kau lakukan padanya?"Jimi terkekeh. "Bagaimana dengan yang dilakukannya padamu? Ck, kenapa kau begitu menyedihkan? Seperti ibumu." Wajah Davina tak bisa lebih pucat lagi. Tubuhnya membeku. Tak hanya kemarahan dan kebencian yang menguasai dadanya untuk pria itu, tetapi juga kekecewaan. "Kau tak berhak mengatakan hal itu pada ibuku." Bibirnya bergetar hebat. "Kau bahkan tak berhak menyebutnya dengan mulutnya."Jimi terbahak. "Katakan itu pada apa yang sudah kuberikan pada kalian berdua. Kaupikir karena siapa kau bisa hidup hingga sekarang, hah? Tidak mati kelaparan …""Mati lebih baik daripada punya ayah sepertimu!" Suara Davina cukup keras hingga ia me
“Minggu depan dia harus pergi ke luar negeri dengan keluarganya,” jelas Davina yang perlahan mengurangi ketidak sukaan di mata Dirga. Meski tidak dengan kerutan di kening Dirga yang semakin menajam, tentu saja pria itu tahu kebohongan yang berusaha disembunyikan Davina darinya. Tapi gadis itu pasti memiliki alasan dan ia tak akan memaksa Davina bicara lebih jika gadis itu tidak menginginkan. “Dia akan datang setelah makan siang.”“Benarkah?” Mata Davina melebar, rupanya pamannya sudah memiliki janji temu dengan Dirga.Dirga mengangkat pergelangan tangannya. “Sepertinya dia sudah dalam perjalanan kemari.”Davina mengangguk dan Dirga melangkah masuk ke dalam rumah. Tak sampai sepuluh menit, ketika Dirga mendapatkan panggilan dan berjalan menjauh darinya, Davina melihat sang paman yang melangkah keluar dari pintu belakang.Davina segera bangun dari duduknya dan menghampiri sang paman. Keduanya saling berpelukan.“Di mana Dirga?” Tepat ketika Brian menyelesaikan pertanyaannya, Brian meli