“Minggu depan dia harus pergi ke luar negeri dengan keluarganya,” jelas Davina yang perlahan mengurangi ketidak sukaan di mata Dirga. Meski tidak dengan kerutan di kening Dirga yang semakin menajam, tentu saja pria itu tahu kebohongan yang berusaha disembunyikan Davina darinya. Tapi gadis itu pasti memiliki alasan dan ia tak akan memaksa Davina bicara lebih jika gadis itu tidak menginginkan. “Dia akan datang setelah makan siang.”“Benarkah?” Mata Davina melebar, rupanya pamannya sudah memiliki janji temu dengan Dirga.Dirga mengangkat pergelangan tangannya. “Sepertinya dia sudah dalam perjalanan kemari.”Davina mengangguk dan Dirga melangkah masuk ke dalam rumah. Tak sampai sepuluh menit, ketika Dirga mendapatkan panggilan dan berjalan menjauh darinya, Davina melihat sang paman yang melangkah keluar dari pintu belakang.Davina segera bangun dari duduknya dan menghampiri sang paman. Keduanya saling berpelukan.“Di mana Dirga?” Tepat ketika Brian menyelesaikan pertanyaannya, Brian meli
Davina melihat Dirga menuruni anak tangga ketika hendak masuk ke dalam kamarnya. Ia berhenti ketika tatapan mereka bertemu dan pria itu akan menghampirinya. "Aku tidak melihat paman," ucapnya dengan lengan Dirga yang menangkap pinggangnya. Jarak di antara mereka cukup jauh karena perutnya yang besar, membuat pria itu harus membungkuk lebih dalam untuk mendapatkan satu kecupan di bibir. "Dia akan segera turun. Tapi aku harus ke kantor lebih dulu. Kau ingin istirahat di kamar?" Davina mengangguk. Sengaja meninggalkan ponselnya di meja halaman belakang karena tak ingin tergoda mengangkat panggilan sang ayah. "Semuanya baik-baik saja?" tanya Davina. Dirga merangkum sisi wajah Davina dan mengangguk. "Tentu saja." Davina terdiam sejenak. "A-apa paman mengatakan sesuatu?" "Tentang ayahmu?" Davina segera mengerjap gugup. Dirga mendengus tipis dengan reaksi tersebut. "Kau tahu aku tahu semua yang coba kau sembunyikan, Davina. Aku bertanya bukan karena tak tahu." Wajah Davina memera
Part 68 Firasat Pegangan Davina pada ponselnya melemah. Napasya tertahan dengan keras dan seluruh kekuatan raib dari tubuhnya. Dirga yang menyadari ada sesuatu yang janggal dengan ekspresi Davina segera menyambar ponsel gadis itu. Wajahnya merah padam melihat gambar yang tertampil di layar ponsel sang istri. Melihat David yang terduduk di sebuah kursi kayu dengan kepala terlunglai. Kedua tangan diikat ke belakang dan kedua kakinya diikatkan ke kaki kursi. Dan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sudah jelas siapa pelakunya. Pesan gambar ini dikirim dari nomor David dan pelakunya tak diragukan lagi adalah Jimi. "Ada apa?" Brian tampak cemas. Mengambil ponsel di tangan Dirga. Tercengang sejenak tetapi segera menguasai situasi serius ini. Melompat berdiri hingga hampir menggulingkan kursi yang didudukinya. "Bawa Davina, aku akan mengurusnya," perintah sang paman. "Tidak, Paman. Davina ingin …" Davina segera menentang keputusan tersebut. "Tidak, Davina," tentang Dirga memotong permohon
"Kenapa kau bertanya seperti itu, Dirga?" "Hanya penasaran," jawab Dirga dengan suara yang lebih lirih dan lunak. Hubungan mereka diawali dengan cara yang buruk. Kehadiran anak dalam kandungan Davina pernah menjadi kekacauan dan kecerobohan yang ia sesali. Tak hanya bagi dirinya. Tapi juga Davina yang bahkan sempat berniat menggugurkan kandungan tersebut. Jadi, hubungan yang dimulai dengan cara yang buruk, tak mungkin memberikan ikatan yang begitu dalam bagi Davina dan anak itu, kan? Meski secara fisik dan emosi sekarang keduanya saling terhubung. Dirga tak yakin jika putrinya sudah lahir dan berpisah tubuh dengan sang ibu. Mungkinkan ikatan itu akan lebih kuat dari ikatan Davina dan David? Davina menunduk dan mengelus perutnya. Kemudian kembali menatap Dirga dan menjawab, "Dia anakku, Dirga. Menggantungkan hidup padaku. Bertumbuh di perutku untuk waktu yang lama. Kami berbagi perasaan dan emosi. Jika dia saja bisa, merasakan keberadaanmu, bagaimana mungkin ikatan kami lebih lemah
"Mau ke mana kau?" Suara Dirga menghentikan langkah Davina yang sudah akan menyentuh undakan. Davina menoleh, melihat Dirga yang melewati pintu utama dan menghampirinya. Ia menggeleng sekali, kembali memutar kepala ke arah carport. "Ada apa?" Kedua matanya Dirga mengikuti arah pandangan Davina. "Tidak ada. Hanya … sepertinya aku salah lihat." Davina kali ini membalikkan tubuhnya ke arah Dirga, membiarkan pria itu menuntunnya masuk kembali ke rumah. "Memangnya apa yang kau lihat?" Dirga menjatuhkan satu kecupan di ujung kepala Davina. Setiap kali berada di sekeliling Davina, ia tak pernah bisa menahan keinginannya untuk melakukan keintiman seperti ini. Aroma tubuh gadis itu tak berhenti memabukkannya. Davina menoleh ke samping dengan kerutan di antara kedua alisnya. Tampak berpikir sejenak. "H-hanya perasaanku yang berlebihan." "Dan apakah itu?" "Kau." "Aku?" "Aku mengkhawatirkanmu." Davina menjatuhkan kepalanya di dada Dirga dan pria itu semakin mengeratkan pelukannya. Dir
“Aku benar-benar membencimu, Jimi,” sumpah Davina ketika Jimi berhasil mendorongnya masuk ke dalam salah satu mobil yang ada di dalam carport. Membanting pintunya tertutup sebelum memutari bagian depan mobil dan duduk di balik kemudi. Jimi mendengus. “Ya, aku juga sangat menyayangimu, putriku. Sebaiknya kau pasang sabuk pengamanmu. Jika tidak ingin sesuatu terjadi dengan perutmu.” Davina ingin menentang perintah tersebut, tetapi menyadari kecepatan mobil yang semakin tinggi dan jika sesuatu terjadi pada mereka, ia tak ingin membahayakan anak dalam kandungannya. Ia pun memasang sabuk pengaman dengan hati-hati, berusaha menepis kengerian yang menyergap dadanya ketika pandangannya beralih ke depan. Jalanan begitu lengang, hanya dalam hitungan detik mereka berhasil kelar dari area perumahan elit ini. “Aku tahu Dirga akan datang untuk menyelamatkan kami.” Jimi mendengus. “Mungkin. Tapi tak akan mudah. Dia bisa melakukasan usaha terbaiknya. Sayangnya, sku sudah membuang pelacak di mob
Keheningan sempat terjeda ketika tubuh Jimi terdorong ke belakang dan mendapatkan keseimbangan tubuh pria itu di detik berikutnya. Wajah Jims tertunduk patuh tanpa mengusap darah yang merembes dari hidungnya.Suara dering ponsel di saku celana Dirga memecah keheningan tersebut. Ia merogoh ponsel tersebut dan nama Clay muncul di sana."Sebaiknya kau membawa kabar baik, Clay. Aku tidak butuh ketidakbecusanmu."'Mobilmu ada di gedung kantormu. Salah satu anak buahku mengikuti mobil yang ternyata memang sudah dipersiapkan Jimi. Apakah ini kabar buruk?'"Katakan ke mana mereka mengarah?" Dirga bergegas memberikan isyarat pada Jims untuk bergegas menyiapkan mobil.'Aku memikirkan sesuatu, dan sepertinya aku memiliki sedikit petunjuk ke mana. Butuh sedikit lebih lama untuk melihat arahnya dan memastikan tujuannya.'"Aku tak punya waktu, Clay," desis Dirga menajam.'Oke. Kau memang tak sabaran, Dirga. Aku akan mengirim lokasi GPSnya. Aku dan Brian sedang dalam perjalanan ke sana. Tapi cecun
Part 72 Happy Ending?Seperti yang dikatakan oleh Jimi, jarak rumah sakit terdekat dari tempat ini membutuhkan setidaknya setengah jam. Karena jarak Brian dan Clay lebih dekat dan jika menyusul Jims dan Davina akan memakan waktu yang lebih lama, kedua pria itu memutuskan untuk menunggu di depan rumah sakit setelah mengirim ambulance yang bertemu di tengah jalan dan segera memberikan pertolongan pertama, terutama untuk Davina.Gadis itu nyaris kehabisan air ketuban yang terus merembes. Ditambah rasa sakit yang muncul yang semakin intens membuatnya mulai kewalahan harus menahan kepala Dirga tetap di pangkuannya.Begitu mobil yang membawa Dirga dan Davina muncul di halaman rumah sakit. Petugas rumah sakit segera membawa keduanya ke ruang operasi. Davina harus segera melakukan operasi cesar dan Dirga harus mendapatkan beberapa jahitan yang cukup serius di kepalanya. Begitu pun dengan Jimi yang mengalami luka cukup serius di perut.Setelah dua jam berlalu, Davina keluar lebih dulu. Harus b
Davina membalas ciuman tersebut dengan tak kalah lembutnya. Menerima semua buncahan perasaan cinta dan kasih yang diungkapkan Dirga melalui ciuman tersebut. Hingga akhirnya pagutan tersebut berakhir, Dirga tetap membiarkan wajahnya dan Davina berjarak setipis mungkin, membiarkan napas mereka saling berhembus di wajah masing-masing, berbagi udara bersama. “Kau pernah bilang, kehadirannya datang di saat yang tidak tepat.” Davina kembali bersuara. “Namun, aku menyadari, keberadaannya di antara kita, ternyata datang di saat yang tepat. Untuk menghentikan pertikaian yang tak bisa kita kendalikan ini sebelum menghancurkan kita berdua hingga di titik yang tak bisa diselamatkan.” “Kedengarannya seperti aku.” “Hmm, memang.” Davina tertawa kecil. Dan tawa tersebut terdengar begitu indah di telinga Dirga. “Aku pernah menghadapimu yang lebih buruk dari sekedar ingatan yang hilang. Jadi … kupikir ini bukan masalah, kan?” “Oh ya?” Dirga menyangsikan pernyataan tersebut. Davina mengangkat tang
Extra 8 Ungkapan Cinta Sang Tuan “Jadi kau tak akan menjawabku?” Pertanyaan Dirga membuyarkan lamunan yang malah menatap pria itu dengan terbengong. “Pergilah kalau begitu. Kau tak akan membiarkan anakku tertular penyakitku, kan?” Davina mengerjap, kemudian mengangguk meski kedua kakinya enggan bergerak dari tempat ini. “A-apa kau akan tidur di kamar?” “Kau ingin aku tidur di mana?” Davina tak langsung menjawab, menatap lurus kedua mata Dirga yang pasti tahu apa keinginannya. Ujung bibir hanya menyeringai dengan tatapan tersebut. “Pergilah ke kamar.” Ada segurat kecewa yang muncul di kedua mata dengan pengusiran tersebut meski nada suara Dirga terdengar lembut. Davina memaksa kedua kakinya berputar dan beranjak menuju pintu. Ia baru mendapatkan dua langkah ketika tiba-tiba Dirga memanggil namanya. “Davina?” Tubuh Davina berputar dengan cepat, menghadap Dirga yang masih duduk di kursi di balik meja. Menatapnya dengan lembut meski ada sesuatu yang mengganggu dalam tatapan pria i
Kedua alis Brian menyatu, bertanya-tanya dengan kalimat Davina. Kemudian gadis itu sedikit berjinjit dan mendekatkan wajah ke arahnya, yang membuatnya harus menunduk. Memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan apa yang akan diucapkan sang keponakan. Dan semakin ia mendengar, keterkejutan membuatnya membelalak. Menarik kepala dari Davina dan menatap penuh ketidak percayaan. Davina hanya tersenyum menanggapi reaksi Brian. “Kau yakin dia melakukan itu?” Davina mengangguk dengan mantap. “Tidak mungkin. Kau yakin kau tidak sedang bermimpi ketika mendengarnya?” Davina menggeleng. Sekali dengan penuh kemantapan yang segera meluruhkan keraguan Brian. “Dia bahkan tidak tahu kalau Davina mendengarnya.” “Mungkin bukan untukmu?” “Untuk Davina Dirgantara. Istriku, Davina jelas mendengar itu.” Brian masih tercenung. Sangat lama hingga Davina kembali memecah keheningan tersebut. “Perlahan ingatannya akan kembali, paman. Bahkan apa yang dirasakannya terhadap Davina tak pernah berubah mesk
Kening Brian berkerut dalam melihat kepuasan yang terasa janggal memenuhi wajah Dirga. Bahkan ia bisa menangkap senyum semringah di kedua mata pria itu. “Kenapa?” Brian segera menepis kecurigaan yang menggalayuti hatinya. Jika Dirga terlihat sesenang ini, pasti ada sesuatu yang sudah dilakukan pria itu pada Davina. Namun, saat Dirga melewatinya dan ia melangkah masuk ke dalam ruang perawatan Davina, ia sama sekali tak melihat sesuatu yang janggal di wajah sang keponakan. Davina bahkan tampak lebih tenang, wajah mungil gadis itu juga tak terlihat habis menangis. Sekali lagi Brian mengamati lebih teliti wajah sang keponakan. Mencoba mencari jejak air mata di sekitar kelopak mata. Tapi kecurigaannya tak kunjung menunjukkan bukti. “Kenapa paman melihat Davina seperti itu?” Brian menggeleng pelan. “Apa yang dilakukan Dirga padamu?” Alih-alih menjawab, wajah Davina malah memerah mendengar pertanyaan tersebut. Tentu saja apa yang baru saja ia lakukan dengan Dirga bukan hal yang tepat
Dirga mendengus. “Kau bertanya karena cemburu atau karena benar-benar peduli pada kebutuhan pria dewasaku yang tidak bisa kau penuhi?” Davina tak menjawab. Menurunkan pandangannya karena malu. “Atau … keduanya?” “M-maaf.” Dirga mendengus tipis. “Untuk apa kau meminta maaf. Aku memahami rasa bersalahmu. Istri mana yang akan tahan jika suaminya bermain gila di luar sana sementara dirinya sedang tak berdaya tak bisa melayani sang suami. Aku tak akan menyalahkanmu.” Wajah Davina perlahan terangkat, menatap Dirga dengan penuh haru. Dirga sendiri dibuat terpaku dengan emosi yang begitu kuat di wajah Davina, yang lagi-lagi berhasil menyentuh hatinya. yang entah bagaimana berhasil melumpuhkannya. Lalu matanya mengerjap, menyadarkan diri dari pengaruh Davina yang mulai menyergap kewarasannya. Semua tentang gadis ini selalu berada di luar kewarasannya. Bahkan kesetiaan yang seolah mengakar di dadanya. Yang tak dikenalinya ini. Ya, ia begitu frustrasi karena gairahnya tak terpuaskan karen
Extra 6 Milik Sang Tuan Canda tawa di ruangan tersebut segera segera terhenti dengan kemunculan Dirga. Mata Davina berkedip beberapa kali, terkejut sekaligus bertanya-tanya akan sikap Dirga yang muncul dengan cara mesra seperti ini. Seolah Dirganya yang dulu telah kembali, yang selalu menampilkan keintiman seperti ini untuk membuat siapa pun tahu bahwa dirinya hanya milik pria itu seorang. Dan seolah belum cukup kejutan yang diberikan pria itu terhadapnya. Wajah Davina merah padam ketika Dirga meletakkan kantong putih berukuran sedang di pangkuannya. “A-apa ini?” “Alat pumping asi.” Davina menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia bertanya bukan karena tak tahu. Dan seharusnya ia pun tak mempertanyakan hal tersebut pada Dirga. “Anak kita butuh makan. Kau tak meninggalkan banyak stok asi di rumah. Jadi … sebelum baby Elea kelaparan kau harus …” “Aku mengerti, Dirga.” Davina sengaja memotong kalimat Dirga sebelum kalimat pria itu terdengar semakin vulgar di hadapan Ega. Tidak bisakah m
Clay mengangkat jam di pergelangan tangannya. “Menjelang pagi. Dan sekarang waktu yang tepat untuk memeriksamu karena aku ada di sini. Kebetulan dia sedang dapat tugas malam. Jadi kita bisa langsung ke ruangannya.” “Aku sedang tidak berminat …” “Kau tak tertarik ingin tahu kapan ingatanmu akan kembali?” Dirga seketika terdiam, kembali menoleh ke arah Clay. “Kau perlu menjalani beberapa tes, Dirga. Yang seharusnya kau lakukan tadi pagi,” tambah Clay lagi. “Lagipula ingatanmu sedang hilang, kan? Sekarang kau melihat Davina sebagai putri dari Jimi. Musuhmu, jadi tahan kekhawatiranmu terhadap istri yang tidak kau ingat sampai ingatanmu kembali. Sekarang kau terlihat seperti Dirga yang tidak kami kenal.” Wajah Dirga menegang, siap meluapkan emosinya pada kata-kata Clay yang lancang. Namun, saat itu juga ia menyadari kekhawatirannya yang memang berlebihan terhadap Davina. Davina Riley. Musuhnya. “Ya, meski kau memang selalu menjadi orang yang tidak kami kenal setelah bertemu dengannya
Extra 5 Kecemburuan Sang Tuan "S-sakit, Dirga," rintihan Davina semakin menjadi. Tak hanya dari beratnya tubuh Dirga yang menekan tubuhnya di dinding dan wajahnya yang dicengkeram oleh pria itu, tetapi juga tekanan di perut yang mendadak membuat kepalanya pusing. "K-kau menyakitiku." Suara Davina semakin lemah. Pandangannya mulai berputar dan matanya mulai mengantuk hingga kegelapan sepenuhnya menyelimutinya. Dirga mengerjap, tersadar dengan cepat ketika kepala Davina jatuh terlunglai ke samping. Ia menarik tubuhnya mundur dan tubuh mungil itu seketika jatuh ke pelukannya. Kedua lengannya segera menangkap tubuh sang istri, dan tepat pada saat itu kedua mata Dirga menangkap genangan arah yang di lantai di bawah kaki mereka. Napas Dirga tercekat dengan keras, membawa Davina ke dalam gendongannya dan berlari keluar kamar. Berteriak memanggil anak buahnya untuk menyiapkan mobil. *** Satu jam kemudian, dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Davina. Demam tinggi, berkunang, dan t
‘Aku mencintaimu, Dirga.’ ‘Aku mencintaimu, Dirga.’ Pernyataan cinta tersebut terputar di kepalanya. Pernyataan cinta yang sama namun dengan suara yang berbeda. Ia mengenali itu adalah suara Rega dan Sesil, juga Davina. Mengikuti rasa kehilangan yang menelusup ke dalam dadanya. “Dirga?” Davina menyentuh pundak Dirga dengan lembut. Ketegangan di wajah pria itu sama ketika ia menyatakan perasaannya dulu. “Kau baik-baik saja?” Dirga mengerjapkan matanya, menatap raut Davina yang diselimuti keheranan. “Ya, tentu saja aku baik-baik saja. Kau pikir pernyataan cinta sentimentil ini akan mempengaruhiku, begitu?” Davina menggeleng pelan. “K-kau .. wajahmu memucat.” “Ya, aku baru terbangun dari komaku tadi pagi, kan?” Beruntung alasan itu muncul di saat yang tepat. Davina mengangguk. “Apa kau sudah minum obatmu?” Mata Dirga menyipit dengan kecemasan yang mendadak menyelimuti wajah polos Davina. “Kau mengkhawatirkanku?” Davina tak menjawab, bimbang jawabannya akan membuat Dirga tersin