Davina melihat Dirga menuruni anak tangga ketika hendak masuk ke dalam kamarnya. Ia berhenti ketika tatapan mereka bertemu dan pria itu akan menghampirinya. "Aku tidak melihat paman," ucapnya dengan lengan Dirga yang menangkap pinggangnya. Jarak di antara mereka cukup jauh karena perutnya yang besar, membuat pria itu harus membungkuk lebih dalam untuk mendapatkan satu kecupan di bibir. "Dia akan segera turun. Tapi aku harus ke kantor lebih dulu. Kau ingin istirahat di kamar?" Davina mengangguk. Sengaja meninggalkan ponselnya di meja halaman belakang karena tak ingin tergoda mengangkat panggilan sang ayah. "Semuanya baik-baik saja?" tanya Davina. Dirga merangkum sisi wajah Davina dan mengangguk. "Tentu saja." Davina terdiam sejenak. "A-apa paman mengatakan sesuatu?" "Tentang ayahmu?" Davina segera mengerjap gugup. Dirga mendengus tipis dengan reaksi tersebut. "Kau tahu aku tahu semua yang coba kau sembunyikan, Davina. Aku bertanya bukan karena tak tahu." Wajah Davina memera
Part 68 Firasat Pegangan Davina pada ponselnya melemah. Napasya tertahan dengan keras dan seluruh kekuatan raib dari tubuhnya. Dirga yang menyadari ada sesuatu yang janggal dengan ekspresi Davina segera menyambar ponsel gadis itu. Wajahnya merah padam melihat gambar yang tertampil di layar ponsel sang istri. Melihat David yang terduduk di sebuah kursi kayu dengan kepala terlunglai. Kedua tangan diikat ke belakang dan kedua kakinya diikatkan ke kaki kursi. Dan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sudah jelas siapa pelakunya. Pesan gambar ini dikirim dari nomor David dan pelakunya tak diragukan lagi adalah Jimi. "Ada apa?" Brian tampak cemas. Mengambil ponsel di tangan Dirga. Tercengang sejenak tetapi segera menguasai situasi serius ini. Melompat berdiri hingga hampir menggulingkan kursi yang didudukinya. "Bawa Davina, aku akan mengurusnya," perintah sang paman. "Tidak, Paman. Davina ingin …" Davina segera menentang keputusan tersebut. "Tidak, Davina," tentang Dirga memotong permohon
"Kenapa kau bertanya seperti itu, Dirga?" "Hanya penasaran," jawab Dirga dengan suara yang lebih lirih dan lunak. Hubungan mereka diawali dengan cara yang buruk. Kehadiran anak dalam kandungan Davina pernah menjadi kekacauan dan kecerobohan yang ia sesali. Tak hanya bagi dirinya. Tapi juga Davina yang bahkan sempat berniat menggugurkan kandungan tersebut. Jadi, hubungan yang dimulai dengan cara yang buruk, tak mungkin memberikan ikatan yang begitu dalam bagi Davina dan anak itu, kan? Meski secara fisik dan emosi sekarang keduanya saling terhubung. Dirga tak yakin jika putrinya sudah lahir dan berpisah tubuh dengan sang ibu. Mungkinkan ikatan itu akan lebih kuat dari ikatan Davina dan David? Davina menunduk dan mengelus perutnya. Kemudian kembali menatap Dirga dan menjawab, "Dia anakku, Dirga. Menggantungkan hidup padaku. Bertumbuh di perutku untuk waktu yang lama. Kami berbagi perasaan dan emosi. Jika dia saja bisa, merasakan keberadaanmu, bagaimana mungkin ikatan kami lebih lemah
"Mau ke mana kau?" Suara Dirga menghentikan langkah Davina yang sudah akan menyentuh undakan. Davina menoleh, melihat Dirga yang melewati pintu utama dan menghampirinya. Ia menggeleng sekali, kembali memutar kepala ke arah carport. "Ada apa?" Kedua matanya Dirga mengikuti arah pandangan Davina. "Tidak ada. Hanya … sepertinya aku salah lihat." Davina kali ini membalikkan tubuhnya ke arah Dirga, membiarkan pria itu menuntunnya masuk kembali ke rumah. "Memangnya apa yang kau lihat?" Dirga menjatuhkan satu kecupan di ujung kepala Davina. Setiap kali berada di sekeliling Davina, ia tak pernah bisa menahan keinginannya untuk melakukan keintiman seperti ini. Aroma tubuh gadis itu tak berhenti memabukkannya. Davina menoleh ke samping dengan kerutan di antara kedua alisnya. Tampak berpikir sejenak. "H-hanya perasaanku yang berlebihan." "Dan apakah itu?" "Kau." "Aku?" "Aku mengkhawatirkanmu." Davina menjatuhkan kepalanya di dada Dirga dan pria itu semakin mengeratkan pelukannya. Dir
“Aku benar-benar membencimu, Jimi,” sumpah Davina ketika Jimi berhasil mendorongnya masuk ke dalam salah satu mobil yang ada di dalam carport. Membanting pintunya tertutup sebelum memutari bagian depan mobil dan duduk di balik kemudi. Jimi mendengus. “Ya, aku juga sangat menyayangimu, putriku. Sebaiknya kau pasang sabuk pengamanmu. Jika tidak ingin sesuatu terjadi dengan perutmu.” Davina ingin menentang perintah tersebut, tetapi menyadari kecepatan mobil yang semakin tinggi dan jika sesuatu terjadi pada mereka, ia tak ingin membahayakan anak dalam kandungannya. Ia pun memasang sabuk pengaman dengan hati-hati, berusaha menepis kengerian yang menyergap dadanya ketika pandangannya beralih ke depan. Jalanan begitu lengang, hanya dalam hitungan detik mereka berhasil kelar dari area perumahan elit ini. “Aku tahu Dirga akan datang untuk menyelamatkan kami.” Jimi mendengus. “Mungkin. Tapi tak akan mudah. Dia bisa melakukasan usaha terbaiknya. Sayangnya, sku sudah membuang pelacak di mob
Keheningan sempat terjeda ketika tubuh Jimi terdorong ke belakang dan mendapatkan keseimbangan tubuh pria itu di detik berikutnya. Wajah Jims tertunduk patuh tanpa mengusap darah yang merembes dari hidungnya.Suara dering ponsel di saku celana Dirga memecah keheningan tersebut. Ia merogoh ponsel tersebut dan nama Clay muncul di sana."Sebaiknya kau membawa kabar baik, Clay. Aku tidak butuh ketidakbecusanmu."'Mobilmu ada di gedung kantormu. Salah satu anak buahku mengikuti mobil yang ternyata memang sudah dipersiapkan Jimi. Apakah ini kabar buruk?'"Katakan ke mana mereka mengarah?" Dirga bergegas memberikan isyarat pada Jims untuk bergegas menyiapkan mobil.'Aku memikirkan sesuatu, dan sepertinya aku memiliki sedikit petunjuk ke mana. Butuh sedikit lebih lama untuk melihat arahnya dan memastikan tujuannya.'"Aku tak punya waktu, Clay," desis Dirga menajam.'Oke. Kau memang tak sabaran, Dirga. Aku akan mengirim lokasi GPSnya. Aku dan Brian sedang dalam perjalanan ke sana. Tapi cecun
Part 72 Happy Ending?Seperti yang dikatakan oleh Jimi, jarak rumah sakit terdekat dari tempat ini membutuhkan setidaknya setengah jam. Karena jarak Brian dan Clay lebih dekat dan jika menyusul Jims dan Davina akan memakan waktu yang lebih lama, kedua pria itu memutuskan untuk menunggu di depan rumah sakit setelah mengirim ambulance yang bertemu di tengah jalan dan segera memberikan pertolongan pertama, terutama untuk Davina.Gadis itu nyaris kehabisan air ketuban yang terus merembes. Ditambah rasa sakit yang muncul yang semakin intens membuatnya mulai kewalahan harus menahan kepala Dirga tetap di pangkuannya.Begitu mobil yang membawa Dirga dan Davina muncul di halaman rumah sakit. Petugas rumah sakit segera membawa keduanya ke ruang operasi. Davina harus segera melakukan operasi cesar dan Dirga harus mendapatkan beberapa jahitan yang cukup serius di kepalanya. Begitu pun dengan Jimi yang mengalami luka cukup serius di perut.Setelah dua jam berlalu, Davina keluar lebih dulu. Harus b
Tangan Davina bergetar oleh kegugupan. Menatap wajah mungil yang masih memerah tersebut. Tetapi kemudian kedua tangannya terulur dengan hati-hati, membunuh ketakutannya karena ketakutan tersebut malah akan membuat bayinya terluka.Perawat dengan telaten mengajarkan Davina bagaimana cara menggendong yang baik. Davina belajar dengan cepat tanpa ia duga. Dan sekarang bayi mungil itu berada dalam pelukannya. Tangisan bayi segera berhenti begitu mendapatkan posisi yang nyaman dalam pelukan sang mama.“Dia mirip denganmu, kan?” Brian duduk di pinggiran tempat tidur, menjulurkan wajah menatap sang cucu. Ah, sial, sekarang ia sudah menjadi seorang kakek. Tapi … tidak masalah jika cucunya selucu dan semenggemaskan ini. “Wajahnya sepenuhnya milikmu.”“Matanya sama dengan mata Dirga.” Davina menyentuhkan ujung jarinya di hidung mungil tersebut dengan hati-hati. Kedua matanya terbuka, menatap ke arah Davina. “Dia tersenyum.”“Ya, dia bisa merasakan pelukanmu. Tapi …perawat bilang dia belum bisa m