Davina kembali menengok keluar di sekitar mobil. Menatap pintu utama gedung tinggi dan Dirga masih juga tidak muncul dari sana. Entah sudah berapa lama ketika Dirga memarkirkan mobil di depan halaman gedung dan meninggalkannya bersama beberapa pengawal yang sudah menunggu sejak mereka datang. Ada dua masing-masing di depan dan belakang mobil dengan sikap siaga. Davina mengedarkan pandangannya, sejak tadi yang ia ketahui dari bangunan tinggi ini adalah sebuah gedung apartemen di kawasan elit. Glory Apartment. Urusan apa dan berapa lama lagi ia harus menunggu, Dirga sama sekali tak memberitahunya. Pria itu hanya menyuruhnya menunggu dan menghabiskan makanan yang tadi dibeli di restoran dalam perjalanan ke tempat ini. Tapi sekarang perutnya sudah kenyang dan kandung kemihnya sudah penuh. Ia buruh ke toilet. Melihat tak ada tanda-tanda kemunculan Dirga dalam waktu dekat, Davina pun melangkah turun. “Nyonya?” Salah satu pengawal bergerak mendekat. “Anda tidak boleh …” “Aku ingin ke
Dirga melangkah turun lebih dulu dan menangkap tangan Davina, memastikan setiap langkah gadis itu dengan hati-hati, terutama ketika menaiki undakan. Ya, semakin besar kandungan Davina, ia pikir mual dan muntah yang gadis itu dapatkan sudah cukup menyiksa sehingga cukup untuk membayar dendamnya terhadap Jimi. Namun, ia tak menyangka dengan perut Davina yang semakin besar, rupanya memberikan siksaan yang lebih besar untuk gadis itu. Dan Davina tetap menerima semua derita dan siksaan tersebut dengan ketulusan. Entah sok tulus atau memang hanya kepasrahan yang gadis itu miliki, Dirga tak akan mempedulikannya. Ia hanya membutuhkan gadis itu di sisinya, juga kepercayaan Davina. Tak peduli apa alasan Davina tetap bertahan dalam pernikahan mereka. Di dalam rumah, langkah Reyna yang baru saja menuruni anak tangga terhenti melihat Dirga yang merangkul pinggang Davina dengan begitu posesif. Kecemburuan merebak memenuhi dadanya. Dirga sudah memutuskan untuk mempertahankan gadis sialan itu dan ta
“Aku memang membenci Galena mengingat apa yang sudah dilakukannya padamu, Davina. Tapi Dirga lebih buruk dari yang sudah kuperkirakan. Jika dia bahkan tak berkedip melakukan hal rendah seperti ini pada wanita, kau pikir apa yang bisa dilakukannya padamu, hah?” Davina menjilat bibirnya yang kering lalu menggigitnya demi meredam getaran yang tiba-tiba muncul. Akal sehatnya jelas tak mampu meraih kekejaman macam apa yang sudah dilakukan oleh Dirga terhadap Galena. “Kelicikan Galena tak membenarkan apa yang sudah dilakukan Dirga pada wanita itu. Kau jelas tak lebih special dari wanita mana pun di matanya, Davina. Jadi jangan biarkan semua sikap baik yang ditunjukkan padamu menutup matamu. Apa kau mengerti.” Davina tak menjawab. Ia bisa merasakan wajahnya yang memucat dan terduduk di tepian ranjang. Tanganya yang berada di pangkuan mengepal oleh ketakutan yang mendadak menyergap dadanya. Ia berusaha mengatur napasnya yang berdebar kencang. Debaran yang terasa berbeda dengan debaran se
Gemericik air dari dalam kamar mandi membangunkan Davina. Mengerang pelan, ia bangun terduduk dan menurunkan kedua kakinya. Menatap cahaya matahari yang menyelinap di balik gorden yang sudah setengah terbuka sebelum kemudian pandangannya beralih pada pintu kamar mandi. Suara gemericik air berhenti, menyusul langkah kaki yang semakin jelas dan pintu kamar mandi yang terbuka. Dirga melangkah keluar dengan tubuh telanjang yang basah dan hanya tertutup oleh handuk yang dililit di pinggang. Pandangan Davina membeku, menatap percikan air yang masih menghiasi dada bidang dan perut berpetak pria itu, juga tetesan air yang berjatuhan dari ujung rambut yang masih basah. Ia sudah terbiasa memandang ketelanjangan Dirga di depan matanya, tapi tetap saja reaksi ini masih memberikan pengaruh yang begitu besar bagi dirinya. Terutama dengan kesensitifan karena hormone kehamilannya, pemandangan indah tersebut membuat air liurnya nyaris menetes jika pertanyaan Dirga tidak memecah konsentrasinya.
“Jadi apa yang ingin kau bicarakan denganku?” cecar Dirga begitu Reyna duduk di kursi penumpang. Wajahnya menoleh ke samping dengan raut datar, sungguh berniat tak ingin membuat perdebatan tak berarti dengan wanita itu mengingat apa yang sudah dilakukan Reyna di meja makan atas Davina. Cukup jelas bahwa Reyna ingin menyudutkan Davina dengan sikap tersebut. Bersikap seolah-olah tak ada gadis itu di meja makan.Reyna tak menjawab, memasang sabuk pengamannya dan berkata, “Kita bicara dalam perjalanan. Bukankah kau harus bergegas ke kantor? Aku tak ingin pembicaraan ini membuatmu terlambat.”Dirga terdiam, menyalakan mesin mobil dan menginjak pedal gas. Setelah lima menit dalam keheningan, akhirnya Reyna memulai pembicaraan. “Tidak ada tujuan tertentu dengan sikapku di meja makan. Hanya … sedikit rasa kasihan padanya sebagai sesama perempuan.”Wajah Dirga membeku ketika mencerna baik-baik kalimat Reyna.Reyna menoleh ke samping, ujung bibirnya tersenyum mengamati kebekuan dari sisi wajah
Meera mengangguk dengan mantap. “Memangnya apalagi alasannya. Tentu saja karena kehadirannya tidak lagi dibutuhkan di rumah ini. Ck, bahkan sejak awal kehadirannya pun memang tidak dibutuhkan.”“Apakah Dirga benar-benar membuangnya?” Davina menggumam rendah. Kembali teringat kata-kata Reyna. “Semudah itu?”“Sepertinya membuang bukan kata yang tepat. Tapi keberadaannya di rumah ini lebih tidak tepat lagi.”Davina tak menanggapi kata-kata Meera. Ya, memang semudah itu Dirga membuang orang di hidup pria itu. Jika Dirga saja bisa menghajar Galena sekejam itu, seharusnya ia tidak terkejut dengan apa yang dilakukan pria itu pada Reyna, kan?‘Percayalah, aku pernah selamat dari kematian, aku bisa menjadi lebih buruk dari yang pernah kau lihat. Jadi, pastikan saja kau tak melakukan apa pun yang memancing sisi burukku kepadamu.’Davina merasakan bulu kuduknya yang bergidik mengingat peringatan bernada lembut Dirga tersebut. Wajah asli Dirga tak benar-benar ia ketahui.“Dia terlihat begitu lemb
'Aku mencintaimu.' Satu kalimat yang tak pernah ingin ia dengar kembali tetapi berhasil mengejutkannya. Kemarahan dan kekhawatiran bergumbul di dalam benaknya. Ketika hubungannya dengan Rega dan Sesil sampai pada tahap itu, satu-satunya masa depan yang nyata di hadapannya adalah ia kehilangan mereka. Sekali lagi Dirga membasahi wajahnya dengan air dingin, menatap pantulan wajahnya di cermin dengan perasaan yang sulit dideskripsikan. Ia memang tak akan melepaskan Davina dan anak itu dari hidupnya, tetapi untuk hubungan yang seserius itu, ia tak akan pernah siap menginjaknya. Pintu kamar mandi diketuk dua kali dan gagangnya diputar, tetapi ia sudah menguncinya dari dalam. Matanya terpejam, mendesah kasar saat pintu kembali diketuk. Ia pun mematikan keran air dan membukanya. Davina terlonjak pelan, matanya mengerjap dua kali dan hendak mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba Dirga bicara lebih dulu. "Aku akan berpura tak mendengarnya. Jadi jika kau ingin membicarakannya, sebaiknya kemb
Mata Dirga terpejam, mulutnya hanya mampu terbuka tanpa mengeluarkan suara dan kembali tertutup dengan kefrustrasian yang semakin membengkak di dalam kepalanya. Sementara Davina, gadis sibuk dengan menikmati pemandangan di jendela mobil. Bahkan sesekali sibuk bermain-main dengan ponsel di tangan gadis itu. Dan ia bersumpah melihat senyum di ujung bibir Davina ketika menoleh ke samping. Membalas entah pesan apa yang pasti dikirim Brian atau David. Bisanya-bisanya gadis itu tersenyum ketika suasana hatinya begitu buruk seperti ini, hah? Dan kenapa dia mendadak merasa seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Sehingga menjadi tak berkutik seperti ini. Sepanjang perjalanan, Davina seolah sengaja mempertahankan keheningan tersebut. Sengaja membuatnya tersiksa seperti ini. Sekali lagi helaan napasnya menjadi kasar ketika menoleh ke samping. “Kau sudah makan?” Davina menggelengkan kepala tanpa melepaskan tatapannya dari ponsel di tangannya. Mengetikan balasan untuk candaan yang dikirim Davi