Gemericik air dari dalam kamar mandi membangunkan Davina. Mengerang pelan, ia bangun terduduk dan menurunkan kedua kakinya. Menatap cahaya matahari yang menyelinap di balik gorden yang sudah setengah terbuka sebelum kemudian pandangannya beralih pada pintu kamar mandi. Suara gemericik air berhenti, menyusul langkah kaki yang semakin jelas dan pintu kamar mandi yang terbuka. Dirga melangkah keluar dengan tubuh telanjang yang basah dan hanya tertutup oleh handuk yang dililit di pinggang. Pandangan Davina membeku, menatap percikan air yang masih menghiasi dada bidang dan perut berpetak pria itu, juga tetesan air yang berjatuhan dari ujung rambut yang masih basah. Ia sudah terbiasa memandang ketelanjangan Dirga di depan matanya, tapi tetap saja reaksi ini masih memberikan pengaruh yang begitu besar bagi dirinya. Terutama dengan kesensitifan karena hormone kehamilannya, pemandangan indah tersebut membuat air liurnya nyaris menetes jika pertanyaan Dirga tidak memecah konsentrasinya.
“Jadi apa yang ingin kau bicarakan denganku?” cecar Dirga begitu Reyna duduk di kursi penumpang. Wajahnya menoleh ke samping dengan raut datar, sungguh berniat tak ingin membuat perdebatan tak berarti dengan wanita itu mengingat apa yang sudah dilakukan Reyna di meja makan atas Davina. Cukup jelas bahwa Reyna ingin menyudutkan Davina dengan sikap tersebut. Bersikap seolah-olah tak ada gadis itu di meja makan.Reyna tak menjawab, memasang sabuk pengamannya dan berkata, “Kita bicara dalam perjalanan. Bukankah kau harus bergegas ke kantor? Aku tak ingin pembicaraan ini membuatmu terlambat.”Dirga terdiam, menyalakan mesin mobil dan menginjak pedal gas. Setelah lima menit dalam keheningan, akhirnya Reyna memulai pembicaraan. “Tidak ada tujuan tertentu dengan sikapku di meja makan. Hanya … sedikit rasa kasihan padanya sebagai sesama perempuan.”Wajah Dirga membeku ketika mencerna baik-baik kalimat Reyna.Reyna menoleh ke samping, ujung bibirnya tersenyum mengamati kebekuan dari sisi wajah
Meera mengangguk dengan mantap. “Memangnya apalagi alasannya. Tentu saja karena kehadirannya tidak lagi dibutuhkan di rumah ini. Ck, bahkan sejak awal kehadirannya pun memang tidak dibutuhkan.”“Apakah Dirga benar-benar membuangnya?” Davina menggumam rendah. Kembali teringat kata-kata Reyna. “Semudah itu?”“Sepertinya membuang bukan kata yang tepat. Tapi keberadaannya di rumah ini lebih tidak tepat lagi.”Davina tak menanggapi kata-kata Meera. Ya, memang semudah itu Dirga membuang orang di hidup pria itu. Jika Dirga saja bisa menghajar Galena sekejam itu, seharusnya ia tidak terkejut dengan apa yang dilakukan pria itu pada Reyna, kan?‘Percayalah, aku pernah selamat dari kematian, aku bisa menjadi lebih buruk dari yang pernah kau lihat. Jadi, pastikan saja kau tak melakukan apa pun yang memancing sisi burukku kepadamu.’Davina merasakan bulu kuduknya yang bergidik mengingat peringatan bernada lembut Dirga tersebut. Wajah asli Dirga tak benar-benar ia ketahui.“Dia terlihat begitu lemb
'Aku mencintaimu.' Satu kalimat yang tak pernah ingin ia dengar kembali tetapi berhasil mengejutkannya. Kemarahan dan kekhawatiran bergumbul di dalam benaknya. Ketika hubungannya dengan Rega dan Sesil sampai pada tahap itu, satu-satunya masa depan yang nyata di hadapannya adalah ia kehilangan mereka. Sekali lagi Dirga membasahi wajahnya dengan air dingin, menatap pantulan wajahnya di cermin dengan perasaan yang sulit dideskripsikan. Ia memang tak akan melepaskan Davina dan anak itu dari hidupnya, tetapi untuk hubungan yang seserius itu, ia tak akan pernah siap menginjaknya. Pintu kamar mandi diketuk dua kali dan gagangnya diputar, tetapi ia sudah menguncinya dari dalam. Matanya terpejam, mendesah kasar saat pintu kembali diketuk. Ia pun mematikan keran air dan membukanya. Davina terlonjak pelan, matanya mengerjap dua kali dan hendak mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba Dirga bicara lebih dulu. "Aku akan berpura tak mendengarnya. Jadi jika kau ingin membicarakannya, sebaiknya kemb
Mata Dirga terpejam, mulutnya hanya mampu terbuka tanpa mengeluarkan suara dan kembali tertutup dengan kefrustrasian yang semakin membengkak di dalam kepalanya. Sementara Davina, gadis sibuk dengan menikmati pemandangan di jendela mobil. Bahkan sesekali sibuk bermain-main dengan ponsel di tangan gadis itu. Dan ia bersumpah melihat senyum di ujung bibir Davina ketika menoleh ke samping. Membalas entah pesan apa yang pasti dikirim Brian atau David. Bisanya-bisanya gadis itu tersenyum ketika suasana hatinya begitu buruk seperti ini, hah? Dan kenapa dia mendadak merasa seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Sehingga menjadi tak berkutik seperti ini. Sepanjang perjalanan, Davina seolah sengaja mempertahankan keheningan tersebut. Sengaja membuatnya tersiksa seperti ini. Sekali lagi helaan napasnya menjadi kasar ketika menoleh ke samping. “Kau sudah makan?” Davina menggelengkan kepala tanpa melepaskan tatapannya dari ponsel di tangannya. Mengetikan balasan untuk candaan yang dikirim Davi
"Apa yang sedang kau pikirkan?" celetuk Clay. "Sejak tadi kau tak berhenti mendesah. Apa yang begitu mengganggumu? Istrimu?" Lagi-lagi Clay sengaja menggoda. "Diamlah, Clay." Dirga beralih pada Brian. "Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" Brian membuka laci nakas di sampingnya. Mengeluarkan sebuah map berwarna hitam dari sana. "Ini semua adalah aset yang dimiliki Jimi yang berhasil kudapatkan." Dirga berjalan mendekat, mengambil berkas tersebut dan mulai membukanya. Sertifikat rumah, villa, gedung, bahkan saham di perusahaannya. Dan yang lebih membuatnya tercengang adalah semua aset tersebut atas naqa Davina Riley. Clay yang berdiri di samping Dirga pun ikut terkejut. "A-apa?" "Kau tahu Davina anak berengsek itu tapi tak tahu hal sereceh ini?" Mulut Clay membuka nutup, tak mampu menjawab. "Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk memeriksa semua aset yang dimilikinya, kan?" "Aku sudah meletakkannya di mejamu," dalih Clay membela diri. "Semuanya sudah kau pegang, kan. Dan semua in
PrologDavina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tanpa emosi. Davina bangkit berdiri sambil menjatuhkan penutup toilet. “Sepertinya ada yang salah dengan p
"Jadi kau masih hidup?" Seringai Jimi naik lebih tinggi. Kelicikan dan kebengisan berkilat jadi satu di kedua matanya yang bengkak dengan luka lebam di sebelah kiri. Ujung bibir pria itu juga robek dan Dirga yakin luka di tubuh Jimi lebih banyak dari yang terlihat di wajah.Saga benar-benar memberi pria itu penderitaan yang lembuy. Perlahan dan menyiksa. Tetapi semua penyiksaan itu tak membuat kesombongan seorang Jimi Riley runtuh."Ya, jika pengkhianat sepertimu masih bisa bernapaa, kenapa aku tidak?"Jimi terkekeh lalu mendenguskan balasan. "Wanita Ganuo yang menyelamatkanmu, aku hampir melemparnya dari atas gedung. Nyaris. Seharusnya aku menembaknya sebelum Ganuo datang. Untuk merayakan tragedi yang sama."Wajah Dirga seketika menggelap, hanya untuk sejenak. Di detik berikutnya, ialah yang membalik posisi. Tangannya merogoh selembar foto dari saku kemeja dan menunjukkannya pada Jimi. "Dia memiliki mata yang sama denganmu. Lemah dan haus kasih sayang."Seringai Dirga naik lebih ting