Aleeya, pelayan setia Samantha, tiba di Lapland Central Hospital. Langkahnya terhenti sejenak saat menyusuri lorong yang bersih dan tenang. Dengan tas buah-buahan khas Lapland yang hangat di tangannya, dia mencari kamar tempat Xavier, dirawat setelah kecelakaan tragis.
Ketika pintu kamar terbuka perlahan, Aleeya melihat Xavier terbaring lemah di ranjang putih. Dia menyusun senyum dinginnya dan menyapa dengan profesionalitas."Selamat sore, Xavier. Saya mengantarkan buah-buahan khas Lapland atas perintah Nyonya Samantha. Pastikan Anda tidak membuat keluarga ini repot lebih lama," tutur Aleeya seraya menaruh barang bawaannya di atas nakas kamar inap Xavier."Terima kasih, Aleeya. Apa kabar Samantha?" Tanya Xavier dengan pelan.Aleeya mengangkat sebelah alisnya dan menatap dingin pada Xavier."Mengkhawatirkan, tentu saja. Bagaimana tidak? Semua ini membuatnya sangat terganggu. Karena kau terus saja mengejar Nyonya Samantha tanpa tahu malu.Samantha tengah bersantai di lantai atas rumah mewahnya di Kanada, membaca majalah terbaru ditemani beberapa pelayan. Tiba-tiba, telepon dari nomor yang tidak dikenal menggema, namun dengan sigap, ia segera menerima panggilan tersebut."Hallo?" Ucap Samantha."Halo, Samantha? Ini aku, Rey."Samantha terkejut dan merubah posisi duduknya meniadi tegak."Oh, hai Rey. Bagaimana kabarmu?""Kabar baik, Samantha. Bagaimana dengamu?" Tanya Rey basa-basi."Kabarku baik, Rey.""Samantha, aku hanya ingin membantu seseorang yang ingin berbicara langsung denganmu. Dia sudah mencoba menghubungimu dengan nomornya, tapi sepertinya kamu memblokirnya," papar Rey tertawa kecil di seberang telepon.Samantha mengernyitkan dahinya."Ha, hallo, Samantha? Apakah kau telah memblokir nomorku?" Suara Rey berganti dengan suara Xavier."Memblokir? Oh, iya, benar. Maaf ya, aku sengaja," jawab Samantha dengan sangat malas da
Dengan langkah ragu, Ivander mendatangi kediaman orang tuanya dan meminta maaf kepada orang tuanya, Tuan Emrick dan Nyonya Gretha. Karena beberapa waktu lalu pernah mengusir mereka dan memilih membela Anna, istri sirinya.Ting, nong.Ceklek.Ayah Ivander berdiri diambang pintu dan terkejut mendapati kehadiran putra sulungnya. Mereka segera berbincang di ruang tamu."Ayah... Ibu... Aku datang untuk meminta maaf pada kalian dengan tulus," ujar Ivander dengan rasa ragu dan malu."Apa yang membuatmu datang sekarang setelah semua yang terjadi? Kamu masih menganggap kami sebagai orang tuamu, Ivander? Atau kau punya kebutuhan apa, yang sekiranya kami bisa bantu penuhi?" Tuduh Tuan Emrick dengan tatapan tajam.Ivander menelan salivanya kuat-kuat."Aku menyadari kesalahan besar yang telah ku lakukan. Dan aku benar-benar ingin meminta maaf karena telah mengusir kalian dan memilih membela Anna," ucap Ivander sambil menundukkan kepa
Dengan penuh harapan, Ivander dan kedua orang tuanya melangkah masuk ke Bandara, Jakarta, untuk memulai perjalanan luar biasa ke Ottawa, Kanada. Setelah melewati perjalanan panjang, mereka mendarat di Bandara Internasional Ottawa, disambut oleh udara sejuk musim biasa di Kanada. Mereka mampir di sebuah restoran terlebih dahulu, sebelum akhirnya datang ke hotel pesanan mereka."Ayah, harapanku adalah dapat bertemu dengan Samantha di sini. Sedikit cemas, sebetulnya," ujar Ivander seraya menunggu hidangan mereka."Bersabarlah, Ivander. Kita telah sengaja tidak memberikan kabar, agar dia tidak pergi. Semoga saja rencana ini berhasil," balas Tuan Emrick memberikan semangat pada Ivander."Aku masih merasa bahwa perjalanan ini begitu rumit, tanpa perlu menyusun rencana bertemu dengan Samantha," Nyonya Gretha merespon dengan nada ketus.Ivander menoleh pada Nyonya Gretha."Bu, Samantha berarti banyak bagiku. Aku yakin kita bisa menyeimb
Sepulang dari rumah Samantha, tanpa banyak bertanya, Ivander segera mengarahkan supir keluarga Samantha yang mengantar mereka, segera ke hotel. Sepanjang perjalanan, suasana begitu hening, hingga tiba di kamar hotel."Gretha, ini sudah kelewatan! Kita datang ke sini untuk menjalin hubungan baik dengan keluarga Samantha, bukan untuk membuat kekacauan seperti tadi. Bahkan sudah ku bilang dan ku tegaskan jauh-jauh hari, untuk dirimu menahan emosi dari hatimu. Kau sungguh keterlaluan, Gretha!" Ungkap Tuan Emrick geram.Tuan Emrick segera menarik dasi yang melingkari dan terpampang di lehernya dengan paksa."Emrick, kau tidak melihat bagaimana mereka memperlakukan kita? Penyambutan ini sama sekali tidak pantas untuk keluarga kita. Penuh dengan arogan dan penghinaan. Mereka tidak sama sekali menghargai pengorbanan kita selama 20 jam perjalanan!" Hentak Nyonya Gretha marah, dan berjalan menghampiri Tuan Emrick."Mungkin kita harus memberi mereka kesempat
Ivander's International Client Meeting, yang bertempat di sebuah hotel elite, Jakarta. Dengan penuh percaya diri dan wibawa, pagi itu Ivander membuat semua mata terpesona padanya."Selamat pagi semua, terima kasih sudah hadir di pertemuan ini. Saya sangat senang melihat wajah-wajah familiar dari berbagai negara bersahabat. Mari kita bahas mengenai perjalanan perusahaan kami yang cukup luar biasa ini."Suara tepuk tangan dari para klien dan rekan kerja menjadi penyemangat tersendiri bagi Ivander."Pagi, Tuan Ivander. Kami senang melihat kemajuan perusahaan Anda saat ini. Apa yang sekiranya menjadi penyebab membalikkan keadaan seperti sekarang ini?" Tanya Mr. Edward dengan senyum cerianya."Terima kasih, Mr. Edward. Kami telah mengalami periode yang sangat sulit, tetapi kami fokus pada restrukturisasi dan diversifikasi. Hingga sekarang, kami sangat bersyukur kepada Tuhan, bahwa saham kami mulai kembali stabil," jelas Ivander dengan senyuman sumringa
Ketika Ivander tiba di kantornya, para staff yang sudah menantinya dengan penuh antusiasme langsung memulai sapaan genit dan gurauan. Meskipun Ivander tetap cuek, senyumnya tak terelakkan, menciptakan suasana pagi yang penuh dengan kegembiraan dan keceriaan di kantor."Selamat pagi, Tuan Ivander. Hari ini cuaca terlihat begitu cerah, seperti wajah Anda Tuan!" Sambut Lia dengan penuh semangat."Pagi. Ini biasa saja," balas Ivander dengan cuek dan tersenyum singkat.Senyuman Ivander terlihat begitu mahal, namun tetap mempesona di mata mereka semua."Aura kepemimpinan Tuan semakin kuat, sepertinya," ucap Christy menambahkan dengan senyum ramahnya."Iya, yang terpenting, kita dapat bekerja dengan benar," balas Ivander sedikit sarkastik."Apa yang terjadi? Kenapa Tuan Ivander tiba-tiba terlihat berkarisma, di setiap harinya?" Niken berbisik pada Tiara."Mungkin karena dia minum kopi pagi ini, Niken," balas Tiara dengan sama b
"Karirku, yang baru saja terjun dan naik daun, harus redup medadak," ucap Livia dengan nada kesal, merenung pada keadaannya.Livia meratapi nasibnya yang mendadak berubah setelah kontroversi media. Berita tentang dirinya menjadi headline membuat Livia frustasi."Ivander, kenapa kau tega lakukan ini?" gumamnya, mengenang ancaman Ivander.Livia merasa marah dan sakit hati atas tindakan Ivander yang merusak reputasinya. Air matanya menangis dengan penuh seruan emosi yang mengembara."Cinta apa ini, padahal dia tak akan pernah bisa membalas perasaanku," keluh Livia, dipenuhi rasa putus asa.Livia merenungkan cinta yang membuatnya terperangkap. Dengan penuh depresi, Livia berteriak dan mengacak kamarnya. Leona, adiknya, menghampiri dengan mata berkaca-kaca."Kak, Kakak, tolong jangan begini," ucap Leona berusaha menenangkan dan air matanya menetes begitu saja."Hidupku hancur, Leona. Hidupku hancur, bagaimana nasib kalian ked
Leona, datang dengan sepeda motor dan berbekal alamat dari Livia, mencoba bertemu Ivander di rumahnya pada pagi Minggu. Namun, petugas sekuriti tidak mengizinkannya masuk tanpa janji sebelumnya. "Selamat pagi, Pak. Saya Leona. Ini alamat yang saya dapatkan, apakah benar, ini rumah dari Pak Ivander? Saya datang ke sini untuk bertemu dengan Pak Ivander," ucap Leona memperlihatkan alamatnya."Iya, memang benar ini alamatnya. Tapi Maaf, Dek. Tanpa janji atau izin sebelumnya, saya tidak bisa membiarkan Anda masuk begitu saja," balas Sekuriti dengan tegas."Namun, Pak, ini sangat penting. Saya hanya membutuhkan waktu sebentar untuk berbicara dengan Pak Ivander. Mohon izinkan saya masuk dan bertemu dengannya, Pak.""Saya mohon maaf, Dek. Aturan adalah aturan. Dan saya bekerja di sini hanya mengikuti aturan yang berlaku. Tanpa izin, tidak ada yang bisa masuk."Ivander yang baru keluar rumah, melihat heran ke arah gerbang. Dirinya segera beranjak
Samantha kembali dari petualangan di Finlandia, membawa kabar bahagia untuk keluarga besar bahwa setelah beberapa bulan di Lapland, ia kini mengandung. Berita tersebut disambut dengan suka cita dan rasa syukur oleh keluarga besar, mengukuhkan perasaan bahagia Ivander dan Samantha yang akhirnya meraih kebahagiaan menjadi orang tua.Kehamilan Samantha telah mencapai usia lima bulan, menandai perjalanan mereka menuju kehidupan keluarga yang penuh keceriaan dan harapan."Semuanya, ada sesuatu yang ingin kami bagikan. Aku sangat bersyukur karena pada akhirnya, Tuhan telah mempercayakan seorang janin yang tengah hidup dalam rahimku," ungkap Samantha dengan sangat bahagia.Keluarga besar dari kedua belah pihak bersorak dan bahagia."Akhirnya, terima kasih, Tuhan. Selamat, Ivander dan Samantha!" Ucap Neneknya Samantha dengan penuh haru."Kami benar-benar sangat bersyukur atas berkah ini," ucap Ivander tersenyum bahagia, seraya mengelus perut Samantha yang sudah buncit."Kami tidak sabar menan
Dengan hati yang galau, Kevin melangkah mendekati Rose di bawah sinar senja, di tengah suasana hening kolam renang. Kehilangan komunikasi selama ini membuatnya ragu bagaimana menyapa, namun didorong oleh desiran untuk memulihkan kehangatan yang terputus. Orang tua Rose menyambutnya dengan senyuman, memberikan izin untuk memperbaiki keputusan itu."Rose... " Panggil Kevin dengan lembut.Rose menoleh dan wajahnya mendadak murung ketika mendapati Kevin."Rose, tolong beri aku kesempatan. Aku minta maaf Rose, aku merindukan kamu. Tolong jangan jauhi aku dan jangan terus bersikap dingin seperti ini," oceh Kevin panjang lebar tanpa jeda agar bisa segera memberikan penjelasan."Bukankah, sudah pernah ku bilang, bahwa jangan pernah hubungi aku lagi. Dan jangan pernah temui aku lagi," balas Rose seraya bangkit berdiri."Rose, ku mohon, tolonglah. Aku benar-benar merasa sangat kehilangan dirimu, aku menyesal Rose.""Aku tidak akan pernah percaya lagi atas semua ucapan yang keluar dari mulutmu!"
Malvin dan Ling-Ling dengan cepat mendekati Leona dan Kevin begitu mereka sampai di pintu kelas."Maaf ya, Leona, Kevin. Kami tahu kami salah kemarin," ucap Malvin sambil tersenyum penuh penyesalan."Kami ingin memulai ulang hubungan kita semua, aku juga turut meminta maaf," Ling-Ling menambahkan, meskipun dalam hati sangat muak.Mereka harus bisa memainkan peran yang sudah diatur."Apa yang membuat kalian berubah pikiran?" Leona memandang mereka dengan rasa heran."Dan kenapa tiba-tiba kalian baik pada kami?" Kevin menyela."Kami menyadari, kita seharusnya tidak bersikap seperti itu. Kami ingin menjadi teman kalian lagi," Malvin menjelaskan, meskipun dalam hati malas."Kami merasa bersalah dan ingin memperbaiki semuanya," Ling-Ling menimpali."Aku senang akhirnya kalian berdua sadar. Aku maafkan kalian, tapi... aku juga ingin sekali berbaikan dengan Rose dan Debora," Leona tersenyum dan mengangguk. Kemudian merenung."Ya, kita harus memperbaiki semuanya bersama-sama," Kevin setuju.K
"Jadi, untuk apa kalian ke sini?" Tanya Samantha menatap secara bergantian pada para sosok remaja yang terduduk di hadapannya."Ehm, kami... Kami, mau.. " ucap Malvino dengan bingung dan terbata-bata.Ketakutan sebenarnya menyelimuti mereka, telapak tangan mereka mendadak terasa dingin karenanya."Mau apa?" Tanya Ivander dengan tajam dan dengan nada galak."Ayo, cepat katakan!" Ujar Ling-Ling berbisik dan mendesak Malvino."Kau saja!" Balas Malvino juga sama berbisik dan merasa terdesak."Kami bingung hendak menjelaskan bagaimana Nyonya Samantha, Tuan Ivander," ucap Debora segera."Ehm, kami... Kamu datang ke sini hendak berbicara sesuatu," sahut Rose dengan ragu.Ling-Ling segera menyenggol kaki Rose untuk segera mengatakannya, Rose malah kembali mendesak Malvino."Ayo, bicaralah. Waktuku tidak banyak," ucap Ivander mendesak bocah-bocah kecil di hadapannya."Mm, Tuan dan Nyonya. Kami hendak minta maaf," ujar Malvino tapi tidak sanggup berkata lebih lanjut."Minta maaf untuk apa?" Tan
Leona duduk di bangku taman, wajahnya dipenuhi raut kesedihan. Kevin, yang selalu setia berada di sisinya, mencoba menghiburnya."Leona, aku tahu semua orang menjauh, tapi aku di sini untukmu," ucap Kevin terduduk di sebelahnya sambil menatap Leona dari samping."Terima kasih, Kevin. Kau selalu ada untukku," balas Leona menoleh pada Kevin dan berusaha tersenyum.Suasana taman sangat sepi dan keadaan seolah kelabu menyelimuti hati Leona."Kevin, apakah benar yang mereka semua katakan padaku? Apakah aku benar-benar seegois itu? Bukankah hal yang wajar, jika aku sebagai seorang sahabat meminta bantuan kalian?" Ucap Leona membela dirinya secara halus."Aku paham, dan aku tidak masalah soal semua itu. Hanya saja, tidak juga berlebihan Leona," jawab Kevin mengangguk, kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan rasa tidak enak."Berarti aku salah?""Oh, tidak juga, hehe.""Kevin, kenapa Rose, orang yang paling aku percayai selama ini, tega berbuat seperti itu padaku?" Ucap Leona mer
"Dona! Kamu tidak bisa pergi begitu saja! Dona!" Teriak Baba Hong mengejar Dona ke gerbang pintu.Dona terus saja berlari sampai berhasil keluar rumah tersebut, dengan beberapa pelayan dan penjaga heran menatap keduanya. Baba Hong berhasil meraih Dona, dan memeluknya dari belakang."Lepaskan! Aku tidak akan menuntut apapun dirimu! Lepaskan aku!" Pekik Dona seraya berusaha melepaskan diri."Tidak! Jangan pergi, kau akan tetap menjadi istriku, Dona.""Buat apa? Kau sudah ada Livia. Aku cukup sadar diri, kau akan menua bersama Livia.""Aku tahu, Livia hanya mengincar uangku saja. Aku hanya ingin membeli harga dirinya, aku tidak benar-benar mencintainya."Dona berhasil melepaskan pelukannya dari Baba Hong.Plak!Dona menampar Baba Hong dengan sangat kencang, Baba Hong kemudian merasakan pipinya sangat perih dan memerah. Meskipun sudah tua, wajahnya masih terlihat tua dan segar. Sedangkan, Dona sebenarnya cantik. Namun, dia sadar bahwa hati Baba Hong selama ini bukan untuknya. Baba Hong ti
Leona berjalan dengan percaya diri menuju rumah Baba Hong, menyadari ketertarikan yang dimiliki pengusaha tua tersebut pada kakaknya, Livia. Baba Hong sangat tergila-gila dengan kecantikan yang dimiliki oleh Livia Kakaknya sejak muncul di sebuha majalah.Leona melangkah dengan anggun menuju pintu masuk yang megah. Pintu terbuka luas, mengungkapkan kemegahan rumah Baba Hong. Segera, sekelompok pelayan berdiri dengan sikap hormat."Selamat datang, Nyonya Leona," sapa kepala pelayan dengan ramah."Terima kasih. Saya harap tidak merepotkan. Saya ingin bertemu dengan Baba Hong," jawab Leona sambil tersenyum."Tentu saja, Nyonya. Ikuti saya," kata kepala pelayan sambil memimpin Leona melewati lorong-lorong yang dihiasi dengan lukisan dan hiasan seni yang mahal.Sesampainya di ruang tamu utama, Baba Hong sudah menunggu dengan senyuman hangat."Leona, selamat datang di rumahku yang sederhana ini," kata Baba Hong sambil memberikan salam."Salam, Baba Hong. Terima kasih atas sambutanmu, rumah i
Ivander duduk di samping Samantha di ruang tamu mereka yang nyaman, kegembiraan terpancar dari suaranya."Samantha, Ayahmu memberikan tiket ke Finlandia untuk berbulan madu kita.""Tapi, tanpa tiket pun, kita bisa pergi sendiri, kan?" Samantha tertawa kecil menatap Ivander."Tentu saja. Tapi, apakah di sana kamu punya rumah?""Ayahku telah membelikan rumah di Lapland saat aku pergi dari sini."Ivander mengangguk paham."Kalau bosan dengan suasana di rumahmu, kita juga punya tiket hotel dari Tuan Jackson.""Bagus, Ivander. Aku ingin merasakan suasana baru. Setelah itu, kita pulang ke rumah di Lapland.""Tuan Jackson sangat berharap kita segera memiliki buah hati di rahimmu, sayang. Kita harus berhasil sebelum kembali ke Indonesia," ujar Ivander seraya merapihkan rambut Samantha ke telinganya."Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Kapan kita bisa berangkat?" Tanya Samantha."Aku akan kembali bekerja setelah luka kamu sembuh, satu mingguan, dan kemudian kita bebas pergi ke mana saja.""
Samantha melangkah pelan di antara lorong-lorong toko yang penuh dengan berbagai kebutuhan rumah tangga. Troli besarnya ditarik dengan cermat, sementara matanya sibuk memilah produk-produk yang akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Saat itulah, tiba-tiba saja, seorang laki-laki asing dengan langkah ringan muncul di sebelahnya. Dengan senyum ramah, laki-laki itu menyapa Samantha."Perlu bantuan? Saya bisa membantu Anda mengambil barang yang sulit dijangkau."Samantha terkejut sejenak, namun senyum lelaki tersebut mampu meredakan ketegangannya."Oh, terima kasih banyak! Saya sebenarnya kesulitan mengambil beberapa barang di rak yang tinggi."Tanpa ragu, lelaki tersebut dengan sigap membantu Samantha mengambil barang-barang yang sulit dijangkaunya. Mereka bekerja sama, dan Samantha merasa bersyukur atas pertolongan yang diberikan."Saya benar-benar berterima kasih, Anda sungguh membantu," ucap Samantha dengan tulus."Tidak masalah, saya senang bisa membantu. Nama saya Ryan, si