Beberapa hari setelah Ayu benar-benar pulih dari sakit, suasana rumah kembali tenang di permukaan. Tapi itu hanyalah ketenangan semu. Karena Nadine yang baru saja kembali dari kegiatannya, ia mulai menyadari perubahan kecil yang tak biasa pada suaminya. Revan, yang biasanya dingin dan jarang bicara, kini sering pulang lebih awal. Wajahnya tak lagi sekaku biasanya. Bahkan saat bersama Nadine, ia terlihat lebih sabar, tapi juga lebih jauh secara emosional seperti sedang menahan sesuatu. Nadine mulai curiga. Matanya tajam memperhatikan. Ia melihat cara Revan melirik ke arah dapur saat mereka sedang sarapan dan cara ia diam lama di taman belakang, tempat Ayu biasa menyiram bunga. Sekilas, Nadine juga melihat Revan menyapa Ayu dengan lembut di suatu sore dan itu cukup untuk menyalakan bara dalam dadanya. Bukan, bukan api cemburu yang ia rasakan tapi rasa takut. Ia takut kehilangan semua yang sudah ada di dalam genggamannya dan ia juga takut kehilangan kedudukannya sebagai menantu ke
Langit mendung sore itu menggantung di atas rumah megah keluarga Ardiansyah. Revan baru saja memarkir mobilnya di garasi ketika dering ponsel tak berhenti menggema dari dalam saku jasnya. Beberapa panggilan dari mitra bisnis dan satu pesan dari Nadine yang sekedar menanyakan keberadaan transferannya. Sejak awal menikah sampai detik ini, tidak pernah sekalipun wanita itu memberikan perhatian padanya. Bahkan hanya sekedar pertanyaan kecil apakah ia sudah makan atau belum, wanita itu juga tidak pernah mempertanyakannya. Entahlah, terkadang Revan tak habis pikir. Bagaimana mungkin Ayahnya bisa menjodohkan dirinya dengan wanita seperti Nadine. Dari segi kecantikan dan kemolekan tubuh, Nadine memang patut diacungi jempol. Tapi untuk apa semua itu jika sama sekali tidak ada kehangatan di sana. "Ciiih! Dasar wanita matre. Pikirannya hanya uang, uang dan uang saja." Revan berdecih. "Dia bisanya hanya menuntut hak secara berlebihan. Tapi untuk kewajiban, dia tutup mata dan telinga seolah-ol
Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 malam. Sebuah mobil sedan hitam berhenti, tepat di depan sebuah rumah bergaya klasik Eropa. Rumah itu terlihat mewah, tapi tidak dengan suasananya yang sunyi bahkan terlampau sunyi seperti tak berpenghuni.Revan Ardiansyah keluar dengan langkah tegap, sorot mata tajam sambil membawa tas kerja. Setelan jas hitam yang melekat di tubuh kekarnya masih tetap rapi. Wajah tampan bak dewa Yunani itu masih menatap datar, dingin seolah-olah tidak terjadi apapun di dalam hidupnya. Padahal tatapan datar dan dingin itu hanyalah sebuah kamuflase untuk menutupi hatinya yang kosong dan sepi.Sebenarnya hari ini ia sangat lelah. Banyak sekali rapat, tekanan, dan keputusan penting yang menguras banyak waktu serta tenaga. Tapi semua itu sepertinya tak cukup untuk menghilangkan ekspresi datar yang sudah melekat kuat pada dirinya.Meski ekspresinya selalu dingin. Tapi di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ada sebuah harapan yang tumbuh. Bahwa malam ini, rumahnya tak lagi
Pagi datang perlahan, membasuh sisa hujan malam tadi dengan sinar matahari yang berwarna pucat. Udara masih lembap, namun terasa segar. Di gerbang rumah besar keluarga Ardiansyah, sebuah angkutan umum berhenti. Seorang gadis cantik dengan pakaian sederhana turun dengan langkah hati-hati. Ia mengenakan seragam warna abu-abu tua, rambutnya dikuncir rapi, dan di tangannya tergenggam koper kecil yang tampak usang namun masih terlihat bersih. Tidak lama pintu pagar yang menjulang tinggal terbuka. Keluarlah seorang pria paruh baya menghampirinya dengan seragam security. "Pembantu baru?" Tanyanya, dengan kedua mata yang menatapnya dari atas kepala sampai ujung kaki. Namanya Ayu. Gadis itu mengangguk pelan, takut, sekaligus risih diperhatikan seperti itu. "Masuk!" Perintahnya kemudian. Ayu menggeret kopernya, menatap bangunan megah di depannya dengan mata yang berbinar. Pilar-pilar besar, kaca jendela tinggi, dan taman depan yang luas membuatnya terpaku sesaat. Karena sebelumnya, ia
Pagi itu langit terlihat cerah, dan rumah keluarga Ardiansyah masih tetap terasa lebih sunyi dari biasanya. Ayu memulai harinya lebih awal, membersihkan lantai atas sesuai instruksi Bu Marni. Langkahnya ringan nyaris tanpa suara, karena ia sudah terbiasa menjaga ketenangan. Sebab Ayu tahu betul, bahwa di rumah sebesar ini suara sekecil apapun bisa memantul ke mana-mana. Sambil membawa ember dan lap pel, Ayu mendekati ruang tengah di lantai dua, tepat di depan kamar utama. Tadinya ia berniat membersihkan kaca jendela besar yang ada di ujung lorong. Tapi langkahnya terhenti, saat mendengar suara-suara dari balik pintu kamar yang tidak tertutup dengan sempurna. Awalnya hanya terdengar seperti gumaman cepat. Tapi lama-kelamaan suara Nadine terdengar lebih jelas dan meninggi. "Sampai kapan kamu terus mengatur hidupku, Revan? Aku bukan bonekamu!" Ayu tertegun. Suara Nadine terdengar sangat tinggi dan penuh dengan kemarahan. Apa yang ia dengar barusan, tidak seperti wanita anggun yan
Sejak tadi, Ayu merasa ada sesuatu yang berbeda di udara. Bukan angin atau cuaca, tapi suasana hati yang aneh. Ia membersihkan ruang keluarga, menyapu dan mengepel lantai marmer yang luas hingga mengkilap seperti cermin. Di atas meja panjang, ia menata vas berisi bunga segar yang datang dari toko langganan Nadine. Dengan senyum yang merekah manis. Ayu menatanya dengan lembut, tapi jemarinya terasa seperti canggung. Karena Ayu merasa ada tatapan yang menempel di punggungnya dan tidak ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa pemiliknya. Revan Ardiansyah. Sudah beberapa kali pria itu melintasi ruang keluarga, padahal biasanya ia hanya muncul saat hendak keluar rumah atau kembali ke ruang kerja. Tapi kali ini, ia duduk di salah satu sofa, membawa laptop dan gelas yang berisi teh hangat buatannya. Pandangan Pria itu tidak hanya terfokus pada layar datar yang ada di hadapannya saja, tetapi juga sesekali mencuri pandang ke arahnya. Ayu menunduk dalam-dalam, menyembunyikan rona gugup yang
Langit mulai mendung. Awan gelap bergelantungan di luar jendela besar ruang makan keluarga Ardiansyah. Ayu sedang sibuk membersihkan meja makan panjang yang terbuat dari marmer putih yang mengkilap. Tangannya gesit, tapi wajahnya tampak lelah. Sejak pagi ia sudah bolak-balik dari dapur ke taman belakang, membantu Bu Marni membereskan sisa sarapan Tuan Muda dan memindahkan pot-pot bunga sesuai instruksi Nadine pagi tadi. Baru saja ia hendak mengelap bagian ujung meja, suara hak tinggi menggema di tangga marmer. Nadine turun dengan langkah cepat, anggun namun terlihat tegang. Rambutnya ditata rapi dalam sanggul modern, bibirnya di poles lipstik warna merah menyala dan tampaknya ia seperti hendak pergi ke sebuah acara besar. Nadine berjalan dengan ponsel menempel di telinga. Suaranya terdengar tajam, seperti sedang memarahi lawan bicaranya diseberang sana "Aku bilang jangan hari ini, Lisa! Aku sudah ada janji makan siang! Suruh mereka tunggu atau ganti lain waktu. Aku nggak suka jadw
Hujan terus turun sejak siang dan tak kunjung reda hingga malam menjelang. Langit diselimuti mendung gelap, membuat suasana rumah besar keluarga Ardiansyah kian muram dan dingin. Nadine sedang menginap di hotel untuk menghadiri pesta sosialita, meninggalkan rumah tanpa kehangatan seperti biasa. Revan masih betah di ruang kerjanya, mencoba fokus pada laporan bisnis. “Permisi Tuan,” Ayu masuk ke dalam, membawa secangkir teh hangat untuk sang Tuan muda. Revan tersenyum, padahal ia tidak meminta. Tapi Ayu berinisiatif sendiri untuk membawakannya. “Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan Ayu,” Ayu tersenyum simpul. Meletakkan cangkir berisi teh hangat itu ke atas meja. "Aku hanya menjalankan pekerjaanku, Tuan," Revan menatap wajah itu. Wajah polos yang selalu menyambutnya ketika pulang dan yang selalu memberikan secangkir teh hangat di waktu yang ia butuhkan. “Ayu, kamu sedang sakit?” Revan memperhatikan wajahnya yang pucat. “Tidak Tuan. Aku hanya sedikit lelah,” Jawab Ayu dengan
Langit mendung sore itu menggantung di atas rumah megah keluarga Ardiansyah. Revan baru saja memarkir mobilnya di garasi ketika dering ponsel tak berhenti menggema dari dalam saku jasnya. Beberapa panggilan dari mitra bisnis dan satu pesan dari Nadine yang sekedar menanyakan keberadaan transferannya. Sejak awal menikah sampai detik ini, tidak pernah sekalipun wanita itu memberikan perhatian padanya. Bahkan hanya sekedar pertanyaan kecil apakah ia sudah makan atau belum, wanita itu juga tidak pernah mempertanyakannya. Entahlah, terkadang Revan tak habis pikir. Bagaimana mungkin Ayahnya bisa menjodohkan dirinya dengan wanita seperti Nadine. Dari segi kecantikan dan kemolekan tubuh, Nadine memang patut diacungi jempol. Tapi untuk apa semua itu jika sama sekali tidak ada kehangatan di sana. "Ciiih! Dasar wanita matre. Pikirannya hanya uang, uang dan uang saja." Revan berdecih. "Dia bisanya hanya menuntut hak secara berlebihan. Tapi untuk kewajiban, dia tutup mata dan telinga seolah-ol
Beberapa hari setelah Ayu benar-benar pulih dari sakit, suasana rumah kembali tenang di permukaan. Tapi itu hanyalah ketenangan semu. Karena Nadine yang baru saja kembali dari kegiatannya, ia mulai menyadari perubahan kecil yang tak biasa pada suaminya. Revan, yang biasanya dingin dan jarang bicara, kini sering pulang lebih awal. Wajahnya tak lagi sekaku biasanya. Bahkan saat bersama Nadine, ia terlihat lebih sabar, tapi juga lebih jauh secara emosional seperti sedang menahan sesuatu. Nadine mulai curiga. Matanya tajam memperhatikan. Ia melihat cara Revan melirik ke arah dapur saat mereka sedang sarapan dan cara ia diam lama di taman belakang, tempat Ayu biasa menyiram bunga. Sekilas, Nadine juga melihat Revan menyapa Ayu dengan lembut di suatu sore dan itu cukup untuk menyalakan bara dalam dadanya. Bukan, bukan api cemburu yang ia rasakan tapi rasa takut. Ia takut kehilangan semua yang sudah ada di dalam genggamannya dan ia juga takut kehilangan kedudukannya sebagai menantu ke
Sebenarnya sudah sejak tadi pekerjaannya selesai. Namun, Revan masih enggan untuk pulang, karena ia sedang malas menatap wajah istrinya. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 08.00 malam dan ia baru berniat pulang setelah lewat 30 menit kemudian. Langkahnya selalu tegap. Ia keluar dari ruang kerja menuju ke mobil, dimana Pak Reno supir pribadinya sudah menunggu sejak tadi. Melihat wajah Tuannya yang selalu datar, Pak Reno tidak berani banyak bicara. Pria paruh baya itu hanya diam dan fokus melajukan mobil. Untungnya sesampainya di rumah. Istrinya, Nadine tidak ada disana. Entah kemana perginya wanita itu, Revan tidak juga tak tahu dan ia pun malas untuk mencari tahu. Revan masuk ke rumah megah yang selalu kosong. Ia mencari Ayu, wanita yang diharapkan akan muncul sambil membawa secangkir teh hangat untuknya. Tapi nyatanya wanita itu sama sekali tidak muncul, karena kemarin ia panas tinggi dan kemungkinan sekarang ia sedang beristirahat. Revan langsung menuju ke kamar dengan tujuan
Hujan terus turun sejak siang dan tak kunjung reda hingga malam menjelang. Langit diselimuti mendung gelap, membuat suasana rumah besar keluarga Ardiansyah kian muram dan dingin. Nadine sedang menginap di hotel untuk menghadiri pesta sosialita, meninggalkan rumah tanpa kehangatan seperti biasa. Revan masih betah di ruang kerjanya, mencoba fokus pada laporan bisnis. “Permisi Tuan,” Ayu masuk ke dalam, membawa secangkir teh hangat untuk sang Tuan muda. Revan tersenyum, padahal ia tidak meminta. Tapi Ayu berinisiatif sendiri untuk membawakannya. “Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan Ayu,” Ayu tersenyum simpul. Meletakkan cangkir berisi teh hangat itu ke atas meja. "Aku hanya menjalankan pekerjaanku, Tuan," Revan menatap wajah itu. Wajah polos yang selalu menyambutnya ketika pulang dan yang selalu memberikan secangkir teh hangat di waktu yang ia butuhkan. “Ayu, kamu sedang sakit?” Revan memperhatikan wajahnya yang pucat. “Tidak Tuan. Aku hanya sedikit lelah,” Jawab Ayu dengan
Langit mulai mendung. Awan gelap bergelantungan di luar jendela besar ruang makan keluarga Ardiansyah. Ayu sedang sibuk membersihkan meja makan panjang yang terbuat dari marmer putih yang mengkilap. Tangannya gesit, tapi wajahnya tampak lelah. Sejak pagi ia sudah bolak-balik dari dapur ke taman belakang, membantu Bu Marni membereskan sisa sarapan Tuan Muda dan memindahkan pot-pot bunga sesuai instruksi Nadine pagi tadi. Baru saja ia hendak mengelap bagian ujung meja, suara hak tinggi menggema di tangga marmer. Nadine turun dengan langkah cepat, anggun namun terlihat tegang. Rambutnya ditata rapi dalam sanggul modern, bibirnya di poles lipstik warna merah menyala dan tampaknya ia seperti hendak pergi ke sebuah acara besar. Nadine berjalan dengan ponsel menempel di telinga. Suaranya terdengar tajam, seperti sedang memarahi lawan bicaranya diseberang sana "Aku bilang jangan hari ini, Lisa! Aku sudah ada janji makan siang! Suruh mereka tunggu atau ganti lain waktu. Aku nggak suka jadw
Sejak tadi, Ayu merasa ada sesuatu yang berbeda di udara. Bukan angin atau cuaca, tapi suasana hati yang aneh. Ia membersihkan ruang keluarga, menyapu dan mengepel lantai marmer yang luas hingga mengkilap seperti cermin. Di atas meja panjang, ia menata vas berisi bunga segar yang datang dari toko langganan Nadine. Dengan senyum yang merekah manis. Ayu menatanya dengan lembut, tapi jemarinya terasa seperti canggung. Karena Ayu merasa ada tatapan yang menempel di punggungnya dan tidak ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa pemiliknya. Revan Ardiansyah. Sudah beberapa kali pria itu melintasi ruang keluarga, padahal biasanya ia hanya muncul saat hendak keluar rumah atau kembali ke ruang kerja. Tapi kali ini, ia duduk di salah satu sofa, membawa laptop dan gelas yang berisi teh hangat buatannya. Pandangan Pria itu tidak hanya terfokus pada layar datar yang ada di hadapannya saja, tetapi juga sesekali mencuri pandang ke arahnya. Ayu menunduk dalam-dalam, menyembunyikan rona gugup yang
Pagi itu langit terlihat cerah, dan rumah keluarga Ardiansyah masih tetap terasa lebih sunyi dari biasanya. Ayu memulai harinya lebih awal, membersihkan lantai atas sesuai instruksi Bu Marni. Langkahnya ringan nyaris tanpa suara, karena ia sudah terbiasa menjaga ketenangan. Sebab Ayu tahu betul, bahwa di rumah sebesar ini suara sekecil apapun bisa memantul ke mana-mana. Sambil membawa ember dan lap pel, Ayu mendekati ruang tengah di lantai dua, tepat di depan kamar utama. Tadinya ia berniat membersihkan kaca jendela besar yang ada di ujung lorong. Tapi langkahnya terhenti, saat mendengar suara-suara dari balik pintu kamar yang tidak tertutup dengan sempurna. Awalnya hanya terdengar seperti gumaman cepat. Tapi lama-kelamaan suara Nadine terdengar lebih jelas dan meninggi. "Sampai kapan kamu terus mengatur hidupku, Revan? Aku bukan bonekamu!" Ayu tertegun. Suara Nadine terdengar sangat tinggi dan penuh dengan kemarahan. Apa yang ia dengar barusan, tidak seperti wanita anggun yan
Pagi datang perlahan, membasuh sisa hujan malam tadi dengan sinar matahari yang berwarna pucat. Udara masih lembap, namun terasa segar. Di gerbang rumah besar keluarga Ardiansyah, sebuah angkutan umum berhenti. Seorang gadis cantik dengan pakaian sederhana turun dengan langkah hati-hati. Ia mengenakan seragam warna abu-abu tua, rambutnya dikuncir rapi, dan di tangannya tergenggam koper kecil yang tampak usang namun masih terlihat bersih. Tidak lama pintu pagar yang menjulang tinggal terbuka. Keluarlah seorang pria paruh baya menghampirinya dengan seragam security. "Pembantu baru?" Tanyanya, dengan kedua mata yang menatapnya dari atas kepala sampai ujung kaki. Namanya Ayu. Gadis itu mengangguk pelan, takut, sekaligus risih diperhatikan seperti itu. "Masuk!" Perintahnya kemudian. Ayu menggeret kopernya, menatap bangunan megah di depannya dengan mata yang berbinar. Pilar-pilar besar, kaca jendela tinggi, dan taman depan yang luas membuatnya terpaku sesaat. Karena sebelumnya, ia
Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 malam. Sebuah mobil sedan hitam berhenti, tepat di depan sebuah rumah bergaya klasik Eropa. Rumah itu terlihat mewah, tapi tidak dengan suasananya yang sunyi bahkan terlampau sunyi seperti tak berpenghuni.Revan Ardiansyah keluar dengan langkah tegap, sorot mata tajam sambil membawa tas kerja. Setelan jas hitam yang melekat di tubuh kekarnya masih tetap rapi. Wajah tampan bak dewa Yunani itu masih menatap datar, dingin seolah-olah tidak terjadi apapun di dalam hidupnya. Padahal tatapan datar dan dingin itu hanyalah sebuah kamuflase untuk menutupi hatinya yang kosong dan sepi.Sebenarnya hari ini ia sangat lelah. Banyak sekali rapat, tekanan, dan keputusan penting yang menguras banyak waktu serta tenaga. Tapi semua itu sepertinya tak cukup untuk menghilangkan ekspresi datar yang sudah melekat kuat pada dirinya.Meski ekspresinya selalu dingin. Tapi di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ada sebuah harapan yang tumbuh. Bahwa malam ini, rumahnya tak lagi