Andrew langsung menyalami Suryawijaya dengan senyum senang tanpa melepas Nawangsih untuk menunjukkan bahwa dia sudah menjaganya dengan baik seperti dawuh yang diberikan untuknya walau Suryawijaya sebenarnya tidak tahu itu semua."Saya Andrew, Mas. Teman hidup Tania di London."Nawangsih meringis geli, senang mendengar harapan lelaki yang masih menyalami Suryawijaya dengan percaya diri itu. Pasti sekarang, kakaknya itu sedang ribut dengan pikirannya sendiri."Senang bisa melihat saudara Tania lagi di sini karena dia nggak mau pulang tapi sering merindukan saudara-saudaranya di rumah." Andrew melepas tangannya, lalu menatap Nawangsih."Di peluk dong kakaknya, katanya kangen keluarga."Nawangsih menatap Andrew yang tidak bisa tidak tersenyum manis kepadanya seolah dia ingin menunjukkan kepekaannya terhadap pertemuannya dengan keluarga.Ngapa sih Mas Andrew pakai nyuruh-nyuruh segala? Nggak tahu apa dia itu laki-laki yang aku hindari sampai bisa di depan matamu sekarang? Sebel.Nawangsih t
Nawangsih mengusap wajahnya dengan frustasi. Mandi air hangat tidak melegakan, tidak pula membuatnya tenang. Kecanggungan itu dan pemikiran yang buru-buru membuatnya lupa akan sesuatu."Aku tidak mungkin keluar dengan piyama handuk begini. Bisa-bisa aku dikira cari perhatian lagi!" tukas Nawangsih sambil mendesis dan menghentak-hentakkan kakinya."Ibunda kenapa tidak bilang-bilang Mas Surya datang? Apa Ibu marah? Arghhhh..., Aku lupa tidak mengabari Ibu seminggu ini. Kualat... kualat." katanya lalu... Bruk.Bunyi gedebuk dan suara gaduh benda-benda jatuh membuat Suryawijaya memalingkan wajah dan gegas menuju kamar mandi."Tania..., Tania..." Suryawijaya mengetuk pintu dengan panik. "Kamu kenapa?"Wajah Nawangsih kian padam. Dia menggelengkan kepala sambil mengurut kakinya yang mungkin keseleo."Hidupku tidak akan tenang lagi. Sudah terpeleset, malu lagi. Memang betul Mas Surya itu Asem kecut gulo legi, Mas Surya super nyebelin." serunya dengan kesal.BRAK.Pintu terpentang dengan bring
Nawangsih akhirnya mengangguk demi menghindari Suryawijaya dengan cepat sekaligus untuk mengobati rindunya yang menggunung."Aku akan mengatur kepulanganku, Mas. Tapi tidak dalam waktu dekat ini. Ada beberapa tanggung jawab yang harus aku selesaikan dulu." Nawangsih mengaku dengan jujur, kegiatannya dengan Andrew masih padat merayap, tidak mungkin dia langsung pergi dan membuat pria itu menanggung semuanya sendiri.Suryawijaya mengangguk. "Aku akan menunggumu siap, kita pulang bersama!" ucapnya tegas, dia harus selangkah lebih berani sebelum Andrew semakin memberikan perhatian untuk Nawangsih dan segalanya akan semakin rumit."Terserah Mas Surya saja, tapi jangan menggangguku." Nawangsih menghidupkan kompor listrik, "Sudah makan? Ibunda dan Ayahanda bagaimana kabarnya?"Secercah harapan menghampiri Suryawijaya ketika Nawangsih membuka diri tanpa perlu mendebatkan perihal masalah yang telah memisahkan mereka."Belum, kamu mau masak?" Suryawijaya mendekat, dia melihat persediaan makan Na
Suryawijaya mengusapkan kedua telapak tangan seraya menatap sarung tangan merah muda yang terasa sempit di tangannya namun begitu nyaman di genggamannya. Seulas senyum tipis terlihat di wajahnya. "Aku tahu kamu masih jauh dari jangkauanku Tania, tapi mungkin inilah yang membuat kita kembali dekat."Suryawijaya melepas sarung tangannya sebelum membuat secangkir kopi dan menghidupkan penghangat ruang. Kesendirian itu menciptakan suasana syahdu yang berujung perenungan. Suryawijaya bergeming di dekat jendela."Apa ini karma untukmu setelah mengecewakan Nawangsih karena jatuh suka pada Keneswari?" Suryawijaya menyesap kopinya. Tatapannya pergi entah ke mana. Terlihat tidak fokus. "Tapi semua yang dia harapkan berjalan lancar. Kepergianmu mendamaikan keadaan. Dia harus ingat itu. Jadi harusnya wajar aku ingin dia kembali lagi ke pelukanku setelah aku jomblo?"Suryawijaya menghela napas. "Butuh waktu, Nawangsih pasti sekarang sedang berdua dengan Andrew dan aku... tidak bisa ke sana!" Sury
Perjalanan menuju kediaman Andrew membutuhkan waktu lebih lama di musim dingin. Andrew nampak membawa mobilnya dengan hati-hati, takut tergelincir dan ingin memberikan kesan yang baik di hadapan Suryawijaya tanpa tahu kakak beradik itu sedang menipu dirinya. "Baru pertama kali ke London atau sudah pernah main ke sini, Mas?" Andrew memulai pembicaraan, mengusir senyap yang mengisi mobilnya."Baru pertama kali." Suryawijaya tersenyum canggung. "Ini juga karena saya ingin menjemput Nawangsih untuk pulang ke rumah sebentar, menjenguk Ayah."Andrew mengangguk khidmat. Dengan pengertian dia memperlancar niat Suryawijaya membawa Nawangsih pulang ke Jawa."Kebetulan Tania memang kerja denganku dan Papa. Kita bisa memberi cuti karena sekarang memang libur panjang. Natal, tahun baru dan liburan musim dingin." Nawangsih mengerucutkan bibir. "Malah di jelasin, Mas Drew tau nggak sih kalau laki-laki itu cinta pertamaku dan sedang aku hindari. Kalau tau paling juga melongo dan nyesel sudah masukin
Nawangsih bersedekap di pinggir jendela kamar. Matanya memandang sekeliling setelah menikmati supper di The Sun Pub dengan kedua lelaki itu setelah pesta kembang api berakhir."Bagaimana dengan nasib kedua laki-laki itu?"Semakin pagi, kabut semakin pekat tapi tak sedikitpun membuat Nawangsih memilih meringkuk di ranjang dan terpejam. Dia terus memikirkan Suryawijaya yang memandang kesal, namun dia juga terbayang-bayang Andrew dan perlakuannya tadi."Seandainya aku bisa, Mas Drew. Detik ini aku siap untuk memulai hubungan baru denganmu. Tapi aku tidak siap, hubungan itu akan sia-sia, tak ada ujungnya. Seperti halnya yang sudah terjadi." Nawangsih menyentuh kaca, menggambar wajah lalu membiarkannya beberapa saat. Gambar itu terlihat seperti wajah yang menangis."Nanti kita pikirkan lagi ya jalan keluarnya."Nawangsih berbalik, menyingkap selimut seraya membungkus tubuhnya lalu berharap perasaannya jauh lebih baik.•••Jalan-jalan adalah gagasan yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu
Andrew bertepuk tangan setelah mencoba masakan Nawangsih. "Enak, Tania. Lo emang calon istri yang sempurna buat gue." "Sstt..." Nawangsih menaruh jari telunjuknya di depan mulut sambil melirik kewibawaan Suryawijaya yang menyantap makan siangnya dalam diam. "Ada, Mas. Jangan ngobrol waktu makan." ucapnya mengingatkan.Sekonyong-konyong Andrew menepuk jidatnya. "Maaf, gue lupa. Dimaafkan ya?" Andrew mengatupkan kedua tangan. "Mas Surya, maaf." Suryawijaya mengangguk. "Lanjutkan makannya!" titahnya dengan suara datar. Andrew menganggukkan kepala sambil melempar senyum. Nawangsih pun ikut tersenyum walau dalam hati dia meracau."Itu yang aku rasakan, Mas. Aku harus bersikap baik-baik saja, tenang dan santai saat kamu berduaan dengan Mbak Keneswari. Enak nggak? Enggak kan? Aku tersenyum dalam luka, sepertinya kamu pun begitu sekarang. Tapi ini bukan ajang balas dendam. Mas Drew memang menyukaiku, Mas paham itu dan tidak sedikit waktu yang telah kami lewati. Jadi apa kamu bisa mengertiku
Nawangsih menyelesaikan pekerjaannya mengepak pakaian dan oleh-oleh sebelum menghela napas lega."Jadi selama kalian berpacaran, Masku ini tidak serius? Tega sekali kamu sebagai laki-laki." Nawangsih menatap Suryawijaya dengan tidak suka."Dan aku sekarang harus mempercayai Mas juga untuk kedepannya?"Suryawijaya bersedekap sembari bersandar di kusen pintu. "Aku dengan kamu sudah pasti serius. Jadi jangan kamu tanyakan hal itu.""Halah." Nawangsih memutar matanya seraya memastikan Andrew masih terlelap."Dengar ya Mas, sejauh aku pergi, baru Mas Andrew yang begitu besar memperhatikanku selain kamu. Jadi aku harap hatimu cukup bijak menanggapinya."Suryawijaya menatap Andrew yang begitu gigih dan santai menyukai Nawangsih. Sudah akrab sekali juga mereka seolah kini semua warna cerah kembali ke dalam hidup Nawangsih dari harinya yang buruk karena dirinya."Aku paham dengan apa yang kamu maksud, Nia. Dan ini hanya soal waktu kok."Nawangsih berdecak. "Awas ya kalo ganggu kita. Aku marah!"
Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di
Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki
Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang
Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan
Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah
Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku
Hari-hari kembali melaju meninggalkan jejak, menjadi momen yang terus menguatkan beragam kegundahan Nawangsih dan Suryawijaya selama berpisah. Meski begitu segalanya terasa seperti angin lalu. Rasa rindu itu tidak lagi menjadi beban, rasa khawatir itu tetap ada walau terkesan biasa saja. Suryawijaya tenang Nawangsih di rumah bersama keluarganya, sementara dia tinggal bersama keluarga kakeknya seolah keadilan tetap di tegakkan oleh orang tua mereka. Keduanya memiliki pengawasan hingga tak perlu risau berjauhan.Suryawijaya yang memiliki jiwa seni dan petualang tinggi mulai mendedikasikan diri pada dua hal-hal itu dalam prespektif yang positif.Lelaki itu mulai membuka workshop dan enterpreneur di Australia sekaligus mengembangkan bakat melukisnya dengan pelukis-pelukis handal maupun jalanan. Sementara pekerjaan tetapnya masih memantau sapi-sapi yang menghasilkan susu berkualitas tinggi entah sampai kapan hukuman itu berlanjut, dia hanya perlu pasrah dan menunggu karena ituNawangsih pun
Nawangsih menghela napas setelah keluar dari kamar ayahnya, meninggalkan Suryawijaya dan Ayahnya yang kembali membahas pekerjaan.Di dapur, tak ada siapapun kecuali dia dan cicak di atas plafon."Ya Tuhan, di saat aku ingin menjauh dan melupakan semuanya. Restu itu hadir tanpa aku duga. Tapi aku merasa tidak mengerti harus memilih jalan mana. Menikah atau tetap menjadi sahabat selamanya."Gadis itu termenung, membiarkan benaknya bicara dan berdebat. Begitupun Suryawijaya, ruang kerja ayahnya adalah tempatnya menepi setelah pembicaraan dengan ayahnya selesai."Tak ada yang lebih menentramkan hati ketimbang utuhnya sebuah keluarga. Terlebih setelah Ayahanda sakit, keluargaku masih terus di sorot media. Sekarang mungkin benar apa yang di katakan Keneswari dulu, jika apa yang terjadi antara aku dan Nawangsih adalah sesuatu yang justru akan menodai harkat dan martabat keluarga ini."Suryawijaya menghembuskan napas sambil meraba kebenaran dalam setiap kata Keneswari. Dia mengangguk samar dan
"Aku tidak mengganggu, Nawangsih. Ibu. Aku bersumpah. Kita hanya bercanda-canda." Suryawijaya mengaku di hadapan Ibunya yang meminta penjelasan. Tetapi penjelasanya tidak mempengaruhi rasa curiga Ibunya."Kamu memangnya bisa bercanda?""Bisa saja... Aku ini juga punya darah pelawak kok." Suryawijaya menghela napas. Baiklah, tiada gunanya bercanda dengan Ibunya, wanita itu terlalu peka akan batin anaknya.Suryawijaya menatap Ibunya. "Kami bersahabat sekarang, dan kami ingin memulai perubahan itu dengan berteman baik.""Berteman baik?"Suryawijaya mengamati Ibunya melihat sekeliling. "Ada apa, Ibu? Mau membicarakan sesuatu yang rahasia dan penting?"Ibunya mengangguk. "Kamu ikut ke kantor sekarang, Ayahanda sudah ada yang jaga."Suryawijaya mengikuti Ibunya dengan tidak tenang. Persoalan cinta dengan adik angkat pun tidak ada habisnya bahkan ketika dia sudah menyerah bagaimana nasibnya sendiri kelak. Mungkin dialah yang akan menjadi jomblo abadi.Suryawijaya menghidupkan steker lampu kar