Suryawijaya beranjak dengan hati yang tercabik-cabik meski pria itu terus menatap Nawangsih dengan bibir yang tertutup rapat tanpa ada satu pun kata yang mampu diucapkan setelahnya. Asa itu mulai memudar digantikan oleh rasa pedih yang mendalam.Tangan Nawangsih terulur untuk melepas gelang couple yang menjadi simbol kepemilikan mereka dari pergelangan tangan Suryawijaya, dia pun juga segera melepas gelang miliknya."Aku tidak suka dengan pikiranku sekarang, Mas Surya." gumam Nawangsih, menimbang-nimbang harus diapakan gelang itu."Buang saja, sudah jelek dan tidak pantas kita gunakan." pungkas Suryawijaya seraya mengacak-acak rambut Nawangsih dengan gemas walau terasa berat. Tapi dia yakin gelang sederhana yang mereka beli di emperan toko Malioboro sewaktu hujan turun akan tergantikan dengan gelang emas."Baik." Nawangsih buru-buru menaruhnya di atas meja, memberi jeda untuk berpikir tentang gagasannya sendiri mengenai gelang itu. "Mas pergi saja kalau ada sesuatu yang penting, aku d
Jamuan makan malam yang diiringi suara gamelan dan lagu alam berakhir dengan senyum cerah di wajah Adhiwiryo, beliau ditemani oleh Keneswari dan Dyah sudah menunggu momen ini. Momen di mana penentuan siapa yang kelak akan mendampingi Sang Pangeran, Suryawijaya.Rinjani yang mendampingi Suryawijaya seorang diri tanpa suami ikut tersenyum. Semua sudah dibicarakan dengan hati dan kesadaran. Baik keresahannya tentang Nawangsih dan rencana kedepannya, Rinjani memahami tanpa ikut campur, tanpa membuka rahasia mereka berdua. Rinjani akan membiarkan semua itu mengalir apa adanya, sesuai jalan semesta dan rahasia kehidupan.Adhiwiryo memberi hormat seraya mengajak tamu kehormatannya untuk menuju ruang pribadi. Ruang yang terlihat seperti meja perundingan itu membuat Suryawijaya cemas. Pasalnya perempuan paling cantik dihidupnya ikut duduk di sana. Nawangsih duduk dengan anggun sambil tersenyum hangat seolah membantah tuduhan yang pernah dilayangkan untuknya, untuk keluarganya dari Keneswari.S
Nawangsih memalingkan wajah, merekam semua kenangannya di rumah lekat-lekat sampai Dendra perlu meraih tangannya."Kamu harus ke bandara sekarang, Tania!" Dendra berkata dengan tegas dan iba. Lelaki itu yang membantunya mengurus semua kelangkaan dokumen hingga tempat tinggalnya selama di London.Nawangsih menghela napas berat, dia mengangguk seraya mengikuti Dendra keluar dari regol menuju pelataran rumah dengan langkah gontai. Hawa dingin membekukan relung hati sejak kakinya resmi meninggalkan rumah."Aku nggak percaya, Mas. Sejak dulu aku gak pernah jauh-jauh dari rumah ini. Tapi sekarang aku melarikan diri dengan sengaja ke tempat yang jauh sekali. Aku takut tapi harus." ucap Nawangsih sebelum masuk ke dalam mobil seolah dia berat hati untuk pergi karena kakinya mengeluarkan akar dan mencengkeram pondasi rumah itu.Dendra tersenyum penuh pemahaman. Sudah jauh-jauh hari dia memberi gagasan tentang keputusannya, dan bilamana sekarang gadis itu benar-benar takut, dia mengerti tapi tak
London, setelah patah hati dan masalah tidur yang berkepanjangan. Nawangsih duduk termenung di atas rumput hijau sembari menikmati matahari musim semi di Green Park dekat istana Buckingham. Nawangsih memejamkan mata. Seminggu sudah dia melewati hari-harinya di London dengan perasaan yang lelah luar biasa. Suryawijaya, masih menjadi atensi paling besar dalam benaknya, sementara raganya masih perlu beradaptasi dengan lingkungan baru. Sekarang dia masih perlu menghafal jalan yang menjadi rute kampus dan sebuah flat sebagai tempatnya tinggal. "Besok aku harus cabut, kamu harusnya sudah berani aku tinggal sendiri, Nia?" Dendra menghenyakkan tubuhnya di samping Nawangsih seraya mengulurkan kopi. Aroma kopi masih mengingatkannya akan Suryawijaya, bertahun-tahun lamanya Nawangsih menyajikan secangkir kopi hitam untuk Suryawijaya dan sekarang, Dendra yang menjadi penampung kopi hitam buatnya selama seminggu.Alangkah senang pria itu. Senang sekali bisa berduaan dengan Nawangsih di London."K
Lewat tengah malam, Suryawijaya masih terjaga meski menahan kantuk yang kian mendera. Setumpuk lembaran tugas tesis akhir yang molor dan buanyakkk tetap saja hanya nama Nawangsih yang menyita seluruh jiwanya."Apa benar, semesta bekerja dengan baik? Dimana aku ingin menghindari Keneswari, disaat itu pula aku disibukkan dengan banyak hal." Suryawijaya bergumam, sembari memejamkan mata. "Seandainya kamu disini, Tania. Kamu bisa menggantikan posisi Ibunda dan kita bisa bekerjasama. Itu bagus dan kamu akan mengajakku berdebat dengan gagasanmu yang lucu-lucu dan sensitif."Terbayang Nawangsih, Suryawijaya tersenyum. "Sedang apa kamu hari ini, Nia? Kenapa jauh sekali kamu perginya."•••Nawangsih menguap seraya menutup mukanya dengan bantal, ia memukul-mukul bantal itu dengan racauan di pagi yang cukup dingin baginya."Baru kuliah dua Minggu tugas udah banyak banget. Ibu... bantuin, pengen pulang, kangen lodeh, tempe goreng, kangen bunga sedap malam, kangen minum dawet, hu - hu, Ibu." rengek
Suryawijaya menghembuskan napas pelan. Dia dilanda rasa gugup ketika menduduki kursi kebesaran sang Ayah di ruang rapat. Lelaki itu nampak mencari kenyamanan dari tempat duduknya sembari menatap satu persatu direksi dan senior adat yang bekerja pada perusahaan keluarga besar Adiguna Pangarep.Suryawijaya mengangguk saat orang-orang memberi salam sapa hangat kepadanya sebelum duduk di kursi antik yang mengelilingi meja berbentuk persegi panjang."Ayahanda, aku masih terlalu muda untuk tugas sebesar ini. Kursi ini begitu mempengaruhi jiwaku."Badai kata-kata di kepala Suryawijaya semakin riuh, ribut. Segala sesuatu yang berupa ketidakmampuannya memimpin rapat itu menghantam nyalinya, menurunkan ego dan keangkuhannya. Tangannya basah, napasnya kian tidak tenang, Suryawijaya kehilangan kosa kata.Rinjani tersenyum ramah, beliau beranjak seraya membungkukkan badan di hadapan para rekan, bawahan, dan abdi budaya yang membantunya menggerakkan roda perusahaan dan budaya yang dia harapkan tak l
Nawangsih membiarkan jendela kamarnya terbuka sampai jam sepuluh malam sebab udara panas yang amat menyengat membuatnya lebih suka berada di dekat jendela flat untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Tetapi gadis itu terlihat merenung, sedang tatapannya lari entah ke mana. Pertemuannya dengan Tuan Grissham membuatnya ingin menghubungi sang Ayah."Satu jam lagi, Ibunda pasti sudah bangun untuk salat subuh! Aku bisa menunggu sebentar." Nawangsih mencebikkan bibir sambil menatap panorama sekitar, ia menyandarkan kepala di kusen jendela."Di dadaku ada setangkup rindu yang membara, Mas. Kamu apa kabar? Apa kamu masih berkenan menungguku lulus Undergraduate Preparatory Certificate dan baru kuliah lagi? Aku lama di sini, Mas. Lima atau enam tahun lagi aku baru pulang. Apa sabarmu dan penantian kita bisa selama itu?"Nawangsih memutar gelang emas yang melingkari pergelangan tangannya. "Dalam waktu yang begitu lama, pasti banyak yang berubah dari kita berdua. Atau bisa jadi Mas sudah nikah, punya a
Satu menit yang tak utuh itu mampu membuyarkan kepingan-kepingan yang berusaha Nawangsih kukuhkan. Suara Suryawijaya masih melenakan telinga Nawangsih, dia terngiang 'selamat pagi' di pembaringan saat suasana pagi yang cerah merenggut seluruh semangatnya. "Satu menit dan ambyar seketika." Nawangsih menatap langit-langit kamar yang berupa cor-coran semen dan di cat dengan warna putih.Nawangsih mengangkat tangan kirinya dan melepas gelang emas dari pergelangan tangannya. Dia mengamati gelang itu dengan perasaan campur aduk. "Lho, ada aksara Jawanya." gumamnya saat mengamati ukiran yang ada di bagian dalam gelang itu. Nawangsih bangkit, dia berjalan mendekati jendela seraya menyingkap gorden. Cahaya matahari yang benderang membantunya dalam mengamati ukiran aksara Jawa yang terlihat sekecil semut merah.Nawangsih berusaha menerjemahkannya dengan teliti. Dan puncaknya dia mengulum senyum sembari memasang lagi geleng emas itu ke tangan kirinya. Gelang yang mengikatnya dalam asa fana.'Mi
Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di
Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki
Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang
Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan
Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah
Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku
Hari-hari kembali melaju meninggalkan jejak, menjadi momen yang terus menguatkan beragam kegundahan Nawangsih dan Suryawijaya selama berpisah. Meski begitu segalanya terasa seperti angin lalu. Rasa rindu itu tidak lagi menjadi beban, rasa khawatir itu tetap ada walau terkesan biasa saja. Suryawijaya tenang Nawangsih di rumah bersama keluarganya, sementara dia tinggal bersama keluarga kakeknya seolah keadilan tetap di tegakkan oleh orang tua mereka. Keduanya memiliki pengawasan hingga tak perlu risau berjauhan.Suryawijaya yang memiliki jiwa seni dan petualang tinggi mulai mendedikasikan diri pada dua hal-hal itu dalam prespektif yang positif.Lelaki itu mulai membuka workshop dan enterpreneur di Australia sekaligus mengembangkan bakat melukisnya dengan pelukis-pelukis handal maupun jalanan. Sementara pekerjaan tetapnya masih memantau sapi-sapi yang menghasilkan susu berkualitas tinggi entah sampai kapan hukuman itu berlanjut, dia hanya perlu pasrah dan menunggu karena ituNawangsih pun
Nawangsih menghela napas setelah keluar dari kamar ayahnya, meninggalkan Suryawijaya dan Ayahnya yang kembali membahas pekerjaan.Di dapur, tak ada siapapun kecuali dia dan cicak di atas plafon."Ya Tuhan, di saat aku ingin menjauh dan melupakan semuanya. Restu itu hadir tanpa aku duga. Tapi aku merasa tidak mengerti harus memilih jalan mana. Menikah atau tetap menjadi sahabat selamanya."Gadis itu termenung, membiarkan benaknya bicara dan berdebat. Begitupun Suryawijaya, ruang kerja ayahnya adalah tempatnya menepi setelah pembicaraan dengan ayahnya selesai."Tak ada yang lebih menentramkan hati ketimbang utuhnya sebuah keluarga. Terlebih setelah Ayahanda sakit, keluargaku masih terus di sorot media. Sekarang mungkin benar apa yang di katakan Keneswari dulu, jika apa yang terjadi antara aku dan Nawangsih adalah sesuatu yang justru akan menodai harkat dan martabat keluarga ini."Suryawijaya menghembuskan napas sambil meraba kebenaran dalam setiap kata Keneswari. Dia mengangguk samar dan
"Aku tidak mengganggu, Nawangsih. Ibu. Aku bersumpah. Kita hanya bercanda-canda." Suryawijaya mengaku di hadapan Ibunya yang meminta penjelasan. Tetapi penjelasanya tidak mempengaruhi rasa curiga Ibunya."Kamu memangnya bisa bercanda?""Bisa saja... Aku ini juga punya darah pelawak kok." Suryawijaya menghela napas. Baiklah, tiada gunanya bercanda dengan Ibunya, wanita itu terlalu peka akan batin anaknya.Suryawijaya menatap Ibunya. "Kami bersahabat sekarang, dan kami ingin memulai perubahan itu dengan berteman baik.""Berteman baik?"Suryawijaya mengamati Ibunya melihat sekeliling. "Ada apa, Ibu? Mau membicarakan sesuatu yang rahasia dan penting?"Ibunya mengangguk. "Kamu ikut ke kantor sekarang, Ayahanda sudah ada yang jaga."Suryawijaya mengikuti Ibunya dengan tidak tenang. Persoalan cinta dengan adik angkat pun tidak ada habisnya bahkan ketika dia sudah menyerah bagaimana nasibnya sendiri kelak. Mungkin dialah yang akan menjadi jomblo abadi.Suryawijaya menghidupkan steker lampu kar