Nawangsih membiarkan jendela kamarnya terbuka sampai jam sepuluh malam sebab udara panas yang amat menyengat membuatnya lebih suka berada di dekat jendela flat untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Tetapi gadis itu terlihat merenung, sedang tatapannya lari entah ke mana. Pertemuannya dengan Tuan Grissham membuatnya ingin menghubungi sang Ayah."Satu jam lagi, Ibunda pasti sudah bangun untuk salat subuh! Aku bisa menunggu sebentar." Nawangsih mencebikkan bibir sambil menatap panorama sekitar, ia menyandarkan kepala di kusen jendela."Di dadaku ada setangkup rindu yang membara, Mas. Kamu apa kabar? Apa kamu masih berkenan menungguku lulus Undergraduate Preparatory Certificate dan baru kuliah lagi? Aku lama di sini, Mas. Lima atau enam tahun lagi aku baru pulang. Apa sabarmu dan penantian kita bisa selama itu?"Nawangsih memutar gelang emas yang melingkari pergelangan tangannya. "Dalam waktu yang begitu lama, pasti banyak yang berubah dari kita berdua. Atau bisa jadi Mas sudah nikah, punya a
Satu menit yang tak utuh itu mampu membuyarkan kepingan-kepingan yang berusaha Nawangsih kukuhkan. Suara Suryawijaya masih melenakan telinga Nawangsih, dia terngiang 'selamat pagi' di pembaringan saat suasana pagi yang cerah merenggut seluruh semangatnya. "Satu menit dan ambyar seketika." Nawangsih menatap langit-langit kamar yang berupa cor-coran semen dan di cat dengan warna putih.Nawangsih mengangkat tangan kirinya dan melepas gelang emas dari pergelangan tangannya. Dia mengamati gelang itu dengan perasaan campur aduk. "Lho, ada aksara Jawanya." gumamnya saat mengamati ukiran yang ada di bagian dalam gelang itu. Nawangsih bangkit, dia berjalan mendekati jendela seraya menyingkap gorden. Cahaya matahari yang benderang membantunya dalam mengamati ukiran aksara Jawa yang terlihat sekecil semut merah.Nawangsih berusaha menerjemahkannya dengan teliti. Dan puncaknya dia mengulum senyum sembari memasang lagi geleng emas itu ke tangan kirinya. Gelang yang mengikatnya dalam asa fana.'Mi
Nawangsih duduk dengan anggun ketika Andrew mulai mengemudikan mobilnya, membelah udara malam awal musim gugur. Dan lelaki itu tidak lagi terkejut melihat laku Nawangsih seperti itu. Dia sudah sering melihat Nawangsih duduk anggun dan bersikap ramah kepada tamu-tamu yang datang ke kedai kopinya. "Selama Lo di London, Lo pernah ke mana aja? Nyebrang ke Eropa atau ke Manchester yang paling deket?" Andrew menoleh sebentar, rasa penasaran membara di benaknya. Nawangsih mengendikkan bahu. "Aku nggak pernah ke mana-mana, ke sini untuk belajar, bukan untuk piknik!"Andrew mengerti karena dia memang anak ketua himpunan mahasiswa Indonesia dan diberi kepercayaan oleh sang Ayah untuk mengayomi mahasiswa Indonesia selama masa tugasnya di negara itu. Makanya dia senang-seneng saja bertemu dengan banyak orang dari negaranya. Namun baru kali ini, ketertarikannya pada perempuan baru begitu menyala-nyala."Tapi apa Lo cuma mau belajar dan belajar terus? Lo kemarin minta kerja di toko gue juga karena
Anglaras ilining banyu angeli, ananging ora keli. Falsafat dari sunan Kalijaga yang slalu diterpakan oleh kedua orang tuannya masih terus di pegang teguh oleh Suryawijaya dengan sabar, setidaknya satu tahun setelah kepergian Nawangsih tanpa pamit.Lelaki itu mulai dirundung gelisah di bulan-bulan berikutnya. Segala praduga muncul dan mengacaukan konsentrasinya. Mungkin saja, Nawangsih betul-betul sudah melanjutkan hidupnya, melupakannya dan bertemu dengan pangeran berkuda putih. Mungkin saja Nawangsih justru terpuruk dan berdarah-darah karenanya. Mungkin saja...Lamunan Suryawijaya terpenggal dengan kedatangan seorang pria yang menyembunyikan keberadaan Nawangsih begitu rapat. Suryawijaya menatap Pandu dengan tatapan berang."Ayahanda akan terbang ke Singapura untuk pengobatan nanti siang, Mas ikut tidak?" tanya Pandu.Suryawijaya melipat kedua tangannya dengan posisi bersandar, memasang wajah tak acuh untuk saudaranya yang tega menyembunyikan kabar saudaranya sendiri darinya. "Tidak.
Suryawijaya mengerang. Kepalanya terasa berat saat Pandu mengetuk-ngetuk pintu kamarnya."Mas, boleh aku masuk?" izinnya dengan ragu.Suryawijaya membuka pintu kamarnya dengan kesal. Terlihat dengan jelas kekhawatirannya hanya semata-mata belahan jiwanya hilang radar seolah setahun lamanya kuat berpisah sia-sia."Mau apa?" tanya Suryawijaya dengan suara datar."Kami mau berangkat. Mas yakin tetap tidak ingin ikut?" Pandu memastikan. "Aku sedang ingin sendiri." ucap Suryawijaya cepat-cepat, "Bawa Citra dan Bimo untuk menemani kalian. Ajak pula pengawal Ayah dan mintalah penjagaan ketat dari pihak rumah sakit. Ayahanda jangan sampai kenapa-kenapa.""Mas khawatir?" tukas Pandu, "Kalau iya ayo ikut saja, Mas. Kita bisa jaga Ibunda dan Ayahanda bersama-sama." bujuknya lagi dengan tatapan memohon."Tidak bisa, aku sedang tidak bersahabat dengan Ayahanda dan Ibunda!" ucapnya sambil menarik daun pintu."Kenapa?" sahut Pandu sambil menempelkan kaki kanannya di kusen pintu, menghalangi pintu te
Nawangsih tersenyum sembari meninggalkan kedai setelah menyajikan kopi espresso kepada pelanggan ketika Andrew dan Pandu memasuki kedai yang mengusung konsep etnik Nusantara dalam bangunan victorian itu.Andrew menoleh untuk menatap tamu kehormatannya di depan meja display dan kasir yang dipenuhi toples kaca berisi aneka jenis biji kopi Indonesia. Aroma kopi pun menjadi pengharum ruangan yang alami dan menyenangkan kaum pecinta kopi."Mau nyoba kopi?" tawar Andrew sembari menarik kursi tinggi. "Duduklah." pintanya dengan jengah.Pandu mengatupkan kedua tangannya. "Terima kasih, tapi sepertinya jangan kopi, Mas Drew. Aku pengen bobok." seloroh Pandu seraya melihat-lihat keadaan sekitar."Oke, tunggu benar biar gue panggil karyawan gue yang mungkin kenal sama Nawangsih. Dia juga mahasiswa baru kayak adik Lo." Andrew tersenyum geli dan membatin, "gila sih, jaman canggih begini masih ada nama kek jaman peperangan."Pandu manggut-manggut dengan senang hati. "Terima kasih, Mas. Aku jadi ngga
Nawangsih bergeming di depan jendela kamar sembari menatap nanar pemandangan sekeliling. Dia terlihat memikirkan banyak hal. Setangkup resah akan kabar dari keluarga, jati diri yang sudah terungkap dan segudang masalah yang akan ditimbulkan Andrew di kemudian hari. Lelaki itu kini lebih genit padanya.Nawangsih menunduk dan mengembuskan napas lelah, dia sedang tidak punya kegiatan selain hanya menunggu Pandu bangun dari tidurnya yang nyenyak dan lama sekali."Apa besok keluarga Mas Drew juga ikut?" Nawangsih mencebikkan bibir seraya mengeluarkan kebaya satu-satunya dari lemari seraya memandanginya lekat-lekat."Semoga besok bukan hari yang rumit."•••Nawangsih mengaduk-aduk isi piringnya yang berisi mie goreng. Aromanya yang menyebar menghidupkan Pandu yang berada di penghujung tidurnya."Jauh-jauh ke London makannya masih mi, gimana mau menang saingan sama Mbak Kenes kalau begitu." gumamnya sambil mengusap wajah. Pandu beranjak, tertatih-tatih dia mendekati Nawangsih."Sini biar aku
Rumah Doris terasa lebih hangat dan ramai, setidaknya itu yang dirasakan Andrew saat ini, saat di mana taman belakang rumahnya yang slalu sepi di jadikan tempat makan malam dan obrolan tidak santai bersama Pandu dan Ayahnya.Andrew berdiri, rasa penasarannya pada Nawangsih menguat sebelum pembicaraan itu berakhir. Andrew pergi menemui Nawangsih di lantai atas.Nawangsih menatap langit malam, bintang bertebaran di atas sana. Namun entah kenapa hatinya malah gelisah. Kerinduan menjajah dirinya ketika suasana keluarga Dr. Doris mengingatkannya pada rumah. Senyum terkulum Ayahnya, kelembutan Ibunya dan tatapan penuh damba Suryawijaya."Kangen rumah?" Andrew berdiri di samping Nawangsih.Nawangsih tersenyum pedih seraya menunduk. "Orang tuaku sudah wafat semua, jadi keluargaku tinggal keluarga angkat saja. Jadi aku kangen mereka. Ayahku sakit, Ibuku..."Andrew tak kuasa menahan tangannya untuk tidak mengelus punggung Nawangsih sebagai bentuk kepeduliannya."Gue tahu rasanya jauh dari orang
Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di
Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki
Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang
Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan
Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah
Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku
Hari-hari kembali melaju meninggalkan jejak, menjadi momen yang terus menguatkan beragam kegundahan Nawangsih dan Suryawijaya selama berpisah. Meski begitu segalanya terasa seperti angin lalu. Rasa rindu itu tidak lagi menjadi beban, rasa khawatir itu tetap ada walau terkesan biasa saja. Suryawijaya tenang Nawangsih di rumah bersama keluarganya, sementara dia tinggal bersama keluarga kakeknya seolah keadilan tetap di tegakkan oleh orang tua mereka. Keduanya memiliki pengawasan hingga tak perlu risau berjauhan.Suryawijaya yang memiliki jiwa seni dan petualang tinggi mulai mendedikasikan diri pada dua hal-hal itu dalam prespektif yang positif.Lelaki itu mulai membuka workshop dan enterpreneur di Australia sekaligus mengembangkan bakat melukisnya dengan pelukis-pelukis handal maupun jalanan. Sementara pekerjaan tetapnya masih memantau sapi-sapi yang menghasilkan susu berkualitas tinggi entah sampai kapan hukuman itu berlanjut, dia hanya perlu pasrah dan menunggu karena ituNawangsih pun
Nawangsih menghela napas setelah keluar dari kamar ayahnya, meninggalkan Suryawijaya dan Ayahnya yang kembali membahas pekerjaan.Di dapur, tak ada siapapun kecuali dia dan cicak di atas plafon."Ya Tuhan, di saat aku ingin menjauh dan melupakan semuanya. Restu itu hadir tanpa aku duga. Tapi aku merasa tidak mengerti harus memilih jalan mana. Menikah atau tetap menjadi sahabat selamanya."Gadis itu termenung, membiarkan benaknya bicara dan berdebat. Begitupun Suryawijaya, ruang kerja ayahnya adalah tempatnya menepi setelah pembicaraan dengan ayahnya selesai."Tak ada yang lebih menentramkan hati ketimbang utuhnya sebuah keluarga. Terlebih setelah Ayahanda sakit, keluargaku masih terus di sorot media. Sekarang mungkin benar apa yang di katakan Keneswari dulu, jika apa yang terjadi antara aku dan Nawangsih adalah sesuatu yang justru akan menodai harkat dan martabat keluarga ini."Suryawijaya menghembuskan napas sambil meraba kebenaran dalam setiap kata Keneswari. Dia mengangguk samar dan
"Aku tidak mengganggu, Nawangsih. Ibu. Aku bersumpah. Kita hanya bercanda-canda." Suryawijaya mengaku di hadapan Ibunya yang meminta penjelasan. Tetapi penjelasanya tidak mempengaruhi rasa curiga Ibunya."Kamu memangnya bisa bercanda?""Bisa saja... Aku ini juga punya darah pelawak kok." Suryawijaya menghela napas. Baiklah, tiada gunanya bercanda dengan Ibunya, wanita itu terlalu peka akan batin anaknya.Suryawijaya menatap Ibunya. "Kami bersahabat sekarang, dan kami ingin memulai perubahan itu dengan berteman baik.""Berteman baik?"Suryawijaya mengamati Ibunya melihat sekeliling. "Ada apa, Ibu? Mau membicarakan sesuatu yang rahasia dan penting?"Ibunya mengangguk. "Kamu ikut ke kantor sekarang, Ayahanda sudah ada yang jaga."Suryawijaya mengikuti Ibunya dengan tidak tenang. Persoalan cinta dengan adik angkat pun tidak ada habisnya bahkan ketika dia sudah menyerah bagaimana nasibnya sendiri kelak. Mungkin dialah yang akan menjadi jomblo abadi.Suryawijaya menghidupkan steker lampu kar