Cordelia duduk di kamarnya yang kecil, tetapi setiap sudutnya dipenuhi dengan keindahan yang sederhana. Dinding-dindingnya dicat dengan warna pastel lembut, dan jendela kecilnya dibingkai oleh tirai putih yang bergetar lembut saat angin berhembus. Meskipun ruangannya terbatas, Cordelia berhasil mengemasnya dengan barang-barang yang memiliki makna khusus baginya. Sebuah meja kayu kecil terletak di sudut, dihiasi dengan buku-buku yang telah dibaca berulang kali, dan sebuah vas kecil berisi bunga liar yang dia petik dari taman.Saat Cordelia duduk di tepi ranjang yang rapi, dia membiarkan pikirannya melayang jauh. Wanita cantik itu memandangi langit yang mulai gelap di luar jendela, seolah-olah menunggu bintang-bintang muncul satu per satu. Dalam keheningan itu, dia merenungkan impian dan harapan yang mengisi hatinya. Meskipun hidupnya sebagai pelayan di pavilion tidak selalu mudah, dia memiliki keyakinan bahwa ada sesuatu yang lebih besar menantinya di luar sana.Pintu kamar Cordelia ti
Pagi menyapa dengan lembut, sinar matahari menembus tirai jendela dan menciptakan pola-pola indah di lantai marmer. Suara burung berkicau di luar menambah suasana ceria di dalam rumah. Cordelia berdiri di depan cermin, menatap refleksinya dengan penuh harap. Wanita cantik itu memakai dress sederhana berwarna merah muda pemberian Tristan. Lagi, hari ini dirinya dilarang memakai pakaian pelayan. Hal itu yang membuat Cordelia sekarang memakai pakaian biasa, bukan seragam pelayan. Cordelia melihat pantulan cermin, menatap tanda merah di lehernya. Embusan napas pelan lolos di bibirnya. Kepingan memorinya mengingat malam panas tadi malam. Tadi malam adalah malam yang pernah dirinya alami sebelumnya. Tristan kembali mencumbunya dengan sangat liar—seakan dirinya ini memang wanita yang rendahan. Membayangkan itu, membuat hati Cordelia seakan tercabik-cabik. Dia tidak pernah menyangka akan berada di posisi seperti sekarang ini. Dulu dirinya bagaikan seorang Tuan Putri, sedangkan sekarang dir
Cordelia berlari sekuat tenaga, napasnya terengah-engah dan jantungnya berdetak liar seakan akan meledak. Jalan-jalan kota terasa semakin sempit dan berliku, setiap belokan hanya menambah kecemasannya. Di belakang, langkah berat para pengawal Brittany dan Veronica terus terdengar, menggema seperti lonceng kematian.“Kenapa mereka mengejarku? Bukankah mereka sudah menyingkirkanku?” pikir Cordelia, kakinya melangkah semakin cepat.Angin dingin menerpa wajahnya, membuat rambutnya beterbangan. Namun bukan hanya ketakutan yang membuatnya berlari—melainkan kemarahan yang perlahan membakar hatinya. Dia sudah menyadari bahwa pengusirannya dari keluarganya sendiri adalah jebakan dari Brittany dan Veronica.Sementara di sisi lain, Tristan berada di ruang meeting dengan kondisi tidak tenang. Sudah lebih dari sepuluh menit, tapi Cordelia tidak juga muncul. Rasa gelisah membentang dalam diri. Dia akhirnya izin keluar meninggalkan ruang meeting. “Sialan, ke mana wanita itu? Kenapa belum juga muncu
Mobil Tristan melaju cepat kembali menuju kantor. Cordelia duduk diam di samping Tristan dengan tubuhnya gemetar, jantungnya berdegup tak karuan. Ya, wanita itu selamat dari kejaran pengawal Brittany karena Tristan berhasil membawanya pergi dari tempat itu. Jika bukan karena Tristan, maka pasti Cordelia tertangkap. Keadaan masih hening belum ada suara apa pun. Cordelia tak berani menoleh melihat Tristan yang sedang melajukan mobil. Sementara Tristan sejak tadi terus melirik Cordelia. Tatapan tersirat dingin, dan memiliki arti khusus yang mendalam. “Kenapa kau kabur?” Tristan akhirnya memecah keheningan, suaranya dingin dan tajam. “Kenapa tiba-tiba ada orang yang mengejarmu?” Cordelia mencoba mengatur napas, mengumpulkan nyali untuk menjawab. Dia tahu bahwa Tristan adalah orang yang tidak menerima alasan atau kebohongan. Namun, apa yang bisa dia katakan? Dia hanya bisa mencoba mencari alasan yang paling masuk akal.“S-saya kebetulan ingin berjalan-jalan keluar sebentar setelah dari
Tristan duduk di kursi kerjanya, pandangan matanya kosong, pikirannya mengembara ke pesta amal yang akan segera tiba. Membayangkan akan bertemu dengan Leony lagi membuat darahnya berdesir dengan emosi campur aduk—amarah, nostalgia, dan sedikit rasa sakit yang tak pernah sepenuhnya hilang. Namun dia tahu, menolak hadir bukan pilihan. Jika dia tidak datang, kesempatan untuk mendapatkan investor besar akan hilang.Tristan menghela napas panjang, bersiap untuk melanjutkan lembur malam ini. Namun tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan singkat dari ibunya masuk:{Tristan, pulang sekarang. Makan malam keluarga. Adikmu baru saja tiba.}Tristan mendengkus pelan. Dia tahu bahwa jika ibunya sudah menyuruh, tidak ada pilihan untuk menolak. Dengan wajah dingin dan tak menunjukkan emosi, dia mengetik balasan singkat: {Baik, aku pulang.}Setelah menutup pesan, matanya beralih pada Cordelia yang berdiri di sudut ruangan, kaku seperti patung. Tanpa banyak kata, dia menekan tombol interkom di meja dan me
Pagi menyapa, Cordelia menatap bingung sebuah kotak besar yang diberikan oleh Jovian. Perlahan, dia membuka penutupnya dan mendapati gaun berwarna merah tua dari bahan satin yang begitu elegan, lengkap dengan perhiasan dan sepatu hak tinggi. Pun juga ada kalung berlian yang seolah menjadi tanda bahwa Tristan ingin menunjukkan statusnya melalui pendampingnya malam ini.“Ini yang harus kau pakai malam ini,” kata Jovian dengan nada datar. “Pesta amal tahunan dimulai hari ini, dan kau akan mendampingi Tuan Tristan.”Cordelia menelan ludah. “A-aku ikut?”“Kau pikir untuk siapa semua ini kalau bukan untukmu?” Jovian melipat tangan di dadanya dan menatap Cordelia tanpa ekspresi. “Jangan coba-coba menolak, kau tahu bagaimana Tuan Tristan jika sedang tidak ingin dibantah.”Cordelia meremas gaun itu dengan gugup. Kepalanya dipenuhi kekhawatiran—bagaimana jika ada yang mengenalinya? Bagaimana jika Veronica atau Brittany ada di sana? Lebih buruk lagi, bagaimana kalau ada yang tahu dia ikut dalam
Tristan menatap Cordelia dengan tatapan tajam dan menusuk. Aura wajahnya menunjukkan jelas ketegasan yang tak main-main. Pria tampan itu mendekat, suaranya rendah dan dingin, seperti pisau yang mengiris pelan.“Jangan coba-coba merencanakan sesuatu, Cordelia.” Bisikn Tristan nyaris membuat udara di sekitar mereka membeku. “Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tapi percayalah—kalau kau berani bertindak tanpa seizinku, kau akan menyesal.”Cordelia menelan ludah, tenggorokannya terasa kering mendengar apa yang dikatakan oleh Tristan. Dia hanya mengangguk patuh merespon ucapan pria itu. Kini kepalanya menunduk, tapi pikirannya terus bekerja mencari celah.Alan. Sosoknya berdiri di ujung ruangan, sedang berbicara santai dengan beberapa pebisnis lain. Inilah saatnya—Cordelia harus menemui Alan dan mencari pertolongan sebelum Tristan menggagalkan semuanya. Wanita cantik itu menghela napas panjang dan berpura-pura rileks, lalu menoleh pada Tristan.“Bolehkah saya mengambil minuman?” tanya Co
Napas Cordelia sedikit terengah-engah di kala mencari celah kesempatan. Wanita cantik itu kini berhasil berdiri di hadapan Alan, dan langsung melepaskan maskernya dengan gemetar. Udara malam menyentuh kulitnya yang ruam, tapi rasa takut dan gelisah mengalahkan ketidaknyamanan fisik.Alan terperangah melihat wajah Cordelia yang penuh ruam merah. “Nona Cordelia? Apa yang terjadi pada Anda?” tanyanya, suaranya rendah dan penuh kebingungan.Cordelia menggigit bibirnya, menahan emosi yang ingin meledak. Inilah saatnya menjelaskan segalanya—tentang apa yang terjadi di rumah, dan bagaimana Brittany dan Veronica telah menghancurkan hidupnya.Namun sebelum Cordelia sempat membuka mulut, Alan melanjutkan, “Nona, saya ... Saya datang bersama Nyonya Brittany dan Nona Veronica malam ini. Mereka bilang Nona melarikan diri setelah—” Alan berhenti sejenak, menatap Cordelia dengan ragu. “—setelah hamil di luar nikah. Nona Cordelia, apa itu benar?”Jantung Cordelia seperti berhenti. Seluruh tubuhnya me
Cordelia menatap jam di dinding. Satu jam sudah berlalu, dan selama itu dia duduk di sofa, mendengarkan ocehan Tristan—dari hal penting hingga yang sama sekali tak penting. Dia hanya bisa mendengarkan tanpa membantah, karena Tristan sedang tidak dalam keadaan waras.“Tristan? Tristan?” Cordelia mencoba memanggil Tristan yang sudah terdiam selama beberapa menit.Tristan terbaring di sofa, tertidur dengan ekspresi lelah dan damai untuk pertama kalinya malam itu. Tampak Cordelia menatap pria itu sebentar, menghela napas panjang. Tubuh pria itu terlalu berat untuk dipindahkan ke ranjang—dan dia tak mau membuat keributan lagi. Hal yang dilakukan Cordelia adalah mengambil selimut dan menyelimuti Tristan dengan hati-hati, berusaha agar pria itu tetap nyaman.“Tidurlah dengan tenang, dan istirahat dengan baik. Besok kita akan sibuk. Selamat malam, semoga kau bermimpi indah,” bisik Cordelia lembut. Setelah memastikan semuanya beres, Cordelia berdiri dan berniat kembali ke kamarnya. Namun tib
Cordelia dan Tristan berjalan cepat di bandara internasional, mencoba menghindari puluhan wartawan yang terus mengintai mereka sejak skandal ciuman tersebar. Kilatan kamera dan pertanyaan-pertanyaan tajam menghujani mereka tanpa henti, membuat perjalanan yang seharusnya lancar berubah seakan menjadi medan pertempuran.“Tristan! Apa ini hubungan serius? Apa kalian akan menikah?” teriak salah satu wartawan.“Cordelia, bagaimana tanggapan Anda soal gosip dengan Leony?” seru yang lain sambil mendorong mikrofon mendekat.Cordelia menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan wajahnya di balik rambut. Namun, Tristan tetap berjalan tegap dan tanpa ekspresi, mengabaikan semua pertanyaan dengan dingin. Tangan pria tampan itu bergerak cekatan menarik pinggang Cordelia lebih dekat ke tubuhnya, seolah memberi tahu semua orang bahwa mereka tak terpisahkan.“Jangan berhenti,” Tristan berbisik di telinga Cordelia sambil menuntunnya dengan mantap. “Kita tidak boleh memberi mereka kesempatan.”Cordelia me
Ciuman berlangsung begitu lama, hingga membuat kaki Cordelia terasa sangat lemas. Jika bukan karena Tristan yang memeluk pinggangnya, maka sudah dipastikan tubuh Cordelia akan terperosot jatuh ke bawah. Sungguh! Ciuman ini benar-benar membuat Cordelia tidak bisa berkutik sama sekali. Perlahan ciuman Tristan mulai terlepas, dan tampak pipi Cordelia tersipu malu. Mereka saling beradu pandang, tatapan yang tersirat memiliki makna khusus—yang memiliki arti begitu luas. Namun, terlihat sebisa mungkin Cordelia berusaha tenang meski dilanda kegugupan nyata. Paparazzi masih sibuk memotret, sementara Cordelia dan Tristan dengan tenang masuk ke dalam mobil yang menunggu. Begitu pintu tertutup, suasana hening mengisi ruang antara mereka. Keheningan yang begitu membentang hingga menunjukkan sedikit salah tingkah. “Ciuman tadi sepertinya kau menikmati,” ucap Tristan tiba-tiba, memecahkan keheningan yang ada. Cordelia gugup dan panik mendengar ucapan Tristan. “T-tidak, a-aku tidak menikmatinya.
Cordelia mengenakan gaun satin hitam yang memeluk tubuhnya dengan elegan. Wanita cantik itu berjalan di samping Tristan memasuki acara penyambutan perusahaan ternama, dikelilingi orang-orang berpengaruh dan para sosialita. Kehadirannya bersama Tristan semakin mengukuhkan statusnya sebagai Cordelia Redford, pewaris keluarga Redford yang kini tampil kembali di masyarakat dengan percaya diri.Namun, di balik senyumnya yang tenang, Cordelia tahu betul bahwa mata-mata iri dan gosip terus mengincarnya. Tristan—miliarder tampan dengan karisma luar biasa—menjadi magnet bagi segala macam intrik. Kehadirannya bersama pria seperti Tristan mengundang rasa penasaran dan kecemburuan banyak pihak.Saat Cordelia bergerak sedikit menjauh untuk mengambil minuman, sosok Leony Pharton tiba-tiba muncul dari kerumunan. Mantan istri Tristan itu mengenakan gaun merah menyala yang kontras, wajahnya dipoles sempurna dengan riasan anggun, tetapi matanya menyiratkan kebencian yang mendalam.Leony tersenyum manis
Veronica menekan tombol panggil dengan raut wajah menunjukkan rasa gelisah yang membentang. Ponsel di tangannya berdering beberapa kali sebelum suara ibunya, Brittany, terdengar di ujung sambungan.“Ada apa, sayang?” tanya Brittany dengan nada malas, seperti seseorang yang terlalu terbiasa memerintah.“Aku baru saja melihat Cordelia,” Veronica melaporkan, suaranya cepat dan penuh amarah. “Dia muncul di lobi bersama pria tampan—kaya dan terlihat berkuasa. Pria itu membela Cordelia dan ... dia bilang Cordelia miliknya! Apa-apaan ini?”Terdengar keheningan sesaat dari seberang telepon, diikuti suara langkah tergesa-gesa.“Cordelia dengan bersama pria kaya?” Brittany mengulangi dengan suara tajam. Ada sesuatu dalam nada ibunya yang membuat Veronica merinding.“Iya, dan dia—”Veronica belum selesai berbicara ketika tiba-tiba sambungan telepon diputus.“Mom? Mom!” Veronica menggerutu kesal.Sementara di sisi lain, tepat saat yang sama Brittany melempar ponselnya ke atas meja dengan wajah me
Cordelia menatap Tristan dengan ekspresi tidak percaya. Perasaannya campur aduk—marah, sedih, dan bingung. Selama ini dia hanya menerima nasib buruk yang menimpanya, tapi sekarang ada harapan untuk mencari tahu siapa yang menjualnya dan menyeret hidupnya ke dalam kekacauan ini.Cordelia menatap Tristan, mencoba mencari jawaban di matanya. “A-aku tidak tahu. T-tap apa mungkin kau bisa membantuku menemukan siapa yang menjualku?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan.Tristan menyandarkan tubuhnya pada sofa, senyum miring menghiasi wajah tampannya, seolah semuanya hanyalah permainan bagi dirinya.“Aku bisa. Tapi dengan satu syarat,” ucap Tristan dingin. Cordelia mengerutkan kening. “Syarat?”Tristan mengambil sebuah map hitam di sampingnya dan membuka isinya. Di dalamnya, terdapat sebuah kontrak. Pria tampan itu menyerahkan kontrak itu pada Cordelia tanpa banyak penjelasan.Cordelia membuka halaman pertama dengan hati-hati, membaca isinya sambil mencoba memahami setiap kata. Semakin la
Cordelia menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa tidak ada jalan keluar selain mengatakan semuanya. Wanita cantik itu tahu, setiap kata yang akan dia ucapkan akan membawa konsekuensi besar. Tony menatapnya penuh harap dan kemarahan, sementara Tristan berdiri dengan ekspresi dingin tapi jelas menuntut penjelasan.“Baik,” ucap Cordelia akhirnya, dengan suara berat. “Aku akan menjelaskan semuanya.” Dia berdiri tegak, meski tubuhnya sedikit bergetar ketakutan. Tristan dan Tony sama-sama menyimak, menatap Cordelia dengan tatapan tak sabar ingin tahu. Mereka tentu tidak sabar ingin mendengar semua penjelasan yang keluar dari mulut Cordelia. “Pertama Tristan, perkenalkan ini adalah Tony Lysette ... dia pamanku. Paman Tony adalah kakak dari mendiang ibuku—Luciana Lysette.” Suara Cordelia terdengar gemetar, tapi tegas. “Ibuku menikah dengan seorang pria hebat bernama Carter Redford. Setelah ibu meninggal, ayah menikah lagi dengan Brittany dan membawa seorang anak perempuan bernama Veronic
Tristan dan Cordelia telah kembali dari villa yang mereka datangi untuk menenangkan pikiran. Tepat di saat Tristan tiba di mansion, pria tampan itu langsung memanggil seluruh pelayan berkumpul di ruang tengah. Sementara Cordelia yang ada di samping Tristan tampak bingung di kala Tristan memanggil seluruh pelayan. Tentu meski dilanda kebingungan, tetapi Cordelia tidak bisa mengajukan pertanyaan. “Aku akan kedatangan tamu penting malam ini. Pastikan kalian siapkan makanan utama dan makanan penutup yang lezat. Aku tidak ingin ada kesalahan sekecil apa pun! Kalian mengerti?!” perintah Tristan dengan nada dingin, dan penuh penekanan. Para pelayan mengangguk patuh merespon ucapan Tristan. Tristan mengalihkan pandangannya, menatap Cordelia dengan tatapan tegas. “Tubuhmu sudah sehat, kan?” Cordelia menganggukkan kepalanya. “Sudah, Tuan. Saya sudah membaik.” “Layani tamuku dengan baik malam ini. Jangan ada kesalahan,” tegas Tristan bicara pada Cordelia. Cordelia mengangguk patuh. “B
Cordelia masih membeku di tempatnya melihat pemandangan Tristan yang tampak tertidur pulas. Wanita cantik itu hendak ingin menyentuh wajah Tristan, tapi dengan cepat dia menarik diri. Kepingan memorinya mengingat sifat Tristan. Detik itu dia memutuskan untuk menyibak selimut, dan hendak bangkit berdiri, tetapi ternyata gerakannya membuat Tristan membuka mata. “Kau sudah bangun?” suara Tristan terdengar rendah dan dalam, tapi ada nada khawatir yang tersirat.Cordelia menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya, saya baik-baik saja,” jawabnya pelan sambil tersenyum tipis. Itu adalah senyuman sederhana, tapi begitu tulus. “Terima kasih telah menjaga saya, Tuan Tristan.”Tristan tertegun beberapa saat. Pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Cordelia—senyum yang hangat dan murni, seolah-olah dia tidak menyimpan kebencian atau sakit hati. Tristan merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya. Dia membuang muka, berusaha mengabaikan perasaan aneh itu.“Jangan tersenyum seperti itu,