Beranda / Urban / Pelangkah Tanpa Syarat / Pria Pengangguran

Share

Pelangkah Tanpa Syarat
Pelangkah Tanpa Syarat
Penulis: El GeiysyaTin

Pria Pengangguran

Penulis: El GeiysyaTin
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-13 06:30:51

“Dek Mina! Ngelamun saja, ada yang nyari, tuh!” kata seseorang yang tak lain adalah Mas Ragil, pria pengangguran—tetangga kontrakan yang baru beberapa bulan ini aku tempati.

Dia melewatiku sambil mengelus ayam pelungnya dan tengah menatapku. Aku menoleh padanya, sambil melukis bayangan wajah itu di hatiku. Wajah yang berbentuk oval, bersih tanpa bekas jerawat. Pupil matanya hitam, dilengkapi alis tebal yang lancip dan mirip sekali dengan bintang jatuh dari langit. Rambutnya ikal berwarna coklat, dan ada kumis tipis menghiasi bibirnya yang menyempurnakan bentuk wajah ciptaan Tuhan, nyaris tanpa cela.

Tubuhnya yang tergolong tinggi dan kokoh itu bergerak menjauh, setelah aku berhasil memalingkan pandangan darinya. Dia ternyata cukup tampan juga, mungkin karena itu bapak menjodohkan laki-laki itu denganku. Namun, aku tidak mau. Oleh karena itu aku terus berbohong bahwa, aku tak mengenali pria itu.

“Minari!” tiba-tiba ada suara lain memanggilku. Aku pun menoleh pada sumber suara itu.

“Ibuk?” kulihat ibuku sudah ada di pintu gerbang kontrakan, beliau datang dengan dua adik kembarku, Linda.dan Landu.

“Landu, Linda? Tumben ke sini, untung saja Mbak libur kerja!” Aku tercengang dengan kedatangan mereka yang tidak biasa.

Aku menyalami mereka satu persatu dan mencium punggung tangan ibu.

“Ya, memang sengaja Ibu datang ke sini, pas kamu libur! Jadi anak kok nggak pinter-pinter dari dulu!”

“Ibuk, jangan begitu!” Landu membelaku.

“Jangan apanya, memang Mbakmu ini nggak pernah mikir pake otak!” kata Ibuku lagi sambil cemberut.

Beliau memang selalu terlihat menyesal memiliki anak yang telmi seperti diriku. Namun, aku tidak tahu apa yang menyebabkan ibuku begitu. padahal, kan, aku anaknya juga.

Ibu mengumpatku saat kami masih di teras, padahal masih ada Mas Ragil di sana. Malu rasanya aku sudah sebesar ini, tapi masih diomeli seperti anak kecil oleh ibuku sendiri.

Walaupun, Mas Ragil orangnya cuek sama urusan orang, tapi kulihat tadi, Bu Kokom sedang menjemur pakaian dan Teh Nina yang tukang gosip itu sedang menyuapi anaknya makan. Habislah aku jadi bahan gosip mereka.

Dari para tetangga tukang gosip itulah, aku jadi tahu kalau Mas Ragil hanyalah pengangguran.

Ada juga yang bilang kalau Mas Ragil adalah orang yang suka makan gaji buta karena kerja semaunya. Aku pikir benar juga apa kata tetangga sebab aku sering lihatnya hanya bersantai atau merawat tanaman-tanaman yang tumbuh subur di halaman kontrakan atau mengurus ayam pelungnya.

Amit-amit deh, dia, hidup seperti tak berharga tanpa keluarga. Tidak punya anak istri, lalu siapa yang akan mengurusnya di masa tua nanti. Mana ada perempuan yang mau menikah dengan orang seperti dia.

“Jangan sampai deh, Mbak Mina dapat suami kayak dia!” kata Bu RT suatu ketika, saat secara tak sengaja bertemu di tukang sayur, tempat kami biasa belanja. Dia memberiku nasehat tanpa kuminta.

Walaupun, di kampung aku dibilang perawan tua, tapi kalau harus nikah sama laki-laki seperti dia, aku juga tidak mau.

“Ya, sudah! Ayo masuk saja, nggak enak dilihat tetangga!” Aku mempersilahkan semua keluargaku itu masuk, karena tidak mau kalau kedatangan ibu dan kedua adikku menambah gosip tetangga.

“Bapak nggak ikut, Buk? Sehat, kan, di rumah?”

“Alhamdulillah!” jawab mereka semua secara serempak.

Kami duduk di karpet berukuran sedang yang sengaja aku beli dan biasa kujadikan alas duduk, di ruang serba guna di sebelah kamarku.

“Ini, oleh-oleh buat Mbak Mina!” kata Linda, seraya memberikan bungkusan berupa paper bag, ia duduk di antara ibu dan Landu, memberi senyum manisnya padaku.

Linda memang lebih unggul dariku dalam segala hal, termasuk soal hadiah, tidak seperti aku yang harus berpikir beberapa kali hanya untuk membeli barang mahal seperti hadiahnya kali ini.

Dia wanita yang beruntung, setelah lulus kuliah, dia langsung diterima bekerja pada salah satu perusahaan bonafid di kota kami, jalan hidupnya terlihat begitu mudah.

Tidak seperti aku yang cuma bekerja menjadi buruh di pabrik garmen karena aku tamatan SMA.

Jarak kelahiranku dan adik kembarku itu cukup jauh, sekitar lima tahun lebih hingga waktu sekolah dan lulus, pun jaraknya jauh berbeda.

“Wah, apa, ini, Lin?” Aku bertanya sambil menuangkan air mineral dari galon kecil ke dalam beberapa gelas untuk tamuku.

“Ya, tinggal dibuka aja! Kalo kamu, mana pernah ngasih oleh-oleh tiap bulan buat Ibu juga Adik-adikmu!” kata ibuku lagi.

“Ya, maklum, Bu, gajiku kecil, uangnya aku tabung, buat ngasih Ibunya nanti saja, pas lebaran!” Aku tertawa, untuk menutupi rasa kecewaku. Sudah tidak aneh dengan Ibu yang selalu meremehkan. Aku hanya bisa memberi hadiah dan uang, saat lebaran saja untuk wanita yang sudah melahirkan aku ke dunia itu.

Tidak lebih. Aku masih harus menabung untuk masa depanku. Aku mau beli motor buat berangkat ke pabrik atau pulang kampung.

Selama ini Ibu melarangku membeli kendaraan itu dengan cara mencicil. Takut aku pusing memikirkan angsuran, katanya. Makanya aku memilih menabung saja dan membelinya secara cash.

“Eh, iya, tumben kalian kemari, ada apa?” Aku penasaran dengan kedatangan dua adikku itu.

“Tuh! Linda, yang punya keperluan sama Mbak! Aku cuma nganterin aja!” kata Landu dengan wajah yang serius.

“Iya, aku pikir juga begitu, soalnya gak biasa kalian datang barengan kayak gini, lagian, bisa nyuruh pulang kalau memang penting."

“Halah! Kelamaan! Orang kemarin Ibuk telepon hp kamu nggak aktif!” kata ibu, terus menyalahkan aku.

“Oh, itu karena masih kerja, Buk, tapi aku telepon balik kemarin malam, sama Ibuk gak diangkat juga!”

“Ya sudah, sekarang Ibuk sudah ke sini sekalian lihat keadaan kontrakanmu!"

"Mbak betah?” tanya Landu.

“Hehe, iya! Alhamdulillah! Kontrakan yang lama itu naik bayarannya, kalau di sini, memang lebih jauh dari pabrik, tapi harganya masih sama!”

“Jadi, sekarang kamu jalan kaki apa naik ojek kalau ke sana?” tanya ibu.

“Kadang jalan, kadang naik angkot juga!”

“Ah, maklum,” kata ibu sambil melambaikan tangannya, “Kalau Linda, nih! Bakalan gak naik bis lagi kalau kerja!” kata ibu kembali membanggakan adik perempuanku.

“Alhamdulillah, kamu bisa beli mobil, Lin, sekarang?” Aku antusias dengan berprasangka baik menanggapinya. Apa pun kelebihan adikku, harus aku syukuri karena mereka keluargaku juga.

Linda menggelengkan kepala, sambil tersenyum malu-malu.

“Bukan!” katanya.

“Linda bukan beli mobil, tapi ada yang ngelamar adikmu, dan calon suaminya itu punya mobil!” kata Ibu dengan wajah yang semringah saat menatapku.

"Beneran, Lin? Kamu sudah ada yang melamar?"

"Iya, kalau kamu kapan?"

❤️❤️❤️❤️

Bab terkait

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Minta Pelangkah

    “Linda bukan beli mobil, tapi ada yang ngelamar adikmu, dan calon suaminya itu punya mobil!” kata Ibu, dengan wajah yang semringah seraya menatapku.Aku hampir tak bisa berkata apa-apa lagi, kecuali, “Oh! Beneran, Lin? Kamu sudah ada yang melamar?""Iya, kalau kamu kapan?" tanya ibu dan aku tidak tahu harus menjawab apa.Aku kecewa? Jangan tanya.“Mina, calon suami adikmu itu orang kaya, dia mau bulan depan langsung nikah sama Linda!” Aku pun tercengang mendengar kabar itu, sungguh di luar dugaan. Aku tidak pernah tahu Linda punya pacar, dan sekarang mereka mau segera menikah setelah lamaran.Aku sudah di sebut perawan tua di usia yang hampir mendekati 30 tahun, dan sekarang adikku mau menikah lebih dulu. Entah di sebut apa lagi nanti aku, perawan telat kawin? Tamatlah riwayatku. “Oh, bulan depan, cepat juga ya, Alhamdulillah!” sekali lagi, aku hanya bisa bersyukur. “Nah, maksud Ibuk ke sini, mau ngomong sama kamu, kalau mau minta pelangkahan, jangan yang mahal-mahal! Walau calon ad

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-13
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Pelangkah Tanpa Syarat

    "Buk! Nasib sial atau nggak itu urusan Allah! Jadi, bukan perkara pelangkahan nikah, yang membawa kesialan dan keberuntungan mereka!” “Mbak, tapi aku tetap harus menanyakan itu, biar aku yakin kalau Mbak sudah rela kalau aku menikah lebih dulu!” kata Linda memohon. “Baik, aku rela kamu menikah lebih dulu, Linda ...! Landu ... kalau kamu mau nikah sekarang juga silakan, nggak usah ngasih apa-apa!” “Beneran, Mbak?” Landu tampak tidak percaya “Ya, bener, lah! Jadi, Mbak nggak akan minta pelangkahan, kalau mau nikah ya, nikah saja! Mbak terima dengan lapang dada, tanpa syarat apa-apa!” Sejenak suasana menjadi hening.“Mbak kenal Ismaya, kan?” Landu tiba-tiba bertanya. “Ya!” jawabku setelah mengingat tentang nama yang disebutkannya itu. “Aku sekarang dekat sama dia, Mbak. Dia nggak mau pacaran dan maunya langsung dilamar!” kata Landu dengan mata yang berbinar menceritakan gebetannya. Aku tersenyum dan setuju dengan pernikahan Landu dan wanita itu. Aku mengenalnya belum lam

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-13
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Tentang Sebuah Nama

    "Iya, Mbak!" jawab Linda."Eum ... Samarchandra itu nama Bapaknya?” tanyaku penasaran. “Iya, Mbak, nama keluarganya gitulah! Kakek-kakeknya juga punya nama yang sama!” “Oh!” “Jadi, Mbak! Kapan bisa pulang, dan kita ke rumah Pak Samad?” Landu bertanya membuatku sontak tertawa. “Dih, nggak sabar amat, sih? Beneran kalian mau ngadain acara nikah barengan?” “Ya, nggak apa kalau cocok waktunya, biar Ibuk repotnya sekalian, mereka juga lahirnya barengan!” Ibu menyela pembicaraanku dan Landu. Deg. Hatiku tiba-tiba berdegup, aku sepertinya benar-benar harus siap. Kata orang kalau di langkahi adik laki-laki nikah duluan, bakalan lama dapet jodohnya. “Gimana kalau aku juga dapet jodoh barengan, Buk?” Aku berkata setelah berhenti tertawa. “Loh, ya malah bagus. Ibuk ngunduh mantu sekaligus tiga!” “Maasyaallah!” gumamku sambil menggelengkan kepala, “Berarti, rezeki Ibuk benar-benar besar, ya?” “Kata siapa besar, justru berkurang! Soalnya kalian mau jadi milik orang, Ibuk nggak punya hak

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-13
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Celana Dalam Itu

    “Siapa, Pak? Ragil Samudra itu lagi? Kan, sudah Mina bilang kalau tidak ada?” Aku mengulangi nama yang disebutkan bapak tadi, sebab aku ragu, apakah Ragil yang bapak maksudkan adalah Mas Ragil yang jadi tetanggaku. Sudah tiga kali bapak bertanya soal ini dan aku pun menjawab dengan jawaban yang sama lagi.“Iya! Panggilannya Ragil, alamat rumahnya juga di Jalan Widuri, sama persis sama alamat kontrakanmu, Nduk?” tanya bapak lagi. Kemudian bapak menyebutkan ciri-ciri orang yang dimaksudkannya, dia memiliki ciri yang sama dengan Mas Ragil. “Apa Bapak nggak salah orang? Jalan Widuri itu luas, Pak! Mana Mina tahu soal orang itu!” “Sudah, sudah makan dulu, Pak!” kata ibu sambil mengarahkan layar telepon ke dirinya sendiri. “Nanti ngobrol lagi sama Mina, sekarang habiskan dulu makanannya!” katanya. “Ya!” Bapak mengakhiri panggilannya. Aku menghabiskan makananku, begitu juga dengan ibuku. Landu dan Linda sibuk dengan iPhone mereka, seolah tidak ada orang yang hidup di sekitarnya. Seola

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-13
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Tubuhku Tidak Rela

    Ah, yang benar saja! Aku tanpa sadar telah memelototi Mas Ragil dari pintu yang sedikit terbuka. Tiba-tiba hatiku menyesal telah melemparkan segitiga pengaman itu hingga campur dengan pakaian lainnya. Mas Ragil salah tingkah dan bingung, ia membuang muka saking malunya. Kulihat dia menggaruk kepala. “Maaf, celana yang tadi, jatuh dan kotor, makanya nggak saya campurkan dengan yang lain!” Nah, benar, kan dugaanku ... aku tidak terkejut tapi kesal. Kalau celana itu basah, berarti pakaian lainnya juga ikut basah dan kotor, dong? Kenapa baru terpikirkan.Ya Robbi! Selamatkan hamba-Mu ini dari rasa malu! "Oh, eh, iya, gak apa, sekali lagi terima kasih!" Setelah berkata seperti itu aku pun segera menutup pintu, dari luar kudengar samar suara Mas Ragil mengucapkan kata-kata, "Ya, sama-sama!"Lalu, aku segera mengangkat celana yang terkena lumpur itu. Benar, kan! Baju yang lain ikut ketularan kotor. Akhirnya aku mencuci ulang semua pakaian yang terkena lumpur dari celana itu. Selama ak

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-13
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Tetangga Yang Berisik

    “Hmm ... baunya enak, wangi!” Kubuka kantong keresek putih, yang sudah ada kemasan mangkuk sekali pakai di dalamnya, hingga aku tak perlu lagi mencuci setelah menggunakannya. Soto aku tuangkan dari bungkusnya dan aku cicipi rasanya ... enak juga! Kebetulan aku belum pernah singgah di warung soto ayam yang dikatakannya. Aku menikmatinya sampai habis, dan kenyang karena ada lontongnya. Setelah selesai makan dan minum, aku melihat smart phone-ku. Membalas semua pesan dari bapak dan ibu satu persatu. Mereka menanyakan kabarku dan bertanya kenapa aku tidak bisa dihubungi sejak sore hari. Tentu saja aku tidak mengatakan yang sebenarnya, dan aku membalas dengan mengetik bahwa aku baik-baik saja. Namun, ada satu pesan aneh, dari nomor yang tidak kukenal, yang baru di kirim saat aku mengaktifkan data ponsel. Pesan yang tertulis dari nomor itu sangat membuatku tercengang. “Gimana sotonya, enak? Dihabiskan, ya?” Deg! Nomor siapa ini? Kalau menanyakan soto, itu berarti Mas Ragil, tapi dar

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-18
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Ketika Jam Besuk Berakhir

    “Alhamdulillah, semua sehat dan normal! Tapi ....” kata seseorang, yang sedang berdiri di sampingku, aku yakin dia dokter yang memeriksa keadaanku setelah siuman. “Tapi apa, Dok?” itu suara Mas Ragil. “Tapi, lukanya cukup dalam, jadi butuh pemulihan lebih lama dari biasanya!” “Oh!” kata para ibu hampir bersamaan. “Bu Mina, bisa mendengar saya?” dokter itu bicara pelan dekat telinga dan aku pun mengangguk. “Istirahat saja ya, Bu! Untuk sementara jangan banyak gerak, terutama di bagian kepala, karena terluka, untung Ibu cepat dibawa ke sini sama suami! Alhamdulillah! Jadi, Ibu tidak kehabisan darah!” Apa? Aku hampir kehabisan darah? Siapa lagi itu yang mengaku suami? Enak saja! Sekali lagi aku mengangguk. Setelah tahu aku bisa merespons dengan baik, dokter itu pun berlalu. “Alhamdulillah, Dek Mina dengar dokter tadi bicara, kan?” kata Mas Ragil dan aku sekali lagi hanya mengangguk. “Ya, sudah, istirahat saja, jangan mikirin apa-apa, yang penting sembuh aja dulu!” kata pria itu

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-08
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Punya Teh Mela

    “Gak usah, Mas! Gak apa saya sendiri saja!” Aku memaksakan diri untuk bicara dengan halus, menolak keberadaan pria itu sekamar denganku. “Gak apa, Mbak Mina, bair ada yang jaga! Kan, enak kalau butuh apa-apa!” Bukan Mas Ragil yang menjawab pertanyaanku melainkan para ibu tukang gosip itu. Memangnya aku butuh apa? Di kasihani? Tidak! Aku Cuma butuh suami bucin yang mau aku nikahi! Ups! “Nggak apa, kok, Dek Mina! Saya nggak keberatan sama sekali!” kata Mas Ragil menanggapi ucapan ibu-ibu tadi. “Terima kasih Buibu!” akhirnya aku cuma bisa bilang begitu. Sebelum pergi, Bu RT, Teh Mela dan Teh Nena serta, Bu Kokom, melirik padaku dengan tatapan penuh selidik. Namun, sekali lagi aku tidak berdaya untuk menolak pria itu tetap berada di sisiku. “Dek, mau minum? Pasti haus, kan?” tanya Mas Ragil begitu para tetanggaku itu pergi. Aku mengangguk. “Kamu ini sebenarnya sudah sadar dari tadi malam, tapi dokter ngasih obat tidur biar bisa istirahat,” katanya, sambil meraih air mineral dalam

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-13

Bab terbaru

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Perdamaian (TAMAT)

    “Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Otopsi

    POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Sesuatu Untuk Linda

    “Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Pengangguran Sejati

    Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Siapa Dia Yang Sebenarnya

    Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Sekarang Mulai Tahu

    “Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Telepon dari Ibu

    “Siapa?” tanyaku penasaran, pada wanita pembawa makanan yang dikatakan Mas Ragil itu.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil!” sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu tenda tempat istirahatku.“Iya! Masuk!” kata Mas Ragil, dia belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang yang mengucapkan salam itu sudah terlanjur masuk.“Ini, Mas! Lilis bawain makan siang!” kata perempuan yang mungkin bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdu

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Lilis

    “Siapa?” tanyaku penasaran.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil! Ini Lilis bawain makan siangnya!”Mas Ragil belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang masuk di tenda yang kami tempati.Dia perempuan yang bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdulillah! Masak apa kamu Lis?” tanya Mas Ragil antusias. “Masak opor ayam, Mas!” jawab perempuan itu sambil tersenyum dan menyimpan tempat nasi itu di atas meja.“Sini, sini, kita makan

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Tumben Pulang Duluan

    “Gimana, Mbak, rasanya menikah sama perjaka tua dan pengangguran pula, hati-hati ya, Mbak, kalau nanti gaji bulanannya diporotin suami!” kata Teh Nena lagi.Aku tersenyum, dan menjawab, “Teh Nena nggak usah kuatir, Mas Ragil nggak akan morotin istrinya sendiri, seperti laki-laki yang tidak punya harga diri, lagian dia bukan pengangguran, Kok!” Setelah itu aku pun naik ke motor Mas Ragil.Aku yakin akan hal itu, sebab Mas Ragil tidak mungkin bisa membiayai pernikahan dan memberikan semuanya saat pernikahan, kalau dia pengangguran. Kata Bapak juga bilang kalau suamiku itu rajin dan pintar. Hanya saja bapak tidak memberitahuku, apa pekerjaan Mas Ragil secara pasti.“Aku ini petani, apa kamu malu kalau mengakui suamimu ini petani?” tanya Mas Ragil saat aku dan dia sudah berada di atas motornya. Dia mengantarkan aku dan kendaraan roda dua itu berjalan dalam kecepatan sedang.“Nggak masalah kalau jadi petani, yang penting bukan pengangguran, Mas!”“Biarin saja mereka bilang begitu,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status