Home / Urban / Pelangkah Tanpa Syarat / Tentang Sebuah Nama

Share

Tentang Sebuah Nama

Author: El GeiysyaTin
last update Last Updated: 2023-07-13 12:10:25

"Iya, Mbak!" jawab Linda.

"Eum ... Samarchandra itu nama Bapaknya?” tanyaku penasaran.

“Iya, Mbak, nama keluarganya gitulah! Kakek-kakeknya juga punya nama yang sama!”

“Oh!”

“Jadi, Mbak! Kapan bisa pulang, dan kita ke rumah Pak Samad?” Landu bertanya membuatku sontak tertawa.

“Dih, nggak sabar amat, sih? Beneran kalian mau ngadain acara nikah barengan?”

“Ya, nggak apa kalau cocok waktunya, biar Ibuk repotnya sekalian, mereka juga lahirnya barengan!” Ibu menyela pembicaraanku dan Landu.

Deg. Hatiku tiba-tiba berdegup, aku sepertinya benar-benar harus siap. Kata orang kalau di langkahi adik laki-laki nikah duluan, bakalan lama dapet jodohnya.

“Gimana kalau aku juga dapet jodoh barengan, Buk?” Aku berkata setelah berhenti tertawa.

“Loh, ya malah bagus. Ibuk ngunduh mantu sekaligus tiga!”

“Maasyaallah!” gumamku sambil menggelengkan kepala, “Berarti, rezeki Ibuk benar-benar besar, ya?”

“Kata siapa besar, justru berkurang! Soalnya kalian mau jadi milik orang, Ibuk nggak punya hak lagi pada kalian!” Ibuku hampir menangis saat bicara.

“Siapa bilang?” kata Landu, kemudian laki-laki itu meyakinkan ibu, bahwa bila anaknya menikah bukan berarti hilang, seperti kematian. Sebab pernikahan bukan menjadi penghalang seorang anak untuk berbakti pada kedua orang tua. Mereka sudah susah payah mendidik dan membesarkan anak-anaknya.

Aku terharu mendengar penjelasannya itu, dia akan menjadi imam yang baik buat istrinya kelak. Wanita yang dicintainya akan seberuntung ibu yang telah melahirkannya. Aku mendekat dan merangkul bahunya, lalu berbisik di telinganya.

“Jadi, gimana kalau melamar Ismaya bulan depan?"

Adikku itu tersenyum, dan melirik Linda, “Nanti saja, setelah pernikahan Linda!” katanya.

“Kalau kamu lamar Ismaya habis nikahannya Linda, kamu nikahnya tahun depan?” tanya Ibu terlihat kesal. Aku menautkan alis saat menatap perempuan separuh baya itu.

“Ya, nggak lah, Bu, paling bulan depannya lagi, masa menunda lama banget, kalau sudah dilamar, lebih baik nikah secepatnya!” jawab Landu dengan cemberut.

“Jadi, cuma sebulan jaraknya dari Linda? Halah! Kok nanggung amat, bareng saja sekalian!” kata Ibu kemudian.

“Mina! Kamu Minggu depan pulang pas libur kerja, buat lamaran ke rumah Ismaya!” titahnya padaku.

Kenapa aku yang jadi ujung tombak mereka, sih?

“Baik, Buk!” itulah jawaban terbaikku agar tidak menambah masalah.

Ibu membuka bungkusan yang sejak tadi diletakkannya di tengah. Ternyata itu nasi dan lauk pauk, buatan ibu yang selalu enak dilidahku. Walau sederhana, tapi menggugah selera.

Nasi liwet, tumis teri campur kulit melinjo, ikan pindang, tempe bacem dan lalap daun singkong serta sambal.

Aku mengambil nasi yang sudah kumasak di penanak nasi, lalu menyajikannya di antara hidangan.

“Ibu juga bawa nasi, kok! Jangan anggap Ibumu ini bodoh, nggak bawa nasi tapi bawa sayurnya!” kata ibu sambil mengambil nasi dari bekalnya.

Aku diam dan hanya menyediakan piring saja.

“Eh, ini, Mina!” kata ibu lagi, sambil menaruh tumis kulit melinjo, ikan pindang dan tempe bacem ke dalam satu piring, “Kasih buat tetanggamu yang tadi ngasih tomat!”

Aku melihat piring yang penuh. Sepertinya itu terlalu banyak buat Mas Ragil seorang, lagi pula aku tidak tahu apa dia doyan makanan seperti itu? Aku ragu.

“Oh! Ya, Buk!” jawabku pasrah.

“Kasih itu saja, sebagai balasannya, dia sudah baik mau ngasih semua ini buat kamu! Jarang-jarang, ada orang tinggal di kota kayak dia!”

“Ya, Buk!” Aku pun beranjak berdiri, setelah menerima piring itu dari tangannya.

“Yaa, kalo kamu mah, nggak bakalan ngasih apa-apa ... lah, masak saja jarang!”

“Hehe!”

Aku pikir beliau akan melanjutkannya dengan kata-kata makian seperti sebelumnya sebab sudah biasanya begitu. Setiap kali aku telat mikir dan tidak peka, ibu selalu mengataiku bodoh dan semacamnya.

Namun, kali ini tidak. Aku pun menyimpulkan bahwa, beliau mungkin sudah lupa.

Aku ke luar rumah dan mendatangi petakan Mas Ragil, yang pintunya setengah terbuka. Sekilas kulihat di dalamnya tidak banyak barang Hanya ada satu set meja dan kursi malas, dengan desainnya unik dan tidak biasa, terkesan mewah. Bahkan, karpet yang melapisi lantainya pun terlihat berkelas baik dari segi motif dan bahannya.

Ada juga sebuah nakas kecil terbuat dari kaca gelap hingga isi di dalamnya tak terlihat. Benda itu pun tak kalah mewahnya. Ada sepatu kulit yang terlihat jarang dipakai di bawah meja.

“Dengar! Aku tidak mau tahu, bereskan semuanya! Kalau perlu, hubungi orang itu dan katakan kebenarannya!” kudengar sebuah suara Mas Ragil di dalam sana.

“Assalamu’alaikum!” sapaku sambil mengetuk pintu, yang tidak tertutup rapat itu.

“Hmm ... sudah cukup! Aku tahu!” kata Mas Ragil sambil menyembulkan kepalanya di balik pintu, dengan telepon genggam di telinga. Begitu tatapan kami beradu, ia terlihat terkejut dan mematikan panggilan secara tiba-tiba.

Nada bicaranya saat bicara di telepon tadi, sedikit berwibawa, seolah-olah dia sedang bicara dengan bawahannya.

“Eh, Dek Mina! Ada apa, ya?” tanyanya gugup, tapi lembut. Dia segera ke luar dan menutup pintu rumahnya.

Kenapa aku jadi curiga?

“Ini, Mas, ada sedikit makanan, Ibuk yang bawa dari kampung!” kataku seperti baru belajar bicara.

“Oh!” kata Mas Ragil seraya menatap makanan di piring dengan wajah yang ceria dan penuh senyuman di bibirnya.

Saat dia menerima piring, lagi-lagi tangan kami bersentuhan. Sepertinya dia sengaja.

Huh!

“Nanti, ya, saya kembalikan piringnya!”

“Eh, nggak usah dibalikin juga nggak apa, Mas. Itu cuman piring plastik biasa!”

“Beneran, nih, nggak usah dibalikin?” tanyanya sambil mengangkat alisnya.

“Iya, iya! Kalau gitu, saya permisi dulu!”

“Iya, terima kasih ya, Dek Minari Anasya!” katanya dengan ucapan mendayu.

Tiba-tiba aku jadi merinding dibuatnya, sejak kapan ia tahu nama lengkapku? Perasaan aku tidak pernah memperkenalkan diri padanya secara resmi, dengan menyebut nama pemberian ibu dan bapak itu.

Tidak semua anak ibu dan ayah memiliki nama belakang yang sama denganku. Landu dan Linda memiliki nama belakang Wijaya, dari nama bapak saja. Sekali lagi alasannya adalah, karena mereka kembar. Landu tidak mungkin diberi nama belakang Anasya, kan?

Anasya adalah gabungan nama bapak, Ananto Wijaya dan Syanita Harun, ibuku. Jadi, dari mana Mas Ragil tahu? Tuhan, beri aku petunjuk-Mu!

Aku harus tanyakan soal ini pada dua orang yang tahu nama lengkapku. Yaitu Pak RT, atau pemilik kontrakan--Teh Mela--yang rumahnya cukup besar di pertigaan jalan masuk kontrakan.

Katanya, lima jajar kontrakan di sekitarku ini adalah miliknya. Kaya sekali dia.

Setelah aku kembali ke rumah, kulihat ibu dan dua adikku tengah asyik makan dalam diam, karena mereka sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing. Ah, benda itu hampir membuatku cemburu, manusia memperlakukannya lebih berharga dari nyawa.

Sementara ibu melakukan panggilan video dengan bapak.

Kulihat wajah bapak yang datar dan masih makan juga dengan menu yang sama di layar kaca.

Aku mengambil makananku dan mulai menikmatinya.

“Gimana, kabarmu, Nduk?” tanya bapak seperti biasa kalau menegurku. cuma aku yang di panggil seperti itu. Sedangkan Linda, mendapatkan panggilan sayang. Maknanya sama saja, tapi anak-anak yang merasa dirinya berbeda. Aku pun merasa menjadi anak kesayangan. Padahal beliau sama sekali tidak pernah membeda-bedakan.

“Alhamdulillah, sehat. Bapak gimana?”

“Eh, Mina!” Bapak tidak menjawabku dan bertanya,, “Mina, coba tanya sama tetanggamu atau orang-orang di sana siapa tahu kenal sama orang yang namanya Ragil Samudra di situ?”

"Siapa, Pak? Ragil Samudra?"

❤️❤️❤️❤️

Related chapters

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Celana Dalam Itu

    “Siapa, Pak? Ragil Samudra itu lagi? Kan, sudah Mina bilang kalau tidak ada?” Aku mengulangi nama yang disebutkan bapak tadi, sebab aku ragu, apakah Ragil yang bapak maksudkan adalah Mas Ragil yang jadi tetanggaku. Sudah tiga kali bapak bertanya soal ini dan aku pun menjawab dengan jawaban yang sama lagi.“Iya! Panggilannya Ragil, alamat rumahnya juga di Jalan Widuri, sama persis sama alamat kontrakanmu, Nduk?” tanya bapak lagi. Kemudian bapak menyebutkan ciri-ciri orang yang dimaksudkannya, dia memiliki ciri yang sama dengan Mas Ragil. “Apa Bapak nggak salah orang? Jalan Widuri itu luas, Pak! Mana Mina tahu soal orang itu!” “Sudah, sudah makan dulu, Pak!” kata ibu sambil mengarahkan layar telepon ke dirinya sendiri. “Nanti ngobrol lagi sama Mina, sekarang habiskan dulu makanannya!” katanya. “Ya!” Bapak mengakhiri panggilannya. Aku menghabiskan makananku, begitu juga dengan ibuku. Landu dan Linda sibuk dengan iPhone mereka, seolah tidak ada orang yang hidup di sekitarnya. Seola

    Last Updated : 2023-07-13
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Tubuhku Tidak Rela

    Ah, yang benar saja! Aku tanpa sadar telah memelototi Mas Ragil dari pintu yang sedikit terbuka. Tiba-tiba hatiku menyesal telah melemparkan segitiga pengaman itu hingga campur dengan pakaian lainnya. Mas Ragil salah tingkah dan bingung, ia membuang muka saking malunya. Kulihat dia menggaruk kepala. “Maaf, celana yang tadi, jatuh dan kotor, makanya nggak saya campurkan dengan yang lain!” Nah, benar, kan dugaanku ... aku tidak terkejut tapi kesal. Kalau celana itu basah, berarti pakaian lainnya juga ikut basah dan kotor, dong? Kenapa baru terpikirkan.Ya Robbi! Selamatkan hamba-Mu ini dari rasa malu! "Oh, eh, iya, gak apa, sekali lagi terima kasih!" Setelah berkata seperti itu aku pun segera menutup pintu, dari luar kudengar samar suara Mas Ragil mengucapkan kata-kata, "Ya, sama-sama!"Lalu, aku segera mengangkat celana yang terkena lumpur itu. Benar, kan! Baju yang lain ikut ketularan kotor. Akhirnya aku mencuci ulang semua pakaian yang terkena lumpur dari celana itu. Selama ak

    Last Updated : 2023-07-13
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Tetangga Yang Berisik

    “Hmm ... baunya enak, wangi!” Kubuka kantong keresek putih, yang sudah ada kemasan mangkuk sekali pakai di dalamnya, hingga aku tak perlu lagi mencuci setelah menggunakannya. Soto aku tuangkan dari bungkusnya dan aku cicipi rasanya ... enak juga! Kebetulan aku belum pernah singgah di warung soto ayam yang dikatakannya. Aku menikmatinya sampai habis, dan kenyang karena ada lontongnya. Setelah selesai makan dan minum, aku melihat smart phone-ku. Membalas semua pesan dari bapak dan ibu satu persatu. Mereka menanyakan kabarku dan bertanya kenapa aku tidak bisa dihubungi sejak sore hari. Tentu saja aku tidak mengatakan yang sebenarnya, dan aku membalas dengan mengetik bahwa aku baik-baik saja. Namun, ada satu pesan aneh, dari nomor yang tidak kukenal, yang baru di kirim saat aku mengaktifkan data ponsel. Pesan yang tertulis dari nomor itu sangat membuatku tercengang. “Gimana sotonya, enak? Dihabiskan, ya?” Deg! Nomor siapa ini? Kalau menanyakan soto, itu berarti Mas Ragil, tapi dar

    Last Updated : 2023-07-18
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Ketika Jam Besuk Berakhir

    “Alhamdulillah, semua sehat dan normal! Tapi ....” kata seseorang, yang sedang berdiri di sampingku, aku yakin dia dokter yang memeriksa keadaanku setelah siuman. “Tapi apa, Dok?” itu suara Mas Ragil. “Tapi, lukanya cukup dalam, jadi butuh pemulihan lebih lama dari biasanya!” “Oh!” kata para ibu hampir bersamaan. “Bu Mina, bisa mendengar saya?” dokter itu bicara pelan dekat telinga dan aku pun mengangguk. “Istirahat saja ya, Bu! Untuk sementara jangan banyak gerak, terutama di bagian kepala, karena terluka, untung Ibu cepat dibawa ke sini sama suami! Alhamdulillah! Jadi, Ibu tidak kehabisan darah!” Apa? Aku hampir kehabisan darah? Siapa lagi itu yang mengaku suami? Enak saja! Sekali lagi aku mengangguk. Setelah tahu aku bisa merespons dengan baik, dokter itu pun berlalu. “Alhamdulillah, Dek Mina dengar dokter tadi bicara, kan?” kata Mas Ragil dan aku sekali lagi hanya mengangguk. “Ya, sudah, istirahat saja, jangan mikirin apa-apa, yang penting sembuh aja dulu!” kata pria itu

    Last Updated : 2023-08-08
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Punya Teh Mela

    “Gak usah, Mas! Gak apa saya sendiri saja!” Aku memaksakan diri untuk bicara dengan halus, menolak keberadaan pria itu sekamar denganku. “Gak apa, Mbak Mina, bair ada yang jaga! Kan, enak kalau butuh apa-apa!” Bukan Mas Ragil yang menjawab pertanyaanku melainkan para ibu tukang gosip itu. Memangnya aku butuh apa? Di kasihani? Tidak! Aku Cuma butuh suami bucin yang mau aku nikahi! Ups! “Nggak apa, kok, Dek Mina! Saya nggak keberatan sama sekali!” kata Mas Ragil menanggapi ucapan ibu-ibu tadi. “Terima kasih Buibu!” akhirnya aku cuma bisa bilang begitu. Sebelum pergi, Bu RT, Teh Mela dan Teh Nena serta, Bu Kokom, melirik padaku dengan tatapan penuh selidik. Namun, sekali lagi aku tidak berdaya untuk menolak pria itu tetap berada di sisiku. “Dek, mau minum? Pasti haus, kan?” tanya Mas Ragil begitu para tetanggaku itu pergi. Aku mengangguk. “Kamu ini sebenarnya sudah sadar dari tadi malam, tapi dokter ngasih obat tidur biar bisa istirahat,” katanya, sambil meraih air mineral dalam

    Last Updated : 2023-08-13
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Calon istr Adikku

    “Assalamualaikum, Mbak Mina! Loh, Mbak Mina kenapa?” Sudah kuduga akan seperti itu reaksi Ismaya. Ia tampak begitu terkejut karena tidak ada kabar apa pun tentang keadaanku padanya. Ah, mana ada bencana yang memberi berita sebelum kedatangannya.Mata Ismaya tampak berkaca-kaca, aku tidak menyangka kalau calon istri adikku itu, begitu sensitif perasaannya. Landu segera menceritakan apa yang dia alami barusan hingga mendapati aku yang terbaring di rumah sakit. Tak lupa ia mengatakan kejadian kecelakaan sesuai versi Mas Ragil.“Oh, jadi kepala Mbak Mina bocor?” tanyanya, mungkin kepalaku bisa disamakan dengan panci. Tiba-tiba ibu mendekat.“Lihat, nih! Kepala calon Mbak ipar kamu ini botak! Profesor juga bukan!” kata ibu seraya membuka jilbabku dan memperlihatkan perban yang begitu besar di sisi sebelah kiri kepalaku. Tentu saja aku terkejut melihat penampakan diriku di layar itu. Kepalaku botak sebelah! Ternyata sebegitu parahnya lukaku hingga sebagian rambut hilang karena di c

    Last Updated : 2023-08-13
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Kembali Ke Kontrakan

    “Maaf, saya tidak tahu! Ada apa ya Mbak?” lagi-lagi Abid balik bertanya.“Nggak apa-apa, kayaknya saya salah orang!”“Sudah, sudah! Biar adikmu pulang, kamu ini malah tanya yang bukan-bukan!” Ibu berkata sambil melambaikan tangannya pada Linda dan Abid, isyarat untuk mengabaikanku.Mereka lantas berpamitan, tapi masih kurasakan tatapan Abid yang tajam ke arahku. “Mina, gimana sekarang kepalamu?” tanya bapak dengan wajah yang khawatir.“Alhamdulillah, Pak. Kepalaku masih nempel di leher!”“Hus! Kamu ini selalu saja kalau ngomong sama orang tua nggak pake otak!” kata ibuku sambil menepuk kakiku karena beliau duduk di ujung tempat tidur sedangkan bapak duduk di kursi sebelahku.Aku duduk bersandar di kepala brankar rumah sakit yang sudah di setel oleh Linda tadi, sebelum pergi. Melihat bapak dan ibu berada di dekatku, membuat hatiku bahagia. Namun, hal yang mengganjal adalah kebersamaan kami karena harus menungguku di rumah sakit. Kalau aku melihat bapak, beliau adalah laki-lak

    Last Updated : 2023-08-13
  • Pelangkah Tanpa Syarat    Pria Yang Menunggu

    “Siapa, ya?” tanyaku dari dalam kamar, pada orang yang menggangguku. Berhubung tidak ada jawaban, aku memaksakan diri ke luar dengan menyeret langkah malas.“Mbak Mina, ini saya!”Aku mendengar Teh Mela bicara tepat saat aku sudah berdiri di depan pintu dan bersiap untuk membukanya.“Ada apa, Teh?” Langsung saja aku bertanya, karena sedang tidak ingin basa nasi dengan siapa pun juga.“Alhamdulillah, Mbak Mina sudah pulang beneran, aku cuma mastiin aja, kok! Soalnya tadi kayak liat ada orang di kontrakan!”Cuma mastiin aja semuamu! Aku lagi pusing, tahu?“Lah, memangnya lagi pada ke mana?” tanyaku penasaran.“Acara tujuh bulanan anak Bu RT, mau punya cucu baru dia!”“Oh, pantas saja sepi kontrakannya, ya sudah, kalau gitu saya mau tidur lagi!” kataku, hendak menutup pintu. Namun, tiba-tiba aku teringat tentang baju yang pernah kupakai di rumah sakit. Ditambah soal nomor telepon nyasar di smartphoneku, dia tersangka utamanya. Jadi, aku memanggil Teh Mela lagi.“Teh, baju yang s

    Last Updated : 2023-08-15

Latest chapter

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Perdamaian (TAMAT)

    “Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Otopsi

    POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Sesuatu Untuk Linda

    “Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Pengangguran Sejati

    Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Siapa Dia Yang Sebenarnya

    Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Sekarang Mulai Tahu

    “Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Telepon dari Ibu

    “Siapa?” tanyaku penasaran, pada wanita pembawa makanan yang dikatakan Mas Ragil itu.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil!” sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu tenda tempat istirahatku.“Iya! Masuk!” kata Mas Ragil, dia belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang yang mengucapkan salam itu sudah terlanjur masuk.“Ini, Mas! Lilis bawain makan siang!” kata perempuan yang mungkin bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdu

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Lilis

    “Siapa?” tanyaku penasaran.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil! Ini Lilis bawain makan siangnya!”Mas Ragil belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang masuk di tenda yang kami tempati.Dia perempuan yang bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdulillah! Masak apa kamu Lis?” tanya Mas Ragil antusias. “Masak opor ayam, Mas!” jawab perempuan itu sambil tersenyum dan menyimpan tempat nasi itu di atas meja.“Sini, sini, kita makan

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Tumben Pulang Duluan

    “Gimana, Mbak, rasanya menikah sama perjaka tua dan pengangguran pula, hati-hati ya, Mbak, kalau nanti gaji bulanannya diporotin suami!” kata Teh Nena lagi.Aku tersenyum, dan menjawab, “Teh Nena nggak usah kuatir, Mas Ragil nggak akan morotin istrinya sendiri, seperti laki-laki yang tidak punya harga diri, lagian dia bukan pengangguran, Kok!” Setelah itu aku pun naik ke motor Mas Ragil.Aku yakin akan hal itu, sebab Mas Ragil tidak mungkin bisa membiayai pernikahan dan memberikan semuanya saat pernikahan, kalau dia pengangguran. Kata Bapak juga bilang kalau suamiku itu rajin dan pintar. Hanya saja bapak tidak memberitahuku, apa pekerjaan Mas Ragil secara pasti.“Aku ini petani, apa kamu malu kalau mengakui suamimu ini petani?” tanya Mas Ragil saat aku dan dia sudah berada di atas motornya. Dia mengantarkan aku dan kendaraan roda dua itu berjalan dalam kecepatan sedang.“Nggak masalah kalau jadi petani, yang penting bukan pengangguran, Mas!”“Biarin saja mereka bilang begitu,

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status