"Buk! Nasib sial atau nggak itu urusan Allah! Jadi, bukan perkara pelangkahan nikah, yang membawa kesialan dan keberuntungan mereka!”
“Mbak, tapi aku tetap harus menanyakan itu, biar aku yakin kalau Mbak sudah rela kalau aku menikah lebih dulu!” kata Linda memohon.“Baik, aku rela kamu menikah lebih dulu, Linda ...! Landu ... kalau kamu mau nikah sekarang juga silakan, nggak usah ngasih apa-apa!”“Beneran, Mbak?” Landu tampak tidak percaya“Ya, bener, lah! Jadi, Mbak nggak akan minta pelangkahan, kalau mau nikah ya, nikah saja! Mbak terima dengan lapang dada, tanpa syarat apa-apa!”Sejenak suasana menjadi hening.“Mbak kenal Ismaya, kan?” Landu tiba-tiba bertanya.“Ya!” jawabku setelah mengingat tentang nama yang disebutkannya itu.“Aku sekarang dekat sama dia, Mbak. Dia nggak mau pacaran dan maunya langsung dilamar!” kata Landu dengan mata yang berbinar menceritakan gebetannya.Aku tersenyum dan setuju dengan pernikahan Landu dan wanita itu. Aku mengenalnya belum lama, saat aku pulang beberapa bulan yang lalu, dan kebetulan dia ikut ayahnya membeli ikan koi yang dijual adikku. Kata ibu, wanita itu sering ikut ayahnya ke sana. Ah, ternyata dia cuma modus karena mau bertemu dengan adikku.Aku juga kenal Pak Samad dan Bu Vina, dua orang tua Ismaya itu pedagang sayur sukses di desa tetangga. Pertaniannya banyak dan termasuk orang kaya pula. Ismaya adalah anak perempuan satu-satunya. Kata Landu, dia punya dua kakak laki-laki yang sebaya denganku. Namun, anehnya aku tidak kenal karena tidak satu sekolah dengan mereka. Hanya satu yang membuatku penasaran dengan Ismaya, wajahnya mirip sekali dengan Ismawati, temanku yang sudah meninggal dunia, saat masih SMA.“Kamu beruntung kalau menikahi Ismaya, Lan!” kataku, “Kalau begitu, cepat lamar dia sebelum diambil orang. Kamu sudah sukses dan mapan, punya mobil juga, jadi nikahi saja dia!”“Aku mau ngelamar dia, sama mbak Mina, ya? Biar dia yakin kalau Mbak merestui pernikahan kami nantinya!”“Kenapa harus sama Mbak?”“Soalnya, dia bilang, takut kualat kalau melangkahi kakak perempuan nikah duluan karena dianggap tidak sopan!”Hatiku memang sedikit tersayat, dilangkahi dua adik kembar menikah lebih dulu, itu memang memalukan. Namun, sekali lagi, nasib itu Allah yang menentukan.Aku pernah dekat dengan beberapa laki-laki atau pernah juga meminta seorang ustdzah di kampung untuk mencarikan jodoh, tapi sampai saat ini, tidak pernah ada yang cocok.Kalau aku mau, laki-laki itu tidak mau, kalau laki-laki itu mau, aku yang tidak cocok. Kalau soal pendekatan dengan cara biasa, aku sudah dekat dengan banyak pria. Namun, di antara mereka tidak ada satu pun yang datang melamarku di hadapan bapak dan ibu.Ada satu orang yang dekat denganku dan kisahnya cukup lucu, namanya Firman. Dia datang menemuiku dan bilang kalau mau melamarku, tapi saat datang rumah, entah kenapa dia justru mundur dengan teratur, setelah secara tidak sengaja mendengar ucapan ibu.Waktu itu ibu menemuinya lebih dulu dan menyambut kedatangan pria itu. Saat aku datang sambil membawa kopi, ibu bicara padaku.“Ingat kalau bicara sama laki-laki, pakai otakmu yang bener buat mikir! Jalan itu bukan Cuma kaki, tapi otak juga harus jalan, biar nggak karatan!”Entahlah, kenapa tiba-tiba Firman jadi bersikap tidak seperti biasanya. Bahkan, jadi canggung dan susah bicara di depanku, apalagi di depan ayah dan ibu. Lalu, dia pulang tanpa berpamitan. Setelah itu kabar yang aku dengar, dia pergi merantau di pulau seberang. Dia teman sekampung dan satu sekolah, tentu saja dia tahu soal perbedaan prestasi dua adik kembarku dan juga prestasiku di sekolah yang selalu mendapatkan nilai terendah di kelas dulu.Awalnya, kegagalan Firman melamar itu aku nisbahkan kesalahannya pada ibu. Namun, setelah berpikir positif, barulah aku sadar bahwa, dia memang bukan yang terbaik untukku. Kalau dia benar-benar mencintaiku, dia tidak akan peduli aku bodoh atau idiot sekali pun. Dia tetap akan tetap teguh menjadi suamiku.Aku memang bodoh di kelas, tapi soal kehidupan, memasak dan urusan lainnya aku tak kalah pintarnya dengan Linda dan Landu. Jadi, di mana letak kesalahanku?Sejak saat itu aku mulai berdamai dengan nasib, dan yang namanya jodoh, aku benar-benar tidak peduli dan tidak berusaha mencari. Bahkan, aku pernah berharap jodoh itu jatuh dari langit.Lucu sekali, kan? Biarlah, toh itu aku, bukan kalian!“Permisi!” tiba-tiba kulihat Mas Ragil berdiri di depan pintu. Dia tersenyum sangat manis sampai menggoda imanku. Ahk, aku tak tahu apa arti senyumannya itu, tapi jantungku pun tiba-tiba bergetar hebat.Ada apa dia kemari? Aku khawatir ibu mempermalukan aku di depannya lagi.“Mas Ragil, ada apa, ya?” aku berdiri menyambutnya.“Ini, saya kebetulan panen cabe dan tomat, siapa tahu bisa bermanfaat. Semua tetangga juga kebagian, Kok! Tapi buat Dek Mina agak lebih banyak, soalnya ada tamu, bisa buat oleh-oleh nantinya!” katanya lembut dan teratur, membuatku tercengang.Aku belum pernah mendengarnya bicara cukup banyak seperti kali ini. Aku jadi sangsi kalau kalimat yang meluncur tadi, diucapkan oleh orang yang sehari-harinya hanya mengurus ayam pelung saja.“Maasyaallah, Alhamdulillah, terima kasih, Mas!” kataku sambil menerima pemberiannya itu, tanpa sengaja tangan kami bersentuhan, hingga tubuhku jadi menegang.Perasaan apa ini? Apa karena aku melihat senyumannya tadi?Hai diriku! Dia tidak setampan itu!“Eh, iya!” jawabnya sambil tersenyum lebih lebar lagi, seraya memperlihatkan kegugupan yang sama.Mampus! Dia lebih tampan dari yang tadi.“Sama-sama, Dek Mina, saya permisi dulu, maaf mengganggu!”Mas Ragil pun berlalu dengan langkah cepat.Aku kembali duduk dan membuka kantong keresek yang isinya cabe, tomat, paprika, dan ada beberapa buah jeruk juga. Aku tak menyangka, dia bisa bertani sebaik ini, di sebidang tanah yang tidak begitu luas di kontrakannya.Walau ini cukup mengesankan, tapi dia tetap tidak layak untuk menjadi seorang suami. Rumah tangga butuh biaya, keluarga juga butuh makan nasi dan tidak bisa kenyang hanya dengan tomat dan cabai saja. Apalagi, punya pasangan sama artinya dengan punya masalah tambahan, bagaimana bisa menyelesaikan masalah kalau setiap hari yang di sayang cuma ayam?“Mbak, lihat hadiahku juga, dong!” kata Linda membuyarkan pemikiranku tentang Mas Ragil.“Oh iya, gara-gara sibuk bicara soal jodoh, aku lupa membuka bungkusannya, maaf, ya?”Aku sudah menebak apa isinya, dari nama pembungkusnya saja aku tahu kisaran harganya. Aku tidak bisa membeli barang itu dengan gajiku sebulan. Kalaupun bisa beli, aku harus makan apa? Aku sudah tidak mau lagi mengganggu keuangan Ayah dan Ibu, sejak aku memutuskan untuk bekerja.“Subhannallah! Ini bagus banget, Lin! Alhamdulillah! Terima kasih banyak, ya? Mbak nggak akan bisa beli kalau bukan kamu yang membelinya!”Aku hanya bisa memujinya dan memeluk tas branded warna putih dengan tali rantai itu.“Kamu tahu aja warna kesukaan Mbak, Lin!”“Iya, mbak! Aku juga senang kalau Mbak Mina senang, itu Mas Abid yang ngasih, dia tahu aku mau ke sini, jadi kemarin dia kasih itu buat Mbak!” ujar Linda antusias.“Nama pacarmu, Adid?”“Bukan pacar! Tapi calon suami!” Kata Ibu.“Iya, Mbak, nama lengkapnya Abidin Samarchandra!”“Oh!” Entah kenapa aku sedikit familiar dengan nama Samarchandra, siapa ya?Ah! Aku memang lupa.❤️❤️❤️❤️"Iya, Mbak!" jawab Linda."Eum ... Samarchandra itu nama Bapaknya?” tanyaku penasaran. “Iya, Mbak, nama keluarganya gitulah! Kakek-kakeknya juga punya nama yang sama!” “Oh!” “Jadi, Mbak! Kapan bisa pulang, dan kita ke rumah Pak Samad?” Landu bertanya membuatku sontak tertawa. “Dih, nggak sabar amat, sih? Beneran kalian mau ngadain acara nikah barengan?” “Ya, nggak apa kalau cocok waktunya, biar Ibuk repotnya sekalian, mereka juga lahirnya barengan!” Ibu menyela pembicaraanku dan Landu. Deg. Hatiku tiba-tiba berdegup, aku sepertinya benar-benar harus siap. Kata orang kalau di langkahi adik laki-laki nikah duluan, bakalan lama dapet jodohnya. “Gimana kalau aku juga dapet jodoh barengan, Buk?” Aku berkata setelah berhenti tertawa. “Loh, ya malah bagus. Ibuk ngunduh mantu sekaligus tiga!” “Maasyaallah!” gumamku sambil menggelengkan kepala, “Berarti, rezeki Ibuk benar-benar besar, ya?” “Kata siapa besar, justru berkurang! Soalnya kalian mau jadi milik orang, Ibuk nggak punya hak
“Siapa, Pak? Ragil Samudra itu lagi? Kan, sudah Mina bilang kalau tidak ada?” Aku mengulangi nama yang disebutkan bapak tadi, sebab aku ragu, apakah Ragil yang bapak maksudkan adalah Mas Ragil yang jadi tetanggaku. Sudah tiga kali bapak bertanya soal ini dan aku pun menjawab dengan jawaban yang sama lagi.“Iya! Panggilannya Ragil, alamat rumahnya juga di Jalan Widuri, sama persis sama alamat kontrakanmu, Nduk?” tanya bapak lagi. Kemudian bapak menyebutkan ciri-ciri orang yang dimaksudkannya, dia memiliki ciri yang sama dengan Mas Ragil. “Apa Bapak nggak salah orang? Jalan Widuri itu luas, Pak! Mana Mina tahu soal orang itu!” “Sudah, sudah makan dulu, Pak!” kata ibu sambil mengarahkan layar telepon ke dirinya sendiri. “Nanti ngobrol lagi sama Mina, sekarang habiskan dulu makanannya!” katanya. “Ya!” Bapak mengakhiri panggilannya. Aku menghabiskan makananku, begitu juga dengan ibuku. Landu dan Linda sibuk dengan iPhone mereka, seolah tidak ada orang yang hidup di sekitarnya. Seola
Ah, yang benar saja! Aku tanpa sadar telah memelototi Mas Ragil dari pintu yang sedikit terbuka. Tiba-tiba hatiku menyesal telah melemparkan segitiga pengaman itu hingga campur dengan pakaian lainnya. Mas Ragil salah tingkah dan bingung, ia membuang muka saking malunya. Kulihat dia menggaruk kepala. “Maaf, celana yang tadi, jatuh dan kotor, makanya nggak saya campurkan dengan yang lain!” Nah, benar, kan dugaanku ... aku tidak terkejut tapi kesal. Kalau celana itu basah, berarti pakaian lainnya juga ikut basah dan kotor, dong? Kenapa baru terpikirkan.Ya Robbi! Selamatkan hamba-Mu ini dari rasa malu! "Oh, eh, iya, gak apa, sekali lagi terima kasih!" Setelah berkata seperti itu aku pun segera menutup pintu, dari luar kudengar samar suara Mas Ragil mengucapkan kata-kata, "Ya, sama-sama!"Lalu, aku segera mengangkat celana yang terkena lumpur itu. Benar, kan! Baju yang lain ikut ketularan kotor. Akhirnya aku mencuci ulang semua pakaian yang terkena lumpur dari celana itu. Selama ak
“Hmm ... baunya enak, wangi!” Kubuka kantong keresek putih, yang sudah ada kemasan mangkuk sekali pakai di dalamnya, hingga aku tak perlu lagi mencuci setelah menggunakannya. Soto aku tuangkan dari bungkusnya dan aku cicipi rasanya ... enak juga! Kebetulan aku belum pernah singgah di warung soto ayam yang dikatakannya. Aku menikmatinya sampai habis, dan kenyang karena ada lontongnya. Setelah selesai makan dan minum, aku melihat smart phone-ku. Membalas semua pesan dari bapak dan ibu satu persatu. Mereka menanyakan kabarku dan bertanya kenapa aku tidak bisa dihubungi sejak sore hari. Tentu saja aku tidak mengatakan yang sebenarnya, dan aku membalas dengan mengetik bahwa aku baik-baik saja. Namun, ada satu pesan aneh, dari nomor yang tidak kukenal, yang baru di kirim saat aku mengaktifkan data ponsel. Pesan yang tertulis dari nomor itu sangat membuatku tercengang. “Gimana sotonya, enak? Dihabiskan, ya?” Deg! Nomor siapa ini? Kalau menanyakan soto, itu berarti Mas Ragil, tapi dar
“Alhamdulillah, semua sehat dan normal! Tapi ....” kata seseorang, yang sedang berdiri di sampingku, aku yakin dia dokter yang memeriksa keadaanku setelah siuman. “Tapi apa, Dok?” itu suara Mas Ragil. “Tapi, lukanya cukup dalam, jadi butuh pemulihan lebih lama dari biasanya!” “Oh!” kata para ibu hampir bersamaan. “Bu Mina, bisa mendengar saya?” dokter itu bicara pelan dekat telinga dan aku pun mengangguk. “Istirahat saja ya, Bu! Untuk sementara jangan banyak gerak, terutama di bagian kepala, karena terluka, untung Ibu cepat dibawa ke sini sama suami! Alhamdulillah! Jadi, Ibu tidak kehabisan darah!” Apa? Aku hampir kehabisan darah? Siapa lagi itu yang mengaku suami? Enak saja! Sekali lagi aku mengangguk. Setelah tahu aku bisa merespons dengan baik, dokter itu pun berlalu. “Alhamdulillah, Dek Mina dengar dokter tadi bicara, kan?” kata Mas Ragil dan aku sekali lagi hanya mengangguk. “Ya, sudah, istirahat saja, jangan mikirin apa-apa, yang penting sembuh aja dulu!” kata pria itu
“Gak usah, Mas! Gak apa saya sendiri saja!” Aku memaksakan diri untuk bicara dengan halus, menolak keberadaan pria itu sekamar denganku. “Gak apa, Mbak Mina, bair ada yang jaga! Kan, enak kalau butuh apa-apa!” Bukan Mas Ragil yang menjawab pertanyaanku melainkan para ibu tukang gosip itu. Memangnya aku butuh apa? Di kasihani? Tidak! Aku Cuma butuh suami bucin yang mau aku nikahi! Ups! “Nggak apa, kok, Dek Mina! Saya nggak keberatan sama sekali!” kata Mas Ragil menanggapi ucapan ibu-ibu tadi. “Terima kasih Buibu!” akhirnya aku cuma bisa bilang begitu. Sebelum pergi, Bu RT, Teh Mela dan Teh Nena serta, Bu Kokom, melirik padaku dengan tatapan penuh selidik. Namun, sekali lagi aku tidak berdaya untuk menolak pria itu tetap berada di sisiku. “Dek, mau minum? Pasti haus, kan?” tanya Mas Ragil begitu para tetanggaku itu pergi. Aku mengangguk. “Kamu ini sebenarnya sudah sadar dari tadi malam, tapi dokter ngasih obat tidur biar bisa istirahat,” katanya, sambil meraih air mineral dalam
“Assalamualaikum, Mbak Mina! Loh, Mbak Mina kenapa?” Sudah kuduga akan seperti itu reaksi Ismaya. Ia tampak begitu terkejut karena tidak ada kabar apa pun tentang keadaanku padanya. Ah, mana ada bencana yang memberi berita sebelum kedatangannya.Mata Ismaya tampak berkaca-kaca, aku tidak menyangka kalau calon istri adikku itu, begitu sensitif perasaannya. Landu segera menceritakan apa yang dia alami barusan hingga mendapati aku yang terbaring di rumah sakit. Tak lupa ia mengatakan kejadian kecelakaan sesuai versi Mas Ragil.“Oh, jadi kepala Mbak Mina bocor?” tanyanya, mungkin kepalaku bisa disamakan dengan panci. Tiba-tiba ibu mendekat.“Lihat, nih! Kepala calon Mbak ipar kamu ini botak! Profesor juga bukan!” kata ibu seraya membuka jilbabku dan memperlihatkan perban yang begitu besar di sisi sebelah kiri kepalaku. Tentu saja aku terkejut melihat penampakan diriku di layar itu. Kepalaku botak sebelah! Ternyata sebegitu parahnya lukaku hingga sebagian rambut hilang karena di c
“Maaf, saya tidak tahu! Ada apa ya Mbak?” lagi-lagi Abid balik bertanya.“Nggak apa-apa, kayaknya saya salah orang!”“Sudah, sudah! Biar adikmu pulang, kamu ini malah tanya yang bukan-bukan!” Ibu berkata sambil melambaikan tangannya pada Linda dan Abid, isyarat untuk mengabaikanku.Mereka lantas berpamitan, tapi masih kurasakan tatapan Abid yang tajam ke arahku. “Mina, gimana sekarang kepalamu?” tanya bapak dengan wajah yang khawatir.“Alhamdulillah, Pak. Kepalaku masih nempel di leher!”“Hus! Kamu ini selalu saja kalau ngomong sama orang tua nggak pake otak!” kata ibuku sambil menepuk kakiku karena beliau duduk di ujung tempat tidur sedangkan bapak duduk di kursi sebelahku.Aku duduk bersandar di kepala brankar rumah sakit yang sudah di setel oleh Linda tadi, sebelum pergi. Melihat bapak dan ibu berada di dekatku, membuat hatiku bahagia. Namun, hal yang mengganjal adalah kebersamaan kami karena harus menungguku di rumah sakit. Kalau aku melihat bapak, beliau adalah laki-lak
“Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem
POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen
“Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama
Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa
Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me
“Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju
“Siapa?” tanyaku penasaran, pada wanita pembawa makanan yang dikatakan Mas Ragil itu.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil!” sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu tenda tempat istirahatku.“Iya! Masuk!” kata Mas Ragil, dia belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang yang mengucapkan salam itu sudah terlanjur masuk.“Ini, Mas! Lilis bawain makan siang!” kata perempuan yang mungkin bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdu
“Siapa?” tanyaku penasaran.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil! Ini Lilis bawain makan siangnya!”Mas Ragil belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang masuk di tenda yang kami tempati.Dia perempuan yang bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdulillah! Masak apa kamu Lis?” tanya Mas Ragil antusias. “Masak opor ayam, Mas!” jawab perempuan itu sambil tersenyum dan menyimpan tempat nasi itu di atas meja.“Sini, sini, kita makan
“Gimana, Mbak, rasanya menikah sama perjaka tua dan pengangguran pula, hati-hati ya, Mbak, kalau nanti gaji bulanannya diporotin suami!” kata Teh Nena lagi.Aku tersenyum, dan menjawab, “Teh Nena nggak usah kuatir, Mas Ragil nggak akan morotin istrinya sendiri, seperti laki-laki yang tidak punya harga diri, lagian dia bukan pengangguran, Kok!” Setelah itu aku pun naik ke motor Mas Ragil.Aku yakin akan hal itu, sebab Mas Ragil tidak mungkin bisa membiayai pernikahan dan memberikan semuanya saat pernikahan, kalau dia pengangguran. Kata Bapak juga bilang kalau suamiku itu rajin dan pintar. Hanya saja bapak tidak memberitahuku, apa pekerjaan Mas Ragil secara pasti.“Aku ini petani, apa kamu malu kalau mengakui suamimu ini petani?” tanya Mas Ragil saat aku dan dia sudah berada di atas motornya. Dia mengantarkan aku dan kendaraan roda dua itu berjalan dalam kecepatan sedang.“Nggak masalah kalau jadi petani, yang penting bukan pengangguran, Mas!”“Biarin saja mereka bilang begitu,