“Jadi, kamu nggak percaya?” tanya Ragil ikut berdiri.Sebenarnya Ragil tidak mengharapkan perkelahian ataupun ucapan kasar dari laki-laki itu. Walaupun, Firman tampak seperti pria berpendidikan, tapi ia terkesan meremehkan orang lain tanpa pertimbangan. Padahal, yang Ragil katakan hanyalah kejujuran saja. Dalam hati Ia juga gemas dengan Mina, yang terlihat enggan mengakuinya sebagai calon suaminya.Ragil sempat berpikir negatif apakah ia tampak begitu buruk di hadapan calon istrinya.Hari itu Ragil sengaja pergi ke sebuah barbershop untuk memangkas rambutnya agar rapi. Mengingat sebentar lagi adalah hari pernikahan yang sangat penting baginya. Jadi, ia cukup sibuk. Ragil sibuk mempersiapkan pernikahannya, termasuk mas kawin yang sesuai keinginan calon istrinya. Memberi informasi kepada saudara, dan kerabatnya, baik yang dekat, maupun yang jauh. Apalagi, beberapa keluarga wakil dari ayah dan ibunya, mereka tidak bisa hanya sekedar diberitahu saja. Hari ini ia sengaja memakai pak
“Awas kamu, Ragil!” pekik Firman sambil memukul satir mobilnya.Ia patah hati dan merasa khawatir kalau Abid akan berbuat sesuatu padanya, karena kecewa. Ia benar-benar ingin menikahi Mina, terlepas dari siasat Abid dan masa lalu mereka. Namun, kehadiran pria bernama Ragil itu sungguh melukai perasaannya sebagai seorang pria. Kalau saja ia tahu bahwa, dahulu ucapan yang dikatakan oleh ibu Mina hanyalah akal-akalan agar ia gagal menikahinya, maka ia akan nekat melakukan apa yang dia inginkan pada Mina.Firman menjalankan kendaraannya, dan pergi menemui saudara sepupunya. Mereka mengadakan perjanjian untuk bertemu di sebuah tempat. Abid datang tak lama setelah Firman tiba di tempat itu. Ia menatap nyalang pada sepupunya dari dalam mobilnya. Ia kecewa, karena terlanjur berharap banyak pada saudara pria itu agar pikiran dan hatinya tenang, seperti sebelum bertemu Mina. Namun, ternyata Firman tidak bisa diandalkan. Mau tidak mau ia hanya bisa pasrah dengan keadaan, karena tidak mungkin ju
Aku melangkah ke rumahku setelah mengucapkan terima kasih kepada Mas Ragil yang sudah mengakui kalau dia adalah calon suamiku.“Dek Mina! Kamu marah?” katanya sambil mengiringi langkahku.Aku menoleh padanya kesal, “Nggak! Nggak marah!”“Tapi kok cemberut begitu bilang terima kasihnya?” tanyanya semakin membuatku kesal.“Mas! Ingat, ya! Kita ini belum sah! Jadi, jangan sok-sokan ikut campur urusan aku, apalagi buat nurutin kemauan kamu, Mas! Oke?”“Maksud aku itu baik, Dek! Biar laki-laki itu nggak deketin kamu terus!” katanya membela diri.“Mas! Aku tuh cuman nggak suka aja, caranya, tiba-tiba datang, tiba-tiba ngomong begitu, siapa yang nggak kesel coba? Aku kan jadi nggak enak, Mas!”Waktu aku berbicara seperti itu dan kami bertatapan, kulihat sinar matanya sangat menunjukkan kesedihan. Oh aku menjadi merasa bersalah sekali.“Maaf, ya, Dek!”Meskipun aku kasihan, tapi aku tidak menggubris ucapannya itu, lalu masuk begitu saja dan menutup pintu serta menguncinya lagi. Setel
Aku masuk ke rumah setelah mengucapkan salam dan membuka sepatu, tanpa menunggu orang di dalam menjawab salamku. Ruang tamu tampak sepi dan ibu adalah orang yang pertama kali keluar untuk melihatku. Anehnya bukan reaksi senang yang ia tunjukkan sebagaimana layaknya seorang ibu yang senang ketika melihat kedatangan anaknya. Melainkan wajah cemberutnya yang terlihat tidak enak di mataku. Aku lebih heran saat ia bertanya, sambil mengerutkan alisnya.“Loh, kok, kamu sudah pulang, Mina? Memangnya kamu nggak kerja besok?”“Astagfirullah, Bu ...! Anaknya pulang bukannya disambut tapi malah dimarahin, sih? Apa ibu nggak sayang, sama Mina?”“Ya, kan, ibu cuman tanya, bukan berarti nggak sayang, kamu ini mikirnya gimana jadi anak?”“Iya! Aku nggak bisa mikir sepintar Ibuk, akun ggak pintar seperti Ibuk!” Aku langsung berlari ke kamarku sendiri, bukan karena takut ibuku ngomel lagi, tapi karena penasaran seperti apa kamarku setelah direnovasi. Apakah sama dengan yang diceritakan Mas Ragi
Keesokan harinya, saat aku masih menikmati suasana pagi di halaman rumah, kulihat beberapa orang berdatangan dan masuk ke rumah melalui pintu samping yang langsung menuju ke area dapur. Mereka adalah, saudara ibuku, tetangga dan juru masak yang dipercaya untuk membuat menu makanan kenduri. Acara empat bulanan Linda akan dilaksanakan pada siang hari selepas dhuhur dan setelah itu, baru dilangsungkan acara lamaran. Rangkaian acara itu sengaja digabung menjadi satu mengingat para pelaku acara adat dan akad adalah orang jauh. Selain itu, menurut bapak, untuk menghemat biaya dan waktu. Rumahku cukup besar, untuk mengadakan acara seperti itu tanpa harus menyewa gedung. Teras rumahku saja sengaja dirancang sedemikian rupa oleh bapak hingga cukup untuk menyimpan lima mobil sekaligus. Walaupun, sebagian besar halaman masih berupa tanah, tapi itu cukup sepadan.Belum lagi halaman yang ada taman bunga hias kebanggaan ibu. Agak bergeser ke kanan ada toko ikan hias milik Landu yang juga bisa
Hari menjelang malam, saat aku terbangun dari sujudku yang panjang, setelah sholat isya. Aku mengucapkan banyak syukur karena sampai detik ini Allah banyak memberiku kebaikan. Namun, munajatku terganggu saat ada suara mobil berhenti di halaman dan membunyikan klakson. Aku mengintip dari jendela, untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Linda beserta suaminya, mereka turun dari kendaraan dengan membawa banyak bungkusan.“Assalamualaikum!” Kudengar suara Linda mengucapkan salam.Linda langsung masuk dan menemui ibu beserta semua saudara yang sudah berdatangan. Bukan hanya itu, kulihat ia bolak-balik ke mobil, karena membawa banyak oleh-oleh dan juga makanan yang akan menjadi pelengkap hidangan. Sementara Abid, suaminya itu tampak masih bersandar di badan mobil, untuk menelepon seseorang. Lalu, ia berjalan mendekati jendela kamarku, entah disadari atau tidak hingga aku bisa mendengar apa yang dia katakan dengan lawan bicaranya melalui benda pipih itu.“Apa kamu nggak pertimbangan
❤POV author. Selamat membaca! ❤️“Mana rombongan calon suami Mbak Mina? Kok, belum datang, sekarang lamarannya, kan?” tanya Linda begitu Mina menampakkan diri di hadapan semua orang yang terlihat duduk-duduk di ruang tengah keluarga.Gadis berkulit kuning langsat dan berwajah bulat telur itu menengok ke arah pintu masuk. Ia tidak melihat siapa pun di luar sana selain Abid yang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Hatinya sedikit kesal dengan pria itu, tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain bersikap biasa saja padanya.Mina yang memiliki sifat pelupa, mudah emosi dan telat mikir itu, pun mendekati ibunya. Namun, sebelum Mina sempat bertanya, Syanita sudah menepuk bahunya.“Kamu sudah mandi apa belum tadi sore?” tanyanya. Tentu saja Mina heran, ia yakin kalau ibunya pasti mendengar ucapan Linda, tapi ia justru bertanya soal dirinya yang sudah mandi atau belum. Memangnya apa hubungannya?“Ih Ibuk ini! Ya sudah, dong!” sahut Mina penuh percaya diri.“Ya sudah, kalau s
“Jadi, walaupun sebenarnya ini salah paham, tapi saya terima, walaupun saya sebenarnya tidak sungguh-sungguh minta sawah! Jangan nilai saya perempuan materialistis!” kata Mina dengan lugas.“Jadi, intinya saya diterima, kan?” tanya Ragil dengan menatap lembut calon istrinya.Mina mengangguk dan semua orang mengucapkan syukur. Setelah itu doa-doa kebaikan pun meluncur dari mulut semua orang untuk mereka. Harapan terbesarnya adalah lancarnya acara pernikahan, lebih lancar dari lamarannya yang diselingi sedikit drama. Syanita begitu bahagia, setelah acara makan malam bersama selesai, kini mereka tengah duduk2 sambil bercengkrama. Wanita itu menarik tangan Ragil untuk berbicara dengan intens di dekat meja makan. Tidak ada yang berani mengganggu mereka sebab semua orang bisa melihat betapa seriusnya dua orang itu bicara.“Gil, Ibu ingetin kamu sekali lagi! Sebelum kamu menikahi anak Ibuk, kamu boleh mikir lagi!” “Ya, Bu, saya mantap menikah sama Mina!”“Baik, tapi dia mungkin nggak