Beranda / Urban / Pelangkah Tanpa Syarat / Bunga Untuk Pesta

Share

Bunga Untuk Pesta

Penulis: El GeiysyaTin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Keesokan harinya, saat aku masih menikmati suasana pagi di halaman rumah, kulihat beberapa orang berdatangan dan masuk ke rumah melalui pintu samping yang langsung menuju ke area dapur. Mereka adalah, saudara ibuku, tetangga dan juru masak yang dipercaya untuk membuat menu makanan kenduri.

Acara empat bulanan Linda akan dilaksanakan pada siang hari selepas dhuhur dan setelah itu, baru dilangsungkan acara lamaran. Rangkaian acara itu sengaja digabung menjadi satu mengingat para pelaku acara adat dan akad adalah orang jauh. Selain itu, menurut bapak, untuk menghemat biaya dan waktu.

Rumahku cukup besar, untuk mengadakan acara seperti itu tanpa harus menyewa gedung. Teras rumahku saja sengaja dirancang sedemikian rupa oleh bapak hingga cukup untuk menyimpan lima mobil sekaligus. Walaupun, sebagian besar halaman masih berupa tanah, tapi itu cukup sepadan.

Belum lagi halaman yang ada taman bunga hias kebanggaan ibu. Agak bergeser ke kanan ada toko ikan hias milik Landu yang juga bisa
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Ternyata Masih ngontrak

    Hari menjelang malam, saat aku terbangun dari sujudku yang panjang, setelah sholat isya. Aku mengucapkan banyak syukur karena sampai detik ini Allah banyak memberiku kebaikan. Namun, munajatku terganggu saat ada suara mobil berhenti di halaman dan membunyikan klakson. Aku mengintip dari jendela, untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Linda beserta suaminya, mereka turun dari kendaraan dengan membawa banyak bungkusan.“Assalamualaikum!” Kudengar suara Linda mengucapkan salam.Linda langsung masuk dan menemui ibu beserta semua saudara yang sudah berdatangan. Bukan hanya itu, kulihat ia bolak-balik ke mobil, karena membawa banyak oleh-oleh dan juga makanan yang akan menjadi pelengkap hidangan. Sementara Abid, suaminya itu tampak masih bersandar di badan mobil, untuk menelepon seseorang. Lalu, ia berjalan mendekati jendela kamarku, entah disadari atau tidak hingga aku bisa mendengar apa yang dia katakan dengan lawan bicaranya melalui benda pipih itu.“Apa kamu nggak pertimbangan

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Lamaran

    ❤POV author. Selamat membaca! ❤️“Mana rombongan calon suami Mbak Mina? Kok, belum datang, sekarang lamarannya, kan?” tanya Linda begitu Mina menampakkan diri di hadapan semua orang yang terlihat duduk-duduk di ruang tengah keluarga.Gadis berkulit kuning langsat dan berwajah bulat telur itu menengok ke arah pintu masuk. Ia tidak melihat siapa pun di luar sana selain Abid yang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Hatinya sedikit kesal dengan pria itu, tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain bersikap biasa saja padanya.Mina yang memiliki sifat pelupa, mudah emosi dan telat mikir itu, pun mendekati ibunya. Namun, sebelum Mina sempat bertanya, Syanita sudah menepuk bahunya.“Kamu sudah mandi apa belum tadi sore?” tanyanya. Tentu saja Mina heran, ia yakin kalau ibunya pasti mendengar ucapan Linda, tapi ia justru bertanya soal dirinya yang sudah mandi atau belum. Memangnya apa hubungannya?“Ih Ibuk ini! Ya sudah, dong!” sahut Mina penuh percaya diri.“Ya sudah, kalau s

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Buah Langka

    “Jadi, walaupun sebenarnya ini salah paham, tapi saya terima, walaupun saya sebenarnya tidak sungguh-sungguh minta sawah! Jangan nilai saya perempuan materialistis!” kata Mina dengan lugas.“Jadi, intinya saya diterima, kan?” tanya Ragil dengan menatap lembut calon istrinya.Mina mengangguk dan semua orang mengucapkan syukur. Setelah itu doa-doa kebaikan pun meluncur dari mulut semua orang untuk mereka. Harapan terbesarnya adalah lancarnya acara pernikahan, lebih lancar dari lamarannya yang diselingi sedikit drama. Syanita begitu bahagia, setelah acara makan malam bersama selesai, kini mereka tengah duduk2 sambil bercengkrama. Wanita itu menarik tangan Ragil untuk berbicara dengan intens di dekat meja makan. Tidak ada yang berani mengganggu mereka sebab semua orang bisa melihat betapa seriusnya dua orang itu bicara.“Gil, Ibu ingetin kamu sekali lagi! Sebelum kamu menikahi anak Ibuk, kamu boleh mikir lagi!” “Ya, Bu, saya mantap menikah sama Mina!”“Baik, tapi dia mungkin nggak

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Mengingat Sebuah Nama

    “Mas! Kamu berhutang penjelasan padaku!” aku berkata, sambil mengacungkan jari telunjukku di depan wajahnya.“Soal apa?” Mas Ragil balik bertanya, membuatku kesal saja, memang dia laki-laki tidak peka.Aku melihat lebam-lebam yang cukup jelas, di pipi dekat telinga sebelah kirinya, dan waktu aku bertanya soal penyebabnya, tadi dia tidak menjawab. Seharusnya dia tahu kalau aku penasaran soal itu. “Oh, iya, Mas! Kenapa hp-mu nggak bisa dihubungi?” tanyaku lagi.“Oh tadi mati, ya sudah kalau gitu, aku sekarang ke hotel dulu ....besok kita ketemu dan ngobrol lagi kalau sudah sah jadi suami istri, oke?” katanya serambil berbisik di dekat telingaku.Ups! Kepalanya dekat sekali dengan kepalaku membuat aku memundurkan posisi kepala agar tidak terlalu dekat. Dasar! Mas Ragil ini tadi bilang tidak boleh memeluk karena belum jadi muhrim, tapi dia malah dekat-dekat seperti itu.Aku melihat rombongan calon suamiku pergi, dan 12 orang itu menggunakan mobil, yang sama mewah serta bagusnya. Na

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Sederhana Tapi Manis

    “Mbak Mina, kenal sama Firman, kan? Dia saudaraku, Mbak! Dia mau datang ke acara pernikahan Mbak besok!” Itu bunyi pesan yang sepertinya akan menimbulkan banyak masalah, maka aku langsung menjawab pesan, saat itu juga dengan menolaknya secara tegas. Aku punya firasat bahwa memar di wajah Mas Ragil ada hubungannya dengan dua orang itu—Abid dan Firman. Walau aku tidak tahu apa pun penyebabnya, tapi tatapan mata Abid dan Mas Ragil saat bertemu di ruang tamu dan ruang makan tadi malam, sudah menjelaskan semuanya. Jelas sekali ada amarah menyala pada tatapan mereka. Setelah sholat subuh, aku masih merenung di atas sajadah tentang kehidupanku selanjutnya, akan seperti apa nanti jika masalah antara aku dan Abid akan terkuak, sebab sebuah rahasia tidak akan tersimpan selamanya.Namun, pernikahan ini sudah aku setuju, dan demi membantu menyempurnakan separuh agama calon suami. Oleh karena itu aku yakin untuk menjalaninya sepenuh hati. Aku memejamkan mata untuk meluruskan niat melaksanak

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Urusan Mahar

    Aku menaruh vas bunga di atas karpet dekat kamar, lalu menghampiri bapak.“Apa? Surat mahar, emangnya mahar ada suratnya? Surat mas kawin ... gitu kali maksud Bapak?”“Bukan!” kata Bapak setelah aku dekat dengannya, lalu beliau merangkum bahuku dengan lembut. Aku merasakan kehangatan seorang ayah saat ia memelukku.Setelah aku ada di kamarnya, ternyata Ibu pun sudah ada di sana, aku tahu hari ini bukan cuman aku yang jadi ratu, tapi ibuku juga. Jadi, wajar saja kalau dia tidak membantu orang-orang di dapur, tapi justru sibuk mengurus segala sesuatu yang tidak ada urusannya dengan masakan. Dia pasrah dengan makanan yang akan dihidangkan nanti di pesta anaknya. Aku lihat tadi semuanya hampir selesai karena semua dipimpin oleh hikmat oleh Bulik Lastri sebagai kepala juru masaknya. Besek-besek khas desa dari bambu, yang dibuat sedemikian rupa sudah dilapisi daun, menandakan siap dimasuki makanan, nasi dan beserta lauk-pauknya. Aku juga sudah melihat tadi beberapa Ibu mengupas beberap

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Perkelahian

    POV Author “Paman? Ada apa Paman ke sini, pagi-pagi begini,” kata Ragil.Pagi itu ia duduk berhadapan dengan Leo—pamannya, yang sengaja mendatangi kamarnya. Mereka tampak bicara serius tentang, keadaan yang dialami oleh Ragil. Sangat memilukan menurutnya sebab sebelum datang melamar Mina ke rumah orang tuanya, Ragil sempat berkelahi dengan seseorang yang ia tahu bernama Firman.Leo tidak setuju dengan sikap Ragil yang tidak jujur soal keadaan itu pada calon istrinya. Apalagi tentang identitas pribadi Ragil—yang ditutupi selam ini—sehingga keponakannya itu diperlakukan tidak pantas oleh orang lain.“Mau sampai kapan kamu seperti ini?” kata Leo, ia menatap serius keponakannya yang masih mengompres wajahnya dengan air es agar bengkak di pipinya hilang.“Paman bicara soal apa ini? Kalau tentang siapa diriku sebenarnya, aku tidak perlu mengatakannya pada siapa pun karena itu tidak penting!” “Itu artinya, kamu rela kalau ada orang lain merendahkanmu seperti yang dilakukan laki-laki

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Kedatangan Mela

    POV Author “Kalau kamu menikah nanti, jangan tinggal satu rumah lagi dengan Mela, biar istrimu bisa tenang, kamu tahu Mela ngeyelnya kayak apa?” Setelah memberikan nasihat seperti itu, Leo pun keluar dari kamar Ragil. Ia pergi mengajak anak dan istrinya untuk berkeliling hotel menikmati udara pagi di desa itu yang sangat jarang ia temui.Sementara Ragil hanya menatap keluarga kecil itu dari atas balkon di mana kamar hotelnya berada. Ia memikirkan Mina dan pakaian yang dikenakannya, untuk lamaran kemarin malam adalah baju pemberiannya. Sebenarnya Ragil ingin baju itu dipakai istrinya saat pembacaan akad nikah mereka hari ini. Namun, ia menghargai Mina dan segala keputusannya, dan ia terlihat begitu cantik dengan pakaian pemberiannya itu. Soal pakaian memang tidak penting adanya, maka ia merelakan saja. Terserah Mina mau pakai baju yang mana saja. Ia sudah harus bersyukur sebab semuanya berjalan sebagai mana mestinya.Namun, ia belum mau menjawab pertanyaan yang diutarakan Mina tent

Bab terbaru

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Perdamaian (TAMAT)

    “Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Otopsi

    POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Sesuatu Untuk Linda

    “Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Pengangguran Sejati

    Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Siapa Dia Yang Sebenarnya

    Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Sekarang Mulai Tahu

    “Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Telepon dari Ibu

    “Siapa?” tanyaku penasaran, pada wanita pembawa makanan yang dikatakan Mas Ragil itu.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil!” sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu tenda tempat istirahatku.“Iya! Masuk!” kata Mas Ragil, dia belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang yang mengucapkan salam itu sudah terlanjur masuk.“Ini, Mas! Lilis bawain makan siang!” kata perempuan yang mungkin bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdu

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Lilis

    “Siapa?” tanyaku penasaran.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil! Ini Lilis bawain makan siangnya!”Mas Ragil belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang masuk di tenda yang kami tempati.Dia perempuan yang bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdulillah! Masak apa kamu Lis?” tanya Mas Ragil antusias. “Masak opor ayam, Mas!” jawab perempuan itu sambil tersenyum dan menyimpan tempat nasi itu di atas meja.“Sini, sini, kita makan

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Tumben Pulang Duluan

    “Gimana, Mbak, rasanya menikah sama perjaka tua dan pengangguran pula, hati-hati ya, Mbak, kalau nanti gaji bulanannya diporotin suami!” kata Teh Nena lagi.Aku tersenyum, dan menjawab, “Teh Nena nggak usah kuatir, Mas Ragil nggak akan morotin istrinya sendiri, seperti laki-laki yang tidak punya harga diri, lagian dia bukan pengangguran, Kok!” Setelah itu aku pun naik ke motor Mas Ragil.Aku yakin akan hal itu, sebab Mas Ragil tidak mungkin bisa membiayai pernikahan dan memberikan semuanya saat pernikahan, kalau dia pengangguran. Kata Bapak juga bilang kalau suamiku itu rajin dan pintar. Hanya saja bapak tidak memberitahuku, apa pekerjaan Mas Ragil secara pasti.“Aku ini petani, apa kamu malu kalau mengakui suamimu ini petani?” tanya Mas Ragil saat aku dan dia sudah berada di atas motornya. Dia mengantarkan aku dan kendaraan roda dua itu berjalan dalam kecepatan sedang.“Nggak masalah kalau jadi petani, yang penting bukan pengangguran, Mas!”“Biarin saja mereka bilang begitu,

DMCA.com Protection Status