“Kamu mau bicara soal Abid apa soal pernikahan kita?” balasan dari Mas Ragil begitu cepat, membuatku merasa berarti.Percaya diri sekali dia. Aku tidak menjawab lagi pesannya, karena aku berniat untuk menghubunginya kembali setelah selesai melipat pakaian. Namun, ternyata dia menghubungiku terlebih dahulu.Aku membiarkan telepon berdering beberapa saat lamanya hingga panggilannya berakhir dengan sendirinya. Tak lama setelah itu, ia mengirimkan pesan.“Katanya mau ngomong di telepon, kenapa nggak diangkat?” Aku pun menjawab, “Nanti!”Tak ada jawaban. Baru setelah aku selesai membersihkan baju dan mandi serta sholat ashar, barulah aku meneleponnya kembali.“Halo! Gimana, Dek?” Mas Ragil langsung menjawab panggilanku, setelah bunyi nada sambung ke satu.Wah, wah, semangat sekali sih, calon suamiku itu.“Udah sholat ashar belum, Mas?” tanyaku sekedar memastikan kalau ia sudah melaksanakan kewajibannya itu.“Sudah! Itu nomor satu, seperti kamu!”Aku memilih diam mendengar gombalannya ya
Firman menoleh saat ia mendengar suara seseorang memanggil nama Mina, tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia langsung menutup teleponnya terserah sepihak dan tidak peduli kalau Abid marah padanya. Ia menyimpan benda lebih itu ke dalam saku celana, lalu menghampiri Mina. Gadis Itu tampak sedang berbicara dengan salah seorang tetangga kontrakannya. Firman baru mendekat, tidak seberapa mengerti tentang apa yang dibicarakan oleh dua orang wanita itu, tetapi, ia baru kalau ternyata Mina tidak berada di rumahnya. “Saya itu mau pulang, Teh Nena!” kata Mina pada wanita yang telah mengagetkannya. “Loh, memangnya dari mana?” tanya Nena. “Dari laundry Teh Mela, lagi males nyuci!” “Jangan malas-malas Mbak Mina, biar nanti calon suaminya ganteng!” “Ah, teh Nena bisa saja!” “Mina! Kamu di sini? Aku baru saja mau ke rumahmu?” kata Firman memutus percakapan dua wanita, yang segera menoleh dngan cepat, ke arah pria yang tiba-tiba menyapa mereka. “Siapa dia, Mbak Mina, ganteng sekali, calon suamin
“Fir! Kita ngobrolnya di sini saja!” kata Mina seraya melambaikan tangan pada Firman agar mempercepat langkahnya.“Kenapa di sini, nggak di rumahmu saja?” tanya Firman, karena ia merasa kurang bebas kalau harus ngobrol di sana, ada sesuatu yang ingin ditanyakan secara rahasia kepada Mina.Laki-laki itu menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat di sekitarnya ada beberapa ibu-ibu yang memperhatikan mereka. “Memangnya kenapa kalau di sini? Nggak enak kalau kita bicara berdua di dalam rumah, Fir, takut ada fitnah!” kata Mina, ia tidak ingin pada tetangganya berpikiran macam-macam tentang dirinya dan firman. Ia juga khawatir kalau tiba-tiba saja Ragil datang, saat ia berbicara dengan firman di dalam rumah tentu akan jadi masalah.Terkadang kemunculan pria itu tidak bisa diprediksi—tahu-tahu muncul, tapi kemudian ia menghilang.Mina sudah tahu bahwa, ibu-ibu itu memang sangat kurang kerjaan sehingga mereka senang sekali, melihat sesuatu yang baru dan bisa dijadikan bahan gosipan.Apalagi
“Jadi, kamu nggak percaya?” tanya Ragil ikut berdiri.Sebenarnya Ragil tidak mengharapkan perkelahian ataupun ucapan kasar dari laki-laki itu. Walaupun, Firman tampak seperti pria berpendidikan, tapi ia terkesan meremehkan orang lain tanpa pertimbangan. Padahal, yang Ragil katakan hanyalah kejujuran saja. Dalam hati Ia juga gemas dengan Mina, yang terlihat enggan mengakuinya sebagai calon suaminya.Ragil sempat berpikir negatif apakah ia tampak begitu buruk di hadapan calon istrinya.Hari itu Ragil sengaja pergi ke sebuah barbershop untuk memangkas rambutnya agar rapi. Mengingat sebentar lagi adalah hari pernikahan yang sangat penting baginya. Jadi, ia cukup sibuk. Ragil sibuk mempersiapkan pernikahannya, termasuk mas kawin yang sesuai keinginan calon istrinya. Memberi informasi kepada saudara, dan kerabatnya, baik yang dekat, maupun yang jauh. Apalagi, beberapa keluarga wakil dari ayah dan ibunya, mereka tidak bisa hanya sekedar diberitahu saja. Hari ini ia sengaja memakai pak
“Awas kamu, Ragil!” pekik Firman sambil memukul satir mobilnya.Ia patah hati dan merasa khawatir kalau Abid akan berbuat sesuatu padanya, karena kecewa. Ia benar-benar ingin menikahi Mina, terlepas dari siasat Abid dan masa lalu mereka. Namun, kehadiran pria bernama Ragil itu sungguh melukai perasaannya sebagai seorang pria. Kalau saja ia tahu bahwa, dahulu ucapan yang dikatakan oleh ibu Mina hanyalah akal-akalan agar ia gagal menikahinya, maka ia akan nekat melakukan apa yang dia inginkan pada Mina.Firman menjalankan kendaraannya, dan pergi menemui saudara sepupunya. Mereka mengadakan perjanjian untuk bertemu di sebuah tempat. Abid datang tak lama setelah Firman tiba di tempat itu. Ia menatap nyalang pada sepupunya dari dalam mobilnya. Ia kecewa, karena terlanjur berharap banyak pada saudara pria itu agar pikiran dan hatinya tenang, seperti sebelum bertemu Mina. Namun, ternyata Firman tidak bisa diandalkan. Mau tidak mau ia hanya bisa pasrah dengan keadaan, karena tidak mungkin ju
Aku melangkah ke rumahku setelah mengucapkan terima kasih kepada Mas Ragil yang sudah mengakui kalau dia adalah calon suamiku.“Dek Mina! Kamu marah?” katanya sambil mengiringi langkahku.Aku menoleh padanya kesal, “Nggak! Nggak marah!”“Tapi kok cemberut begitu bilang terima kasihnya?” tanyanya semakin membuatku kesal.“Mas! Ingat, ya! Kita ini belum sah! Jadi, jangan sok-sokan ikut campur urusan aku, apalagi buat nurutin kemauan kamu, Mas! Oke?”“Maksud aku itu baik, Dek! Biar laki-laki itu nggak deketin kamu terus!” katanya membela diri.“Mas! Aku tuh cuman nggak suka aja, caranya, tiba-tiba datang, tiba-tiba ngomong begitu, siapa yang nggak kesel coba? Aku kan jadi nggak enak, Mas!”Waktu aku berbicara seperti itu dan kami bertatapan, kulihat sinar matanya sangat menunjukkan kesedihan. Oh aku menjadi merasa bersalah sekali.“Maaf, ya, Dek!”Meskipun aku kasihan, tapi aku tidak menggubris ucapannya itu, lalu masuk begitu saja dan menutup pintu serta menguncinya lagi. Setel
Aku masuk ke rumah setelah mengucapkan salam dan membuka sepatu, tanpa menunggu orang di dalam menjawab salamku. Ruang tamu tampak sepi dan ibu adalah orang yang pertama kali keluar untuk melihatku. Anehnya bukan reaksi senang yang ia tunjukkan sebagaimana layaknya seorang ibu yang senang ketika melihat kedatangan anaknya. Melainkan wajah cemberutnya yang terlihat tidak enak di mataku. Aku lebih heran saat ia bertanya, sambil mengerutkan alisnya.“Loh, kok, kamu sudah pulang, Mina? Memangnya kamu nggak kerja besok?”“Astagfirullah, Bu ...! Anaknya pulang bukannya disambut tapi malah dimarahin, sih? Apa ibu nggak sayang, sama Mina?”“Ya, kan, ibu cuman tanya, bukan berarti nggak sayang, kamu ini mikirnya gimana jadi anak?”“Iya! Aku nggak bisa mikir sepintar Ibuk, akun ggak pintar seperti Ibuk!” Aku langsung berlari ke kamarku sendiri, bukan karena takut ibuku ngomel lagi, tapi karena penasaran seperti apa kamarku setelah direnovasi. Apakah sama dengan yang diceritakan Mas Ragi
Keesokan harinya, saat aku masih menikmati suasana pagi di halaman rumah, kulihat beberapa orang berdatangan dan masuk ke rumah melalui pintu samping yang langsung menuju ke area dapur. Mereka adalah, saudara ibuku, tetangga dan juru masak yang dipercaya untuk membuat menu makanan kenduri. Acara empat bulanan Linda akan dilaksanakan pada siang hari selepas dhuhur dan setelah itu, baru dilangsungkan acara lamaran. Rangkaian acara itu sengaja digabung menjadi satu mengingat para pelaku acara adat dan akad adalah orang jauh. Selain itu, menurut bapak, untuk menghemat biaya dan waktu. Rumahku cukup besar, untuk mengadakan acara seperti itu tanpa harus menyewa gedung. Teras rumahku saja sengaja dirancang sedemikian rupa oleh bapak hingga cukup untuk menyimpan lima mobil sekaligus. Walaupun, sebagian besar halaman masih berupa tanah, tapi itu cukup sepadan.Belum lagi halaman yang ada taman bunga hias kebanggaan ibu. Agak bergeser ke kanan ada toko ikan hias milik Landu yang juga bisa
“Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem
POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen
“Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama
Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa
Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me
“Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju
“Siapa?” tanyaku penasaran, pada wanita pembawa makanan yang dikatakan Mas Ragil itu.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil!” sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu tenda tempat istirahatku.“Iya! Masuk!” kata Mas Ragil, dia belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang yang mengucapkan salam itu sudah terlanjur masuk.“Ini, Mas! Lilis bawain makan siang!” kata perempuan yang mungkin bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdu
“Siapa?” tanyaku penasaran.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil! Ini Lilis bawain makan siangnya!”Mas Ragil belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang masuk di tenda yang kami tempati.Dia perempuan yang bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdulillah! Masak apa kamu Lis?” tanya Mas Ragil antusias. “Masak opor ayam, Mas!” jawab perempuan itu sambil tersenyum dan menyimpan tempat nasi itu di atas meja.“Sini, sini, kita makan
“Gimana, Mbak, rasanya menikah sama perjaka tua dan pengangguran pula, hati-hati ya, Mbak, kalau nanti gaji bulanannya diporotin suami!” kata Teh Nena lagi.Aku tersenyum, dan menjawab, “Teh Nena nggak usah kuatir, Mas Ragil nggak akan morotin istrinya sendiri, seperti laki-laki yang tidak punya harga diri, lagian dia bukan pengangguran, Kok!” Setelah itu aku pun naik ke motor Mas Ragil.Aku yakin akan hal itu, sebab Mas Ragil tidak mungkin bisa membiayai pernikahan dan memberikan semuanya saat pernikahan, kalau dia pengangguran. Kata Bapak juga bilang kalau suamiku itu rajin dan pintar. Hanya saja bapak tidak memberitahuku, apa pekerjaan Mas Ragil secara pasti.“Aku ini petani, apa kamu malu kalau mengakui suamimu ini petani?” tanya Mas Ragil saat aku dan dia sudah berada di atas motornya. Dia mengantarkan aku dan kendaraan roda dua itu berjalan dalam kecepatan sedang.“Nggak masalah kalau jadi petani, yang penting bukan pengangguran, Mas!”“Biarin saja mereka bilang begitu,