yang akan menggangguku, setelah semua beres aku bersiap pulang, entah dimana sekarang berada, tidak biasanya ketika jam pulang ia menghilang begitu saja.
“Lev,” sapa Andre membuat lamunanku buyar, tidak ada kata yang keluar dari mulutku, hanya saja. Aku menatapnya menunggu kata yang bakal dia katakan.
“Pulang bareng ya, aku sudah bilang ke Aryan mau mengajak kamu jalan, lagian kamu kerja pulang ke kos tidur berangkat kerja lagi pulang tidur lagi, gitu terus siklusnya,” kata Andre menyinggungku. “Harus banget apa kalau mau mengajak aku itu pakai izin ke Aryan segala?” tanyaku pada Andre.
“Mungkin gitu, lagian dia bakal bingung kalau kamu hilang begitu saja, makanya aku izin biar dia Tidak cari kamu.”
“Iya sudah ayo cepat, sudah malas aku!” ajakku padanya, sedangkan Andre hanya menanggapi jawabanku dengan senyuman .
“Rasanya kok aneh setiap aku melihat senyum Andre, batal mantai batal pula melihat senja lagi, lagian Aryan main hilang begitu saja, mau menolak ajakan Andre juga tidak enak,” batinku bermonolog sendiri.
Taman adalah andalan melepas penat setelah lelah seharian bekerja, duduk bersantai dan melihat orang berlalu lalang lewat sama keluarga, teman, pacar, anak atau temannya membuat otakku bepikir akan bagaimana suatu saat nanti jika aku sudah berkeluarga.
“Ini minum,” kata Andre sambil menyodorkan minuman padaku.
“Terima kasih, oh iya tumben kamu ajak jalan kenapa?”
“Acara pendekatan sama kamu.”
“Ya begini kalau virusnya Aryan menular.”
“Kenapa emang Lev? Aku memang benar-benar suka sama kamu tapi mungkin kamu suka sama Aryan secara muka ganteng, badan bagus, finansial juga bagus kurang apa coba? Beda sama aku tidak ada apa-apanya banding dia,” kata Andre yang buat aku diam dan bahkan bingung mau jawab apa, dan malas juga hanya untuk sekedar menjawab, bagiku kata-kata Andre seolah memojokkan dan secara tidak langsung dia mengatakan kalau aku seorang yang suka pilih-pilih dan mandang fisik. Padahal bagiku fisik bukan alat tolak ukur untuk menilai seseorang.
“Kamu kan udah dekat sama Aryan, Aryan juga perhatian sama kamu, terus nyaman juga kayaknya,” tambahnya Andre.
“Kalau bahas aku sama Aryan sekalian saja ajak Aryan jangan cuma berdua begini, aku kalau mau temenan ya temenan dibuat nyaman santai begitu, terus kenapa kamu mengajak aku kesini kalau tujuanuan kamu bahas hubungan aku sama Aryan?” tanyaku langsung, rasanya sangat malas jika jalan hanya obrolan yang mungkin seperti ini karena bagiku merusak suasana.
“Aku cinta kamu Lev, bahkan aku kagum padamu saat pertama melihat kamu, saat kamu mulai masuk bekerja, namun selama ini aku pendam, aku cemburu saat kamu lebih dekat sama Aryan aku merasa tidak pantas, apa aku tidak pantas Lev dapat balasan perasaan aku ke kamu?” tanya Andre Padaku, ada rasa senang, ragu yang aku rasakan saat Andre mengatakan itu padaku, senang karena aku mengetahui bahwa ada orang yang menyukaiku namun ragu apakah aku bisa membalas perasaannya.
“Maaf Ndre kamu berlebihan, lagian kita baru kenal, kalau mau bilang suka ya bilang saja tidak usah merendahkan diri Sendiri dan memojokkan aku begitu, dan tidak usah bawa-bawa Aryan juga. Memang kamu mau jawaban seperti apa?” kataku karena terlanjur tersulut emosi, karena cara ngomong Andre yang membuatku tidak nyaman meskipun sebenarnya aku takut mengatakan itu.
“Sebelumnya maaf Lev kalau cara ngomongku salah dan buat kamu marah, tetapi sudah pasti Lev jika seseorang menyukai seseorang pasti ingin dapat balasan yang baik, apa kamu bisa menerima aku Lev?”
“Tapi maaf Ndre aku butuh waktu untuk menjawab, dan jujur caramu ngomong aku tidak suka, seharusnya kamu tidak perlu memeperalat seseorang hanya karena menyukai seseorang.”
“Kenapa tidak sekarang kamu kasih jawaban, apa karena Aryan?”
“Berhenti bawa-bawa nama Aryan Ndre!” bentakku
“Benar kan apa kataku, kamu menyukai Aryan”
“Bukan Ndre tapi kutegaskan jangan membawa seseorang untuk diperalat sebagai bahan masalah atau lainnya, dan harusnya kamu tahu aku bersikap begitu ke Aryan karena aku menghargai dia, selama aku bekerja aku bergantung pada Aryan, kalau tidak ada Aryan aku sampai detik ini tidak mungkin bisa bertahan disini, dia yang hampir setiap hari menghabiskan waktu untuk membantuku, apa iya aku pantas menaruh perasaan padanya, maaf Ndre aku tahu mana untuk perasaan dan mana untuk pekerjaan.”
“Iya Lev aku tahu, bahkan aku iri sama Aryan yang selalu siaga bisa membantumu sedangkan aku hanya bisa didekatmu saat tertentu saja.”
“Tidak perlu ada yang kamu iri kan dari Aryan Ndre, jika kamu memang ingin dekatku bersikaplah profesional, aku tidak suka sama orang yang membawa masalah perasaan dengan masalah lainnya.”
“Ya sudah Ndre, aku mau pulang dan tolong biarkan aku pulang sendiri.”
“Iya kalau itu mau kamu, hati-hati dijalan, aku tunggu jawaban kamu.”
Setelah menjalankan kewajibanku aku mengistirahatkan badanku, namun lagi-lagi otakku menolak diajak istirahat, ingatanku kembali pada Andre yang baru saja menyatakan perasaannya padaku. Aku tidak mengerti dengan pemikiran Andre yang bahkan jarang komunikasi denganku bisa menyukaiku, andai aku tidak menerima ajakan Andre pasti aku tidak terjebak dalam pertanyaan yang menggangguku.
Jam masih menunjukkan jam tuju, jadi keadaan luar masih rame. Segera kuambil jaketku dan pergi, sudah seperti biasa aku pergi ke pantai, selain karena aku suka suasana pantai karena aku hanya perlu beberapa menit untuk jalan ke pantai, tidak sia-sia aku cari kos dipinggiran pantai, setidaknya aku punya tempat untuk sekedar bersantai tanpa memakan biaya.
Aku sudah tidak peduli dengan hempasan ombak yang membasahi celanaku, bahkan aku tidak tahu sama yang aku pikirkan, hanya saja rasanya hatiku kosong tidak ada siapapun, aku benar-benar merasa hidup sendiri, aku tidak tahu mau marah ke siapa, bahkan sudah capek sekali jika hanya untuk sekedar menangis.
“Hiaaaaa,” teriakku, bisa-bisanya ada orang yang menceburkanku ke pinggiran laut, kulihat seluruh tubuhku sudah basah.
“Aryan,” teriakku tidak terima, tanpa aba-aba aku dorong tubuh, namun nasib sedang berpihak padaku, Aryan jatuh akupun ikut terjatuh karena Aryan berpegang tanganku, sedangkan diriku tidak kuat menahan beban badan Aryan
“ Aryan ini itu malam, kenapa main lempar anak orang gitu saja, untung ya tadi tidak terseret ombak, kamu enak badan gede, beda aku kecil pendek lihat nih basah semua,”
“aku itu tadi ngajak omong kamu, kamu diam mulu, aku lambaikan tangan belum sadar juga, baguslah aku ceburin langsung sadar,” jelas Aryan, tentu aku tetap tidak terima.
“Tapi kamu jahat banget, hiksss lihat aku kaya kucing masuk got,” entah kenapa aku tiba-tiba jadi cengeng dan menangis begitu saja.
“Ada yang sakit Lev, mana biar aku tanggung jawab?” tanya Aryan dengan panik
“terus kenapa menangis, marah sama aku maafkan aku ya, aku juga keterlaluan sama kamu.”
“Enggak Ar, kamu tidak marah” teriakku sambil tetap menangis
“Kalau gitu sudah dong nangisnya jangan buat aku merasa bersalah, kamu kenapa?” tanya Aryan sambil sesekali menghapus air mataku.
Ingatan kembali ke bang Deren disaat disituasi begini pasti dia akan menenangkanku, tidak jarang dia ikut menangis sambil memelukku, andai bang Deren disini aku pasti aku akan menangis sampai akhirnya aku tenang .
Rasanya badanku kaku bahkan nafasku sudah sesak, sedangkan air mataku terus saja mengalir, entah dapat dorongan dari mana, tiba-tiba Aryan memelukku dan menempatkan kepalaku di dadanya, sambil mengelus rambutku, rasanya nyaman namun sayang tidak senyaman saat bersama bang Deren, aku juga tidak menolaknya, aku butuh orang yang menggantikan bang Deren sementara dan Aryan orang satu-satunya yang ada saat ini. Entah sudah berapa lama aku dalam posisi pelukan Aryan, namun air mataku sudah tidak lagi keluar, dan nafasku sudah mulai teratur.
“Kamu sering begini ya?” tanya Aryan yang hanya aku jawab dengan anggukkan.
“aku takut lihat kamu begini, aku tidak bisa bayangkan kamu begini saat sendirian.”
“Lev enak banget ya kayaknya dalam pelukanku,” aku yang sadar terlonjak kaget dengan perkataannya Aryan, bisa-bisanya aku berlama-lama dalam pelukanya
“biasa saja kali, aku tidak masalah kok, aku tahu kamu butuh ketenangan” katanya sambil menoel hidungku
“kamu meledekku kan?”
“Tentu tidak Levi, yuk ganti baju aku ada jaket celana bisa kamu bisa pilih disitu,” kata Aryan sambil menunjukkan kios kecil pinggiran pantai yang menjual pakaian sederhana.
Saat membeli celanapun sempat ada drama kecil karena aku mengusirnya saat aku memilih yang aku beli, karena aku beli celana sekaligus dalamannya meskipun malu. Baru aku memanggil Aryan saat barang sudah dibungkus, sampai aku ditertawakan pedagngnya.
Setelah selesai ganti baju karena basah aku mengikuti Aryan untuk pergi cari makanan, kebetulan dari pagi aku sama sekali belum makan, ya meskipun rasanya aku tidak lapar sama sekali, aku sadar kalau aku sakit akan repot, dan aku tidak ingin itu terjadi.
“Ar, pulang yuk sudah malam,” ajakku
“Jawab dulu pertanyaanku.”
“Apa?”
“Kok bentar banget perginya sama Andre?”
“udah kelar,” jawabku bohong.
“apanya yang kelar, tadi kamu belum jawab perasaan Andre, malah pulang lari lagi,” kata Aryan sambil tersenyum jahil padaku. Tanpa menjawab aku menatap dalam-dalam mata Andre menunjukkan bahwa aku tidak suka
“Tadi Andre izin padaku ngajakin kamu, yaudah aku pulang ketaman, tahu-tahunya aku lihat kamu pas Andre bilang suka, terus debat kecil habis marah-marah kamu pulang, padahal aku senang lihat tontonan gratis.”
“Udah deh Ar jangan meledek terus, tidak capek apa?”
“Kalau aku boleh kasih saran ya Lev, lakukan saja yang menurut kamu terbaik, ya hitung-hitung lupain mantan kamu yang dulu, atau bagaimana, tapi ambil nyaman kamu gimana saja” kata Aryan menasehatiku.
“tapi kayaknya Andre pemaksa deh Ar, apa benar begitu?”
“Bisa dibilang begitu, coba saja kamu tolak pasti ada seribu cara buat dapatkan kamu,” kata Aryan sambil tertawa.
“Dan salah satunya adalah mengkambing hitamkan kamu,” pungkasku
“Iya aku tahu, dan kamu malah membelaku.”
“Faktanya begitu mau bagaimana lagi, baik sih Andre tapi aku tidak ada rasa pada dia,” jujurku pada Andre
“Nyatakan yang sebenarnya saja Lev, perasaan juga bisa datang seiring berjalannya waktu, ya kalau kamu terima ya belajar saja, Kalau kamu lebih nyaman menolak iya tidak apa-apa.”
“iya aku tahu,btw sudah malam pulang yuk,” ajakku
“let’s go dear” kata Aryan dengan pedenya
“dasar buaya berapa kali aku bilang, jangan gitu entar kita dikira pasangan” bantahku sambil menariknya agar cepat pulang.
Setelah sampai aku segera mandi membersihkan sisa pasir yang masih menempel, banyak banget pasir yang ikut denganku, yang pasti akibat ulah Aryan. Kembali ke Andre entah aku mau jawab apa, bahkan hari besok tinggal beberapa jam lagi, dan dengan bodohnya aku malah menjanjikan jawaban kepada Andre besok.
Karena bingung aku menonton drama korea, sudah tidak diragukan lagi kisah drama Korea selalu romantis dan mampu membuat baper penontonnya
“Oppa, saranghae. Nikah yuk sama Levi,” kataku sambil memegangi laptop
Baru beberapa menit aku menonton tapi rasanya kepalaku sudah tidak bisa diajak kompromi, tiba-tiba kepalaku rasanya pening sekali, bahkan udara malam ini terasa begitu dingin meskipun setengah badanku sudah terbalut selimut sampai rasanya hidungku mengeluarkan ingus, baru saja aku mau mengambil tisu tiba-tiba darah menyembur dari hidungku.
“Tidak, aku tidak boleh panik” kataku menenangkan diriku sendiri, lagi pula ini bukan pertama kalinya aku mengalami hal serupa, mimisan seperti ini. Sering sekali aku mengalami mimisan saat banyak pikiran atau kelelahan, selain daya tahan tubuhku yang lemah, trombosit dan hemoglobinku selalu dibawah angka rata-rata. Jadi tidak heran lagi saat aku mudah capek dan drop. Kalau sudah seperti ini yang bisa kulakukan hanya minum obat dan kemudian tidur.
Sesekali aku melihat jendela luar, dalam anganku masih malas untuk bangun, terlihat matahari tidak menampakkan dirinya karena diselimuti awan tebal ditambah rintik-rintik hujan yang menambah egoku agar tetap malas-malasan mengurung diri di bawah selimut. Apalagi badan sedikit demam dan pening dikepala yang tidak kunjung sembuh sungguh membuatku ingin meliburkan diri saja, namun semua hanya ilusi semata karena pada kenyataannya aku harus berangkat lebih pagi untuk bekerja.
Seperti biasa aku berangkat dengan Aryan, terlihat semua pada berkumpul, mungkin sebentar lagi bakal ada rapat, terlihat Dewi sedang melambaikan tangannya agar aku dan Aryan. Aku yang melihat Andre disamping Dewi langsung buru-buru menundukkan kepala.
“Pagi,” sapa Aryan kepada, sedangkan aku sudah terbiasa hanya mengikutinya dari belakang, bedanya aku hari ini tidak menyapa siapapun, beberapa kali Aryan, Andre dan Dewi bercanda namun aku sama sekali tidak menanggapi sama sekali.
“Lev tumben aku diam mulu, kenapa?” tanya Andre sedangkan aku yang sudah merasa tidak enak badan sama sekali hanya menanggapinya dengan senyuman saja, tanpa ada niat menjawab sama sekali.
“Udah jangan diganggu, rapat juga udah mau dimulai, muka gak mood gitu malah kamu tanya,” kata Dewi membelaku.
Selama rapat aku hanya diam dan memperhatikan apa yang disampaikan, sesekali mengambil nafas dalam-dalam, bahkan keringat dingin sudah bercucuran
“Lev kamu pucat banget, aku anterin ke istirahat saja ya” bisik Aryan padaku, namun aku hanya menggelengkan kepala, karena sebentar lagi juga sudah selesai jadi tidak enak dilihat sama yang lain, apalagi sejak dari tadi Andre terlihat memperhatikanku, kalau Aryan nganterin yang ada bisa jadi bahan perdebatan.
Setelah selesai rapat aku lari ke kamar mandi, perutku seperti di aduk-aduk, entah berapa lama aku dikamar mandi, rasanya aku ingin mengeluarkan semua yang ada di perut, padahal aku cuma minum saja belum makan apapun sejak bangun tidur. Lama kelamaan keningku sudah dipenuhi keringat dingin, dan pusing hingga pandangan Semakin kabur.
Capek, itu yang aku rasakan, bahkan aku malas sekali mau membuka mata, samar-samar aku mendengar suara nafas seseorang dedekatku, dengan malas aku membuka mataku
“Andre, yaampun aku dimana? Teriakku panik.
“kamu di rumah sakit Lev, tadi kamu ditemukan pingsan di toilet”
“Aduh, goblok banget sih aku,” kataku sambil menepuk jidatku sendiri, bisa-bisanya aku ceroboh sampai pingsan di tempat umum.
“Terus kata dokter gimana?”
“Dokter belum berani memastikan Lev, katanya masih mau periksa lebih lanjut lagi” jelasnya Andre.
“yes, yaudah kita pulang saja, buang-buang waktu” kataku girang.
“tapi kamu masih harus diperiksa Lev”
“bodo amat, ini lagian sih yang pasang oksigen segala” protesku sambil melepaskan selang oksigen yang mengangguku
“Ndre, aku pulang ya. Thanks, see you,” kataku sambil lari meninggalkan Andre yang masih bingung dengan tingkahku, untung aku mempunyai keahlian lari yang bagus, jadi sangat mudah bagiku jika hanya untuk sekedar kabur menghindari orang. Lagi pula jika aku tidak kabur sudah pastikan aku bakal ditanya ini itu sama dokter, belum lagi Andre ikut tanya-tanya, bukannya sembuh malah jengkel dan tambah pusing kepalaku.
Baru saja aku mau keluar dari rumah sakit, namun langkahku berhenti karena ada Dewi dan Aryan
“Apa, Levi kabur, kok bisa?” kata Aryan yang terdengar olehku, untung saja mereka tidak melihatku.
“Bisa lah, tidak ada hal yang akan terjadi atas izinku, lagian kalian lemah banget. Jaga bocah macam aku saja lolos kabur, umur dan badan memang jauh di atasku tapi mudah juga dimainin begini” kataku sambil menertawakan mereka yang bingung aku tinggal kabur begitu saja.
“Bang, naik motornya sendiri ya?” tanyaku pada seseorang
“Iya.”
“Bang, aku nebeng ya? Cuma sampai depan kok, aku mohon, aku malu banget lewat bolak-balik depan pos satpam dikira orang gila ntar, dan bodohnya tadi aku bilang mau pulang dan nunggu teman di dalam,” bohongku pada seseorang, padahal itu cuma alibiku saja biar tidak terlihat Aryan dan Dewi.
“Iya boleh, ayo naik.”
Langsung saja aku naik, untung saja tadi sebelum kabur aku ingat dan sempat mengambil tasku, langsung saja aku keluarkan jaket untuk menutupiku.
“Sampai sini saja dek, memang mau kearah selatan atau utara?” tanya seseorang yang aku tumpangi
“Selatan bang.”
“Yaudah nanggung dek, sekalian saja turun depan sana, memang mau kemana?”
“Pulang bang, tapi aku turun depan supermarket depan sana saja bang.”
“Oke, dek,”
“Terima kasih bang atas tumpangannya, hati-hati di jalan,” kataku pas sudah sampai
Kebetulan beberapa kebutuhan sudah habis, jadi sekalian aku belanja dan membeli beberapa camilan untuk menemaniku menonton drakor.
Setelah selesai belanja, aku segera pulang. Tidak seperti biasanya, jalanan begitu sepi, padahal masih sore.“Woy!” seseorang menepuk bahuku.Ah, dia mengagetkanku. Rasanya ingin sekali menampar wajahnya. Tapi aku hanya bisa menahan emosiku.“Lev, apasi..... Kayak bocah lo!” bentak Andre.“Apa, lo baru tahu gue bocah?” dan untuk pertama kalinya juga aku menggunakan sebutan lo dan gue dengannya.“Iya, seharusnya lo tahu dari pagi gue jaga lo dan lo malah main kabur begitu saja, lo jaga diri saja tidak becus sok-sokan main kabur.”“Tanya diri lo sendiri, kenapa kalau tidak ikhlas nungguin segala, lagi pula selama ini memangnya lo yang rawat gue, lo baru kenal gue, lo kalau mau tahu orang kejauhan, gue selama ini rawat gue sendiri bukan lo yang mengurus jadi jangan sok ngatur-ngatur gue lo,”Plak!Satu tamparan mendarat keras di pipiku, aku menahan kuat air mataku yang hampir
Namaku Levia Aliani, biasa dipanggil Levi, anak kedua dari dua bersaudara, dan saat ini aku hidup Sendiri jauh dari orang tua. Aku juga punya orang tua angkat dan kakak angkat yang lebih Menyayangiku dari pada kakakku sendiri, namanya Deren, dia satu-satunya orang yang aku percaya untuk menjaga diriku tentang apa pun itu. Aku merantau di kota lain dan aku bekerja di salah satu Perusahaan bidang jasa. Aku hanya seorang karyawan baru, bahkan aku tidak mengenal siapa pun Saat hari pertama masuk kerja. Langit sore tampak bersahabat, menemani aku yang tengah duduk sendirian di pinggiran pantai. Menunggu matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Deburan ombak dan angin laut yang menyapu rambutku menjadi beterbangan semakin membuatku merasa nyaman. Ditambah langit oren dan dipadu dengan birunya laut semakin membuat aku kagum dengan ciptaan Tuhan. Aku berharap jika kedatangan dan memilih kota ini untuk bekerja dan belajar memulai hidup yang baru tidak akan mengecewakan, setelah ha
Setelah selesai belanja, aku segera pulang. Tidak seperti biasanya, jalanan begitu sepi, padahal masih sore.“Woy!” seseorang menepuk bahuku.Ah, dia mengagetkanku. Rasanya ingin sekali menampar wajahnya. Tapi aku hanya bisa menahan emosiku.“Lev, apasi..... Kayak bocah lo!” bentak Andre.“Apa, lo baru tahu gue bocah?” dan untuk pertama kalinya juga aku menggunakan sebutan lo dan gue dengannya.“Iya, seharusnya lo tahu dari pagi gue jaga lo dan lo malah main kabur begitu saja, lo jaga diri saja tidak becus sok-sokan main kabur.”“Tanya diri lo sendiri, kenapa kalau tidak ikhlas nungguin segala, lagi pula selama ini memangnya lo yang rawat gue, lo baru kenal gue, lo kalau mau tahu orang kejauhan, gue selama ini rawat gue sendiri bukan lo yang mengurus jadi jangan sok ngatur-ngatur gue lo,”Plak!Satu tamparan mendarat keras di pipiku, aku menahan kuat air mataku yang hampir
yang akan menggangguku, setelah semua beres aku bersiap pulang, entah dimana sekarang berada, tidak biasanya ketika jam pulang ia menghilang begitu saja.“Lev,” sapa Andre membuat lamunanku buyar, tidak ada kata yang keluar dari mulutku, hanya saja. Aku menatapnya menunggu kata yang bakal dia katakan.“Pulang bareng ya, aku sudah bilang ke Aryan mau mengajak kamu jalan, lagian kamu kerja pulang ke kos tidur berangkat kerja lagi pulang tidur lagi, gitu terus siklusnya,” kata Andre menyinggungku. “Harus banget apa kalau mau mengajak aku itu pakai izin ke Aryan segala?” tanyaku pada Andre.“Mungkin gitu, lagian dia bakal bingung kalau kamu hilang begitu saja, makanya aku izin biar dia Tidak cari kamu.”“Iya sudah ayo cepat, sudah malas aku!” ajakku padanya, sedangkan Andre hanya menanggapi jawabanku dengan senyuman .“Rasanya kok aneh setiap aku melihat senyum Andre, batal mantai
Namaku Levia Aliani, biasa dipanggil Levi, anak kedua dari dua bersaudara, dan saat ini aku hidup Sendiri jauh dari orang tua. Aku juga punya orang tua angkat dan kakak angkat yang lebih Menyayangiku dari pada kakakku sendiri, namanya Deren, dia satu-satunya orang yang aku percaya untuk menjaga diriku tentang apa pun itu. Aku merantau di kota lain dan aku bekerja di salah satu Perusahaan bidang jasa. Aku hanya seorang karyawan baru, bahkan aku tidak mengenal siapa pun Saat hari pertama masuk kerja. Langit sore tampak bersahabat, menemani aku yang tengah duduk sendirian di pinggiran pantai. Menunggu matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Deburan ombak dan angin laut yang menyapu rambutku menjadi beterbangan semakin membuatku merasa nyaman. Ditambah langit oren dan dipadu dengan birunya laut semakin membuat aku kagum dengan ciptaan Tuhan. Aku berharap jika kedatangan dan memilih kota ini untuk bekerja dan belajar memulai hidup yang baru tidak akan mengecewakan, setelah ha