Namaku Levia Aliani, biasa dipanggil Levi, anak kedua dari dua bersaudara, dan saat ini aku hidup Sendiri jauh dari orang tua. Aku juga punya orang tua angkat dan kakak angkat yang lebih Menyayangiku dari pada kakakku sendiri, namanya Deren, dia satu-satunya orang yang aku percaya untuk menjaga diriku tentang apa pun itu. Aku merantau di kota lain dan aku bekerja di salah satu Perusahaan bidang jasa. Aku hanya seorang karyawan baru, bahkan aku tidak mengenal siapa pun Saat hari pertama masuk kerja.
Langit sore tampak bersahabat, menemani aku yang tengah duduk sendirian di pinggiran pantai. Menunggu matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Deburan ombak dan angin laut yang menyapu rambutku menjadi beterbangan semakin membuatku merasa nyaman. Ditambah langit oren dan dipadu dengan birunya laut semakin membuat aku kagum dengan ciptaan Tuhan. Aku berharap jika kedatangan dan memilih kota ini untuk bekerja dan belajar memulai hidup yang baru tidak akan mengecewakan, setelah hampir seharian penuh aku memulai bekerja dan beradaptasi dengan lingkungan baru membuatku sedikit pening dikepala aku memutuskan pulang mampir ke pantai, kebetulan jarak tempat kerja, pantai dan kos tempat aku tinggal berdekatan. Hari makin gelap matahari sebentar lagi juga menenggelamkan diri sepenuhnya, namun suasana pantai sungguh memanjangkan diriku sampai malas untuk pulang.
Sungguh kesepian yang benar-benar dapat aku rasakan, tidak ada teman bahkan tidak ada satu pun orang yang aku kenal, sedangkan handphone juga masih setia berdiam tanpa ada notifikasi sejak tadi siang, ini adalah malam kedua aku tidur di sini sejak kedatanganku dari kemarin sore. Bahkan hanya untuk memulai tidur sangat sulit, mungkin aku setuju dengan pepatah yang mengatakan bahwa, penyebab orang sulit tidur adalah rasa kesepian.
Hari semakin malam, namun aku masih sulit untuk memulai tidur. Seperti biasa saat merasa suntuk, resah ataupun kesepian aku memutar suara hujan, gemericik air atau suara alam yang lainnya. Bagiku suara alam yang natural adalah alunan tersendiri yang membawa aku lebih tenang dan damai. Perlahan-lahan mataku mulai tertutup hingga terbawa kealam tidur.
Rasanya baru saja aku memejamkan mata namun suara alarm sudah berbunyi pertanda pukul sudah menunjukkan jam empat pagi, sambil mengumpulkan nyawa aku melihat pesan di handphoneku, seperti biasa bang Deren selalu menanyakan kabarku, memastikan kesehatanku, bahkan hal terkecil kadang juga dipertanyakan. Bagiku kedatangan bang Deren dalam hidupku adalah anugerah paling indah dari Allah, Dulu pertama kali aku bertemu bang Deren adalah saat aku dibawa kekasihku ke rumahnya karena ada acara natal dan kumpul dengan keluarga masing-masing. Namun semua telah berakhir meskipun aku saling mencintai namun kami beda keyakinan, bahkan keluarga saling dekat tetapi sekuat apa pun tuhan kami sudah berbeda, satu amin dua iman, sudah jelas bukan sebaik-baik cinta ke hambanya ia akan lebih baik jika cinta ketuhanannya.
Aku juga tidak ingin merusak kepercayaan masing-masing, hingga akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan, namun pada saat itu ada kejadian yang tidak bisa dijelaskan hingga akhirnya aku diangkat anak oleh pamannya mantan kekasihku, dan itu ayahnya bang Deren, meskipun kami beda keyakinan, itu bukan suatu masalah. Bahkan aku selalu diajarkan untuk selalu menerima perbedaan dalam segi apa pun.
Setelah membalas pesan bang Deren aku bergegas ke kamar mandi membersihkan diri dan berlanjut sholat, tidak lupa selepas sholat dikir kemudian memohon kebaikan kepada Allah. Aku memohon kemudahan dan dilancarkan urusanku. Dan aku berharap hari ini jauh lebih baik dari hari kemarin. Setelah semua beres segera aku berangkat ke kantor, mungkin perjalanan lima menit ke kantor dari, oleh karena itu memilih perjalanan kaki, oh ya aku bekerja di pelabuhan divisi Pelayanan keuangan.
“Halo, levi ya?” sapa seorang perempuan.
“Iya kak, maaf kakak siapa ya?”
“Aku dewi, panggil saja Dewi tidak usah pakai kak biar lebih akrab.”
“Iya kak, eh Dewi maksudku.”
“Selamat bekerja ya. Kita satu devisi kok, semoga betah.”
“Iya, terima kasih.”
Hampir sehari penuh berhadapan dengan layar monitor dengan angka-angka yang membuat pening seisi kepalaku, beruntung sesekali dibantu teman yang lain yang sekaligus mengajakku kenalan, meskipun sebatas kenal dan masih canggung aku bersyukur setidaknya aku mengenal satu dengan yang lainnya.
“Sudah beres?” tanya Aryan.
“Sudah kak, terima kasih atas bantuannya tadi.”
“Iya sama-sama, kalau ada kesulitan jangan sungkan minta bantuan ke aku, Dewi ataupun lainnya, kita memang harus saling membantu” jelasnya padaku.
Jam sudah kerja sudah hampir habis, syukur pekerjaanku sudah beres meskipun hampir menguras otak dan tenaga, segera aku membereskan barang-barangku dan pulang, rasanya sudah tidak sabar aku ingin tidur, baru saja aku melangkahkan kakiku keluar dari ruangan namun badanku sudah oleng akibat ditabrak orang yang berlawanan denganku.
“Aduh bagaimana sih jalannya,” kesalku sambil berusaha berdiri dengan kaki yang terluka.
“Aduh maaf mbak tadi aku buru-buru, sekali lagi maaf mbak sampai mbak terluka begini, ayo mbak biar saya bantu,” katanya sambil membantuku berdiri namun segera kutepis karena terlanjur kesal “Iya tapi minggir dikit bisa kan mas, saya mau pulang ini,” kesalku.
“Kenapa Lev, kok kakimu berdarah begini?” tanya Dewi yang tiba-tiba datang dari belakangku.
“Jatuh Wi, tidak apa-apa luka dikit nanti sampai rumah diobati juga langsung sembuh” jelasku pada Dewi yang terlihat panik.
“Ya ampun, ini itu luka parah Lev, lihat darah berceceran begini, bengkak lagi kakimu,” panik Dewi.
“Maaf, tadi tidak sengaja aku tabrak, terus mbaknya terjatuh sampai kakinya terbentur ujung pintu,” jelasnya seseorang yang baru saja menabrakku
“ Lagian kamu selalu kebiasaan kalau jalan lari Ndre, lihat ini anak orang baru saja baru masuk kerja sudah kamu bikin celaka saja,” ketusnya Dewi
“Sudah Wi jangan di ributkan, lagian tidak sengaja dan aku baik-baik saja kok,” selaku agar tidak terjadi keributan.
“Iya sudah kamu pulang bareng Aryan saja Lev, Aryan searah kok sama kos kamu, nanti biar aku yang bilang. Dan kamu Ndre bawa Levi ke tanggung jawab kamu, tapi kalau Levi nya kenapa-kenapa aku lempar sekalian kamu ke dasar laut,” ancam Dewi lalu pergi.
Dengan langkah kaki yang begitu ngilu aku dibantu berjalan, tidak ada percakapan sedikit pun sampai dia bersihkan luka sekaligus mengobatinya, aku pun hanya diam sambil menahan sakit “Sudah,” katanya sambil berdiri.
“Makasih” jawabku singkat
“Maaf tadi aku tidak sengaja tabrak kamu, sampai bikin kamu terluka begini, perkenalkan aku Andre kamu siapa?”
“Levi.”
“Kapan kamu mulai bekerja, aku tidak lihat kamu sebelumnya,” tanyanya.
“Kemarin”
“Boleh aku nomor handphone kamu?”
“Nggak,” jawabku dengan sedikit membentak, jika saja kakiku mudah buat jalan kupastikan aku sudah pulang duluan sejak tadi dan istirahat dari pada duduk tidak jelas begini.
Setelah beberapa saat aku menunggu pintu terbuka, terlihat Aryan yang baru saja masuk sudah mengerti semua sama yang telah terjadi, mungkin Dewi sudah cerita semua.
“Sakit buat jalan, perlu aku bantuin?” tanya Aryan.
“Iya, tapi masih bisa jalan sendiri, terima kasih,” jawabku, lalu kulangkahkan kaki pergi meskipun terseok-seok, yang kupikirkan saat ini lebih baik aku cepat pulang dan cepat beristirahat. Selama perjalanan pulang sama sekali tidak ada percakapan, mungkin karena aku juga yang hanya menjawab pertanyaan dengan seadanya sehingga jadi canggung hingga akhirnya sampai.
“Terima kasih sudah diantar pulang.”
“Iya, semoga cepat sembuh,” katanya yang hanya kutanggapi dengan senyuman, lalu pergi.
Setelah selesai membersihkan diri sekaligus sholat segera kuhempaskan diriku ke kasur sambil main handphone, karena bingung iseng aku stalking akun mantan, padahal dia sudah bahagia dengan yang lain, tapi malah cari infonya, sungguh contoh manusia yang pintar cari penyakit hati sendiri bukan. Dan parahnya aku melihat foto berdua pamer kemesraan, tapi bukannya aku berhenti stalking malah aku lihat foto satu persatu sampai tidak sengaja aku malah kasih like fotonya. Dengan cepat aku batalkan like, bisa-bisa ketahuan stalking, entah dia tahu atau tidak yang penting aku batalkan. Rasanya aku ingin menceburkan diri ke dasar laut sekarang juga, malu ketahuan stalking iya, sakit hati iya.
Karena tidak ingin sakit lebih aku lebih memilih tidur, baru saja aku memejamkan mata tiba-tiba ada yang telepon, “sialan pasti mantan mau hina karena ketahuan gue masih suka kepoin” batinkui. Tanpa melihat siapa yang telepon aku angkat begitu saja.
“Apa telepon?” ketusku karena kesal
“Kenapa sih bocah tiba-tiba mengamuk tidak jelas begini?”
“ Eh, maaf aduh bang Deren ya kirain siapa gitu. Ada apa bang?”
“Makanya besok-besok kalau angkat telepon baca dulu, main angkat melulu, bagaimana kalau yang telepon atasan kamu, atau nggak calon mertua, mampus.”
“Mertua apa mertua, aduh bang aku itu lagi pusing, bete pokoknya aku lagi benci, benci banget malah jadi tolong peka sedikit kenapa,” omelku.
“Apanya yang peka orang tiba-tiba marah, lagi pms?”
“Bukan ya, aduh sumpah Levia lagi pusing, duh pusing aduh duh pusing banget ini, gimana ya?” kataku sambil mendramatis keadaan.
“Geli dengarnya dek, ada apa coba jangan muter-muter, aku mati in teleponnya,” ancamnya.
“Jadi tadi itu kerajaannya banyak banget sampai aku keteteran tidak sempat istirahat, mana mau minta bantuan masih canggung lagi, terus pas pulang itu capek lemes banget pengen cepet-cepet bobok eh malah dengan bodohnya aku ditabrak orang, mana badannya gede tinggi ya aku yang kecil kaya kurcaci jatuh sampai kaki berdarah sama terkilir. Terus akhirnya ditolong diantar pulang juga sama seseorang. Tapi sampai kos tidak bisa ke mana-mana karena gabut stalking mantan, dan tahu tidak bang katanya dia pengen sendiri tapi ternyata ada yang lain selain aku, eh fotonya malah keliru aku like, aduh pokoknya aku mau hapus hari ini, malu-maluin banget bang hiksss,” jelas ku.
“Kok bisa ditabrak, terus kenapa stalk mantan segala, kangen?”
“Ya orangnya saja yang salah masa aku jalan sudah benar ditabrak, sudah bang kayaknya kalau curhat ke kamu bukannya beres malah kaya menghadapi polda metro jaya, tanya mulu.”
“Dasar bocah, curhat nanggung banget namanya juga curhat ya tanya dan menanggapi lah, terus kaki kamu bagaimana masih sakit atau ada sakit yang lainnya?”
“Masih, kalau tidak aku mau keluyuran mumpung hati sedang tidak baik.”
“Biar sembuh dulu baru boleh keluyuran.”
“Benar aku boleh keluyuran di sini, yeahhh abang aku memang terbaik,” kataku girang.
“Boleh asal jaga diri baik-baik, satu lagi jangan pernah kecewakan dan merusak kepercayaan abang ke kamu.”
“Levi tidak janji, tapi Levi akan berusaha tidak pernah merusak kepercayaan abang.”
“Bagus, Levi sudah dewasa sudah tahu mana yang baik dan yang buruk, kuharap mengerti. Sudah malam sudah, cepat istirahat.”
“Iya terima kasih bang, selamat malam” tutupku lalu kumatikan teleponnya.
Seperti biasa aku selalu kesulitan memulai tidur, Semua kenangan buruk selalu datang saat mulai tidur, bahkan sering sekali menangis hingga badan gemetaran karena ketakutan jika mengingat semua memori buruk yang terjadi. Jika sudah begitu dua hal yang bakal terjadi, tidak bisa tidur sampai pagi atau bangun dalam keadaan sakit.
Sudah seminggu lamanya aku bekerja, rasa canggungku sudah mulai hilang, jika kemarin aku diajak bicara jawab seperlunya, sekarang sudah mulai akrab. Kakiku sembuh, bahkan kalau berangkat atau pulang kerja aku selalu nebeng Aryan, meskipun jarak kosku dan kantor tidak jauh Aryan memaksa bareng karena juga searah dengan kosnya. Bilangnya tidak enak dilihat orang karena naik motor sendiri searah tapi temannya dibiarkan jalan kaki sendirian.
“Sudah kelar Lev kerjaan kamu” tanya Aryan datang yang datang tiba-tiba
“Belum, tinggal dikit beres ini”
“Sini aku selesaikan, kamu beres-beres biar cepat pulang,” katanya sambil menggeser tempat dudukku.
“Masih setengah jam lagi Ar jam pulang, aku tidak mau ya kena mara.”
“Tidak ada yang mau marah, lihat komputer sudah pada mati tinggal punya kamu, tapi ini tinggal dikit beres, tinggal matikan juga.”
“Ok, terserah kamu, aku ngikut aja.”
Setelah beres aku hanya mengikuti kemana Aryan pergi, kebetulan semua juga sudah terlihat beres.
“Lev ke tempat penyeberangannya yuk?” ajak Aryan.
“Mau ngapain, enggak mau di sana banyak orang Ar” kataku memelas
“Tenang saja Lev, ada aku juga. Sekali-kali kamu lihat yang diluar masa mau yang di dalam ruangan terus,” katanya menenangkanku, sampai akhirnya aku mengikutinya dari belakang.
Hening, begitu sulit rasanya aku melalui hari-hariku, mungkin bukan karena hal aku jauh dari orang tua yang membuat aku merasa sulit, karena sejak kecil sudah di didik untuk mandiri dan terbiasa jauh dari orang tua. Tapi mungkin aku belum terbiasa dengan dunia kerja, dan belum terbiasa. Aku yang kemarin masih sekolah berbeda dengan yang sekarang baru merasakan bekerja, aku yang kemarin ada banyak teman dan aku yang sekarang masih sendiri belum ada teman, meskipun aku sudah percaya cepat atau lambat aku akan mempunyai teman yang baru untuk menemani hari-hariku.
“Levia,” bentak Aryan yang mengagetkanku
“Kenapa Ar?”
“Aku ajak ngomong dari tadi, tapi malah melamun.”
“Sudah kebiasaan.”
“Lev kamu tahu tidak kalau perempuan itu ibarat pelabuhan?”
“kok pelabuhan sih Ar, jangan mengada-ada kamu.”
“Iya perempuan itu pelabuhan tempat berlabuh hati, sejauh apa pun kapal berlayar ia akan kembali di mana ia tempat berlabuh sama halnya manusia jika ia adalah tempatnya berlabuh sejauh apa pun pergi pasti akan kembali,” jelas Aryan
“Apa kamu sekarang sedang berlayar dan akan kembali?”
“Aku berlayar tapi belum ada tempat berlabuh.”
“Dasar buaya.”
“kok buaya sih Lev, baru kenal sudah mengatai nih,” elak Aryan tidak terima.
“Biarin, aku mau pulang atau aku pulang sendiri?”
“Iya-iya kita pulang”
“Aku dan kamu bukan kita,” tegasku
“Iya, bebas kamu mah, asal bahagia.
Hari demi hari terlewati dari aku yang terbiasa hidup di kos sendiri, aku yang mulai akrab dengan orang sekitar, teman bekerja dan mulai mempunyai teman dekat. Terutama Aryan, di mana dia adalah seorang tempat aku cerita, mengeluh saat lelah bekerja, bahkan mengeluh saat kesepian setelah pulang bekerja, dia adalah orang pertama yang aku cari untuk aku ganggu biar aku tidak merasa kesepian. Bagi aku mengganggu ketenangan Aryan adalah sebuah kesenangan tersendiri bagiku, meskipun pada akhirnya aku akan kena marah dan nasihat sok bijak dan tidak jelas alurnya. Selain aku merasa dekat karena dia berasal dari kota yang sama denganku karena Aryan juga yang membantu aku saat awal aku mulai bekerja, dia orang pertama yang mengarahkan dan membimbing aku saat bekerja, meskipun dengan sikapnya yang selalu berubah-ubah kenyataannya jam bekerja yang berantakan, pekerjaan yang tidak sesuai bidangku, bahkan sudah hampir dua bulan bekerja aku tetap merasa keteteran sama yang aku kerjakan, namun aku beruntung bertemu dengan seorang teman-teman yang selalu siap membantu. Dengan semangat yang telah kumpulkan aku melangkah kan kakiku, terlihat handphone berdering, kulihat Aryan meneleponku.
“Halo,” sapaku, tumben pagi begini Aryan sudah meneleponku.
“Al cepat bersiap ya, aku disuruh jemput kamu sama teman lain, ada meeting katanya. Jangan sampai telat nanti,” jelasnya padaku.
“Iya,” jawabku singkat, langsung kumatikan teleponnya tanpa bilang apa pun. Sudah kupastikan Aryan sedang mengomel tidak jelas atau bahkan mengumpat karena ulahku, namun aku tidak peduli Karena yang aku pikirkan sekarang hanya datang ke kantor tepat waktu agar tidak terkena sanksi dan pastinya agar Aryan tidak perlu menungguku.
“Cie semakin akrab ini iya ceritanya Levi sama Aryan,” celetuk Dewi saat aku baru datang dikantor bersamaan dengan Aryan.
“Namanya juga teman kerja Wi, kamu juga dekat sama Andre, apa bedanya Coba? Aku bareng Aryan kalian juga tadi yang menyuruh” elakku pada teman kerja yang lain, sedangkan Aryan sudah terbiasa dengan sikap batunya yang tidak mau ngomong apa pun dan tidak peduli, kecuali terpaksa, bahkan saat diancam ditabok pun iya hanya diam sambil menunjukkan sikap dingin dan songongnya.
“Siapa yang suruh sih Lev? Itu hanya alibi Aryan doang biar bisa dekat sama kamu. Atau mungkin takut kamu hilang karena diam-diam ada yang culik kamu, padahal kalau diculik pasti juga Ketahuan penculiknya, siapa, iya kan Ndre?” kata Dewi sedangkan Andre hanya menanggapi perkataan Dewi dengan senyuman saja.
“Terserah kalian, kalau bercanda ingat kerja, tahu sendiri kan si ketua sedikit- sedikit marah melulu kerjanya.”
Tidak terbayang jika aku sekarang diposisi ini, sekarang aku punya sahabat seperti Dewi yang cerewet, Andre yang banyak maunya, kadang manja kadang suka marah tidak jelas dan Aryan si es batu dan playboy yang suka membuat aku jengkel dan membuat jiwa usilku selalu bangkit.
Entah apa yang telah terjadi, perasaan untuk berhenti dan mengundurkan diri sering datang akhir-akhir ini, kadang merasa sulit, kadang tidak tenang, kadang merasa bersalah dan perasaan buruk lainnya yang mengganggu dan mengusikku.
Sore itu cuaca terlihat, dengan cepat aku menyelesaikan pekerjaanku, ingin rasanya cepat pulang lalu pergi ke pantai untuk menikmati senja, senja yang selalu kurindukan sejak pertama aku menginjakkan kakiku di tempat ini, di mana aku bisa menikmati kesendirianku tanpa seorang pun
yang akan menggangguku, setelah semua beres aku bersiap pulang, entah dimana sekarang berada, tidak biasanya ketika jam pulang ia menghilang begitu saja.“Lev,” sapa Andre membuat lamunanku buyar, tidak ada kata yang keluar dari mulutku, hanya saja. Aku menatapnya menunggu kata yang bakal dia katakan.“Pulang bareng ya, aku sudah bilang ke Aryan mau mengajak kamu jalan, lagian kamu kerja pulang ke kos tidur berangkat kerja lagi pulang tidur lagi, gitu terus siklusnya,” kata Andre menyinggungku. “Harus banget apa kalau mau mengajak aku itu pakai izin ke Aryan segala?” tanyaku pada Andre.“Mungkin gitu, lagian dia bakal bingung kalau kamu hilang begitu saja, makanya aku izin biar dia Tidak cari kamu.”“Iya sudah ayo cepat, sudah malas aku!” ajakku padanya, sedangkan Andre hanya menanggapi jawabanku dengan senyuman .“Rasanya kok aneh setiap aku melihat senyum Andre, batal mantai
Setelah selesai belanja, aku segera pulang. Tidak seperti biasanya, jalanan begitu sepi, padahal masih sore.“Woy!” seseorang menepuk bahuku.Ah, dia mengagetkanku. Rasanya ingin sekali menampar wajahnya. Tapi aku hanya bisa menahan emosiku.“Lev, apasi..... Kayak bocah lo!” bentak Andre.“Apa, lo baru tahu gue bocah?” dan untuk pertama kalinya juga aku menggunakan sebutan lo dan gue dengannya.“Iya, seharusnya lo tahu dari pagi gue jaga lo dan lo malah main kabur begitu saja, lo jaga diri saja tidak becus sok-sokan main kabur.”“Tanya diri lo sendiri, kenapa kalau tidak ikhlas nungguin segala, lagi pula selama ini memangnya lo yang rawat gue, lo baru kenal gue, lo kalau mau tahu orang kejauhan, gue selama ini rawat gue sendiri bukan lo yang mengurus jadi jangan sok ngatur-ngatur gue lo,”Plak!Satu tamparan mendarat keras di pipiku, aku menahan kuat air mataku yang hampir