Mobil mewah berwarna silver yang Levin kemudikan berjalan masuk melewati pekarangan luas gedung kantor AJ Crop.
Rafael yang mengetahui bos besarnya telah sampai, memberitahukan kepada semua pegawai untuk menyambut kedatangannya.Dengan mengangkat kepala dan menegakkan dada kekarnya, Levin berjalan santai melewati para pegawai yang saling bersahutan menyapanya. Namun sapaan mereka tidak ada balasan. Levin hanya lewat tanpa perkataan.Rafael mendekat. Saat berada di depan Levin, ia membungkuk tubuh berikan penghormatan. "Selamat siang Pak Pak Levin," sapa Rafael lembut."Em … Pak Hasby ada di ruang pribadi Almarhum Pak Ryder. Dia bilang ingin bicara sebentar denganmu," ujar Rafael."Kalau begitu ikutlah bersamaku ke ruangan pribadi almarhum Ayahku!" sahut Levin ke tempat dimana mantan asisten ayahnya menunggu.Mereka masuk ke dalam lift khusus direktur. Rafael menekan tombol ke lantai 56, tempat dimana ruang pribadi ayah Levin. Tidak ada percakapan walau hanya sepatah kata di dalam lift hingga sampai ke lantai 56.Setelah pintu lift terbuka, mereka pergi ke sebuah ruangan yang pintunya telah terbuka lebar. Ruangan itu sudah tiga tahun kosong. Meskipun kosong tidak terawat lagi, keadaan di dalamnya masih sangat bersih dan semua barang tersusun rapi."Ehem …." Levin mendehem.Sontak perhatian seorang pria yang dua tahun lebih tua dari Levin itu bangkit dari duduknya. Ia membungkuk, memberikan penghormatan kepada ahli waris perusahaan terbesar yang pernah menjadi tempatnya sebagai salah satu orang penting."Ada perlu apa datang kemari, Pak Hasby?" tanya Levin sembari duduk di kursi almarhum sang ayah. Sebelum menjawab, Levin sebenarnya sudah tahu apa sebab akibat datangnya pria itu."Ada suatu hal yang ingin aku sampaikan. Ini masalah hak waris sebagai anak dari Tuan Ryder," tutur Hasby mengisyaratkan dengan mata yang langsung Levin mengerti.Sebentar Hasby melirik keberadaan Rafael di sebelah Levin. Pria muda itu berdiri menghormati dua orang petinggi di kantor AJ Crop."Tuan Levin, bolehkan asistenmu ini keluar! Pembicaraan kita ini serius. Bersifat rahasia," bisik Hasby, tetap terdengar oleh Rafael.Rafael yang mengerti, mendengus kesal mendapatkan pengusiran secara tidak hormat oleh Hasby. Namun ia masih berada di sana, terkecuali Levin sendiri yang memerintahkan ia keluar.Sebentar Levin melirik jam tangannya. "Masih ada lima belas menit lagi rekan kerjaku datang ke sini. Siapkan segala berkas yang kemarin sudah kita siapkan!" perintah Levin terus berjalan menuju ke lift. Rafael membuntuti di belakang."Baik Pak Levin," sahut Rafael beranjak dari ruanganMeskipun Rafael penasaran ada apa dengan dengan pertemuan antara Levin dengan Hasby, ia tidak bisa memaksakan diri untuk tahu. Sebab Levin telah mengusirnya. Berarti masalah yang mereka bicarakan sangat bersifat rahasia tidak boleh diketahui orang lain.Rafael mendengus kesal seraya keluar dari ruang bekas milik ayah Levin. "Ah menyebalkan sekali," gerutu Rafael setelah menutup rapat pintu dari luar ruangan."Silakan!" perintah Levin menyuruh Hasby mulai berbicara."Bagaimana masalah warisan Tuan Ryder? Apakah kamu menyanggupinya?" tanya Hasby langsung pada inti pembahasan."Bila kematian ayah angkatmu mencapai empat tahun, maka semua harta yang seharusnya jatuh ke tanganmu akan diberikan kepada pemerintah. Dan kamu tidak mendapatkan apa-apa," tegas Hasby menekankan.Biasanya bila membahas tentang pernikahan dan warisan, Levin selalu tegang. Namun lain dengan hari ini. Pria muda itu tampak tenang. Malahan bibirnya masih bisa untuk tersenyum membalas ketegangan di wajah Hasby."Ingat, Vin! Bila kamu belum menikah juga, semua harta peninggalan ayah angkatmu akan diserahkan ke panti asuhan. Dan kamu akan kehilangan semua harta peninggalannya sebagai anak angkat," jelas Hasby mengingatkan.Levin menanggapi sangat santai, bahkan sebelah kakinya naik ke atas meja dan bergoyang-goyang. "Pak Hasby tidak perlu risau! Satu bulan lagi aku juga akan menikah," sahut Levin tersenyum miring."Tapi, pernikahanku ini tidak boleh disampaikan ke media sosial! Orang lain tidak boleh tahu. Termasuk Rafael, asistenku sendiri. Hanya Pak Hasby dan pengacara mendiang Ayahku yang mengetahuinya," tutur Levin berbisik.Hah? Seketika Hasby membelalakkan mata. Menatap sinis penampilan wajah datar Levin. "Jangan bilang kamu nikah kontrak?" duga Hasby. Demi harta, tidak berkemungkinan Levin akan melakukan pernikahan sebatas keperluan semata."Hal bodoh itu tidak mungkin aku lakukan," gertak Levin."Aku menikah beneran di depan penghulu nanti," jawab Levin semakin membingungkan Hasby yang otaknya belum menyambung."Lantas kenapa pernikahanmu di rahasiakan? Apa sesuatu?" tanya Hasby penasaran."Aku dan ayahnya sama-sama membutuhkan. Aku butuh istri, dan ayahnya butuh biaya berobat. Maka dari itu, aku menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Satu miliar aku berikan untuk biaya berobat ayahnya. Sebagai timbal baliknya putrinya harus menikah denganku," tutur Levin tersenyum miring.Sambil mendengarkan tutur kata Levin, Hasby sesekali mengangkat gelas air teh hangat dan menyerapnya beberapa tegukan."Begitu boleh, 'kan? Lagian aku ini tidak punya kekasih hati. Mau nikah sama siapa coba. Kalau nggak pake cara begitu, bisa jadi gembel aku." Levin menggelengkan kepala tidak sudi."Tentu saja boleh. Ada banyak cara yang dapat kamu lakukan," tutur Hasby tersenyum simpul."Satu bulan lagi acara pernikahanku, jangan lupa datang yah! Kamu adalah satu-satunya tamu undangan yang aku sendiri mengundang," perintah Levin."Pasti aku akan hadir. Kamu adalah putra dari bosku. Mana mungkin aku melewatkan pesta pernikahanmu. Ya walaupun penikahanmu dengan gadis itu dirahasiakan, aku yakin acaranya juga pasti akan meriah," ujar Hasby kemudian melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya."Saya rasa ini waktunya bagiku untuk pergi! Tidak lama lagi rekan kerjamu tiba di sini. Aku tidak ingin menguras waktu meetingmu. Sampai jumpa di lain waktu!" Hasby bangkit dari duduk.Levin beserta Hasby keluar dari ruangan itu. Mereka masuk ke dalam lift yang berbeda. Tujuan mereka yang berbeda memisahkan mereka. Levin hendak masuk ke ruangan pribadinya di lantai 55.Dua jam berlalu, meeting pun telah selesai. Levin pulang ke rumah. Ia menghubungi beberapa orang desainer ternama untuk desain gaun pengantin yang akan dikenakan Anna untuk bersanding di pelaminan bersama dengannya. Ya walaupun pernikahan ini bukanlah pernikahan yang sebenarnya Levin inginkan, ia harus melaksanakan acara pernikahan dengan meriah."Aku akan membuatnya bahagia di hari pernikahan. Setelah itu, nikmatilah hari-hari menderita. Takkan pernah aku lepaskan orang yang telah membuat hidupku menderita," gumam Levin menatap di pantulan wajahnya cermin."Anna, Anna, kamu tidak akan pernah bisa lepas dari genggamanku. Kamu harus merasakan sakit yang dulu aku dan Mayra rasakan," lanjut Raka menatap tajam ke depan.Senyum licik tergambar di bibirnya. Anna telah masuk dalam perangkap, saatnya menjalankan rencana membalas dendam dengan dalih memanfaatkan.Tidak terasa satu bulan telah terlewati. Keadaan Rendy telah membaik bahkan diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Dan bertepatan di hari pernikahan putrinya dengan Levin, seorang CEO muda putra dari mantan sahabat Rendy sendiri.Selama itu juga Anna tidak lagi berangkat ke sekolah. Ia fokus menyiapkan diri sebagai pembelian wanita. Levin mengirim anak buah mengatur acara. Dan menyewa jasa desainer ternama untuk membuatkan gaun pengantin mewah buat Anna. Biarpun pernikahannya dengan Anna hanya sebatas pemanfaatan semata, Levin tetap mengadakan acara meriah. Walau tidak mengundang orang-orang terdekatnya.Di dalam kamar, Anna sedang didandani oleh seorang perias terkenal di Kalimantan. Wajah pucatnya berhasil disulap bagaikan sosok bidadari. Gaun pengantin yang ia kenakan sangat menawan dan mewah. Harganya pun tidak ramah di dompet."Kamu sangat cantik sekali," puji perias menatap wajah Anna di pantulan kaca.Bahkan Anna sendiri tidak menyangka, wajahnya bisa secantik itu. "Terima kasih!
"Silakan!" sahut keduanya merentangkan tangan mengisyaratkan Levin beranjak dari sana.Berlalu Levin, Hasby dan Agung meninggalkan acara pernikahan super duper mewah itu. Memang sudah saatnya mereka pergi, acaranya telah selesai.Levin kembali mendatangi Anna yang menunggu suaminya selesai berbicara dengan dua orang asing. Anna tidak ingin beranjak sendirian dari pelaminan."Sudah selesai, Mas?" tanya Anna bangkit dari duduknya. "Kalau gitu tolong bawa aku masuk ke dalam rumah! Kepalaku sakit sekali. Aku tidak sanggup terus mengenakan pakaian ini," pinta Anna nafasnya ngos-ngosan."Ayo kita masuk," sahut Levin menggerakkan tangan menggendong tubuh mungil Anna dan membawanya beranjak dari pelaminan."Ganti pakaianmu!" perintah Levin mendudukkan tubuh Anna di kursi depan meja hias.Sambil menunggu Anna mengganti pakaian, Levin melepaskan jasnya, menyalakan kipas angin dan membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ponsel yang seharian tidak disentuhnya, kini menjadi objek perhatian.Meski sta
Sungguh Anna tidak nyaman berduaan begini dengan Levin yang tidak bersuara. Seolah di dalam mobil hanya ada dia seorang, sedangkan Anna dianggap gaib."Mas Levin diam dari tadi," batin Sella gelisah tidak karuan."Dia bukan pria pendiam. Tapi kok bisa-bisanya dia menciptakan suasana hening gini," lanjut Anna menghela nafas panjang.Pada akhirnya Anna membuka mulutnya memulai percakapan. Di sini tidak akan tercipta kehangatan jika satu sama lain diam tidak berani memulai.."Mas, kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Anna menyentuh pundak sebelah kiri Levin.Menoleh sebentar, Lebin menganggukkan pelan kepalanya. Lalu wajahnya kembali fokus dengan jalanan yang perlahan gelap karena malam tiba.Selepas itu tidak ada percakapan lagi. Anna tidak ingin mengganggu konsentrasi Levin yang tengah menyelipkan mobil di sela kemacetan hari minggu.Mungkin juga karena kelelahan, Levin malas membuka mulut. Seharian penuh menjadi pengantin. Kadang duduk berdiri menjabat tangan ribuan tamu undangan. Anna y
Di kamar! Malam pertama! Oh astaga! Jantung Anna mulai berdetak kencang. Gadis polos macam Anna belum pernah sebelumnya menjalin cinta. Jangankan menjalin cinta, punya teman pria saja Anna tidak."Rapikan barang yang kamu bawa!" perintah Levin meletakkan tas bawaan Anna di samping ranjang. "Aku mau mandi. Tubuhku sangat lelah dan berbau keringat. Aku tidak bisa tidur dengan keadaan seperti ini," ujarnya.Levin membuka lemari, mengambil handuk miliknya. Lalu melenggang pergi masuk ke kamar mandi, meninggalkan Anna yang sibuk mengeluarkan pakaian di dalam tas.Memang Anna masih polos, tetapi pikirannya terngiang-ngiang bagaimana menjalankan malam pertama ini dengan Levin. Pria yang baru saja ia kenal.Sesaat kemudian, Levin keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk di pinggang, sementara bagian atasnya telanjang memperlihatkan bentuk dada putih bidang, seksi nan kekar. Tubuh Levin begitu sempurna.Anna menggigit bibir hingga berbekas barisan gigi di bibirnya. Pria itu sanga
"Akh …." Levin mendorong masuk lebih jauh ke dalam inti Anna, hingga gadis itu ternganga tidak kuasa menahan rasa sakitLevin merasakan ujung kenikmatan pada malam ini. Biarpun kaya, Levin tidak pernah menggunakan kekayaan untuk menyewa jasa wanita jalang. Wajar jika Levin begitu menikmati tubuh Anna di malam pertama mereka sebagai suami istri.Semakin pria itu memperkencang hentakan, yang membuat Anna terkulai lemah tidak berdaya."Pelan-pelan, Mas!" ucap Anna meremas selimut. Hingga keadaan kasur yang tadi rapi, kini berantakan akibat permainan mereka.Meskipun Anna telah lelah, Levin mengindahkan permintaannya. Ia malah sebaliknya memperkencang hentakkan pinggang. Semakin membuat Anna lemas.Tes! Keringat Levin berjatuhan membasahi wajah Anna. Hingga tiga jam berlalu, Levin masih saja bermain. Sampai Anna tertidur pulas di bawah tubuhnya."Kamu begitu memuaskanku," pujinya meremas kedua belah dada Anna. Mengisapnya, menggigit daun telinga wanita itu hingga membekaskan luka kecil be
Ingat habis melakukan apa, segera Anna menarik selimut dan menutupi tubuh polosnya dari pandangan mata Levin, meskipun Levin adalah suaminya sendiri."Buat apa malu begitu, bukankah tadi malam aku sudah melihat tubuhmu seutuhnya. Bahkan kita juga telah menyatu," tutur Levin menatap datar wajah Anna yang timbul semburat merah jambu."Aku masih belum terbiasa," ucap Anna terbata-bata.Levin mendengus kesal sembari mengambil pakaian Anna yang berserakan di lantai. Dilemparkan ke tubuh Anna. "Cepat pakai pakaianmu!" titahnya.Anna hanya mengangguk seraya mengambil pakaian dan mengenakannya secara cepat sebab Levin sedari tadi memaksanya cepat."Segera siapkan aku sarapan! Hari ini aku harus ke kantor," perintah menarik tangan Anna bangkit dari tempat tidur.Belum sempat beranjak dari kamar, Anna memberatkan kaki beranjak dari sana. "Ke kantor, Mas? Kenapa harus pergi? Kita nikmati saja hari pertama usia pernikahan kita," tanya Anna melarang Levin pergi ke luar rumah.Mendengar Anna melaran
Setengah jam berlalu, sarapan yang Anna siapkan telah selesai diolah. Siap diantar ke meja makan. Namun kedatangan Anna terlambat, Levin sudah duduk dengan gelisah di kursi meja makan di ruang makan."Cepatlah!" teriak Levin nyaring. Sesekali melirik jam tangan, sebentar lagi waktunya berangkat ke kantor. Gara-gara Anna, ia agak sedikit terlambat."Sebentar!" sahut Anna seraya membawa piring berisi nasi goreng dengan telur oseng dan sayuran ke ruang makan.Begitu tiba di sana, Anna meletakkan piring tadi di atas meja, tepat di depan Levin. "Ini, Mas. Silakan dimakan!" ujar Anna meletakkan piring berisi nasi goreng dengan sayuran dan telur oseng sebagai menyedap rasa."Astaga! Lama aku menunggu, cuman dihidangkan masakan kayak begini." Levin mendesis kesal."Maaf Mas! Lagian masak nasi goreng simple. Tidak memakan waktu yang lama," sahut Anna membujuk Levin agar tidak mempermalahkan masakannya.Dikarenakan waktu semakin berjalan dan Levin harus segera pergi ke kantor, memaksanya memaka
"Sudah tau aku miskin, kenapa kamu mau menikahiku? Bukankah ada banyak wanita cantik dan sederajat denganmu?" tanya Anna menyeka air mata yang tidak mau berhenti menetes.Tidak ada sahutan langsung, senyum miring terlukis di bibir Levin tarkala melihat wajah tegang Anna. "Anna, Anna, jangan kepedean jadi orang. Aku mau menikah denganmu, bukan karena aku menyukai wajah jelekmu. Ya aku hanya ingin berbaik hati membantu Ayahmu yang bau tanah itu. Kebetulan aku juga butuh wanita penghangat ranjang. Sekalian saja aku beri tawaran bantuan dengan imbalan dirimu," tutur Levin tanpa perasaan.Jedarrr! Seketika hati Anna tersambar.Kemarin adalah hari bahagia bagi Anna, menjadi seorang istri sah dari seorang pria tampan, CEO muda, dan putra dari sahabat ayahnya. Ia berharap hidupnya akan terus menerus bahagia hidup sebagai istri Levin. Namun pada hari pertama rumah tangga mereka ini, kebahagiaan kemarin datang hanya sesaat."Kamu jahat, Mas!" teriak Anna histeris."Aku nggak jahat kok. Aku ini b
Tangan Anna terlihat begitu gemetaran. Dan itu dilihat oleh Levin. Senyuman miring tersungging di bibirnya. Anna benar-benar ketakutan terhadap dirinya."Aku tidak menerima alasanmu!" gertak Levin melipat tangan di dada. "Kamu pikir aku tidak tau siapa dirimu. Maklum habis jadi anak orang kaya. Mendadak miskin ya hidupnya jadi melarat gini," sindirnya memutar bola mata, perkataannya sangat menusuk hati Anna.Sementara Anna hanya diam dan bungkam. Memang kenyataannya seperti yang Levin katakan. Selama hidup di rumah mewah, Anna tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah. Semua diurus pembantu rumah tangga.Tangan kekar pria itu menarik kerah bajunya, mengangkat tubuhnya sampai kaki tidak dapat lagi menyentuh lantai. Hingga lehernya tercekik."Ah, Mas leherku!" jeritnya menepuk-nepuk tangan Levin berharap pria itu memelankan pegangan.Tiba-tiba Levin melepaskannya begitu saja, menjatuhkan tubuh mungil Anna ke lantai. Tidak berselang lama, Levin menarik rambut Anna, memaksanya kembali berd
Permainan tadi malam, berhasil membuat Levin terlena. Sepanjang mengerjakan pekerjaan kantor, pikiran Levin tidak berada di tempatnya."Sialan! Kenapa aku malah terjebak nafsuku sendiri?" gumam Levin saat berada sendirian di dalam ruangannya. "Ingatlah tujuan awalmu! Jangan sampai kenikmatan melarutkanmu dalam delima."Gara-gara itu, Levin tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya. Dia memilih untuk pulang lebih awal dengan alasan tidak enak badan. Akan tetapi beda tanggapan pegawai di kantornya. Mereka malahan melihat Levin sangat sehat, tampak wajahnya ceria lebih dari kemarin.Langkah kaki Levin begitu cepat menyusuri koridor kantor AJ Crop. Para pegawai yang menyapa, diabaikan segitu saja. Mereka tidak tersinggung, sebab tingkah laku Levin memang angkuh.Tiba-tiba … bruk! Seorang gadis mengenakan dress ketat dengan setelan jas hitam terjatuh di lantai setelah tertabrak tubuh kekar Levin."Arghhh," jeritnya saat merasakan sakit di tulang punggungnya terhentak di lantai keramik."Ups …
"Sudah tau aku miskin, kenapa kamu mau menikahiku? Bukankah ada banyak wanita cantik dan sederajat denganmu?" tanya Anna menyeka air mata yang tidak mau berhenti menetes.Tidak ada sahutan langsung, senyum miring terlukis di bibir Levin tarkala melihat wajah tegang Anna. "Anna, Anna, jangan kepedean jadi orang. Aku mau menikah denganmu, bukan karena aku menyukai wajah jelekmu. Ya aku hanya ingin berbaik hati membantu Ayahmu yang bau tanah itu. Kebetulan aku juga butuh wanita penghangat ranjang. Sekalian saja aku beri tawaran bantuan dengan imbalan dirimu," tutur Levin tanpa perasaan.Jedarrr! Seketika hati Anna tersambar.Kemarin adalah hari bahagia bagi Anna, menjadi seorang istri sah dari seorang pria tampan, CEO muda, dan putra dari sahabat ayahnya. Ia berharap hidupnya akan terus menerus bahagia hidup sebagai istri Levin. Namun pada hari pertama rumah tangga mereka ini, kebahagiaan kemarin datang hanya sesaat."Kamu jahat, Mas!" teriak Anna histeris."Aku nggak jahat kok. Aku ini b
Setengah jam berlalu, sarapan yang Anna siapkan telah selesai diolah. Siap diantar ke meja makan. Namun kedatangan Anna terlambat, Levin sudah duduk dengan gelisah di kursi meja makan di ruang makan."Cepatlah!" teriak Levin nyaring. Sesekali melirik jam tangan, sebentar lagi waktunya berangkat ke kantor. Gara-gara Anna, ia agak sedikit terlambat."Sebentar!" sahut Anna seraya membawa piring berisi nasi goreng dengan telur oseng dan sayuran ke ruang makan.Begitu tiba di sana, Anna meletakkan piring tadi di atas meja, tepat di depan Levin. "Ini, Mas. Silakan dimakan!" ujar Anna meletakkan piring berisi nasi goreng dengan sayuran dan telur oseng sebagai menyedap rasa."Astaga! Lama aku menunggu, cuman dihidangkan masakan kayak begini." Levin mendesis kesal."Maaf Mas! Lagian masak nasi goreng simple. Tidak memakan waktu yang lama," sahut Anna membujuk Levin agar tidak mempermalahkan masakannya.Dikarenakan waktu semakin berjalan dan Levin harus segera pergi ke kantor, memaksanya memaka
Ingat habis melakukan apa, segera Anna menarik selimut dan menutupi tubuh polosnya dari pandangan mata Levin, meskipun Levin adalah suaminya sendiri."Buat apa malu begitu, bukankah tadi malam aku sudah melihat tubuhmu seutuhnya. Bahkan kita juga telah menyatu," tutur Levin menatap datar wajah Anna yang timbul semburat merah jambu."Aku masih belum terbiasa," ucap Anna terbata-bata.Levin mendengus kesal sembari mengambil pakaian Anna yang berserakan di lantai. Dilemparkan ke tubuh Anna. "Cepat pakai pakaianmu!" titahnya.Anna hanya mengangguk seraya mengambil pakaian dan mengenakannya secara cepat sebab Levin sedari tadi memaksanya cepat."Segera siapkan aku sarapan! Hari ini aku harus ke kantor," perintah menarik tangan Anna bangkit dari tempat tidur.Belum sempat beranjak dari kamar, Anna memberatkan kaki beranjak dari sana. "Ke kantor, Mas? Kenapa harus pergi? Kita nikmati saja hari pertama usia pernikahan kita," tanya Anna melarang Levin pergi ke luar rumah.Mendengar Anna melaran
"Akh …." Levin mendorong masuk lebih jauh ke dalam inti Anna, hingga gadis itu ternganga tidak kuasa menahan rasa sakitLevin merasakan ujung kenikmatan pada malam ini. Biarpun kaya, Levin tidak pernah menggunakan kekayaan untuk menyewa jasa wanita jalang. Wajar jika Levin begitu menikmati tubuh Anna di malam pertama mereka sebagai suami istri.Semakin pria itu memperkencang hentakan, yang membuat Anna terkulai lemah tidak berdaya."Pelan-pelan, Mas!" ucap Anna meremas selimut. Hingga keadaan kasur yang tadi rapi, kini berantakan akibat permainan mereka.Meskipun Anna telah lelah, Levin mengindahkan permintaannya. Ia malah sebaliknya memperkencang hentakkan pinggang. Semakin membuat Anna lemas.Tes! Keringat Levin berjatuhan membasahi wajah Anna. Hingga tiga jam berlalu, Levin masih saja bermain. Sampai Anna tertidur pulas di bawah tubuhnya."Kamu begitu memuaskanku," pujinya meremas kedua belah dada Anna. Mengisapnya, menggigit daun telinga wanita itu hingga membekaskan luka kecil be
Di kamar! Malam pertama! Oh astaga! Jantung Anna mulai berdetak kencang. Gadis polos macam Anna belum pernah sebelumnya menjalin cinta. Jangankan menjalin cinta, punya teman pria saja Anna tidak."Rapikan barang yang kamu bawa!" perintah Levin meletakkan tas bawaan Anna di samping ranjang. "Aku mau mandi. Tubuhku sangat lelah dan berbau keringat. Aku tidak bisa tidur dengan keadaan seperti ini," ujarnya.Levin membuka lemari, mengambil handuk miliknya. Lalu melenggang pergi masuk ke kamar mandi, meninggalkan Anna yang sibuk mengeluarkan pakaian di dalam tas.Memang Anna masih polos, tetapi pikirannya terngiang-ngiang bagaimana menjalankan malam pertama ini dengan Levin. Pria yang baru saja ia kenal.Sesaat kemudian, Levin keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk di pinggang, sementara bagian atasnya telanjang memperlihatkan bentuk dada putih bidang, seksi nan kekar. Tubuh Levin begitu sempurna.Anna menggigit bibir hingga berbekas barisan gigi di bibirnya. Pria itu sanga
Sungguh Anna tidak nyaman berduaan begini dengan Levin yang tidak bersuara. Seolah di dalam mobil hanya ada dia seorang, sedangkan Anna dianggap gaib."Mas Levin diam dari tadi," batin Sella gelisah tidak karuan."Dia bukan pria pendiam. Tapi kok bisa-bisanya dia menciptakan suasana hening gini," lanjut Anna menghela nafas panjang.Pada akhirnya Anna membuka mulutnya memulai percakapan. Di sini tidak akan tercipta kehangatan jika satu sama lain diam tidak berani memulai.."Mas, kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Anna menyentuh pundak sebelah kiri Levin.Menoleh sebentar, Lebin menganggukkan pelan kepalanya. Lalu wajahnya kembali fokus dengan jalanan yang perlahan gelap karena malam tiba.Selepas itu tidak ada percakapan lagi. Anna tidak ingin mengganggu konsentrasi Levin yang tengah menyelipkan mobil di sela kemacetan hari minggu.Mungkin juga karena kelelahan, Levin malas membuka mulut. Seharian penuh menjadi pengantin. Kadang duduk berdiri menjabat tangan ribuan tamu undangan. Anna y
"Silakan!" sahut keduanya merentangkan tangan mengisyaratkan Levin beranjak dari sana.Berlalu Levin, Hasby dan Agung meninggalkan acara pernikahan super duper mewah itu. Memang sudah saatnya mereka pergi, acaranya telah selesai.Levin kembali mendatangi Anna yang menunggu suaminya selesai berbicara dengan dua orang asing. Anna tidak ingin beranjak sendirian dari pelaminan."Sudah selesai, Mas?" tanya Anna bangkit dari duduknya. "Kalau gitu tolong bawa aku masuk ke dalam rumah! Kepalaku sakit sekali. Aku tidak sanggup terus mengenakan pakaian ini," pinta Anna nafasnya ngos-ngosan."Ayo kita masuk," sahut Levin menggerakkan tangan menggendong tubuh mungil Anna dan membawanya beranjak dari pelaminan."Ganti pakaianmu!" perintah Levin mendudukkan tubuh Anna di kursi depan meja hias.Sambil menunggu Anna mengganti pakaian, Levin melepaskan jasnya, menyalakan kipas angin dan membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ponsel yang seharian tidak disentuhnya, kini menjadi objek perhatian.Meski sta