“Haduh, istri baru dua hari meninggal, suami sudah bawa perempuan baru.”
Danu membanting pintu, dia mengepalkan tangan menahan emosi. Maya, mendekati dan mengusap punggungnya agar lebih tenang.
Danu mengambil hape dan menelpon Mira, sekali tak di angkat, dia menelpon lagi. Baru panggilan ke tiga yang di angkat.
“Kenapa kamu tak bilang kalau Airin meninggal?” ucap Danu, sesaat setelah Mira mengangkat telponnya.
“Apa penting? Waktu hidup saja kamu nggak peduli,” tanya Mira balik.
“Dia istriku! Harusnya kamu bilang!!” teriak Danu. Emosinya benar-benar tersulut di buat oleh Mira. Dia menutup telpon, dan melemparkannya ke lantai. Untung saja hapenya mahal jadi tahan banting.
“Mas, kamu kenapa? Kok marah-marah, tenang nanti tetangga dengar,” tanya Maya. Dia sedang di dapur akan membuatkan makanan untuk Danu, tapi karena mendengar suara hape di banting,
“Astaghfirullah, Pak, istighfar!” teriak penjaga malam yang melihat Andika mencekik Danu.Lelaki tua itu, berlari menghampiri pusara Airin. Dia menarik tubuh Andika agar berhenti mencekik Danu.Dengan susah payah, akhirnya cengkraman tangan Andika lepas dari batang leher Danu.“Pak, Istighfar! Kalau orang nya mati bagaimana?” Pak Tua, penjaga makam mengingatkan Andika.“Biar, Pak! Memang saya harap dia MATI! Gara-gara dia adik saya mati,” jawab Andika.“Sudah, Bapak pulang saja, kasian adiknya. Nggak bakalan tenang kalau kamu seperti ini.” Bapak itu menasehati Andika.Sesaat Andika termenung, lalu berdiri. Sebelum pergi dia masih sempat mendaratkan tendangan ke badan Danu, membuat penjaga malam kembali beristighfar.Setelah Andika pergi, pak tua itu menepuk-nepuk pipi Danu, tak berapa lama, lelaki itu terbang
Danu menghempaskan tubuhnya di kursi sofa ruang tamu, dia lelah. Baru saja akan memejamkan mata, kembali Maya sudah mulai dengan omelannya.“Mas, kok lembek banget sama mereka?!” tanya Maya. Dia bersedekah, menatap Danu dengan tatapan jengkel.“Sudahlah, aku lagi tidak mood untuk berbicara,” jawab Danu. Dia memijit pelipisnya, tiba-tiba saja kepalanya terasa sakit.“Kamu kalau di kasih tau, banyak banget ngelesnya,” ucap Maya kesal. Dia menghentakkan kakinya lalu berlalu pergi.Danu menggeleng, lalu melanjutkan tidurnya.“Sia*an, sepertinya mereka punya rencana untuk memisahkan aku dan Danu, lebih baik besok aku ikut bersama Danu,” ucap Maya.Dia tak tenang, setelah kedatangan ibu dan adik Danu.Kembali Maya melangkah menemui Danu yang baru saja terlelap.“Mas, besok aku ikut ke rumah ibu kamu, yah!” ucap Maya, dia menggoyangka
Bu Marni melangkah, tak menghiraukan Mira yang terus bertanya, takutnya Danu kembali.“Ibu kok kayak gini?” ucap Mira kesal.“Ya, kamu. Nanya mulu,” jawab bu Marni.Bu Marni meninggalkan Mira sendiri, dia ingin menyiapkan semuanya besok.*****Kumencintaimu sedalam-dalam hatikuMeskipun engkau hanya kekasih gelapkuMencintaimu lebih dari apapunMeskipun tiada satu orang pun yang tau
“Ngapain kamu di situ?” ulang bu Marni.Sedikit mendengus, Maya mendekat juga kepada bu Marni.“Sana atur semua kursi supaya tersusun rapi,” perintah bu Marni.“Itu sudah rapi,” tunjuk Maya.“Kamu itu punya mata atau tidak!? Kursinya belum lurus dengan yang lain, pokoknya kamu kasih lurus antara kursi yang satu dan kursi yang lain, kalau ada yang bengkok satu saja, siap-siap ku usir kamu,” ucap bu Marni.“Iya, Mak Lampir,” ucap Maya.“Apa kamu bilang?!” tanya bu Marni, sambil berkacak pinggang.“Iya, Bu Suri!!” jawab Maya dengan suara di besarkan.Bu Marni tersenyum lalu kembali mengerjakan pekerjaannya.Maya mengerjakan apa yang diperintahkan dengan setengah hati.Setelah selesai, dia kembali
Semua orang yang hadir berbalik menatap ke arah suara, ternyata bu Marni, Mira, seorang gadis yang mengenakan hijab panjang menutupi dadanya.“Ada apa ini?!” tanya bu Marni setelah mereka masuk ke dalam rumah.Pak RT dan warga mengenal siapa bu Marni, mereka saling berpandangan. Pak RT berdiri dari duduknya dan mempersilahkan mereka duduk.Bu Marni dan yang lain duduk, pak RT mulai menjelaskan.“Maaf, Bu. Karena sebelumnya tidak memberi tahu bahwa kami akan menikahkan Danu dengan pacarnya, mereka di sini sudah beberapa hari hidup bersama. Kami sebagai warga merasa resah, kami tak bisa menjamin mereka untuk tidak berbuat zina.Bu Marni mengangguk mendengar penuturan pak RT, sejujurnya dia merasa malu. Tapi, karena dia punya misi lain maka dia hanya mengangguk.“Sebenarnya saya tidak keberatan kalau Da
Alika menampar Danu, lalu meneruskan langkahnya menuju kamar.“Hey, tunggu gadis gila!” cegah Danu dia tak terima di tampar.“Apa brengsek?” tanya Alika lagi. Dia menatap lelaki yang baru saja menjadi suaminya dengan tatapan malas.“Kamu bisa sopan nggak, bicara sama aku?” tanya Danu.“Nggak!” jawab Alika.“Kalau begitu, belajarlah! Aku ini suamimu,” ucap Danu.“Hahahaha, kamu waras? Tadi kamu bilang kita tak punya hubungan apa-apa, sekarang kamu mengaku sebagai suami aku?! Maaf, tak sudi aku jadi istri kamu!” Alika menghentakkan tangan sampai pegangan Danu terlepas.Dia kembali melangkah menaiki tangga menuju kamar Danu dan Airin dulu. Sebelum masuk ke dalam kamar, Alika sempat mendengar pintu di banting. Dia tersenyum, membayangkan Danu yang marah karena kesal.
Lelaki yang menyeret Maya kemarin, masuk dan menggertak wanita itu. Maya mengkeret pelan mundur dan berlindung di belakang Danu.“Jaga tangan dan mulutmu jika tak mau aku binasakan,” ucap bu Marni tanpa menatap Maya.Danu tertunduk, tak berani menatap ibunya. Masih terngiang-ngiang di kepala isi perjanjian yang dia tanda tangani.1. 1.Bersedia menikah dengan pilihan orang tua, jika tidak maka dia akan di masukkan kembali ke penjara.2. 2.Setelah menikah menjauhi semua wanita selain istri dan keluarganya, jika tidak makan seluruh fasilitas akan di cabut dan dia akan di pecat dari perusahaan tempat nya sekarang bekerja.3. 3.Jika masih nekad mendekati wanita lain, maka dia bersedia di pidanakan dan membayar denda berupa semua hartanya akan di alihkan ke istri.
“Say, bisa ketemu?” Chat dari Airin. Dahiku terangkat, tumben sahabatku ini mengirim pesan terlebih dahulu.“Bisa, ketemu di mama?” balasku kepadanya.“Kalau bisa kita ketemu di tempat kita biasa bertemu,” chat Airin kembali masuk ke hapeku.“Ok... sebentar sore, jam empat aku tunggu!” balasku lagi.Menunggu beberapa saat, ternyata Airin tak lagi membalas. Ku lirik jam dinding satu jam lagi, segera ku selesaikan pekerjaan rumah sebelum bersiap-siap bertemu sahabat ku itu.Tepat jam empat sore, ku pacu motor butut punya ayah. Membelah jalan yang ku lalui, hanya lima belas menit aku telah sampai di sebuah rumah makan yang nampak sepi. Motor ku parkir di samping rumah makan, lalu melangkah masuk setelah sebelumnya merapikan pakaianku.Baru melangkah ma