Bab 76. Pelakor dan Si Rambut Jagung Terusir
“Kau … kau bercanda, kan? Itu semua cuma hayalanmu, kan, Mel?”
“Terserah Mas Fajar percaya atau tidak. Oke saya akan tuliskan nomor PIN nya. Saya kirim ke ponsel Mas Fajar,” ucapku mengutak-atik ponselku.
Kubuka blokiran, lalu mengirim nomor PIN lewat pesa whatsapp. Mas Gilang masih terpaku, menatap aku dan ibu bergantian.
“Ini tidak mungkkin, tidak mungkin! Gilang …!” teriaknya tiba-tiba menggebrak meja.
Untunglah meja itu terbuat dari kaca tebal, kalau tidak mungkin sudah hancur berantakan. Ibu bangkit, lalu pergi dengan melengos.
“Bu ….” Mas Fajar menghentikan langkah ibu. “Saya minta maaf, telah salah sangka. Saya percaya saja dengan aduan mereka karena kondisi mereka di rumah sakit tanpa ada Melur di sana. Yang saya dapati
Bab 77. Hasutan Ibunda Sang Pelakor“Eh … awas jatuh, Mak Uda! Pegangan …!” teriakku pura-pura menolong, tapi rambut jagungnya yang jadi sasaranku.“Lepaskan! Sakit rambutku, bagsat kau …!” teriaknya memegangi kepala.“Oh, maaf,aku cuma mencoba menahan tubuh Mak Uda biar enggak terjerembab jatuh. Oh, sudah bisa berdiri tegak, ya? Udah saya lepas, deh!” sahut menghentakkannya sekali lagi.Kuangkat tanganku ke udara, setumpuk rambut jagung tergenggam di sana.“Oh, maaf, rambut emas Mak Uda, lepasan, deh …,” tuturku dengan ekspresi menyesal.“Kurang ajar! Awas kau!” Perempuan itu hendak menyerang lagi.“Cukup! Hentikan!” Teriak Mas Fajar tiba-tiba.“Nak fajar lihat sendiri kelakuannya! Seperti itulah dia memperlakuak
Bab 78. Gilang Ingin Kembali Kepada MelurSebenarnya aku ingin membalas ucapannya dengan kalimat-kalimat yang akan membuatnya bahagia. Aku ingin sekali mengucapkan janji manis untuknya, agar dia sabar menunggu. Tapi, ada Mas Fajar yang tiada henti menatapku. Sepertinya dia curiga siapa yang meneleponku. Aku jadi salah tingkah, aku tidak bebas berkata-kata. Kalau misalnya aku masuk ke toilet, pasti semakin menambah kecurigaannya. Duh, bagaimana ini. Padahal aku juga sangat ingin berbincang-bincang dengan Mas Reno.“Melur …! Melur …! Mel …!”Astaga itu suara Mas Gilang, dia sudah bangun lalu berteriak-teriak memanggil namaku. Gawat, Mas Reno pasti dengar dari seberang sana.“Mel, itu siapa? Kok, kayak suara Gilang? Kamu di mana? Di rumah sakit?” tanyanya bertubi-tubi.“I … iya, Mas. Aku di rumah sakit.”
Bab 79. Melur Dituduh Mencuri Mobil GilangKucari nomor Harum dan langsung kutelepon.“Kak, aku mau bertemu Mas Gilang,” rengeknya begitu telepon tersambung.“Rum! Kau bilang apa sama Mas Fajar?” teriakku tak menghiraukan rengekannya.“Enggak ada, lho, Kak. Memangnya apa lagi? Aku mau ketemu Mas Gilang, ya, Kak? Aku ke situ, ya?”“Di mana mobil Mas Gilang?” tanyaku dengan intonasi penuh ancaman.“Eng, mobil? Mobil Mas Gilang, anu, engh,” Harum terbata-bata.“Heh, perempuan sombong! Kau bilang apa sama anakku? Kau nanya di mana mobil Gilang? Kau pikir kami yang menyimpannya? Kami eggak tahu! Jangan pernah nanya-nanya masalah mobil sama kami!”Itu suara si rambut jagung, dia merebut ponsel dari tangan anaknya pasti.“Janga
Bab 80. Keluarga Pelakor Punya Mobil BaruSebuah mobil berhenti persis di sampingku. Awalnya aku tidak memperhatikannya. Aku hanya melihat sekilas seorang wanita turun, lalu menyerahkan sejumlah uang kepada sang supir. Sepertinya itu adalah taksi online. Mobil itu pun melaju, wanita itu melangkah menuju pintu utama rumah sakit.Aku seperti mengenal postur tubuh dan gaya berjalannya. Menyesal tadi aku tidak memperhatikan wajahnya. Itu seperti Kak Bulan. Buru-buru aku turun dari mobil lalu berlari kecil untuk mengejarnya.“Kak! Kak Bulan!” panggilku dari jauh.Perempuan itu menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang.“Tunggu, Kak!” kataku sekali lagi.“Melur?” teriaknya merentangkan kedua tangan.“Kakak sendirian?” tanyaku menghambur ke pelukannya.“Iya, Mas Ja
Bab 81. Hempaskan Pelakor! Pelakor Gak Ada Ahklak! Usir Pelakor!“Bibik panggilin warga! Aku dan Kak Bulan mau nyerang pelakor itu. Kami mau ambil mobil Mas Gilang. Akan kupermalukan dia dan ibunya serta Mas Yanto yang sok hebat itu. Bibik mau, kan?”“Mau … mau sekali. Biar sekalian mampus itu keluarga munafik. Istri si Yanto juga sekarang sudah sombong, katanay suaminya udah punya mobil mewah. Biar kapok sekalian. Tunggu sini, biar bibik panggil ibu-ibu yang lain,” kata Bik Yuni langsung bergerak.“Kak Lan, udah dengar kan, gimana perangai si pelakor itu?” tanyaku melirik Kak Bulan.“Jelas, sangat jelas,” sahut kak Bulan terlihat emosi.“Mau bantu saya?” selidikku lagi.“Siaap. Aku juga perempuan, aku akan bantu kau menumpas pelakor di muka bumi!” serunya bersemangat.
Bab 82. Memori Yang Begitu Sakit Untuk Dikenang“Ibu …! Ibu gak apa-apa?” Harum membantu ibunya bangun.“Oh, kamu ya, yang namanya Harum? Tolong bilang ya, sama ibumu juga abangmu! Jangan pernah berani muncul di sekitar adikku lagi. Aku sudah datang. Khusus untuk menjaga keluargaku yang sudah hancur-hancuran karena ulah kalian! Camkan itu!” teriak Kak Bulan meraih kunci mobil dari tanganku.“Terima kasih, ya ibu-ibu! Kami pulang dulu, ya.”Kak Bulan menyalami para ibu, lalu masuk ke mobil Mas Gilang. Aku berbuat yang sama, lalu masuk ke dalam mobilku.’’Kamu berlalu meninggalkan desa kelahiranku setelah melemparkan senyum penuh kemenangan kepada keluarga sang pelakor.*Mobil yang kukendarai berjalan beriringin dengan mobil Mas Gilang yang dikendarai oleh Kak Bulan. Mobil melaju lambat. Sepertinya Kak Bula
Bab 83. Dukungan Kakak Ipar UntukkuKak Bulan meraih tubuhku, memeluku, mengelus lembut punggungku.“Menangislah! Tumpahkan sesakmu adikku!” bisiknya lembut di telingaku.“Aku enggak bisa maafin Mas Gilang, Kak. Maafkan aku,” seduku masih di bahunya.“Ya, andai kakak berada di posisiu, mungkin kakak juga akan bersikap sepertimu. Bedanya adalah, kakak tidak akan membenci suami dan selingkuhannya. Karena kakak yakin mereka punya alasan melakukannya. Tapi, sikap kakak adalah, akan menyingkir sejauh-jauhnya. Kakak tidak mau membenci. Sesak rasa hati bila memendam. Lebih baik menghindar, membahagiakan diri sendiri. Untuk apa dipikir orang yang tidak memikirkan kebahagiaan kita?”“Makanya aku gugat pisah, Kak.”“Ok, kakak mendukungmu. Kau berhak bahagia. Raihlah kebahagianmu! Jangan ragu!”
Bab 84. Tamu Di Pagi HariHari sudah mulai malam saat aku sampai di rumah. Toko juga sudah ditutup Pak Basir. Sepertinya Mala juga sudah pulang dijemput oleh kekasih sandiwaranya.Aku tersentak kaget begitu memasuki halaman rumah. Mobil Mas Gilang terparkir di sana. Kenapa mobil itu ada di rumahku? Bukankah mobil itu tadi di bawa oleh Kak Bulan? Untuk apa Kak Bulan membawanya ke sini?Gegas aku memasukkan mobil ke dalam garasi. Melangkah terburu masuk ke dalam rumah, memastikan tentang keberadaan mobil Mas Gilang di halaman rumah.Baru saja kaki menginjak ruang tamu, ketika terdengar suara seseorang yang sedang bermain dengan Chika putriku. Suara kecil Chika terdengar tertawa-tawa, diiringi dengan suara seorang perempuan. Sepertinya mereka begitu bahagia. Suara siapa itu? Siapa laki-laki itu? Siapa perempuan itu?Kupercepat langkah menuju ruang keluarga. Mataku membul
Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu.
Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir) VOP Fika Aku memang sudah berumur. Sudah hampir kepala empat. Hingga detik ini tak juga menikah, karena memang tak mau menikah Keputusanku tak mau menikah bukan karena apa-apa. Rasa kecewa karena pernah bertepuk sebelah tangan, membuatku tak mau membuka pintu hati pada siapa pun lagi. lebih baik hidup sendiri dari pada kecewa lagi. Fajar, pemuda yang telah mencuri hatiku. Sayang, dia tidak ada rasa sedikitpun untuk menerima kehadiranku. Cintaku tak berbalas. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku tidak pernah membencinya. Saat dia memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya, aku turut berbahagia. Meski sakit, aku harus tetap waras. Fajar tidak bersalah. Wanita pilihannya juga tidak salah. Yang bersalah itu adalah aku.&nbs
Bab 148. Ekstra Part 4 VOP Gilang "Selamat menghirup udara bebas! Selamat datang kembali di dunia yang penuh sandiwara ini!" Aku terperangah. Seorang wanita tinggi semampai berkacamata hitam, menegurku. Aku tidak dapat mengenalinya. Lama kupindai wajah dan penampilannya. Rambut sebahu hitam legam, badan padat berisi, dan suara yang tegas penuh wibawa. "Selamat menjalani babak kedua dalam hidupmu?" ucapnya lagi. Jemari dengan berkutek merah terang itu memegang bingkai kacamata, lalu menanggalkannya perlahan. "Fika ...!" gumamku terkejut. Pengacara wanita yang telah membuat sang Hakim mengetuk palu, memutuskan hukuman penjara buatku. "Enggak ada yang jemput, ya? Kasihan banget kamu. Mana keluargamu?" Aku hanya m
Bab 147. Ekstra Part 3 “Oh, iya, sabar, ya, Bu. Sebentar saja, kok! Enggak lama. Mereka pelanggan tetap saya. Harus ekstra pelayanannya. Memang Ibu yang duduk duluan di sini, tapi, mereka yang memesan duluan.” Penjual es itu, tak menghiraukanku. “Saya duluan! Saya dari tadi di sini! Mentang-mentang mereka orang kaya, saya orang miskin, saya enggak dilayani, begitu? Saya bisa obrak abrik warung jelekmu ini tau?” teriakku mulai emosi. “Lho dari tadi ibu enggak minta, mereka pesan, baru ibu minta, sabar, dong!” Penjual es tak juga memenuhi permintaanku. “Pokoknya layani saya dulu! Saya sudah tidak sabar! Biar jadi pelajaran buatmu! Jangan pilih kasih sama pembeli, ya!” “Ya, sudah, ibu ambil yang sudah dibungkus itu, dulu, enggak apa-apa, saya akan ganti nanti buat mereka, tanggung ini, dua bungkus lagi!” “Saya e
Bab 146. Ekstra Part 2 Secara rutin aku memeriksakan diri ke dokter. Namun penyakitku tak juga kunjung sembuh. Awalnya tak menunjukkan gejala apa-apa. Tetapi setelah beberapa tahun kemudia, infeksi itu sudar menyerang bagian dalam tubuh. Mulai dari uterus, bahkan alat kelamin itu sendiri. Melihat kondisiku, tak ada lagi lelaki hidung belang yang mau menggunakan jasaku. Mereka merasa jijik dan takut tertular. Padahal aku tak pernah mengatakan tentang penyakitku. Aku hanya deman biasa, begitu alasanku. Tapi, melihat kodisi tubuhku yang kian kurus tinggal tulang, juga lemah tak bertenaga, mereka semakin curiga. Bokong dan dada besarku yang sangat terkenal di kalangan lelaki durjana itu, mulai menipis. Hilang sudah andalanku dalam menjerat mangsa. Aku menganggur. Makan tidur menjadi tanggunagn Bang Jordan. Dia mulai marah karena mengaggap aku tak lagi meguntungka
Bab 145.Ekstra Part 1 VOP Harum Kehancuran Kak Melur adalah target utamaku. Dia yang telah membawaku ke kota ini, semua masalah ini timbul karena dia, Aku dan keluargaku terusir dari kampung, juga karena dia telah menghasut orang kampung. Sekarang, Mas Yanto meninggal, Ibu di penjara, dan aku terlunta-lunta dengan penyakit di tubuhku. Ke mana aku akan bernaung sekarang? Setelah kucoba mengemis kepadanya, dia malah mengusirku dengan kasar. Harusnya dia bertanggung jawab dan menampungku. Sekarang, ke mana aku akan melangkah? Uang yang di berinya waktu itu hanya cukup biaya makan seminggu. Untung tempat tinggal aku enggak perlu bayar. Bekas toko ini bisa kugunakan untuk tempat bernaung. Tapi untuk makan besok, aku uang dari mana? Sebuah Mobil berhenti di depan toko. Gegas aku keluar melihatnya. Itu Bang Jordan, teman Mas Gilang sekaligus tempat
Bab 144. Cinta Pertama Dan Selamanya (Tamat) Itu Kak Bulan. Dia merekam video ini untukku? Kak Bulan tengah duduk di samping sebuah ranjang pasien. Sepertinya seseorang sedang berbaring di ranjang itu. Entah siapa, wajahnya tidak muncul di rekaman. “Maaf, ya, Mel. Sepertinya kamu sudah duluan lihat fhoto-fhoto itu baru buka plasdisc ini. Iya, kan? Pasti kamu sedang marah, emosi, kecewa dan mungkin kamu juga udah ngusir Reno. Aku enggak tahu persis apa yang terjadi di situ. Aku hanya berusaha memberi yang terbaik buatmu, adikku. Selama ini kami sekeluarga telah membuat hidupmu hancur. Untuk terakhir kalinya aku berusah setidaknya bisa menyelamatkan pernikahan yang baru saja kau mulai. Isi Plasdisc ini aslinya bukan ini, Mel. Sengaja kuhapus, dan kuganti dengan yang ini. Tapi, foto-foto itu enggak bisa kuganti, karena dia yang memesan karangan bunga itu. Kau tahu siapa? Ha
Bab 143. Kejutan Di Malam Pertama Pertama“Terima kasih sudah menjadi istriku, Mel! Aku sangat mencintaimu! I Love you, Sayang!” bisiknya lembut di telinga.“Kau juga tampan sekali, Mas, aku bangga dan sangat bersyukur bisa memilikimu. I love you, too,” balasku mengerjapkan mata.“Terima kasih.” Mas Reno tersenyum lagi. “Sekarang, ya?” tanyanya memohon izin.Aku tak menjawab, karena memang dia pun tak menunggu jawaban dariku. Mulutku tak lagi bisa berucap. Bibir kenyal mas Reno telah melumatnya. Awalnya begitu lembut, namun sesaat kemudian berubah kasar. Mas Reno melumatnya dengan begitu rakus.Aku membalas setiap lumatannya. Makin terhanyut saat lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku. Mas Reno menjelejah setiap inci rongga mulutku. Memeprmainakn lidahku de
Bab 142. Pernikahan Kedua Dan TerakhirkuKupaksa otakku berfikir keras. Mencoba membongkar memori ingatan, namun, tetap tak kutemukan. Tunggu, suaranya? Suaranya, sepertinya juga tidak asing. Sepertinya aku sering mendengarnya, tapi siapa? Apakah karena tertutup masker, sehingga suaranya agak susak kukenali. Rasa penasaram mengaduk hati, ok, aku akan cari tahu dari si pengirim karangan bunga itu.Aku bangkit perlahan, menuju sudut ranjang. Baru saja tanganku hendak meraih kertas kecil yang terselip di karang bunga yang lumayan cantik itu, seseorang memanggilku untuk segera keluar.“Mel! Ayo, rombongan mempelai pria akan segera tiba. Akad nikah akan segera dimulai.”Mala dan Rani berdiri di ambang pintu kamar. Keduanya berkebaya dengan warna dan model yang sama, rambut mereka berdua digelung rapi, wajah di make up cantik.