Bab 48. Panggilan Sidang Pertama
“Aku sudah semakin mantap bercerai. Tekatku sudah sangat bulat. Nanti aku ceritain semua. Tapi, untuk saat ini yang paling penting adalah aku harus segera keluar dari rumah ini.”
“Kau mau meninggalkan rumah sebesar itu? Itu rumahmu, Mel!”
“Bukan! Ini rumah mertuaku. Tidak akan masuk ke dalam daftar pembagian harta gono gini. Semua toko juga atas nama mertuaku, bukan nama suamiku. Untuk apa aku bertahan? Yang masuk ke dalam pembagian hanyalah pendapatan selama kami kelola. Semua sudah ada di tanganku. Tinggal pembagiannya aja. Aku juga sudah berhasil merintis usahaku. Pelanggan toko hampir semua sudah pindah ke toko onlineku. Toko mereka sekarang sepi. Baik yang pusat maupun yang cabang.”
“Wow, dalam waktu singkat kau telah berhasil membangkrutkan usaha mereka, Mel!”
“Bukan aku yang
Bab 49. Janjiku Pada Mas Reno“Boleh minta tolong?” Dia menatapku serius.“Apa, Om?”“Kalau kamu tidak keberatan, tolong singgah di panti sebentar!”“Oh, baik. Saya memnag sudah janji akan menjenguk Mas Reno hari ini,” sahutku tersipu.“Dia menelponmu?”“Iya, tadi malam.”“Dia semakin terikat padamu, semoga dia tidak bertepuk sebelah tangan,” gumamnya hampir tak terdengar.“Maksud Om?” sergahku.“Oh, tidak, tidak apa-apa. Sudah sore, berangkatlah!”“Baik, saya pamit, Om. Sekali lagi terima kasih.”Kuraih dan kucium punggung tangannya, lalu beranjak ke luar.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang menuju panti rehab, d
Bab 50. Pertengkaran Dengan Mama Mertua“Jelasin maksud ucapanmu tadi!” Ibu mertua masih saja mengekori.“Ok, baik. Saya tahu, Mama telah berkhianat. Aku minta Mama jangan pernah ngasi duit sama Mas Gilang, tapi Mama langgar, kan?” ketusku membalikkan badan.“Oh, pasti ibumu yang sudah mengadu! Makanya aku enggak suka ibumu di sini! Pasti kerjanya hanya menghasut!”“Bukan karena aduan ibuku. Tapi aku melihat sendiri Mas Gilang mengambil uang yang Mama transfer itu. Dan Mama mau tahu uang itu digunain untuk apa? Untuk biaya kontrak rumah pelakor itu, untuk bayar kalah judi abang si pelakor, dan untuk bayar utang ibu pelakor kepada rentenir.”“Dari mana kau tahu itu?” selidiknya.“Aku melihat sendiri, Ma! Mas Gilang masih berhubungan dengan peremp
Bab 51. Anda Jual Saya Borong, Ibu Mertuaku“Kau tidak menyimpan nomor suamimu?” pekiknya dengan suara seperti petir. Pengunjung yang lain sempat melihat ke arah kami dengan heran.“Ya, maaf,” sahutku datar.“Keterlaluan kamu! Istri macam apa yang tidak punya perhatian sedikitpun pada suami! Pantas Gilang lebih betah sama Harum dari pada sama kamu!” ketusnya.“Tolong jangan ribut di sini, Ma! Ini rumah sakit!” sergahku sambil bangkit meninggalkannya.“Mel! Duduk!” perintah ibu menghentikanku.Aku menurut setelah menghela nafas berat.“Melur sengaja memblokir dan menghapus nomor Gilang pasti ada alasannya, Mbak,” ucap ibu mencoba membelaku.“Iya, anak situ! Pasti dibela!” sungut mama sambil merogoh tas tangannya. Dengan kasar diobrak-ab
Bab 52. Ibu Mertua Kena Serangan“Mohon maaf Ibu, saldonya tidak mencukupi.”“Tidak mungkin, coba sekali lagi!” perintahnya.“Sudah berkali-kali, Bu. Kalau ada kartu yang lain?”“Dipegang anak saya, saat berangkat tadi pagi, dia mengembalikan yang ini, lalu minta yang satu lagi.”“Oh, berarti anak ibu mengembalikan yang ini karena memang sudah habis. Makanya dia minta yang satu lagi,” terka si petugas.“Enggak mungkinlah anak saya begitu, Mbak. Masak tega ngabisin saldo saya?”“Maaf, saya hanya menerka.”“Sebentar, Mbak, saya telpon dulu, ya?”“Baik, Ibu.”Mertuaku melangkah ke bangku panjang, lalu mulai menelpon. Lima menit kemudian, Mas Gilang, Harum dan ib
Bab 53. Harum Tidur Di Ranjang Bekasku“Tidak, Bu. Aku tidak sendirian. Ada Ibu, ada Chika, ada teman-teman, juga ada Mas Reno … ops!” Mulutku keceplosan menyebut nama itu.“Siapa yang terakhir kau sebut?” sergah ibu menatapku lekat.“Lupakan, Bu! Bukan siapa-siapa.”“Jangan bilang kalau Reno yang kau sebut itu adalah Reno yang dulu mengkhianatimu! Lelaki yang membuatmu menangis tiga hari tiga malam mengurung diri di kamar dan nekat berhenti kuliah. Kalau Gilang tidak datang menghiburmu, kau udah mati karena patahati,” cecar ibu.Aku terkesiap. Ibu tidak tahu masalah yang sebenarnya. Rasa bencinya sama besar dengan rasa benciku dulu. Tapi, setelah aku tahu kalau semua adalah rekayasa Mas Gilang, aku justru merasa salah telah menuduh Mas Reno yang bukan-bukan. Tapi, tidak mungkin aku menjelaskan semuanya se
Bab 54. Pezina di Kamar Tidurku“Ho oh, yuk masuk kamar! Kamu harus istirahat! Kamu kan masih hamil muda, masih rentan. Kalau perutmu kenapa-napa, papa dan mama pasti kecewa.”“Iya, Sayang ….”Kudengar langkah mereka menjauh. Sepertinya mereka benar-benar nekat tidur di kamarku. Darahku kian mendidih. Terasa panas dan tegang tengkukku di bagian kanan. Ya, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Perempuan itu akan tidur di ranjang bekas aku tidur dengan suamiku. Dia bahkan dibujuk dan dirayu oleh lelaki yang dulu membujuk dan merayuku.Kurebahkan tubuh yang terasa sangat lemas di ranjang. Kupejamkan mata dengan paksa. Sendi sendi terasa berlepasan, rasa sakit di seluruh tubuh kian menyerang. Panas! Hatiku panas! Dadaku panas! Nafasku panas! Semuanya panas! Aku bagai dibakar di api neraka. Yah, ini adalah neraka dunia. Kenapa aku harus merasakannya? Apa salahku,
Bab 55. Bukti Perzinahan Kudapat“Ampun, Kak! Ampun … Mas Gilang yang maksa aku tidur sini!” pinta Harum dengan memelas.“Oh, jadi Mas Gilang yang memintamu tidur di kamarku?” teriakku dengan lantang agar menjadi bukti di video itu bahwa kejadian ini benar benar di kamarku.“Iya, Kak. Aku bilang aku mau tidur di kamar pembantu aja, tapi dia ngelarang,”“Siniin HP-nya!” tiba-tiba Mas Gilang yang telah berpakaian menyerang Bik Ina.Bik Ina melemparkan HP ke ranjang, ke dekatku. Langsung kutangkap dan kusembunyikan di dalam pakaian dalamku. Mas Gilang meradang, tepat saat ibu membawa chika masuk ke kamar.“Ada apa ini? Astafirullah! Harum! Kau telanjang di atas ranjang majikanmu! Ya Allah! Laknat apa yang akan Kau timpakan kepada pasangan mesum ini, Ya Tuhan!” teriak ibu histeris. Bik Ina d
Bab 56. Suamiku di Ambang Kebangkrutan“Maaf, aku enggak bisa datang, Mel. Aku ke kampus hari ini. Penting banget!” lirih Mala begitu teleponku terhubung.“Ok,” sahutku pasrah.Kucari nomor Mas Andy. Mungkin dia bisa menjelaskan semuanya.“Ya, Mel! Kamu hari ini mau masuk rumah itu, ya?” sapanya.“Aku udah sampai, Mas,” sahutku.“Bagaimana, suka rumahnya?”“Tolong jangan permainkan saya! Ini rumah mertua saya! Kenapa Mas Andy menawar rumah ini?”“Oh, iya. Rumah mertuamu? Bagaimana bisa?”“Jangan main-main, Mas! Mas tahu sebenarnya, kan?”“Enggak. Suer, aku enggak tahu.”“Kenapa Mas menyuruh saya ngontrak rumah ini? Bisa Mas je
Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu.
Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir) VOP Fika Aku memang sudah berumur. Sudah hampir kepala empat. Hingga detik ini tak juga menikah, karena memang tak mau menikah Keputusanku tak mau menikah bukan karena apa-apa. Rasa kecewa karena pernah bertepuk sebelah tangan, membuatku tak mau membuka pintu hati pada siapa pun lagi. lebih baik hidup sendiri dari pada kecewa lagi. Fajar, pemuda yang telah mencuri hatiku. Sayang, dia tidak ada rasa sedikitpun untuk menerima kehadiranku. Cintaku tak berbalas. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku tidak pernah membencinya. Saat dia memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya, aku turut berbahagia. Meski sakit, aku harus tetap waras. Fajar tidak bersalah. Wanita pilihannya juga tidak salah. Yang bersalah itu adalah aku.&nbs
Bab 148. Ekstra Part 4 VOP Gilang "Selamat menghirup udara bebas! Selamat datang kembali di dunia yang penuh sandiwara ini!" Aku terperangah. Seorang wanita tinggi semampai berkacamata hitam, menegurku. Aku tidak dapat mengenalinya. Lama kupindai wajah dan penampilannya. Rambut sebahu hitam legam, badan padat berisi, dan suara yang tegas penuh wibawa. "Selamat menjalani babak kedua dalam hidupmu?" ucapnya lagi. Jemari dengan berkutek merah terang itu memegang bingkai kacamata, lalu menanggalkannya perlahan. "Fika ...!" gumamku terkejut. Pengacara wanita yang telah membuat sang Hakim mengetuk palu, memutuskan hukuman penjara buatku. "Enggak ada yang jemput, ya? Kasihan banget kamu. Mana keluargamu?" Aku hanya m
Bab 147. Ekstra Part 3 “Oh, iya, sabar, ya, Bu. Sebentar saja, kok! Enggak lama. Mereka pelanggan tetap saya. Harus ekstra pelayanannya. Memang Ibu yang duduk duluan di sini, tapi, mereka yang memesan duluan.” Penjual es itu, tak menghiraukanku. “Saya duluan! Saya dari tadi di sini! Mentang-mentang mereka orang kaya, saya orang miskin, saya enggak dilayani, begitu? Saya bisa obrak abrik warung jelekmu ini tau?” teriakku mulai emosi. “Lho dari tadi ibu enggak minta, mereka pesan, baru ibu minta, sabar, dong!” Penjual es tak juga memenuhi permintaanku. “Pokoknya layani saya dulu! Saya sudah tidak sabar! Biar jadi pelajaran buatmu! Jangan pilih kasih sama pembeli, ya!” “Ya, sudah, ibu ambil yang sudah dibungkus itu, dulu, enggak apa-apa, saya akan ganti nanti buat mereka, tanggung ini, dua bungkus lagi!” “Saya e
Bab 146. Ekstra Part 2 Secara rutin aku memeriksakan diri ke dokter. Namun penyakitku tak juga kunjung sembuh. Awalnya tak menunjukkan gejala apa-apa. Tetapi setelah beberapa tahun kemudia, infeksi itu sudar menyerang bagian dalam tubuh. Mulai dari uterus, bahkan alat kelamin itu sendiri. Melihat kondisiku, tak ada lagi lelaki hidung belang yang mau menggunakan jasaku. Mereka merasa jijik dan takut tertular. Padahal aku tak pernah mengatakan tentang penyakitku. Aku hanya deman biasa, begitu alasanku. Tapi, melihat kodisi tubuhku yang kian kurus tinggal tulang, juga lemah tak bertenaga, mereka semakin curiga. Bokong dan dada besarku yang sangat terkenal di kalangan lelaki durjana itu, mulai menipis. Hilang sudah andalanku dalam menjerat mangsa. Aku menganggur. Makan tidur menjadi tanggunagn Bang Jordan. Dia mulai marah karena mengaggap aku tak lagi meguntungka
Bab 145.Ekstra Part 1 VOP Harum Kehancuran Kak Melur adalah target utamaku. Dia yang telah membawaku ke kota ini, semua masalah ini timbul karena dia, Aku dan keluargaku terusir dari kampung, juga karena dia telah menghasut orang kampung. Sekarang, Mas Yanto meninggal, Ibu di penjara, dan aku terlunta-lunta dengan penyakit di tubuhku. Ke mana aku akan bernaung sekarang? Setelah kucoba mengemis kepadanya, dia malah mengusirku dengan kasar. Harusnya dia bertanggung jawab dan menampungku. Sekarang, ke mana aku akan melangkah? Uang yang di berinya waktu itu hanya cukup biaya makan seminggu. Untung tempat tinggal aku enggak perlu bayar. Bekas toko ini bisa kugunakan untuk tempat bernaung. Tapi untuk makan besok, aku uang dari mana? Sebuah Mobil berhenti di depan toko. Gegas aku keluar melihatnya. Itu Bang Jordan, teman Mas Gilang sekaligus tempat
Bab 144. Cinta Pertama Dan Selamanya (Tamat) Itu Kak Bulan. Dia merekam video ini untukku? Kak Bulan tengah duduk di samping sebuah ranjang pasien. Sepertinya seseorang sedang berbaring di ranjang itu. Entah siapa, wajahnya tidak muncul di rekaman. “Maaf, ya, Mel. Sepertinya kamu sudah duluan lihat fhoto-fhoto itu baru buka plasdisc ini. Iya, kan? Pasti kamu sedang marah, emosi, kecewa dan mungkin kamu juga udah ngusir Reno. Aku enggak tahu persis apa yang terjadi di situ. Aku hanya berusaha memberi yang terbaik buatmu, adikku. Selama ini kami sekeluarga telah membuat hidupmu hancur. Untuk terakhir kalinya aku berusah setidaknya bisa menyelamatkan pernikahan yang baru saja kau mulai. Isi Plasdisc ini aslinya bukan ini, Mel. Sengaja kuhapus, dan kuganti dengan yang ini. Tapi, foto-foto itu enggak bisa kuganti, karena dia yang memesan karangan bunga itu. Kau tahu siapa? Ha
Bab 143. Kejutan Di Malam Pertama Pertama“Terima kasih sudah menjadi istriku, Mel! Aku sangat mencintaimu! I Love you, Sayang!” bisiknya lembut di telinga.“Kau juga tampan sekali, Mas, aku bangga dan sangat bersyukur bisa memilikimu. I love you, too,” balasku mengerjapkan mata.“Terima kasih.” Mas Reno tersenyum lagi. “Sekarang, ya?” tanyanya memohon izin.Aku tak menjawab, karena memang dia pun tak menunggu jawaban dariku. Mulutku tak lagi bisa berucap. Bibir kenyal mas Reno telah melumatnya. Awalnya begitu lembut, namun sesaat kemudian berubah kasar. Mas Reno melumatnya dengan begitu rakus.Aku membalas setiap lumatannya. Makin terhanyut saat lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku. Mas Reno menjelejah setiap inci rongga mulutku. Memeprmainakn lidahku de
Bab 142. Pernikahan Kedua Dan TerakhirkuKupaksa otakku berfikir keras. Mencoba membongkar memori ingatan, namun, tetap tak kutemukan. Tunggu, suaranya? Suaranya, sepertinya juga tidak asing. Sepertinya aku sering mendengarnya, tapi siapa? Apakah karena tertutup masker, sehingga suaranya agak susak kukenali. Rasa penasaram mengaduk hati, ok, aku akan cari tahu dari si pengirim karangan bunga itu.Aku bangkit perlahan, menuju sudut ranjang. Baru saja tanganku hendak meraih kertas kecil yang terselip di karang bunga yang lumayan cantik itu, seseorang memanggilku untuk segera keluar.“Mel! Ayo, rombongan mempelai pria akan segera tiba. Akad nikah akan segera dimulai.”Mala dan Rani berdiri di ambang pintu kamar. Keduanya berkebaya dengan warna dan model yang sama, rambut mereka berdua digelung rapi, wajah di make up cantik.