Home / Romansa / Pelakor Harus Mati / BAB 43 - Face the Fear

Share

BAB 43 - Face the Fear

Author: Zia Cherry
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

We all feel pain beneath the surface

If we're not the same, then why are we all hurting?

I don't know what it's like to be fighting for my life

But if you do, I'll be fighting too

When you're feeling weak I'll be the words if you can't speak

And if you lose, I'll be losing too

And I can't lose you

I Can’t Lose You – Isac Danielson

***

“Siapkan jalur evakuasi, ledakan dari lantai 19.”

Suara alarm kebakaran berbunyi nyaring, diikuti oleh derap langkah kaki panik orang-orang yang mendengar suara ledakan itu. Beberapa petugas keamanan apartment langsung bersiaga membuka jalur evakuasi melalui tangga darurat saat lift dimatikan secara otomatis.

Bianca berdiri di depan jalur evakuasi di lantai 3. Ia melirik jam yang melingkari tangannya, lalu memeriksa pistol yang diam-diam ia ambil dari dalam mobil pria itu, dan kini tersimpan

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Pelakor Harus Mati   BAB 44 - The Untold Truth

    Malam itu, rintik gerimis turun perlahan. Tidak deras, tapi tetap membuat udara malam yang dingin semakin menggigit. Dua orang wanita duduk berhadapan di sebuah meja restoran yang cukup ramai. Ketika orang-orang memilih area dalam restoran yang hangat, keduanya justru duduk di bagian luar restoran, membuat tangin yang membawa tetesan air hujan sesekali menyentuh wajah mereka. Beberapa orang yang melihat keduanya berdecak kagum. Bagaimana tidak jika malam ini mereka sangat beruntung karena bisa melihat model yang tengah naik daun dan seorang pebisnis yang juga tengah berada di puncak kejayaannya. Claire dan Clara, dua putri dengan wajah serupa yang cantik. “Aku minta maaf,” bisik Clara, memecah keheningan malam itu. Claire tidak menjawab. Matanya menatap cangkir kopi yang kehilangan kepulan uapnya sejak beberapa saat yang lalu. Lagi-lagi hembusan dingin angin malam menerpa

  • Pelakor Harus Mati   BAB 45 - Painless Wound

    Apakah waktu bisa menyembuhkan luka? Jika pertanyaan itu diberikan kepada seorang Bianca Peruka, maka jawabannya hanya satu. Tidak. Tidak peduli sebanyak apa pun waktu yang berlalu, rasa sakit saat melihat tubuh ibunya melayang di udara, lalu terjatuh dalam keadaan tak bernyawa, rasa sakit itu, tak pernah sedikit pun berkurang. Untuk beberapa saat tubuh Bianca hanya mampu membeku di balkon kamarnya. Padahal suara teriakan para pelayan yang berlari menghampiri tubuh ibunya yang bersimbah darah, begitu memekakkan telinga. Lalu orang-orang mulai meneriaki nama ibunya berkali-kali, meminta wanita itu bertahan dan membuka mata. Tapi permintaan mereka tidak pernah terdengar. Setelah melewati masa terkejut, Bianca mulai tersadar. Tubuh mungilnya bergetar, lalu jatuh terduduk di balkon begitu saja. Ia ingin berlari menghampiri tubuh ibunya seperti yang orang-orang lakukan, tapi tubuhnya begitu lemah, hingga ia hanya bisa menangis di lantai kamarnya ya

  • Pelakor Harus Mati   BAB 46 - Lost

    “Dia tantemu?” tanya seorang gadis berambut panjang kepada Bianca. Kedua mata abu-abunya menatap kagum sosok cantik Clara. Bianca menoleh ke arah yang ditunjuk teman sekelasnya. “Ya.” “Wah, cantiknya,” puji Annete sungguh-sungguh sambil sesekali melirik ke belakang. Tempat wali murid berkumpul untuk melihat sistem ajar di kelas mereka. Hal rutin yang dilakukan beberapa bulan sekali. “Dan dia baikkkk banget,” bisik Maria yang duduk di meja depan. Ia pernah beberapa kali bertemu dengan Clara yang datang mengantar Bianca ke sekolah, dan wanita itu selalu menyapa teman-teman Bianca dengan ramah. Padahal kebanyakan orang tua teman-temannya yang lain tidak pernah melakukan hal itu. “Kamu beruntung banget, Bian,” ujar Annete sungguh-sungguh. Bianca hanya tersenyum simpul sebagai jawaban. Beruntung? Haruskah ia merasa beruntung? Ketika anak-anak lain didampi

  • Pelakor Harus Mati   BAB 47 - Broken

    “SHEILA!” Deg. Kedua mata Bianca terbelalak seketika saat mendengar teriakan Clara dari balik pintu di belakang punggung Layla. Ia ternganga tidak percaya. Seringai Layla merekah sempurna. “Ini… ini… tujuan anda?” Bianca tergagap dalam keterkejutannya. Wanita itu jelas dengan sengaja membongkar semua kejadian di masa lalu agar Sheila mendengarnya. Wajah Bianca memanas seketika saat membayangkan tatapan terluka Sheila, adik yang paling disayanginya. “Bingo! Akhirnya sudah dimulai. Kalian benar-benar serupa, sangat mudah dibodohi.” Bianca membeku seketika. “Ini ulah anda. Anda yang sudah membunuh Mama!” Bianca kembali mengangkat pistolnya, menghadapi Layla dengan mata bergetar. Foto itu, foto Ibunya yang terjatuh dan tangan Clara yang terulur, itu bukan karena Clara yang mendorongnya. Namun, Clara lah yang berusaha menangkap tubuh kakaknya sebelum ia terjatuh. Susah payah Bianca menahan nyeri di dadanya dan menghala

  • Pelakor Harus Mati   BAB 48 - Losing You

    “Biiiii, kamu serius mau nikah?” “Yep.” Bianca tersenyum simpul. Ia tengah berada di butik designer kenamaan, mencoba beberapa gaun pengantin pilihannya. “Dan ini sudah ke-500 kalinya kamu nanya hal yang sama.” Sheila mengerucutkan bibirnya. Kedua tangannya terlipat di dada. Wajah gadis itu masih terlihat sangat keberatan dengan berita yang diberikan Bianca secara tiba-tiba. Terlebih, sosok Dandy terlihat sedikit aneh di matanya. Satu-satunya hal yang menghibur adalah dukungan ayah mereka yang menyambut bahagia kabar pernikahan Bianca dan Dandy Hartono. “Kamu cantik banget, Bi!” ujar Tini saat melihat sosok cantik sahabatnya berbalut gaun pengantin yang begitu mempesona. “Ah, aku jadi bingung, semua gaunnya jadi bagus di badanmu!” ujarnya setengah mengeluh. Sandra tersenyum setuju. “Tapi, kamu beneran mau nikah sama orang itu?” Hanya Sheila yang sama sekali tidak terbawa s

  • Pelakor Harus Mati   BAB 49 - Drug in Me is You (1)

    18 tahun yang lalu. “Ini dari Layla?” tanya Claire saat melihat map cokelat yang ada di atas meja Clara. Clara langsung menyambar map itu, tidak ingin Kakaknya sampai melihat isi di dalamnya. Claire maju selangkah, lalu mengeluarkan map yang sama dari dalam tasnya sendiri. “Dia mengancamku duluan, Cla,” ujar Claire dingin. “Dan aku nggak akan memberikan apa yang dia mau. Aku nggak akan menyerah begitu aja.” “Tapi dia mau hancurin semuanya, Kak! Gimana kalau semuanya terbongkar?! Gimana kalau semua orang tau Damian selingkuh sama aku?!” “Nggak ada bukti kalau kamu berselingkuh sama suamiku.” Clara menggeram frustasi. Ia mengeluarkan isi map yang dikirimkan Layla beberapa waktu yang lalu. Salah satu isinya adalah potongan gambar yang diambil dari rekaman CCTV di vila. Susah payah Claire menahan sengatan rasa nyeri setiap kali ia melihat

  • Pelakor Harus Mati   BAB 50 - The Drug in Me is You (2)

    “Yang tewas beberapa tahun yang lalu adalah Bu Clara, dan dia bukan bunuh diri, melainkan dibunuh oleh Layla. Sedangkan Bu Claire masih hidup.”Damian mendengus tidak percaya. “Anda pasti bercanda, Anthoni,” ujar Damian. Namun kedua tangannya mulai sedikit bergetar. “Itu sama sekali tidak masuk akal.” Kini napas pria itu mulai terasa sedikit berat. Bayangan saat Clara meminta izin untuk membawa kedua putrinya ke Amerika kembali terlintas.Saat itu, semenjak kematian Claire, Damian tidak bisa melihat mata adik iparnya secara langsung. Karena sosok Clara yang berdiri di hadapannya selalu mengingatkan Damian kepada mendiang istrinya.Damian tidak pernah mengakuinya di hadapan siapa pun, tapi meski ia adalah suami yang buruk, kehilangan seorang istri adalah sebuah pukulan telak yang menyakitkan. Bahkan kedua putrinya hanya memberikan rasa nyeri yang sama setiap kali Damian melihat mereka, hingga ia mengizinkan Clara membawa keduan

  • Pelakor Harus Mati   BAB 51 - Hidup dan Mati

    Waktu tidak akan menyembuhkan luka,Tapi waktu akan mengajarimu untuk terus hidup dan melewatinya.- Bianca Peruka***Hidup dan mati hanya terpisahkan oleh sebuah garis tipis tak kasat mata. Bisa jadi kau yang tengah tersenyum begitu cerah, tanpa beban, tanpa luka, akan tiba-tiba mati esok hari.Hidup dan mati tidak pernah dapat diprediksi.Seperti petuah kuno yang mengatakan ada tiga hal yang tidak bisa kau tentukan dalam hidup. Kapan kau dilahirkan, kapan kau mati, dan dari siapa kau akan dilahirkan.Pertuah itu benar.Suasana area pemakaman siang itu terasa sangat damai. Tampak pengelola begitu repot membuat area pemakaman seindah taman di surga, seakan itu bisa menghibur orang-orang yang ditinggal mati kerabat mereka dan mengembalikan hal yang paling berharga, yang sudah hilang selamanya.Sebuah pohon mahoni berdiri kokoh di sudut area pemakaman. Rindang dedaunannya menjadi payung sempurna yang m

Latest chapter

  • Pelakor Harus Mati   (Alternative Ending) - 2

    “Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik

  • Pelakor Harus Mati   (Alternative Ending) - 1

    “Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka

  • Pelakor Harus Mati   SEPATAH KATA

    Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 15

    10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 14

    Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 13

    “Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 12

    Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 11 - Pergi Bersama

    “Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 10 - Kenangan Terakhir

    Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski

DMCA.com Protection Status