Tak tok.
Suara hak sepatu Bianca menghentikan gema tepuk tangan itu. Ia berjalan tertatih dengan tongkat siku di tangannya, sambil menyeret samurai milik Damian. Melihatnya saja sudah membuat semua mata di tempat itu terbelalak dan mengkerut ketakutan.
Bianca dan Damian saling bersitatap, sepasang ayah dan anak itu membuat suasana ballroom terasa sangat pekat oleh intimidasi keberadaan mereka berdua.
Jeremy menatap waspada, begitu pun dengan orang-orangnya yang sudah tersebar di sekeliling ballroom hotel. Di pintu masuk, Indra berdiri tegap. Matanya menatap punggung Bianca dengan awas, lalu mengintai gerakan Dandy dan orang-orang Damian sambil menggenggam erat pistol yang tersembunyi di balik saku jasnya.
Melihat kedatangan Bianca, Leslie langsung melompat menuruni panggung, membawakan mikrofon untuk wanita itu.
Bianca menghentikan langkah di tengah ballroom, tempat yang membuat semua orang bisa melihatnya dengan sempurna. Ia melepaskan tong
“Tante.” “Ya? Ada apa, Bi?” tanya Clara saat gadis itu hanya terdiam. Bianca tersenyum dan menggeleng. “Aku Cuma lagi khawatir, gimana kalau hasil akhirnya nggak sesuai dengan apa yang kita rencanain.” “Jangan terlalu khawatir. Kita bisa pikirkan itu nanti. Yang penting sekarang adalah keselamatan kamu dan Sheila. Itu yang terpenting.” Di bawah sinar rembulan, Bianca menatap lekat mata wanita di hadapannya. “Tapi, gimana kalau ternyata, aku memang nggak mampu mempimpin?” “Bi, tadi kamu lihat sendiri gimana antusiasnya direksi yang lain dengan rencana kerjamu. Kamu pasti bisa.” Itu kata-kata yang sangat positif, tapi tetap tidak bisa mengenyahkan rasa risau yang selama ini terpendam di dalam dada Bianca. “Tapi skenario terburuknya….” Kata-kata Bianca terpotong sengatan nyeri di dadanya. Bagaimana jika keangkuhannya untuk merebut perus
Damian menatap putrinya dengan penuh amarah, seakan ia adalah musuh yang harus segera dibinasakan. “Jahat, bukan?” tanya Bianca. “Tapi harus kuakui cukup cerdas.” Bianca mendengus. “Dia pasti benar-benar ketakutan kalau Ayah akan punya anak dari perempuan lain lagi.” “Diam, Bianca.” ancam Damian marah. Namun itu sama sekali tidak menghentikan Bianca. “Jangan-jangan Ayah sama sekali nggak sadar, kalau anak terakhir Ayah adalah anak dari dokter Dewi? Sisanya, anak jadi-jadian dari sembarang laki-laki,” jelas Bianca dengan senyuman sinis. Kedua tangan Damian terkepal erat, napasnya memburu dalam amarah. Andai petugas KPK itu tidak ada dihadapannya, ia pasti sudah mencekik leher putrinya sendiri dan memaksanya berhenti bicara omong kosong saat itu juga. “Ayo kita lanjutkan di kantor polisi.” Damian menoleh kepada Haris yang langsung menyadari kode itu dan segera berlari mendekat. “Urus semuanya selama saya tidak ada. Pastikan kamu
“Harus saya akui betapa beraninya kamu malam ini.” Sahara sudah berdiri di samping Bianca dengan senyum terkulum simpul. Sebagai seorang pebisnis, mungkin malam ini ia akan sedikit merugi, tapi sebagai seorang wanita, entah mengapa ia menemukan sedikit kepuasan dari apa yang sudah Bianca lakukan. “Kalau saya jadi kamu, mungkin saya akan bertindak lebih impulsif, saya pasti sudah menggantung dua mayat di depan rumah saya sejak awal.”Bibir Bianca melengkung tipis. Itu juga yang selama ini ingin ia lakukan, tapi mati-matian ditahannya.“Tapi ini belum selesai,” gumam Bianca, sambil terus menatap malam dari balik jendela hotel yang megah.Sahara mengangguk setuju. Penjara bagi seorang Damian hanyalah sebuah hukuman kecil untuk anak nakal yang takkan membuatnya jera sama sekali. Itu pula alasan yang membuat Sahara bungkam selama ini.“But, you really did a great job tonight,” puji Sahara sungguh-sungguh
“Aku baik-baik aja, Kak.”“BERHENTI BILANG BAIK-BAIK AJA, BIANCA!” bentak Indra kesal. Ia menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi kemudi, lalu menyisir kasar legam rambutnya dengan jemari. “F*CK!” makinya kepada dirinya sendiri.Indra begitu marah. Harusnya ia tidak pernah meninggalkan Bianca sendirian. Berani-beraninya perempuan gila itu melukai Bianca di depan matanya sendiri.Tadi, setelah polisi menggiring Nindi yang masih memberontak histeris ke dalam mobil polisi, Bianca harus berusaha keras untuk menahan Indra agar tidak mengoyak Nindi dengan tangannya sendiri.Dan sekarang, setelah ia bersikeras untuk membawa Bianca kembali ke rumah sakit hanya karena luka yang kembali terbuka, Bianca kembali menghentikannya, dan bersikeras hanya memerlukan beberapa plester luka yang baru.Indra menepikan mobilnya di jalanan yang sepi, lalu mengambil kotak P3K yang selalu ada di mobilnya, dan mulai mengoba
We all feel pain beneath the surfaceIf we're not the same, then why are we all hurting?I don't know what it's like to be fighting for my lifeBut if you do, I'll be fighting tooWhen you're feeling weak I'll be the words if you can't speakAnd if you lose, I'll be losing tooAnd I can't lose youI Can’t Lose You – Isac Danielson***“Siapkan jalur evakuasi, ledakan dari lantai 19.”Suara alarm kebakaran berbunyi nyaring, diikuti oleh derap langkah kaki panik orang-orang yang mendengar suara ledakan itu. Beberapa petugas keamanan apartment langsung bersiaga membuka jalur evakuasi melalui tangga darurat saat lift dimatikan secara otomatis.Bianca berdiri di depan jalur evakuasi di lantai 3. Ia melirik jam yang melingkari tangannya, lalu memeriksa pistol yang diam-diam ia ambil dari dalam mobil pria itu, dan kini tersimpan
Malam itu, rintik gerimis turun perlahan. Tidak deras, tapi tetap membuat udara malam yang dingin semakin menggigit. Dua orang wanita duduk berhadapan di sebuah meja restoran yang cukup ramai. Ketika orang-orang memilih area dalam restoran yang hangat, keduanya justru duduk di bagian luar restoran, membuat tangin yang membawa tetesan air hujan sesekali menyentuh wajah mereka. Beberapa orang yang melihat keduanya berdecak kagum. Bagaimana tidak jika malam ini mereka sangat beruntung karena bisa melihat model yang tengah naik daun dan seorang pebisnis yang juga tengah berada di puncak kejayaannya. Claire dan Clara, dua putri dengan wajah serupa yang cantik. “Aku minta maaf,” bisik Clara, memecah keheningan malam itu. Claire tidak menjawab. Matanya menatap cangkir kopi yang kehilangan kepulan uapnya sejak beberapa saat yang lalu. Lagi-lagi hembusan dingin angin malam menerpa
Apakah waktu bisa menyembuhkan luka? Jika pertanyaan itu diberikan kepada seorang Bianca Peruka, maka jawabannya hanya satu. Tidak. Tidak peduli sebanyak apa pun waktu yang berlalu, rasa sakit saat melihat tubuh ibunya melayang di udara, lalu terjatuh dalam keadaan tak bernyawa, rasa sakit itu, tak pernah sedikit pun berkurang. Untuk beberapa saat tubuh Bianca hanya mampu membeku di balkon kamarnya. Padahal suara teriakan para pelayan yang berlari menghampiri tubuh ibunya yang bersimbah darah, begitu memekakkan telinga. Lalu orang-orang mulai meneriaki nama ibunya berkali-kali, meminta wanita itu bertahan dan membuka mata. Tapi permintaan mereka tidak pernah terdengar. Setelah melewati masa terkejut, Bianca mulai tersadar. Tubuh mungilnya bergetar, lalu jatuh terduduk di balkon begitu saja. Ia ingin berlari menghampiri tubuh ibunya seperti yang orang-orang lakukan, tapi tubuhnya begitu lemah, hingga ia hanya bisa menangis di lantai kamarnya ya
“Dia tantemu?” tanya seorang gadis berambut panjang kepada Bianca. Kedua mata abu-abunya menatap kagum sosok cantik Clara. Bianca menoleh ke arah yang ditunjuk teman sekelasnya. “Ya.” “Wah, cantiknya,” puji Annete sungguh-sungguh sambil sesekali melirik ke belakang. Tempat wali murid berkumpul untuk melihat sistem ajar di kelas mereka. Hal rutin yang dilakukan beberapa bulan sekali. “Dan dia baikkkk banget,” bisik Maria yang duduk di meja depan. Ia pernah beberapa kali bertemu dengan Clara yang datang mengantar Bianca ke sekolah, dan wanita itu selalu menyapa teman-teman Bianca dengan ramah. Padahal kebanyakan orang tua teman-temannya yang lain tidak pernah melakukan hal itu. “Kamu beruntung banget, Bian,” ujar Annete sungguh-sungguh. Bianca hanya tersenyum simpul sebagai jawaban. Beruntung? Haruskah ia merasa beruntung? Ketika anak-anak lain didampi
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR
Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL
“Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski