Binar segera menjalankan tugasnya. Pergi tanpa pamit kepada ibunya, Azerus sengaja melarang dia untuk melakukan hal itu. Binar berangkat hanya bersenjatakan sebatang kayu. Itu adalah pendayung perahu yang berukuran kecil. Mainannya sewaktu masih kecil, namun masih sangat kuat. Itu adalah kayu asli.
Binar terus menelepon ayahnya, agar bisa mendengar bunyi nada panggilannya. Ponsel itu tergeletak di dekat pondok, tempat biasa Azerus menyimpan barangnya sebelum melaut. Aras yang ketika hendak membuang air kecil Mendengar suara dering itu. Ia melangkah kecil ke arah sumber suara. Awalnya ia tidak peduli, namun karena ponsel itu masih terus berbunyi, makanya ia berinisiatif untuk mencarinya. Aras mendapati ponsel yang tergeletak begitu saja tanpa ada tuannya. Ia pun menerima panggilan tersebut, khawatir jika pemiliknya sedang mencari. Sekilas ia membaca nama pemanggil yang tersimpan di kontak itu. Putriku, tulisnya.
"Halo," ujar Binar ketika pa
"Orangnya ada," tegas Aras."Dia ikut? Terus Tiar mau kamu ke mana kan?" umpat Binar."Itu kan. Kamu salah paham lagi. Kita cuman teman. Tiar itu sahabat kecil aku," balasnya polos."Tiar kayaknya punya sesuatu yang lebih terhadap kamu. Kamu gak sadar sih?" elak Binar."Biasa aja tuh" bantahnya."Emang sih orang yang diberi perhatian tidak akan sadar. Hanya orang lain yang melihat yang tahu," gumam Binar. Aras terdiam mendengarkannya. Ucapan Binar tadi mengundang seribu harapan dalam hatinya. Itu terlihat jelas dari sorot matanya."Kamu sedang di fase itu ya?" goda Aras."Tidak," elaknya."Terus tadi senyum sendiri. Masa senyum mendapat sms tawaran pulsa telkomsel." Aras terus menggodanya."Gak tahu juga sih, menurut kamu definisi cinta itu kayak apa?" tanya Binar.Waktu kian bergulir. Mereka masih bergelayut dalam indahnya cerita yang tak berujung. Mengikuti ke mana
Suara gelak tawa selalu terdengar setiap mereka keliru menyanyikan lirik lagu dan kadang mereka sengaja mengubahnya menjadi sebuah lelucon. “Oh ya guyz, kita tidak bisa mengadakan bersih-bersih lingkungan, besok” ujar Aras ketika para penyanyi jadulan itu tengah memikirkan lagu apa yang akan dinyanyikan selanjutnya.“Kenapa? Dilarang ya?” tanya Jaya yang mewakili pertanyaan merela semua.“Bukan. Tidak dilarang kok. Cuman tadi saya keliling tapi gak ada sampahnya,” jelas Aras sabar.“Oh. Lah terus kita pulang gitu?” ungkap Jaya kecewa.“Tidak kok. Tadi sewaktu saya keliling ada yang tawar untuk bantu tanam bakau. Kira-kira gimana menurut kalian?” Aras coba menawarkan.“Sepakat,” jawab mereka semua kompak tanpa menunggu waktu yang lama.“Ok, besok kita tunggu saja. Oh yah, yang cewek pada tidur gih, terus yang tugas jaga tetap stay yah, buat yang belum pike
Beberapa saat ruangan itu tampak sepih, Azerus terlihat sedikit berpikir sementara Binar menatapnya penuh harap.“Gimana Pah?” tutur Binar yang memecah sunyi.“Ah boleh aja sih, cuman kamu tahu sendirikan selera musik Papa gimana?” balas Azerus akhirnya.“Ah palingan lagu era delapan puluh-an, Binar suka kok,” jawab Binar antusias, tidak ada tampang kecewa di matanya.“Serius?” jawab Azerus ragu, “Bukannya anak sekarang itu lagi demam K-pop?” lanjutnya.“Yah mau gimana lagi. Lagian Binar suka jenis musik apa saja asal suara penyanyinya saja yang tidak cempreng,” canda Binar. Azerus menyerahkan ponsel itu kepada putrinya dengan senyum yang sedikit dipalsakan. Binar mulai mengutak-atik ponsel yang sudah terpecahkan sandi keamanannya itu. Jarinya lihai menggeser dan mengetuk beberapa opsi yang tersedia di sana, sedangkan Azerus tak memalingkan matanya dari benda segi empat yang
Binar membiarkan kamera besarnya terkalung pada lehernya, sementara tangannya yang sedikit berlumur pasir dengan gesit menggeser layar ponselnya. Ia memperbesar ukuran gambar yang dikirim Amaz lantas tersenyum haru melihatnya. Anak-anak rumah ketan terlihat sangat bahagia melayani pembeli yang ramai, itulah foto yang dikirim Amaz.“Kamu lagi di sana?” dengan cepat Binar menyentuh papan keyboar dan mengirimnya segera. Beberapa detik kemudian sebuah panggilan video call dari Amaz masuk ke ponselnya. Binar segera menggeser ikon berwarna hijau untuk menjawabnya. Panggilan pun terhubung.“Hei,” sapa Amaz yang masih terlihat berada di Rumah Ketan. Binar hanya tersenyum membalasnya. “Nah gini dong, mentang-mentang di kampung halaman, senyumnya diumbar-umbar,” sambung Amaz.“Apaan sih? Biasa aja” celetuk Binar malu.“Idih, gitu aja baper,” gumam Amaz.“Yah sudah, ngapain telpon?” rup
Aras menarik nafas panjang sebelum menyampaikan berita super penting itu kepada rekannya,”Ini tentang Afra,” desisnya hampir tak terdengar. “Afra?” Rindi mengulangi ujaran Aras.“Ternyata Ziyo adalah sahabatnya dan Binar adalah mantan kekasihnya,” ujar Aras kembali serius dan dengan berat menyebut nama Binar sebagai mantan kekasih Afra. Rindi tampak tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. Fakta barusan seakan membungkam mulutnya dan menarik semua kata-kata dari pikirannya sehingga ia kehabisan kata-kata.“Itulah bro. Aku juga tidak ngerti. Semua seperti sangat berhubungan. Saling terkait,” tutur Aras kemudian.“Berarti penyerangan selama ini, bisa dipastikan karena Afra alasan utamanya. Mungkin saja orang terdekat Afra yang tidak terima hingga mau balas dendam,” Rindi menambahkan.“Boleh juga sih. Kata Ziyo, Afra orang yang cukup berpengaruh. Dia pintar, keren dan kaya. Populer sema
Mereka kembali ke pantai setelah menyaksikan matahari benar-benar tenggelam. Aras telah mengambil banyak gambar dengan menggunakan kamera milik Binar. Mereka tampak sangat menikmati petualangan tadi, begitu pula dengan Trea, rupanya ya mulai bersahabat dengan laut meskipun selalu muntah."Wah, Nar, enak benar jadi kamu." seru Jaya kegirangan. Binar hanya tersenyum kecil membalasnya. Baginya itu hal yang biasa, namun aliran mereka kali ini membuat kebiasaannya itu agak sedikit tidak biasa melainkan luar biasa. Dia biasanya mengarungi lautan dengan beberapa nelayan yang sudah tua.Aras menghantarkan Binar pulang ke rumahnya dan langsung pamit pulang setelah memastikan Binar masuk dengan selamat. Binar segera menghampiri orang tuanya di kamar mereka, dia tidak memberi kabar selama seharian ini."Eh kamu sudah pulang Nak," Azerus berbasa basi."Iya. Oh iya, gimana maksud Mama yang bilang kondisi Papa naik turun gitu?" serga
Sosok yang berjalan dengan langkah gontai itu, tersungkur ke dalam dekapan Aras. Aras tampak terkejut. Ziyo melihat mereka terlibat percakapan yang tidak lama. Hasil rekaman itu tidak menghasilkan suara. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Ziyo memutuskan untuk selebihnya percaya kepada Aras. Ziyo cukup puas dengan penyelidikannya sekarang, meskipun belum semuanya terbongkar, setidaknya satu dari sekian banyak langkah sudah bisa ditapaki. Ziyo meminta izin untuk menyalin hasil rekaman itu.“Kasus sebesar ini, baru diselidiki sekarang?” gumam salah seorang petugas di sana.“Emangnya dulu belum ada yang mengusut hal ini?” Ziyo malah balik tanya, dulu ia sangat terpukul akibat kepergian Afra, sehingga tidak sempat untuk menyelidiki semuanya. Ia mengira pihak keluarga yang mengurusnya, namun pernyataan tadi cukup menjanggal pikirannya. Berbagai argumen mulai timbul dalam pikirannya. Tentang mengapa keluarga membiarkannya begitu saja, dan terle
Kedai hari ini menghadirkan sesuatu yang berbeda bagi Binar. Biasanya, ia akan lebih tenang jika berada di sini, namun yang terjadi sekarang, ia merasa seakan ada sebuah tekanan yang mengalir dalam pikirannya.Amaz duduk termangu di hadapannya. Mereka tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Binar menatap kosong nasi ikan di hadapannya, begitu pula Amaz. Tidak ada lagi kalimat yang dilontarkan semenjak kepergian Aras tadi. Sesungguhnya Amaz, masih memikirkan masalahnya. Sesuatu yang cemerlang pun tiba-tiba muncul dalam pikirannya.Ia pun dengan gesit, mengambil ponsel dan mengirimkan sebuah pesan kepada Dexlicas atau yang sering dipanggil dengan nama Gefol olehnya. Menurut Amaz, Gefol lebih singkat dari pada Dexlicas. Binar sedikit menaruh rasa curiga terhadap sikap Amaz sekarang. Ia sangat tahu Amaz, jika Amaz selalu diam, itu artinya ada sesuatu yang mengusiknya."Kenapa?" tanya Binar akhirnya. Ia melihat sesuatu yan