Perjalanan dari Jogja menuju Purwokerto kutempuh dengan kereta. Selama perjalanan aku hanya sibuk menatap pemandangan di luar. Sesekali aku menarik nafasku, entah kenapa dadaku sesak sekali. Ada banyak ketakutan yang kurasakan. Salah satunya apa mungkin aku bisa beradaptasi dengan lingkungan pondok.
"Sudahlah Ca, mengalir saja. Ingat kamu sudah berjanji akan menjalankan wasiat ibumu. Bismillah," ucapku lirih.Sampai di stasiun Purwokerto aku segera mencari taksi."Taksi Mbak." Salah satu supir taksi menawariku."Iya Mas.""Mau ke mana?""Pondok Al Hikam Purwokerto, Mas.""Yang kompleks putri ya?"Aku hanya mengangguk saja."Mari Mbak."Aku segera masuk ke dalam taksi. Perjalanan dari stasiun menuju Al Hikam hanya sekitar lima belas menit.Asampai di gerbang pesantren Al-Hikam pukul tujuh malam dengan menumpang taksi. Setelah membayar dan menurunkan barangku yang hanya berupa tas punggung dan tas jinjing tanggung, aku mengamati gerbang pondok dengan penuh kekaguman.Entah kenapa ada desir dihatiku ketika menatap gerbang pondok yang sangat megah dengan bentuk gapura yang simpel namun indah dan artistik. Belum lagi tulisan arabnya yang tersusun rapi dan indah dipandang. Jadi penasaran siapa yang merancang gerbangnya.Aku bingung harus lewat mana. Aku dengar kalau pondok pesantren kan dipisah antara area putra dan putri. Lalu aku harus kemana ini? Kebetulan suasana juga begitu sepi. Apa mungkin karena musim liburan sekolah sehingga para santri pun liburan. Saat aku masih termenung menatap gerbang pondok, suara klakson mobil mengagetkanku. Sontak aku terlonjak dan menjauh kepinggir kanan. Tampak seorang pemuda berusia sekitar antara 25 sampai 30-an melihatku dari jendela mobil."Njenengan ngapain diem disitu? Ada keperluan disini?" Satu kata untuk si cowok. Ganteng. Meskipun rambutnya gondrong dan sedikit berjambang tapi justru menjadikannya sangat tampan dan mempesona. Tapi sayang wajah dingin, galak dan tegasnya kelihatan sekali."Mohon maaf, saya berniat mondok disini. Saya harus bertemu siapa ya?""Kamu?" dia melirikku sepintas lalu segera membuang pandangannya lagi. Ckkckck. Sombong pake gak mau melihat mukaku juga. Mentang-mentang ganteng. Eh ...."Berapa usia kamu?" dia tanya tapi sama sekali tak menatapku."Bulan kemarin tepat 22 tahun."Kulihat dia tersenyum tipis namun kesannya mengejekku."Masuk," lalu dia melajukan mobilnya. Astaga aku gak ditawarin buat ikut masuk mobilnya gitu.Sambil jalan aku menggerutu dalam hati. Dasar manusia dingin, angkuh, sombong, demi apa coba ternyata jarak antara gerbang dengan rumah pengurus pondok jauh sekali. Harusnya kan dia memberikan tumpangan.*****Aku duduk di sofa ruang tamu. Ada dua mbak-mbak yang datang ke ruang tamu membawakan minuman dan camilan dengan cara ngesot. Hah .... Beneran ngesot. Aku melongo menatap tak percaya."Assalamu’alaikum," ucap seorang wanita ke arahku."Wa’alaikumsalam," jawabku.Kulihat wanita paruh baya itu seperti kaget melihatku. Kemudian ia tersenyum lebar."Fatimah ... Kamu anak Fatimah.""Iya Tante. Nama saya Cahaya Mustika biasa dipanggil Caca, Tante.""Masya Allah, kamu cantik sekali seperti ibumu," beliau memeluk tubuhku."Ayo duduk Nduk. Kamu kemana saja? Saya itu nyari kabar kamu setelah ibumu meninggal tapi gak ada kabar.""Caca ikut sama Lilik Caca, Tante, ke Jepara. Sekeluarga pindah kesana. Dua bulan yang lalu Eyang Putri meninggal jadi saya balik ke Kebumen terus saya tak sengaja membaca surat dari Tante ya sudah saya memutuskan kesini. Soalnya Ibu minta supaya saya mondok. Kebetulan saya gak tahu mau mondok dimana ya sudah daripada bingung saya mondok disini saja.""Hehehe. Iya kamu disini saja. Oh iya berapa usiamu sekarang Nduk?""22 tahun Tante.""Panggil Umi saja." "Baik Umi."Kami banyak mengobrol bahkan seringkali tertawa. Ternyata Umi Aisyah ini kocak sekali, sebelas dua belas kayak Ibu, makanya mereka akrab."Kamu tinggal di kamar khadamah saja ya? Letaknya di samping. Biar gampang kamu lurus terus menuju ke dapur terus ada pintu keluar lalu kamu lewati koridor penghubung nah, itu tempatnya. Ada empat kamar disana. Nanti kamu sendiri saja kamarnya. Soalnya kebanyakan itu usia anak sekolah. Kalau yang sudah lulus mondok atau kuliah kebanyakan langsung ketemu jodoh makanya disini jarang ada khadamah yang usianya di atas 25 tahun hehehe.""Oh ...." Kemudian aku ikut terkekeh."Mbak Syarifah?" panggil Umi pada salah satu khadamah."Anter Mbak Caca ke kamarnya. Yang paling pojok ya?""Nggih Umi," jawab gadis bernama Syarifah lalu dia berjalan ngesot lagi.Aku melongo ... Aku harus ikut ngesot gak ya. Mungkin Umi Aisyah melihat kebingunganku. "Udah kamu gak usah ngesot, kamu juga Syarifah. Bantu Caca bawa tasnya," printah Umi sambil tertawa."Nggih Umi.""Caca pamit Umi.""Iya ... Istirahat ya. Anggap rumah sendiri.""Nggih Umi."Aku pun mengikuti Syarifah menuju kamar Khadamah.*****Kulihat Syarifah nampak gelisah. Karena penasaran aku pun bertanya."Kenapa Mbak?""Ehmm ... Anu ... Ehmm ... Anu ....""Udah ngomong aja kenapa?""Mbak Caca kita keluar aja yuk," wajahnya terlihat ketakutan."Ayuk."Saat ini kami ada di kamar yang di tempati Syarifah. Ternyata disini ada empat kamar. Masing-masing kamar berisi dua orang. Khusus kamar paling pojok tidak ada yang mau menempati karena katanya ada penunggunya. Kebanyakan yang tidur disana pasti diganggu makanya tak ada yang mau tinggal di kamar pojok. Oh iya, empat khadamah rata-rata masih sekolah tingkat SMA. Sedangkan Mbak Syarifah dan temannya Mbak Nurul berusia 21 dan 18 tahun. Mereka memilih mengabdikan diri menjadi khadamah sekaligus masih ingin ngaji untuk mendalami hafalan qur’annya. Setelah cukup lama ngobrol dengan Mbak Syarifah dan Mbak Nurul aku memutuskan tidur. Kedua teman baruku ini khawatir dan menyuruhku tidur di salah satu kamar yang penghuninya sedang libur sekolah. Tapi aku memilih tidur di kamarku saja.Aku merebahkan diri dan mencoba tidur. Aku bisa merasakan ada makhluk tak kasat mata berusaha menggodaku. Kamar ini memang ada penghuni alam lain, rupanya.Sekedar informasi, baik aku dan Hasan memang memiliki kemampuan melihat sesuatu yang berbau ghaib. Kemampuan kami berasal dari Eyang Kakung dan bersifat menurun. Eyang Kakung kami dulunya seorang pandai besi. Kepandaian yang diturunkan dari generasi ke generasi. Walau begitu beliau seorang muslim yang taat. Beliau juga masih memegang adat kejawen yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Sayang keahliannya tak bisa diturunkan kepada kedua anaknya karena beliau meninggal saat kedua anaknya masih kecil."Gak usah ganggu aku ya? Aku capek. Lagian aku gak bakalan ganggu kamu. Kita hidup di alam berbeda. Oke. Selamat tidur. Bismillah."Aku memejamkan mataku dan akhirnya terlelap ke dalam alam mimpiAku terbangun saat mendengar suara orang mengaji. Setelah membereskan tempat tidur, aku segera keluar kamar untuk mandi. Saat membuka pintu kulihat kedua rekanku sudah berada di depan pintu kamar. Mereka melongo menatap horor kearahku."Kenapa?" tanyaku."Mbak Caca bisa tidur nyenyak?" tanya Mbak Syarifah."Nyenyak banget. Kenapa emangnya?""Gak ada yang gangguin?" sekarang Mbak Nurul yang bertanya."Hahaha. Gak ada tuh." Aku langsung berlalu menuju kamar mandi.Sedangkan kedua rekanku masih nampak tak percaya. Ya Allah muka mereka lucu sekali. Sehabis mandi aku langsung berganti gamis katun dan segera menuju ndalem (rumah Kyai).*****Aku tengah membantu Nurul dan Ipeh alias Syarifah memasak di dapur ndalem. Mereka menolak dipanggil Mbak karena usia mereka dibawahku. Karena usia kami boleh dikatakan sebaya makanya kami cepat sekali akrab.Kata Ipeh, dapur ndalem dan dapur khusus santri terpisah. Dapur santri khusus digunakan oleh para sa
"Hai kamu!" Aku yang tengah sibuk mengiris wortel mendongak menatap si cowok angkuh.Seminggu semenjak kejadian salah ndusel praktis kami saling menghindar. Malu iya, marah iya tapi seneng juga iya. Aku sih yang seneng. Halah ...."Apa!" jawabku jutek."Kamu itu niat kesini mau ngapain sih?""Mbabu (jadi pembantu)," jawabku ngasal."Ckckck ... Katanya mau ngaji.""Gus. Ini kan masih jam 7 pagi, gak ada jadwal ngaji. Kalau ada jadwal ngaji aku ya ngaji."Dia bersidekap. "Memangnya kamu mau fokus ngaji kitab apa?""Kitab apa saja yang penting ngaji. Kenapa Gus Azzam repot sih?" Aku mengeluarkan sisi jutekku."Aku gak repot cuma jengah sama tingkah kamu, santri lain itu gak kayak kamu tahu." Dia menjawab tak kalah dingin.Aku memandangnya tajam. Kami bertatapan dengan waktu yang lama hingga saling membuang pandangan. Astaga. Ada yang tidak beres ini dengan jantungku. Jangan sampai kalah Ca. Akhirnya aku bertanya lebih dahulu sekaligus u
*Azzam Dafa Al Kaivan*Gadis itu benar-benar berisik sekali, suka cari muka dan menggangu. Aku tahu dia anak sahabat Umi yang bernama Fatimah. Dan saat ini dia yatim piatu. Tapi sungguh kehadirannya membuatku terganggu.Aku dikenal sebagai sosok Gus yang dingin, cuek, galak dan mungkin angkuh. Tapi jangan salah, sikapku akan berbeda jika bersama Umi, aku justru sangat manja padanya. Maklum saja 12 tahun aku baru dikasih adik. Jadi, jangan salahkan kalau aku menjadi anak manja hanya ketika bersama Umi.Aku pertama jumpa dengannya di pintu gerbang pesantren, kuakui dia sangat cantik. Tapi bagiku biasa saja, karena aku sudah terbiasa lihat cewek cantik. Bahkan mantan calon Ning yang gagal ta'aruf denganku juga cantik. Tapi cantikan Caca sih. Astaghfirullah.Walau begitu bukan berarti aku suka sama Caca ya. Aku nyari istri itu harus seperti Umi. Kalem, lembut, perhatian dan penurut. Dan semua itu tidak ada di Caca.Aku sulung dari dua bersaudara. Jarak kelahiran
*Cahaya Mustika*Tak terasa sudah dua bulan aku mondok plus jadi khadamah disini. Awalnya, aku kesusahan beradaptasi. Terutama masalah ngajinya, tapi alhamdulillah akhirnya terbiasa. Berhubung dulu aku dan Hasan hanya punya satu HP milik bersama dan jadul pula, praktis komunikasi kami lewat sosmed. Dan itupun hanya bisa kulakukan saat hari Minggu saja dimana kami boleh keluar itupun hanya di area dekat pondok.Syukurlah Hasan nampak bahagia dan menikmati kuliahnya. Aku lost kontak dengan keluarga Jepara. Paling Hasan yang rajin menghubungi Husna untuk menanyakan keadaan bapaknya."Kamu betah Ca?" tanya Kang Bimo kepadaku saat membantuku mengupas kelapa sedangkan aku bertugas memarutnya."Betah Kang." Aku memanggilnya sesuai panggilannya disini."Syukurlah, Hasan kayaknya juga betah disana. Senangnya dengar dia lagi kuliah." Kang Bimo menghembuskan nafasnya."Kenapa Kang?""Gak papa. Aku cuma nyesel dulu jadi anak badung. Sekolah gak tamat hid
Kali ini aku menemani Abah, Umi, dan Gus Azmi ke Bandung dengan disopiri oleh Kang Bimo. Gus Azzam sendiri satu minggu yang lalu sudah ada di Bandung. Besok adalah hari wisuda Gus Azzam untuk program magisternya. Kami menginap di hotel yang cukup dekat dengan kampus."Kampusnya keren ya Umi, besok Azmi mau disini juga," celoteh Gus Azmi saat mobil kami memasuki pelataran parkir hotel."Memangnya Azmi mau jadi apa?""Gamer Umi, pokoknya bisa pegang komputer sama HP. Hehehe.""Dasar kamu itu ya?"Semua tertawa termasuk aku. Selanjutnya aku lebih banyak diam, karena menikmati perjalanan. Wow, aku jadi rindu kampus. Aku rindu belajar. Aku menghembuskan nafasku pelan. Semoga suatu hari nanti aku bisa kuliah lagi dan semoga aku segera punya uang. Syukur dibiayai suami. Dan pertanyaan yang muncul emangnya suamiku siapa?*****Mataku terpana menatap objek di depanku. Perawakannya yang tinggi menjulang, kulit putih dengan seraut wajah nan rupawan tengah ber
"Mbak Caca dipanggil Umi ke ndalem," seru Fauziah salah satu khadamah yang masih kelas 12 SMA."Oh ... makasih Dek." Aku menemui umi di ruang keluarga."Umi manggil Caca? Wonten nopo nggih Umi.""Gini, kata Azzam kamu itu lulusan pendidikan Biologi benar kan?""Nggih Umi, pripun?""Guru Biologi kita mau ikut suaminya ke Malang, jadi kita butuh gantinya. Daripada kita bikin loker kan mending memberdayakan SDM yang sudah ada. Bener kan?""Nggih Umi.""Mau ya bantuin ngajar di SMA.""Tapi, Caca sudah lama gak ngajar Umi. Takutnya nanti pas dihadapan siswa malah kayak patung Umi.""Ya dicoba dulu makanya.""Nanti kalau nervous gimana Umi.""Ya makanya latihan.""Nanti kalau ....""Kalau gak sanggup ya nolak. Gak usah banyak alasan. Percuma katanya sarjana terbaik tapi disuruh ngajar aja banyak alasan," sinis Gus Azzam.Aku melotot kearahnya, dia malah memiringkan senyumnya. Dasar kurang garam ini orang. Awas ya! Aku b
Satu bulan lamanya aku menjadi pengajar di SMA Al-Hikam. Awalnya grogi, gugup dan takut menjadi satu. Tapi lama-kelamaan akhirnya bisa beradaptasi."Us Caca," sapa ustazah Shafa, guru kimia."Ustazah Shafa. Hati-hati Us. Ckckck. Njenengan ini lagi hamil juga tetep gak bisa diem.""Hehehe. Mau gimana lagi Us, udah bawaan dari orok hehehe." Ustazah Shafa adalah ustazah yang umurnya sebaya denganku sedangkan yang lain rata-rata sudah berusia di atas 30 tahun."Ustaz Ahmad gak jemput apa?""Nanti Us, katanya masih ada rapat dengan para Ustaz.""Owh."Suasana sepi, karena ini sudah pukul empat sore. Aku baru saja mendampingi ekskul Pramuka. Saat tengah melewati koridor kelas dua belas kulihat sekelebat anak yang tengah mengendap-ngendap seperti maling."Sebentar Us. Tunggu disini!"Aku langsung melesat menuju si penyusup yang menggunakan helm dan berjaket tebal."Hei, siapa kamu!" teriakku.Dia kaget dan akan berlari tapi kutarik jaketnya. Ter
"Ustazah, ini kita bikin patoknya ukuran 1m x 1m?""Iya, nanti kamu amati didalamnya individunya apa saja terus jumlah dan kemungkinan interaksi yang terjadi. Apa mutualisme, parasitisme, komensalisme atau netral," jawabku.Hari ini kelas 10 IPA 1 sedang praktek materi ekosistem. Aku sengaja membawa mereka menuju ke sawah penduduk yang jaraknya 10 menit dari sekolahan. Dalam praktek ini, kami belajar sambil bermain. Sesekali menyapa para petani yang sedang memanen padinya. Bahkan ternyata sebagian besar sawah disini milik abah Ilyas yang tengah dipanen dengan mempekerjakan penduduk sekitar. Saat sedang mengawasi kegiatan anak-anak. Segerombolan ibu-ibu menyapaku dan mengajakku ngobrol."Eh Ustazah cantik, njenengan Ustazah baru ya?" tanya salah seorang ibu sambil menggepyok padinya." Gepyok padi artinya merontokkan padi secara manual dengan memukulkannya pada sebuah alat khusus."Nggih Bu, nama saya Caca.""Asli mana Us?" tanya yang lain."K
Hamdan menatap istrinya dengan sorot kemarahan, sementara Saroh hanya bisa menunduk. Safina sendiri sudah gemetar ketakutan. Sementara Nida menatap ketiganya dengan ekspresi datar. Nida baru saja ada urusan. Berhubung dia melewati sebuah mall, dia memutuskan mampir karena mau membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sudah habis. Tak menyangka dia bertemu dengan Saroh dan Safina. Seperti biasa Saroh akan mendesak Nida untuk menerima Safina jadi madu. Safina sendiri bertekad untuk berani jadi dia pun mengemis-ngemis kepada Nida agar menerimanya. Namun hal yang tidak diketahui Saroh adalah Hamdan ayah Hilman tidak sengaja berada di tempat yang sama dengan mereka. Hamdan baru saja berceramah di sebuah masjid yang berada dekat dengan mall. Dia yang melihat keberadaan ketiga orang yang dikasihinya, mendekat. Namun saat mendekati ketiganya, Hamdan sempat berhenti mendekat ketika mendengar kalimat Saroh yang meminta Nida menerima Safina menjadi madu. Nida yang menghadap ke arah Hamdan,
Hilman memeluk istrinya penuh dengan sayang. Sesekali mencium kepalanya."Maafkan Umi Saroh ya?"Nida hanya diam dan lebih mengetatkan pelukannya pada sang suami. Sungguh dia merasa lelah sekali. Hasil tespeck yang lagi-lagi gagal. Omongan julit orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa dia belum hamil sementara Nada sudah punya sepasang putra dan putri. Ditambah rongrongan dari Saroh membuat mentalnya down. "Gimana kalau kapan-kapan kita pergi. Kemana gitu. Mau ke pantai atau muncak? Refreshing biar pikiran adem.""Gampang lah Mas, kalau Abah sama Umi atau Nada udah balik. Gak tenang aku kalau ninggalin pondok tanpa ada yang jaga.""Ya udah. Kamu ada agenda ngajar kan jam sebelas?""Iya, Mas juga kan?""Iya.""Ya udah, yuk kita siap-siap Mas."Kedua pasangan suami istri berdiri, kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap mengajar di sekolah.Selama seharian keduanya sibuk dengan tugas di sekolah. Pun Nida. Sejak tadi dia seperti tak ada waktu untuk duduk atau makan karena
Nida melemparkan hasil tespeck yang untuk kesekian kalinya hanya menunjukkan garis satu ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandinya. Setelah itu menarik napas secara dalam dan mengembuskannya secara kasar. Dia memilih jongkok lalu menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang tertekuk.Tangisnya muncul. Meski berusaha tegar, Nida tetaplah manusia biasa wanita biasa. Dia bisa saja terluka, dia bisa sedih dan butuh menangis. Cukup lama, Nida berada di kamar mandi. Setelah puas menumpahkan air matanya. Nida segera mencuci muka untuk menyamarkan bekas air matanya.Nida kemudian melihat ke arah kaca berukuran kecil. Begitu mata sembabnya sudah tak terlihat, Nida segera keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Nida melirik ke dalam kamar, kemudian tatapannya tertuju pada jam dinding. Ternyata masih setengah enam, itu berarti suaminya masih berada di masjid kompleks pondok putra. Nida segera menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kebetulan keluarga Nada sedang
POV JamalAku masih duduk di dekat sebuah pusara. Sesekali kubelai nisan yang terbuat dari kayu. Atau mengambil butiran tanah dan kutaruh lagi pada gundukan yang masih basah. Bau beberapa macam bunga yang tersebar di atas makam begitu menyengat di indera penciumanku.Pandangan mataku mencoba menelusuri sekeliling tanah perkuburan yang terlihat sejuk dan rimbun dengan beberapa pohon Kamboja maupun beringin yang terlihat gagah dan tinggi."Mas."Sebuah usapan pada bahu kananku menyadarkanku pada sosok wanita yang sudah sepuluh tahun ini menemaniku dalam suka dan duka. "Sudah mulai sore. Ayok pulang. Kasihan juga Umi."Aku melirik ke arah Umi yang kini sedang menyandarkan kepalanya di atas bahu Mas Jalal. Terlihat sekali kesedihan di mata Umi. Meski Umi terlihat tidak menangis lagi, tapi aku tahu Umi adalah orang yang paling terpukul dengan kematian Abah.Aku bangkit lalu menuju ke arah Umi. Kuusap lembut kedua tangannya. "Kita pulang yuk Umi. Kasihan Abah. Kita harus ikhlas."Umi hany
POV NadaAku masih bergelung malas di atas kasur. Setelah sholat subuh harusnya gak tidur lagi, tapi beneran deh ngantuk. Capek juga. Sebuah kecupan hangat mampir di keningku. Aku tersenyum pada sosok pria berkulit eksotis dengan senyum sangat menawan."Capek?" tanyanya."Iya.""Mau jalan-jalan lagi gak?"Aku menggeleng. "Capek, mager juga.""Mau makan?"Aku menggeleng. "Kan tadi habis makan roti, masih kenyang.""Hehehe. Ya udah."Jamal ikut rebahan dan memelukku. Namun, kedua tangan dan bibirnya seperti biasa tidak suka nganggur. Suka sekali bikin tubuhku merinding disko."Mas! Aku udah mandi dua kali loh sepagi ini," rengekku. Semenjak menikah, aku menambahkan embel-embel 'mas' saat menyebut nama Jamal."Ya nanti mandi lagi. Mandi bareng sama aku," ucapnya genit."Mas! Astaga!"Akhirnya aku hanya bisa pasrah akan kelakuan suamiku. Ya sudahlah, toh kewajibanku juga sebagai istri.Selesai mandi untuk ketiga kalinya, aku dan Jamal segera melaksanakan sholat dhuhur kemudian kami seger
POV Jamal Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Pokoknya kalau ada sutradara yang lagi nyari orang buat casting produk pasta gigi dijamin aku bakalan langsung tanda tangan kontrak. Lah, senyumku kan menawan. Wajahku rupawan lagi. Sesekali kulirik istri cantikku yang pukul sembilan tadi kuucapkan janji sehidup semati di hadapan abahnya, para tamu dan paling penting di hadapan Allah. Senyum pun tak pernah lepas dari bibirnya. Lalu kutolehkan pandanganku pada pelaminan di sisi kanan, terlihat pasangan pengantin lain pun tersenyum semringah. Hari ini, sedang terselenggara pernikahan dengan dua pasangan pengantin. Siapa lagi pengantinnya kalau bukan antara aku dan Nada. Dan di sebelah kanan kami, berdiri pasangan Mbak Nida dan Mas Hilman. Karena mereka udah jadi kakak iparku ya kupanggil dong dengan sebutan mas dan mbak. Aku bersyukur perjuanganku untuk mendapatkan Nada berhasil. Sempat down kemarin-kemarin. Sempat mutung (ngambek) juga. Untung ada Mas Singa Garang sama Si Jutek Caca ya
Begitu menginjakkan kaki di halaman rumah Jamal, aku tertegun. Tampak sosok Jamal yang berada di teras rumah. Di belakangnya ada Kamal dan sosok remaja lelaki yang begitu asing. Ketiganya kaget melihatku. Tapi aku justru senang. Itu artinya Jamal gak jadi pergi ke Mesir. Namun kesenanganku hilang saat melihat koper besar yang berada di tangan Jamal. Aku panik. Jangan-jangan Jamal beneran mau pergi ke Mesir."Jamal." Aku langsung menghampiri Jamal."Kamu mau ke Mesir?""Iya. Mau pindah ke sana, nyari cewek sana. Kan cantik-cantik." Suara Jamal terdengar ketus."Jamal. Aku minta maaf. Jangan pergi!""Buat apa di sini, cewek yang aku perjuangin gak mau nerima aku. Dia pasti malu. Aku kan gak tinggi-tinggi amat, kulitku eksotik, cuma penjual udang. Kalah sama cowok-cowok diluaran sana."Jamal menarik kopernya, dia berjalan melewatiku. Tentu saja aku mengekori langkahnya."Mal." Aku menekan pintu bagasi yang baru saja dia buka. Mataku menatapnya sendu."Mal, jangan pergi.""Minggir, Nad.
Aku hanya bisa tertunduk. Semua orang sedang menatapku dengan pandangan beraneka macam. Ada yang terlihat prihatin, sedih, kesal bahkan marah. "Sekarang maunya Ning apa? Minta Jamal menikahi Hana? Percuma Ning. Jamal udah pergi. Tadi malam dia minta ijin sama Abah, katanya mau ke Mesir aja. Katanya dia mau mengobati luka hati sambil usaha nyari istri, orang sana. Jamal bilang, siapa tahu di sana ada yang cinta sama dia. Menerima dia apa adanya. Ckckck. Jangankan di Mesir, orang di Indonesia saja ditolak mulu." Gus Jalal salah satu kakak Jamal bicara dengan nada biasa. Bahkan suaranya terdengar lembut. Sayang, bagiku ini seperti sindirian telak untukku. Abah dan uminya Jamal sendiri hanya diam. Tak ada satu pun kata terucap dari bibir keduanya. Tapi dari tatapan matanya, aku tahu. Mereka berdua begitu kecewa padaku."Maaf." Akhirnya hanya itu saja kata yang bisa keluar dari mulutku.Aku melirik ke arah Mas Azzam. Sayang, Mas Azzam sejak tadi tak bersuara. Dia hanya diam. Namun, tatap
POV NadaAku sedang merenung di salah satu kamar yang ada di pondok putri. Banyak hal yang sedang aku pikirkan. Salah satunya, percakapanku dengan Hana dan ibunya waktu itu.Flashback."Ning Nada kan?" Seorang wanita paruh baya menghampiriku yang baru saja selesai melaksanakan sholat duha."Iya, siapa?""Herlin. Mamahnya Hana.""Oh."Kami bersalaman. Bu Herlin tersenyum ramah padaku dan tentu kubalas senyumnya walau aku sedikit merasa kikuk."Boleh kita bicara?""Mau bicara apa, Bu?""Tentang Hana. Ayok ikut saya."Mau tak mau aku mengikuti langkah Bu Herlin menuju kamar Hana. Sampai di sana, aku kaget menemukan Hana yang kondisinya menyedihkan. Aku ingat, Mas Gino bilang jika Hana tak bisa berjalan lagi. Dia lumpuh. Ya Allah, kasihan sekali dia."Nada." Hana memanggilku dengan suara parau. Tangannya terulur padaku, dia menangis.Aku merasa tak tega melihat keadaannya, hingga kuputuskan