Aku terbangun saat mendengar suara orang mengaji. Setelah membereskan tempat tidur, aku segera keluar kamar untuk mandi. Saat membuka pintu kulihat kedua rekanku sudah berada di depan pintu kamar. Mereka melongo menatap horor kearahku.
"Kenapa?" tanyaku."Mbak Caca bisa tidur nyenyak?" tanya Mbak Syarifah."Nyenyak banget. Kenapa emangnya?""Gak ada yang gangguin?" sekarang Mbak Nurul yang bertanya."Hahaha. Gak ada tuh." Aku langsung berlalu menuju kamar mandi.Sedangkan kedua rekanku masih nampak tak percaya. Ya Allah muka mereka lucu sekali. Sehabis mandi aku langsung berganti gamis katun dan segera menuju ndalem (rumah Kyai).*****Aku tengah membantu Nurul dan Ipeh alias Syarifah memasak di dapur ndalem. Mereka menolak dipanggil Mbak karena usia mereka dibawahku. Karena usia kami boleh dikatakan sebaya makanya kami cepat sekali akrab.Kata Ipeh, dapur ndalem dan dapur khusus santri terpisah. Dapur santri khusus digunakan oleh para santri. Di sini modelnya ada jadwal masak tiap kamar. Kamar mana yang dapat jatah piket masak, maka tugas penghuni kamar yang berjumlah sepuluh orang itu untuk menyiapkan makanan selama satu hari ini. Sedangkan dapur ndalem dikhususkan untuk keluarga kyai.Selain bercerita tentang pondok dan para santri, Ipeh dan Nurul juga menceritakan keadaan keluarga Abah Ilyas dan Umi Aisyah. Kata mereka, Abah dan Umi mempunyai dua orang Putra. Si sulung berusia 24 tahun sedangkan si bungsu 12 tahun.Aku segera menghidangkan makanan di atas meja makan ketika semua makanan telah matang. Sop jamur, tumis kangkung, tempe goreng, ayam goreng dan sambal terasi. Perfect. Oh jangan lupa lalapan sama petenya. Sementara Ipeh dan Nurul sedang mandi. Mereka harus segera ke pondok karena mereka juga memiliki tugas di sana."Wah ... Ini malah ngerepotin Caca." Umi Aisyah datang masih mengenakan mukena."Gak kok Umi. Caca malah seneng bisa bantu-bantu.""Ya sudah, sini makan bareng sama Umi, Abah dan Azzam sekalian.""Mboten usah Umi. Saya gak enak. Saya makan sama Nurul dan Ipeh saja.""Gak papa sini duduk! Umi masih kangen sama kamu."Tak lama kemudian datanglah sosok lelaki paruh baya yang penuh kharisma. Duh, kalau masih muda pasti tampan mempesona ini. Udah tua aja aku klepek-klepek. Hehehe."Abah ... Baru pulang Bah?" Umi menyambut tangan suaminya dan si Abah mengecup kening Umi Aisyah. Uwuwu ... Aku kok iri ya melihat pasangan tua tapi berjiwa muda ini."Ini Caca, anaknya Fatimah sama Ridwan ya?" tanya Abah Ilyas.Abah Ilyas tersenyum. Tampan. Aku pun membalas senyumnya sambil menjawab pertanyaan Abah."Nggih Abah," jawabku."Sini duduk sama Abah dan Umi. Kita makan bareng-bareng. Umi ... Azzam kok belum kelihatan?""Masih tidur kayaknya Bah? Tadi malam lembur kayaknya. Umi itu udah senewen udah gregetan pengin bongkar tuh kamarnya. Kamar kok kayak kapal pecah," curhat Umi."Mungkin dia masih ada kerjaan Umi. Lagian kan juga ngurusi tesisnya. Mungkin lagi ada job juga, mau bikin rumah, mushola, jembatan, hotel atau apalah," terang Abah."Hahaha. Padahal Umi ngarepnya Azzam segera bikin bayi biar kita bisa cepet punya cucu," kelakar umi."Hahaha. Kamu yakin mau ngarepin Azzam cepet nikah? Kayaknya daripada Umi ngarepin Azzam mending kita bikin sendiri aja Um?" sahut Abah sambil menarik turunkan alisnya.Sontak Umi memukul lengan Abah, "Abah mesum ih. Gak malu ada Caca apa?" pipi Umi memerah karena malu."Gak papa kok Umi, kan Caca serasa lagi nonton Drakor pas adegan suami istri yang bahagia. Hehehe.""Hahaha ... Kamu memang anaknya Fatimah. Pantes uminya Azzam langsung lengket sama kamu," celetuk Abah.Fokus kami teralihkan karena kedatangan seseorang. Seorang lelaki memakai kaos oblong hitam dan bersarung hitam datang ke meja makan. Rambutnya yang panjang nampak awut-awutan tapi tetap tampan haish. Sepertinya dia masih mengantuk dan tak menyadari sekelilingnya.Cara jalannya seperti seseorang yang mengalami tidur sambil berjalan. Kami bertiga terdiam dan sibuk mengamati tingkah lakunya.Dia duduk didekatku dan ... What? mataku melotot. Aku syok. Dia ndusel (meletakkan kepala) ke ketekku? Serius ini? Aduh jantungku malah jadi disco. Dua orang tua itu pun tak kalah syoknya denganku."Zam ...""Dalem Umi.""Lepas!""Pewe (nyaman) Umi, Azzam kan udah biasa kayak gini," rajuknya manja dan masih ndusel ke ketekku. Aku mematung dan bingung. Sisi otakku ingin menyudahi sedangkan sisi hatiku menikmati. Halah."Zam," kali ini Abah yang bersuara tegas."Nopo(apa) Bah?""Buka matamu, lihat kamu itu lagi ngapain? Bukan mahram!" bentaknya."Mahram Abah? Kan ndusel sama Umi.""Azzam!""Ckckck ... Ya kalau bukan Umi berarti calon istri Azzam." Pria itu berkata sambil mengangkat tubuhnya dariku kemudian matanya melebar saat menyadari keberadaanku."Kamu? Kamu siapa?" bentaknya."Caca." Aku menjawab sambil meringis."Ngapain kamu disini!" bentaknya. Ya Allah suaranya menggelegar sekali kayak singa."Mau makan," ucapku lirih dengan muka memerah.Dia memandangku kemudian menoleh kesekelilingnya dan mendapati kedua orangtuanya berada di seberang meja. Umi nampak tersenyum geli sedangkan raut muka Abah memerah campuran antara kesal, marah dan menahan tawa.Aku? Oh jangan tanyakan bagaimana denganku. Lelaki paling dekat denganku hanya Hasan dan dia tak pernah ndusel-ndusel manja kepadaku.Karena terlalu malu aku memilih berpamitan kepada Abah dan Umi. Berjalan pelan, dan ketika sampai dapur aku langsung melesat menuju kamarku. Aish ... Kok aku jadi keki setengah mati sih. Mana itu cowok walau belum mandi tapi wangi lagi. Oh tidakkkkk ....Aku berbaring dan kemudian menutup mukaku dengan bantal. Ya Allah, aku malu sekali. Huhuhu.*****Keesokan harinya, aku seperti biasa membantu Ipeh dan Nurul memasak di ndalem.Saat menyiapkan masakan di meja makan sesekali aku melirik ke kanan kiri. Takut bertemu dengan Gus Azzam. Sepagian ini aku berhasil menghindar dan sama sekali tak bertemu dengannya.Sayang, saat sedang membawa ember bekas mengepel aku kaget. Kami tanpa sengaja berpapasan di pintu depan. Hampir tabrakan. Aku gugup sedangkan Gus Azzam menatapku dengan muka datar. Aku segera bergeser ke kiri sayang dia malah geser ke kanan. Alhasil kami melangkah ke arah yang sama. Aku segera menggeser tubuh ke kanan, Gus Azzam malah geser ke arah kirinya. Oke Fixed, kami refleks geser lagi dan sekali lagi geser ke arah yang sama."Kita gak lagi dansa kan?" sinisnya."Gak Gus, kita lagi joget," sahutku asal.Dia mendelik dan aku meringis. Tanpa pamit aku segera mundur dan melangkah melewatinya sambil menunduk.Semenjak peristiwa salah ndusel dan hampir tabrakan, ada yang aneh dengan diriku. Aku merasa ada yang tak beres dengan hatiku. Dan jantung ini selalu saja berdetak lebih keras jika bertemu atau mendengar namanya disebut. Kenapa ya? Masa sih aku kena penyakit jantung?"Hai kamu!" Aku yang tengah sibuk mengiris wortel mendongak menatap si cowok angkuh.Seminggu semenjak kejadian salah ndusel praktis kami saling menghindar. Malu iya, marah iya tapi seneng juga iya. Aku sih yang seneng. Halah ...."Apa!" jawabku jutek."Kamu itu niat kesini mau ngapain sih?""Mbabu (jadi pembantu)," jawabku ngasal."Ckckck ... Katanya mau ngaji.""Gus. Ini kan masih jam 7 pagi, gak ada jadwal ngaji. Kalau ada jadwal ngaji aku ya ngaji."Dia bersidekap. "Memangnya kamu mau fokus ngaji kitab apa?""Kitab apa saja yang penting ngaji. Kenapa Gus Azzam repot sih?" Aku mengeluarkan sisi jutekku."Aku gak repot cuma jengah sama tingkah kamu, santri lain itu gak kayak kamu tahu." Dia menjawab tak kalah dingin.Aku memandangnya tajam. Kami bertatapan dengan waktu yang lama hingga saling membuang pandangan. Astaga. Ada yang tidak beres ini dengan jantungku. Jangan sampai kalah Ca. Akhirnya aku bertanya lebih dahulu sekaligus u
*Azzam Dafa Al Kaivan*Gadis itu benar-benar berisik sekali, suka cari muka dan menggangu. Aku tahu dia anak sahabat Umi yang bernama Fatimah. Dan saat ini dia yatim piatu. Tapi sungguh kehadirannya membuatku terganggu.Aku dikenal sebagai sosok Gus yang dingin, cuek, galak dan mungkin angkuh. Tapi jangan salah, sikapku akan berbeda jika bersama Umi, aku justru sangat manja padanya. Maklum saja 12 tahun aku baru dikasih adik. Jadi, jangan salahkan kalau aku menjadi anak manja hanya ketika bersama Umi.Aku pertama jumpa dengannya di pintu gerbang pesantren, kuakui dia sangat cantik. Tapi bagiku biasa saja, karena aku sudah terbiasa lihat cewek cantik. Bahkan mantan calon Ning yang gagal ta'aruf denganku juga cantik. Tapi cantikan Caca sih. Astaghfirullah.Walau begitu bukan berarti aku suka sama Caca ya. Aku nyari istri itu harus seperti Umi. Kalem, lembut, perhatian dan penurut. Dan semua itu tidak ada di Caca.Aku sulung dari dua bersaudara. Jarak kelahiran
*Cahaya Mustika*Tak terasa sudah dua bulan aku mondok plus jadi khadamah disini. Awalnya, aku kesusahan beradaptasi. Terutama masalah ngajinya, tapi alhamdulillah akhirnya terbiasa. Berhubung dulu aku dan Hasan hanya punya satu HP milik bersama dan jadul pula, praktis komunikasi kami lewat sosmed. Dan itupun hanya bisa kulakukan saat hari Minggu saja dimana kami boleh keluar itupun hanya di area dekat pondok.Syukurlah Hasan nampak bahagia dan menikmati kuliahnya. Aku lost kontak dengan keluarga Jepara. Paling Hasan yang rajin menghubungi Husna untuk menanyakan keadaan bapaknya."Kamu betah Ca?" tanya Kang Bimo kepadaku saat membantuku mengupas kelapa sedangkan aku bertugas memarutnya."Betah Kang." Aku memanggilnya sesuai panggilannya disini."Syukurlah, Hasan kayaknya juga betah disana. Senangnya dengar dia lagi kuliah." Kang Bimo menghembuskan nafasnya."Kenapa Kang?""Gak papa. Aku cuma nyesel dulu jadi anak badung. Sekolah gak tamat hid
Kali ini aku menemani Abah, Umi, dan Gus Azmi ke Bandung dengan disopiri oleh Kang Bimo. Gus Azzam sendiri satu minggu yang lalu sudah ada di Bandung. Besok adalah hari wisuda Gus Azzam untuk program magisternya. Kami menginap di hotel yang cukup dekat dengan kampus."Kampusnya keren ya Umi, besok Azmi mau disini juga," celoteh Gus Azmi saat mobil kami memasuki pelataran parkir hotel."Memangnya Azmi mau jadi apa?""Gamer Umi, pokoknya bisa pegang komputer sama HP. Hehehe.""Dasar kamu itu ya?"Semua tertawa termasuk aku. Selanjutnya aku lebih banyak diam, karena menikmati perjalanan. Wow, aku jadi rindu kampus. Aku rindu belajar. Aku menghembuskan nafasku pelan. Semoga suatu hari nanti aku bisa kuliah lagi dan semoga aku segera punya uang. Syukur dibiayai suami. Dan pertanyaan yang muncul emangnya suamiku siapa?*****Mataku terpana menatap objek di depanku. Perawakannya yang tinggi menjulang, kulit putih dengan seraut wajah nan rupawan tengah ber
"Mbak Caca dipanggil Umi ke ndalem," seru Fauziah salah satu khadamah yang masih kelas 12 SMA."Oh ... makasih Dek." Aku menemui umi di ruang keluarga."Umi manggil Caca? Wonten nopo nggih Umi.""Gini, kata Azzam kamu itu lulusan pendidikan Biologi benar kan?""Nggih Umi, pripun?""Guru Biologi kita mau ikut suaminya ke Malang, jadi kita butuh gantinya. Daripada kita bikin loker kan mending memberdayakan SDM yang sudah ada. Bener kan?""Nggih Umi.""Mau ya bantuin ngajar di SMA.""Tapi, Caca sudah lama gak ngajar Umi. Takutnya nanti pas dihadapan siswa malah kayak patung Umi.""Ya dicoba dulu makanya.""Nanti kalau nervous gimana Umi.""Ya makanya latihan.""Nanti kalau ....""Kalau gak sanggup ya nolak. Gak usah banyak alasan. Percuma katanya sarjana terbaik tapi disuruh ngajar aja banyak alasan," sinis Gus Azzam.Aku melotot kearahnya, dia malah memiringkan senyumnya. Dasar kurang garam ini orang. Awas ya! Aku b
Satu bulan lamanya aku menjadi pengajar di SMA Al-Hikam. Awalnya grogi, gugup dan takut menjadi satu. Tapi lama-kelamaan akhirnya bisa beradaptasi."Us Caca," sapa ustazah Shafa, guru kimia."Ustazah Shafa. Hati-hati Us. Ckckck. Njenengan ini lagi hamil juga tetep gak bisa diem.""Hehehe. Mau gimana lagi Us, udah bawaan dari orok hehehe." Ustazah Shafa adalah ustazah yang umurnya sebaya denganku sedangkan yang lain rata-rata sudah berusia di atas 30 tahun."Ustaz Ahmad gak jemput apa?""Nanti Us, katanya masih ada rapat dengan para Ustaz.""Owh."Suasana sepi, karena ini sudah pukul empat sore. Aku baru saja mendampingi ekskul Pramuka. Saat tengah melewati koridor kelas dua belas kulihat sekelebat anak yang tengah mengendap-ngendap seperti maling."Sebentar Us. Tunggu disini!"Aku langsung melesat menuju si penyusup yang menggunakan helm dan berjaket tebal."Hei, siapa kamu!" teriakku.Dia kaget dan akan berlari tapi kutarik jaketnya. Ter
"Ustazah, ini kita bikin patoknya ukuran 1m x 1m?""Iya, nanti kamu amati didalamnya individunya apa saja terus jumlah dan kemungkinan interaksi yang terjadi. Apa mutualisme, parasitisme, komensalisme atau netral," jawabku.Hari ini kelas 10 IPA 1 sedang praktek materi ekosistem. Aku sengaja membawa mereka menuju ke sawah penduduk yang jaraknya 10 menit dari sekolahan. Dalam praktek ini, kami belajar sambil bermain. Sesekali menyapa para petani yang sedang memanen padinya. Bahkan ternyata sebagian besar sawah disini milik abah Ilyas yang tengah dipanen dengan mempekerjakan penduduk sekitar. Saat sedang mengawasi kegiatan anak-anak. Segerombolan ibu-ibu menyapaku dan mengajakku ngobrol."Eh Ustazah cantik, njenengan Ustazah baru ya?" tanya salah seorang ibu sambil menggepyok padinya." Gepyok padi artinya merontokkan padi secara manual dengan memukulkannya pada sebuah alat khusus."Nggih Bu, nama saya Caca.""Asli mana Us?" tanya yang lain."K
*Azzam Daffa Al Kaivan*Aku memarkirkan mobilku di garasi. Aku baru menyelesaikan segala urusanku mengenai beasiswa S3-ku di RMIT University yang terletak di kota Melbourne. Insya Allah seminggu lagi aku berangkat ke sana. Alhamdulillah ya Allah, cita-citaku akan terlaksana sebentar lagi.Aku tertegun melihat sebuah mobil Avanza yang terparkir dihalaman berdampingan dengan mobil Xenia abah. Aku segera masuk ke rumah."Assalamu’alaikum""Wa’alaikumsalam."Kulihat Abah dan Umi sedang menerima tamu yang ternyata orang tua Ning Salima. Bahkan Ning Salima ikut. Aku pun menyalami Abah, Umi, Kyai Miftah dan menangkupkan kedua tangan kepada istri dan anak Kyai Miftah."Baru pulang Zam?" tanya Abah."Nggih Bah.""Lancar semua.""Lancar Bah."Abah tersenyum meneduhkan. Aku menoleh ke arah Kyai Miftah."Sampun dangu Pak Kyai?" tanyaku basa basi."Belum Gus, selamat atas wisudanya nggih Gus.""Matur nuwun P
Hamdan menatap istrinya dengan sorot kemarahan, sementara Saroh hanya bisa menunduk. Safina sendiri sudah gemetar ketakutan. Sementara Nida menatap ketiganya dengan ekspresi datar. Nida baru saja ada urusan. Berhubung dia melewati sebuah mall, dia memutuskan mampir karena mau membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sudah habis. Tak menyangka dia bertemu dengan Saroh dan Safina. Seperti biasa Saroh akan mendesak Nida untuk menerima Safina jadi madu. Safina sendiri bertekad untuk berani jadi dia pun mengemis-ngemis kepada Nida agar menerimanya. Namun hal yang tidak diketahui Saroh adalah Hamdan ayah Hilman tidak sengaja berada di tempat yang sama dengan mereka. Hamdan baru saja berceramah di sebuah masjid yang berada dekat dengan mall. Dia yang melihat keberadaan ketiga orang yang dikasihinya, mendekat. Namun saat mendekati ketiganya, Hamdan sempat berhenti mendekat ketika mendengar kalimat Saroh yang meminta Nida menerima Safina menjadi madu. Nida yang menghadap ke arah Hamdan,
Hilman memeluk istrinya penuh dengan sayang. Sesekali mencium kepalanya."Maafkan Umi Saroh ya?"Nida hanya diam dan lebih mengetatkan pelukannya pada sang suami. Sungguh dia merasa lelah sekali. Hasil tespeck yang lagi-lagi gagal. Omongan julit orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa dia belum hamil sementara Nada sudah punya sepasang putra dan putri. Ditambah rongrongan dari Saroh membuat mentalnya down. "Gimana kalau kapan-kapan kita pergi. Kemana gitu. Mau ke pantai atau muncak? Refreshing biar pikiran adem.""Gampang lah Mas, kalau Abah sama Umi atau Nada udah balik. Gak tenang aku kalau ninggalin pondok tanpa ada yang jaga.""Ya udah. Kamu ada agenda ngajar kan jam sebelas?""Iya, Mas juga kan?""Iya.""Ya udah, yuk kita siap-siap Mas."Kedua pasangan suami istri berdiri, kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap mengajar di sekolah.Selama seharian keduanya sibuk dengan tugas di sekolah. Pun Nida. Sejak tadi dia seperti tak ada waktu untuk duduk atau makan karena
Nida melemparkan hasil tespeck yang untuk kesekian kalinya hanya menunjukkan garis satu ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandinya. Setelah itu menarik napas secara dalam dan mengembuskannya secara kasar. Dia memilih jongkok lalu menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang tertekuk.Tangisnya muncul. Meski berusaha tegar, Nida tetaplah manusia biasa wanita biasa. Dia bisa saja terluka, dia bisa sedih dan butuh menangis. Cukup lama, Nida berada di kamar mandi. Setelah puas menumpahkan air matanya. Nida segera mencuci muka untuk menyamarkan bekas air matanya.Nida kemudian melihat ke arah kaca berukuran kecil. Begitu mata sembabnya sudah tak terlihat, Nida segera keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Nida melirik ke dalam kamar, kemudian tatapannya tertuju pada jam dinding. Ternyata masih setengah enam, itu berarti suaminya masih berada di masjid kompleks pondok putra. Nida segera menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kebetulan keluarga Nada sedang
POV JamalAku masih duduk di dekat sebuah pusara. Sesekali kubelai nisan yang terbuat dari kayu. Atau mengambil butiran tanah dan kutaruh lagi pada gundukan yang masih basah. Bau beberapa macam bunga yang tersebar di atas makam begitu menyengat di indera penciumanku.Pandangan mataku mencoba menelusuri sekeliling tanah perkuburan yang terlihat sejuk dan rimbun dengan beberapa pohon Kamboja maupun beringin yang terlihat gagah dan tinggi."Mas."Sebuah usapan pada bahu kananku menyadarkanku pada sosok wanita yang sudah sepuluh tahun ini menemaniku dalam suka dan duka. "Sudah mulai sore. Ayok pulang. Kasihan juga Umi."Aku melirik ke arah Umi yang kini sedang menyandarkan kepalanya di atas bahu Mas Jalal. Terlihat sekali kesedihan di mata Umi. Meski Umi terlihat tidak menangis lagi, tapi aku tahu Umi adalah orang yang paling terpukul dengan kematian Abah.Aku bangkit lalu menuju ke arah Umi. Kuusap lembut kedua tangannya. "Kita pulang yuk Umi. Kasihan Abah. Kita harus ikhlas."Umi hany
POV NadaAku masih bergelung malas di atas kasur. Setelah sholat subuh harusnya gak tidur lagi, tapi beneran deh ngantuk. Capek juga. Sebuah kecupan hangat mampir di keningku. Aku tersenyum pada sosok pria berkulit eksotis dengan senyum sangat menawan."Capek?" tanyanya."Iya.""Mau jalan-jalan lagi gak?"Aku menggeleng. "Capek, mager juga.""Mau makan?"Aku menggeleng. "Kan tadi habis makan roti, masih kenyang.""Hehehe. Ya udah."Jamal ikut rebahan dan memelukku. Namun, kedua tangan dan bibirnya seperti biasa tidak suka nganggur. Suka sekali bikin tubuhku merinding disko."Mas! Aku udah mandi dua kali loh sepagi ini," rengekku. Semenjak menikah, aku menambahkan embel-embel 'mas' saat menyebut nama Jamal."Ya nanti mandi lagi. Mandi bareng sama aku," ucapnya genit."Mas! Astaga!"Akhirnya aku hanya bisa pasrah akan kelakuan suamiku. Ya sudahlah, toh kewajibanku juga sebagai istri.Selesai mandi untuk ketiga kalinya, aku dan Jamal segera melaksanakan sholat dhuhur kemudian kami seger
POV Jamal Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Pokoknya kalau ada sutradara yang lagi nyari orang buat casting produk pasta gigi dijamin aku bakalan langsung tanda tangan kontrak. Lah, senyumku kan menawan. Wajahku rupawan lagi. Sesekali kulirik istri cantikku yang pukul sembilan tadi kuucapkan janji sehidup semati di hadapan abahnya, para tamu dan paling penting di hadapan Allah. Senyum pun tak pernah lepas dari bibirnya. Lalu kutolehkan pandanganku pada pelaminan di sisi kanan, terlihat pasangan pengantin lain pun tersenyum semringah. Hari ini, sedang terselenggara pernikahan dengan dua pasangan pengantin. Siapa lagi pengantinnya kalau bukan antara aku dan Nada. Dan di sebelah kanan kami, berdiri pasangan Mbak Nida dan Mas Hilman. Karena mereka udah jadi kakak iparku ya kupanggil dong dengan sebutan mas dan mbak. Aku bersyukur perjuanganku untuk mendapatkan Nada berhasil. Sempat down kemarin-kemarin. Sempat mutung (ngambek) juga. Untung ada Mas Singa Garang sama Si Jutek Caca ya
Begitu menginjakkan kaki di halaman rumah Jamal, aku tertegun. Tampak sosok Jamal yang berada di teras rumah. Di belakangnya ada Kamal dan sosok remaja lelaki yang begitu asing. Ketiganya kaget melihatku. Tapi aku justru senang. Itu artinya Jamal gak jadi pergi ke Mesir. Namun kesenanganku hilang saat melihat koper besar yang berada di tangan Jamal. Aku panik. Jangan-jangan Jamal beneran mau pergi ke Mesir."Jamal." Aku langsung menghampiri Jamal."Kamu mau ke Mesir?""Iya. Mau pindah ke sana, nyari cewek sana. Kan cantik-cantik." Suara Jamal terdengar ketus."Jamal. Aku minta maaf. Jangan pergi!""Buat apa di sini, cewek yang aku perjuangin gak mau nerima aku. Dia pasti malu. Aku kan gak tinggi-tinggi amat, kulitku eksotik, cuma penjual udang. Kalah sama cowok-cowok diluaran sana."Jamal menarik kopernya, dia berjalan melewatiku. Tentu saja aku mengekori langkahnya."Mal." Aku menekan pintu bagasi yang baru saja dia buka. Mataku menatapnya sendu."Mal, jangan pergi.""Minggir, Nad.
Aku hanya bisa tertunduk. Semua orang sedang menatapku dengan pandangan beraneka macam. Ada yang terlihat prihatin, sedih, kesal bahkan marah. "Sekarang maunya Ning apa? Minta Jamal menikahi Hana? Percuma Ning. Jamal udah pergi. Tadi malam dia minta ijin sama Abah, katanya mau ke Mesir aja. Katanya dia mau mengobati luka hati sambil usaha nyari istri, orang sana. Jamal bilang, siapa tahu di sana ada yang cinta sama dia. Menerima dia apa adanya. Ckckck. Jangankan di Mesir, orang di Indonesia saja ditolak mulu." Gus Jalal salah satu kakak Jamal bicara dengan nada biasa. Bahkan suaranya terdengar lembut. Sayang, bagiku ini seperti sindirian telak untukku. Abah dan uminya Jamal sendiri hanya diam. Tak ada satu pun kata terucap dari bibir keduanya. Tapi dari tatapan matanya, aku tahu. Mereka berdua begitu kecewa padaku."Maaf." Akhirnya hanya itu saja kata yang bisa keluar dari mulutku.Aku melirik ke arah Mas Azzam. Sayang, Mas Azzam sejak tadi tak bersuara. Dia hanya diam. Namun, tatap
POV NadaAku sedang merenung di salah satu kamar yang ada di pondok putri. Banyak hal yang sedang aku pikirkan. Salah satunya, percakapanku dengan Hana dan ibunya waktu itu.Flashback."Ning Nada kan?" Seorang wanita paruh baya menghampiriku yang baru saja selesai melaksanakan sholat duha."Iya, siapa?""Herlin. Mamahnya Hana.""Oh."Kami bersalaman. Bu Herlin tersenyum ramah padaku dan tentu kubalas senyumnya walau aku sedikit merasa kikuk."Boleh kita bicara?""Mau bicara apa, Bu?""Tentang Hana. Ayok ikut saya."Mau tak mau aku mengikuti langkah Bu Herlin menuju kamar Hana. Sampai di sana, aku kaget menemukan Hana yang kondisinya menyedihkan. Aku ingat, Mas Gino bilang jika Hana tak bisa berjalan lagi. Dia lumpuh. Ya Allah, kasihan sekali dia."Nada." Hana memanggilku dengan suara parau. Tangannya terulur padaku, dia menangis.Aku merasa tak tega melihat keadaannya, hingga kuputuskan