Beranda / Romansa / Pelabuhan Terakhir / 14. Nasi Goreng Pemikat Hati

Share

14. Nasi Goreng Pemikat Hati

Penulis: Bai_Nara
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

*Cahaya Mustika*

"Ini Gus Kecil. Nasi goreng pedas manis dengan tambahan telor ceplok ala chef Caca. Monggo."

"Hore ... makasih Mbak Caca."

Gus Azmi mulai memasukkan nasi goreng buatanku.

"Hem ... enak Mbak. Maknyos mamamia lezatos ...," ucapnya sambil menautkan jempol dan telunjuk lalu menaruh pada mulutnya dan berdecak. Setdah ... sok pokoknya.

Abah dan Umi sedang ke acara pengajian di daerah Karanglewas sama Kang Bimo. Khadamah yang lain sibuk dengan urusan masing-masing. Jadi hanya aku yang menemani Gus Kecil.

"Mas Azzam sini Mas." Gus Azmi memanggil kakaknya.

Gus Azzam datang ke meja makan dengan muka bantalnya, aku dengar memang beliau sedang menyiapkan keberangkatannya ke Melbourne tiga hari lagi bertepatan dengan pernikahan kedua Gus Fadil.

"Maem apa Mi?"

"Nasi goreng Mas, bikinan Mbak Caca," sahut Gus Azmi.

"Ca ... bikinin yang spesial jangan kepedesan tapi. Telurnya jangan ceplok tapi dadar terus digulung ke nasi gorengnya!
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pelabuhan Terakhir    15. Cokelat Itu Manis

    Hiruk pikuk keramaian tercetak dengan jelas pada netraku. Aku tengah duduk manis di samping Umi."Berangkatnya jam berapa Zam?" tanya Umi."Satu jam lagi Umi," sahut Gus Azzam."Kamu disana nanti jadi ikut temenmu yang dokter itu?""Iya nanti Azzam mau nunut kosan Mas Rayyan dulu. Walau kampus beda tapi kan sama-sama di Melbourne.""Dokter Rayyan yang wajahnya kayak bule itu ya Zam?" tanya Umi."Iya Umi.""Kok Mas Azzam bisa kenal sama itu bule, Mas?" sekarang Gus Azmi yang bertanya."Mas Rayyan anaknya Pak Surya, salah satu arsitek dan kontraktor terkenal di Purwokerto. Mas Azzam kan sering kerja bareng beliau. Jadi kenal semua anaknya.""Oooo," jawab Gus Azmi.Kami sibuk bercerita, Abah dan Kang Bimo sedang ke mushola untuk sholat dhuha. Keluarga Abah Ilyas memutuskan tidak menghadiri acara pernikahan Gus Fadil.Selain alasan kurang setuju juga dikarenakan berbarengan dengan keberangkatan Gus Azzam ke Melbourne. Ja

  • Pelabuhan Terakhir    16. Sindiran Mantan Menantu

    *Tiga Tahun Kemudian*"Mbak Cacaaaaaaaaa," teriak Gus Kecil. Meski usianya sudah 15 tahun kami tetap memanggilnya Gus Kecil. Dia masih sangat manja padaku tapi kami sudah tak bisa bersentuhan lagi. Maklum Gus Azmi udah baligh. Hihihi."Daleeemmmm Gus? Kenapa? Kok teriak-teriak sih?" ucapku sambil membuat soto kuning bersama Ipeh. Nurul sudah menikah tiga bulan yang lalu. Sedangkan Ipeh sudah menolak menikah selama empat kali. Aneh, padahal calonnya berkualitas semua. Saat aku tanya alasannya, katanya masih mau ngaji. Ya sudahlah."Lapar," rengeknya."Sabar nggih Gus, sebentar lagi mateng sotonya.""Oke ... irisan ayamnya yang banyak ya Mbak. Jangan terlalu pedas.""Siap Gus."Aku tengah menyiapkan soto untuk Abah, Umi dan Gus Kecil. Sedangkan Ipeh tengah meladeni Kang Bimo di dapur. Kang Bimo walau dianggap seperti anak, tak pernah mau semeja dengan Abah sekeluarga, rikuh alias gak enak katanya. Dia hanya mau semeja dengan Abah kalau ada Gus Azzam.

  • Pelabuhan Terakhir    17. Kembalinya Sang Pangeran

    *Cahaya Mustika*Haish aku malu sekali rasanya. Demi apa aku harus menyaksikan keuwuan Abah dan Umi. Aku kan jadi pengin punya suami tahu. Mana belum punya calon lagi, haish. Lagian kenapa juga dengan hatiku? Melihat keromantisan Abah sama Umi, kok aku jadi rindu-serindunya sama musuhku yang jauh disana. Huft."Mbak.""Astaghfirullah. Ipeh ngagetin aja!""Lagian Mbak Caca lari-lari kayak dikejar maling.""Hehehe. Kamu belum tidur Peh?""Belum Mbak.""Kenapa?""Bapak Ibu minta aku menerima lamaran Kang Hasbi.""Hasbi salah satu ustaz di pondok putra?""Huum.""Boleh aku tahu, kenapa kamu gak mau menerima dia?""Gak tahu Mbak, habisnya hatiku gak sreg aja.""Wah kalau itu susah. Ya kamu sampaikan kepada kedua orangtuamu apa keinginanmu. Harusnya kamu bersyukur loh udah ada 4 orang yang melamar malah yang satu masih ngebet buat nikahin kamu. Coba kamu jadi aku. Ngenes gak ada yang mau.""Mbak Caca itu buk

  • Pelabuhan Terakhir    18. Menunjukkan Taring

    *Azzam Dafa Al Kaivan*"Jadi Aisyah, saya minta Zulaikha tinggal disini. Bukannya ada kamar khadamah. Biar Zulaikha tinggal di salah satu kamar."Begitu menginjakan kaki di ruang tamu aku mendengar suara Bu Dhe Laila yang seperti biasanya, arogan. Aku meminta Kang Bimo untuk berhenti sebentar. Ingin mengetahui apa yang tengah dibicarakan."Maaf Mbak, kalau memang Ning Zulaikha mau tinggal disini dia bisa tinggal di pondok. Lagian bukannya Ning Zulaikha bisa tinggal di rumah Mbak Laila?" itu suara umiku."Kamu sama Ilyas benar-benar ya. Sombong, Ustazah Caca yang bukan siapa-siapa saja boleh tinggal di kamar khadamah kenapa sepupu Farida gak boleh!" nada Bu Dhe Laila mulai meninggi."Maaf Mbak, itu sudah keputusan Abah Ilyas.""Halah, kamu itu ngaca pondok ini punya siapa? Lagian Zulaikha itu sepupu Farida, mantuku. Dia lebih berhak tinggal disini daripada semua khadamah. Dia itu Ning. Wanita terhormat.""Kalau dia wanita terhormat dia tak aka

  • Pelabuhan Terakhir    19. Chak Dhoom Dhoom Chak

    *Cahaya Mustika*Us, kita jadi kemah di daerah Bumi Perkemahan (Buper) Kendalisada gak?" tanya Risa sang Pradani."Nunggu keputusan dari Ustazah Maryam sama Abah dan Umi. Mereka kan pemberi keputusan mutlak. Kita tunggu saja," jawabku."Oke Us," jawab Risa.Setelah latihan Pramuka aku segera menuju ke kamarku melalui lorong samping. Aku segera mandi dan mengganti bajuku dengan gamis jersey biar lebih nyaman. Setelahnya aku rebahan sebentar. Fisikku lelah sekali, persiapan pelantikan regu Pramuka, Jumbara PMR, olimpiade belum lagi tugas di pondok sebagai seksi keamanan. Hadeh aku capek.Tok ... tok ... tok."Ustazah Caca.""Sebentar." Aku membuka pintu kamarku. Rupanya yang mengetuk pintu adalah Husna salah satu khadamah yang masih kelas sebelas."Kenapa Hus?""Ditimbali Umi, Ustazah disuruh ke ndalem.""Oke."Aku mengganti gamisku dan segera menuju ke ndalem."Pripun Umi? Ada apa manggil Caca?""Oh ini

  • Pelabuhan Terakhir    20. Gara-Gara Hujan

    *Azzam Daffa Al Kaivan*Sejak kembali ke Indonesia, aku sudah memulai aktivitasku baik sebagai dosen di UNWIKU Purwokerto maupun mengajar santri putra. Sebenarnya aku malas, tapi karena permintaan Mas Fadil yang kelihatan merana akhirnya aku luluh. Aku masih mengingat setiap detil percakapan kami berdua waktu itu."Mas Fadil kok ngajak ketemuan diluar, ada apa?" tanyaku."Zam ...."Dia menghembuskan nafasnya kasar. Nampak rasa lelah yang begitu terlihat di wajahnya."Mas sakit?"Dia menggeleng, membuatku mengerutkan kening. Lalu dia tersenyum."Zam, boleh Mas minta tolong?""Minta tolong apa? Kalau Azzam bisa bantu pasti Azzam bantu.""Tolong bantu Mas menjaga pondok putra. Mas ... Mas sudah tak sanggup." Kulihat nada kesedihan disana."Mas ... apa ada sesuatu yang terjadi?""Hiks ... hiks." Mas Fadil menangis. Ya Allah ada apa gerangan?"Mas.""Aku mandul Zam."Deg."Aku sudah memeriksakan diri bersama Farid

  • Pelabuhan Terakhir    21. Dhadkan

    *Cahaya Mustika*Malu. Satu kata yang saat ini kurasakan. Semenjak kejadian terpergok oleh Gus Azzam tadi siang aku banyak diam. Bahkan sengaja menghindarinya. Tapi aku bingung sepertinya Gus Azzam tampak biasa saja. Ah, memangnya dia itu kamu Ca. Gitu aja kamu udah baper. Sadar Ca ... sadar. Aku mengucap istighfar berusaha membuang jauh rasa ini."Baik untuk hiburan selanjutnya kita minta ustazah kita yang cantik tapi gualak untuk ikut mengisi. Kepada Ustazah Caca kami persilakan." Febrina sang pembawa acara menyebut namaku.Aku melotot ke arahnya namun hanya dibalas cengiran saja sama itu anak."Ayo Us Caca.""Semangat Us Caca."Dan banyak teriakan yang lain. Aku agak grogi."Ayok Mbak Caca." Ipeh menyenggol bahuku agar aku berada di tengah untuk menyumbangkan hiburan di acara malam api unggun."Gak ah, saya gak bisa nyanyi." Aku berusaha mengelak."Mbak Caca gak usah merendah. Lagian Ipeh juga sering denger kok Mbak Caca nyanyi-nyanyi

  • Pelabuhan Terakhir    22. Gara-Gara Kacamata

    "Mbak Caca kok cuma sebentar di Kebumen?" tanya Gus Azmi."Iya Gus, hubungan Mbak Caca sama keluarga Kebumen gak terlalu dekat. Rikuh kalau terlalu lama disana. Mending disini aja. Banyak yang bisa Mbak kerjakan.""Kang Bimo juga gak pernah pulang lama, paling lama tiga hari tapi ini tumben sudah seminggu belum balik," sambung Gus Azmi."Bapaknya lagi sakit Gus, mungkin pengen nemeni bapaknya dulu.""Iya sih."Liburan awal semester aku pulang ke Kebumen bareng Kang Bimo. Hasan juga pulang. Hasan hanya bisa cuti selama tiga hari. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk kembali ke pondok saat Hasan juga balik ke Jakarta. Rikuh kalau terlalu lama di Kebumen. Hasan dan aku sudah patungan mau memperbaiki rumah peninggalan Eyang. Kami berharap rumah ini bisa menjadi tempat kami pulang kalau lagi kangen rumah. Semua perbaikan kami serahkan pada Lik Giman, salah satu sepupu Bapak yang bekerja sebagai tukang bangunan."Ca.""Nggih Umi.""Besok masak soto

Bab terbaru

  • Pelabuhan Terakhir    Ekstrapart 3 (Nida - Hilman)

    Hamdan menatap istrinya dengan sorot kemarahan, sementara Saroh hanya bisa menunduk. Safina sendiri sudah gemetar ketakutan. Sementara Nida menatap ketiganya dengan ekspresi datar. Nida baru saja ada urusan. Berhubung dia melewati sebuah mall, dia memutuskan mampir karena mau membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sudah habis. Tak menyangka dia bertemu dengan Saroh dan Safina. Seperti biasa Saroh akan mendesak Nida untuk menerima Safina jadi madu. Safina sendiri bertekad untuk berani jadi dia pun mengemis-ngemis kepada Nida agar menerimanya. Namun hal yang tidak diketahui Saroh adalah Hamdan ayah Hilman tidak sengaja berada di tempat yang sama dengan mereka. Hamdan baru saja berceramah di sebuah masjid yang berada dekat dengan mall. Dia yang melihat keberadaan ketiga orang yang dikasihinya, mendekat. Namun saat mendekati ketiganya, Hamdan sempat berhenti mendekat ketika mendengar kalimat Saroh yang meminta Nida menerima Safina menjadi madu. Nida yang menghadap ke arah Hamdan,

  • Pelabuhan Terakhir    Ekstra Part 2 (Nida-Hilman)

    Hilman memeluk istrinya penuh dengan sayang. Sesekali mencium kepalanya."Maafkan Umi Saroh ya?"Nida hanya diam dan lebih mengetatkan pelukannya pada sang suami. Sungguh dia merasa lelah sekali. Hasil tespeck yang lagi-lagi gagal. Omongan julit orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa dia belum hamil sementara Nada sudah punya sepasang putra dan putri. Ditambah rongrongan dari Saroh membuat mentalnya down. "Gimana kalau kapan-kapan kita pergi. Kemana gitu. Mau ke pantai atau muncak? Refreshing biar pikiran adem.""Gampang lah Mas, kalau Abah sama Umi atau Nada udah balik. Gak tenang aku kalau ninggalin pondok tanpa ada yang jaga.""Ya udah. Kamu ada agenda ngajar kan jam sebelas?""Iya, Mas juga kan?""Iya.""Ya udah, yuk kita siap-siap Mas."Kedua pasangan suami istri berdiri, kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap mengajar di sekolah.Selama seharian keduanya sibuk dengan tugas di sekolah. Pun Nida. Sejak tadi dia seperti tak ada waktu untuk duduk atau makan karena

  • Pelabuhan Terakhir    EkstraPart 1 (Nida-Hilman)

    Nida melemparkan hasil tespeck yang untuk kesekian kalinya hanya menunjukkan garis satu ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandinya. Setelah itu menarik napas secara dalam dan mengembuskannya secara kasar. Dia memilih jongkok lalu menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang tertekuk.Tangisnya muncul. Meski berusaha tegar, Nida tetaplah manusia biasa wanita biasa. Dia bisa saja terluka, dia bisa sedih dan butuh menangis. Cukup lama, Nida berada di kamar mandi. Setelah puas menumpahkan air matanya. Nida segera mencuci muka untuk menyamarkan bekas air matanya.Nida kemudian melihat ke arah kaca berukuran kecil. Begitu mata sembabnya sudah tak terlihat, Nida segera keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Nida melirik ke dalam kamar, kemudian tatapannya tertuju pada jam dinding. Ternyata masih setengah enam, itu berarti suaminya masih berada di masjid kompleks pondok putra. Nida segera menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kebetulan keluarga Nada sedang

  • Pelabuhan Terakhir    34. Menua Bersama (Tamat)

    POV JamalAku masih duduk di dekat sebuah pusara. Sesekali kubelai nisan yang terbuat dari kayu. Atau mengambil butiran tanah dan kutaruh lagi pada gundukan yang masih basah. Bau beberapa macam bunga yang tersebar di atas makam begitu menyengat di indera penciumanku.Pandangan mataku mencoba menelusuri sekeliling tanah perkuburan yang terlihat sejuk dan rimbun dengan beberapa pohon Kamboja maupun beringin yang terlihat gagah dan tinggi."Mas."Sebuah usapan pada bahu kananku menyadarkanku pada sosok wanita yang sudah sepuluh tahun ini menemaniku dalam suka dan duka. "Sudah mulai sore. Ayok pulang. Kasihan juga Umi."Aku melirik ke arah Umi yang kini sedang menyandarkan kepalanya di atas bahu Mas Jalal. Terlihat sekali kesedihan di mata Umi. Meski Umi terlihat tidak menangis lagi, tapi aku tahu Umi adalah orang yang paling terpukul dengan kematian Abah.Aku bangkit lalu menuju ke arah Umi. Kuusap lembut kedua tangannya. "Kita pulang yuk Umi. Kasihan Abah. Kita harus ikhlas."Umi hany

  • Pelabuhan Terakhir    33. Memaknai Perjuangan

    POV NadaAku masih bergelung malas di atas kasur. Setelah sholat subuh harusnya gak tidur lagi, tapi beneran deh ngantuk. Capek juga. Sebuah kecupan hangat mampir di keningku. Aku tersenyum pada sosok pria berkulit eksotis dengan senyum sangat menawan."Capek?" tanyanya."Iya.""Mau jalan-jalan lagi gak?"Aku menggeleng. "Capek, mager juga.""Mau makan?"Aku menggeleng. "Kan tadi habis makan roti, masih kenyang.""Hehehe. Ya udah."Jamal ikut rebahan dan memelukku. Namun, kedua tangan dan bibirnya seperti biasa tidak suka nganggur. Suka sekali bikin tubuhku merinding disko."Mas! Aku udah mandi dua kali loh sepagi ini," rengekku. Semenjak menikah, aku menambahkan embel-embel 'mas' saat menyebut nama Jamal."Ya nanti mandi lagi. Mandi bareng sama aku," ucapnya genit."Mas! Astaga!"Akhirnya aku hanya bisa pasrah akan kelakuan suamiku. Ya sudahlah, toh kewajibanku juga sebagai istri.Selesai mandi untuk ketiga kalinya, aku dan Jamal segera melaksanakan sholat dhuhur kemudian kami seger

  • Pelabuhan Terakhir    32. Sah Sah Sah

    POV Jamal Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Pokoknya kalau ada sutradara yang lagi nyari orang buat casting produk pasta gigi dijamin aku bakalan langsung tanda tangan kontrak. Lah, senyumku kan menawan. Wajahku rupawan lagi. Sesekali kulirik istri cantikku yang pukul sembilan tadi kuucapkan janji sehidup semati di hadapan abahnya, para tamu dan paling penting di hadapan Allah. Senyum pun tak pernah lepas dari bibirnya. Lalu kutolehkan pandanganku pada pelaminan di sisi kanan, terlihat pasangan pengantin lain pun tersenyum semringah. Hari ini, sedang terselenggara pernikahan dengan dua pasangan pengantin. Siapa lagi pengantinnya kalau bukan antara aku dan Nada. Dan di sebelah kanan kami, berdiri pasangan Mbak Nida dan Mas Hilman. Karena mereka udah jadi kakak iparku ya kupanggil dong dengan sebutan mas dan mbak. Aku bersyukur perjuanganku untuk mendapatkan Nada berhasil. Sempat down kemarin-kemarin. Sempat mutung (ngambek) juga. Untung ada Mas Singa Garang sama Si Jutek Caca ya

  • Pelabuhan Terakhir    31. Jangan Pergi

    Begitu menginjakkan kaki di halaman rumah Jamal, aku tertegun. Tampak sosok Jamal yang berada di teras rumah. Di belakangnya ada Kamal dan sosok remaja lelaki yang begitu asing. Ketiganya kaget melihatku. Tapi aku justru senang. Itu artinya Jamal gak jadi pergi ke Mesir. Namun kesenanganku hilang saat melihat koper besar yang berada di tangan Jamal. Aku panik. Jangan-jangan Jamal beneran mau pergi ke Mesir."Jamal." Aku langsung menghampiri Jamal."Kamu mau ke Mesir?""Iya. Mau pindah ke sana, nyari cewek sana. Kan cantik-cantik." Suara Jamal terdengar ketus."Jamal. Aku minta maaf. Jangan pergi!""Buat apa di sini, cewek yang aku perjuangin gak mau nerima aku. Dia pasti malu. Aku kan gak tinggi-tinggi amat, kulitku eksotik, cuma penjual udang. Kalah sama cowok-cowok diluaran sana."Jamal menarik kopernya, dia berjalan melewatiku. Tentu saja aku mengekori langkahnya."Mal." Aku menekan pintu bagasi yang baru saja dia buka. Mataku menatapnya sendu."Mal, jangan pergi.""Minggir, Nad.

  • Pelabuhan Terakhir    30. Fakta

    Aku hanya bisa tertunduk. Semua orang sedang menatapku dengan pandangan beraneka macam. Ada yang terlihat prihatin, sedih, kesal bahkan marah. "Sekarang maunya Ning apa? Minta Jamal menikahi Hana? Percuma Ning. Jamal udah pergi. Tadi malam dia minta ijin sama Abah, katanya mau ke Mesir aja. Katanya dia mau mengobati luka hati sambil usaha nyari istri, orang sana. Jamal bilang, siapa tahu di sana ada yang cinta sama dia. Menerima dia apa adanya. Ckckck. Jangankan di Mesir, orang di Indonesia saja ditolak mulu." Gus Jalal salah satu kakak Jamal bicara dengan nada biasa. Bahkan suaranya terdengar lembut. Sayang, bagiku ini seperti sindirian telak untukku. Abah dan uminya Jamal sendiri hanya diam. Tak ada satu pun kata terucap dari bibir keduanya. Tapi dari tatapan matanya, aku tahu. Mereka berdua begitu kecewa padaku."Maaf." Akhirnya hanya itu saja kata yang bisa keluar dari mulutku.Aku melirik ke arah Mas Azzam. Sayang, Mas Azzam sejak tadi tak bersuara. Dia hanya diam. Namun, tatap

  • Pelabuhan Terakhir    29. Kusut

    POV NadaAku sedang merenung di salah satu kamar yang ada di pondok putri. Banyak hal yang sedang aku pikirkan. Salah satunya, percakapanku dengan Hana dan ibunya waktu itu.Flashback."Ning Nada kan?" Seorang wanita paruh baya menghampiriku yang baru saja selesai melaksanakan sholat duha."Iya, siapa?""Herlin. Mamahnya Hana.""Oh."Kami bersalaman. Bu Herlin tersenyum ramah padaku dan tentu kubalas senyumnya walau aku sedikit merasa kikuk."Boleh kita bicara?""Mau bicara apa, Bu?""Tentang Hana. Ayok ikut saya."Mau tak mau aku mengikuti langkah Bu Herlin menuju kamar Hana. Sampai di sana, aku kaget menemukan Hana yang kondisinya menyedihkan. Aku ingat, Mas Gino bilang jika Hana tak bisa berjalan lagi. Dia lumpuh. Ya Allah, kasihan sekali dia."Nada." Hana memanggilku dengan suara parau. Tangannya terulur padaku, dia menangis.Aku merasa tak tega melihat keadaannya, hingga kuputuskan

DMCA.com Protection Status