*Azzam Dafa Al Kaivan*
"Jadi Aisyah, saya minta Zulaikha tinggal disini. Bukannya ada kamar khadamah. Biar Zulaikha tinggal di salah satu kamar."Begitu menginjakan kaki di ruang tamu aku mendengar suara Bu Dhe Laila yang seperti biasanya, arogan. Aku meminta Kang Bimo untuk berhenti sebentar. Ingin mengetahui apa yang tengah dibicarakan."Maaf Mbak, kalau memang Ning Zulaikha mau tinggal disini dia bisa tinggal di pondok. Lagian bukannya Ning Zulaikha bisa tinggal di rumah Mbak Laila?" itu suara umiku."Kamu sama Ilyas benar-benar ya. Sombong, Ustazah Caca yang bukan siapa-siapa saja boleh tinggal di kamar khadamah kenapa sepupu Farida gak boleh!" nada Bu Dhe Laila mulai meninggi."Maaf Mbak, itu sudah keputusan Abah Ilyas.""Halah, kamu itu ngaca pondok ini punya siapa? Lagian Zulaikha itu sepupu Farida, mantuku. Dia lebih berhak tinggal disini daripada semua khadamah. Dia itu Ning. Wanita terhormat." "Kalau dia wanita terhormat dia tak aka*Cahaya Mustika*Us, kita jadi kemah di daerah Bumi Perkemahan (Buper) Kendalisada gak?" tanya Risa sang Pradani."Nunggu keputusan dari Ustazah Maryam sama Abah dan Umi. Mereka kan pemberi keputusan mutlak. Kita tunggu saja," jawabku."Oke Us," jawab Risa.Setelah latihan Pramuka aku segera menuju ke kamarku melalui lorong samping. Aku segera mandi dan mengganti bajuku dengan gamis jersey biar lebih nyaman. Setelahnya aku rebahan sebentar. Fisikku lelah sekali, persiapan pelantikan regu Pramuka, Jumbara PMR, olimpiade belum lagi tugas di pondok sebagai seksi keamanan. Hadeh aku capek.Tok ... tok ... tok."Ustazah Caca.""Sebentar." Aku membuka pintu kamarku. Rupanya yang mengetuk pintu adalah Husna salah satu khadamah yang masih kelas sebelas."Kenapa Hus?""Ditimbali Umi, Ustazah disuruh ke ndalem.""Oke."Aku mengganti gamisku dan segera menuju ke ndalem."Pripun Umi? Ada apa manggil Caca?""Oh ini
*Azzam Daffa Al Kaivan*Sejak kembali ke Indonesia, aku sudah memulai aktivitasku baik sebagai dosen di UNWIKU Purwokerto maupun mengajar santri putra. Sebenarnya aku malas, tapi karena permintaan Mas Fadil yang kelihatan merana akhirnya aku luluh. Aku masih mengingat setiap detil percakapan kami berdua waktu itu."Mas Fadil kok ngajak ketemuan diluar, ada apa?" tanyaku."Zam ...."Dia menghembuskan nafasnya kasar. Nampak rasa lelah yang begitu terlihat di wajahnya."Mas sakit?"Dia menggeleng, membuatku mengerutkan kening. Lalu dia tersenyum."Zam, boleh Mas minta tolong?""Minta tolong apa? Kalau Azzam bisa bantu pasti Azzam bantu.""Tolong bantu Mas menjaga pondok putra. Mas ... Mas sudah tak sanggup." Kulihat nada kesedihan disana."Mas ... apa ada sesuatu yang terjadi?""Hiks ... hiks." Mas Fadil menangis. Ya Allah ada apa gerangan?"Mas.""Aku mandul Zam."Deg."Aku sudah memeriksakan diri bersama Farid
*Cahaya Mustika*Malu. Satu kata yang saat ini kurasakan. Semenjak kejadian terpergok oleh Gus Azzam tadi siang aku banyak diam. Bahkan sengaja menghindarinya. Tapi aku bingung sepertinya Gus Azzam tampak biasa saja. Ah, memangnya dia itu kamu Ca. Gitu aja kamu udah baper. Sadar Ca ... sadar. Aku mengucap istighfar berusaha membuang jauh rasa ini."Baik untuk hiburan selanjutnya kita minta ustazah kita yang cantik tapi gualak untuk ikut mengisi. Kepada Ustazah Caca kami persilakan." Febrina sang pembawa acara menyebut namaku.Aku melotot ke arahnya namun hanya dibalas cengiran saja sama itu anak."Ayo Us Caca.""Semangat Us Caca."Dan banyak teriakan yang lain. Aku agak grogi."Ayok Mbak Caca." Ipeh menyenggol bahuku agar aku berada di tengah untuk menyumbangkan hiburan di acara malam api unggun."Gak ah, saya gak bisa nyanyi." Aku berusaha mengelak."Mbak Caca gak usah merendah. Lagian Ipeh juga sering denger kok Mbak Caca nyanyi-nyanyi
"Mbak Caca kok cuma sebentar di Kebumen?" tanya Gus Azmi."Iya Gus, hubungan Mbak Caca sama keluarga Kebumen gak terlalu dekat. Rikuh kalau terlalu lama disana. Mending disini aja. Banyak yang bisa Mbak kerjakan.""Kang Bimo juga gak pernah pulang lama, paling lama tiga hari tapi ini tumben sudah seminggu belum balik," sambung Gus Azmi."Bapaknya lagi sakit Gus, mungkin pengen nemeni bapaknya dulu.""Iya sih."Liburan awal semester aku pulang ke Kebumen bareng Kang Bimo. Hasan juga pulang. Hasan hanya bisa cuti selama tiga hari. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk kembali ke pondok saat Hasan juga balik ke Jakarta. Rikuh kalau terlalu lama di Kebumen. Hasan dan aku sudah patungan mau memperbaiki rumah peninggalan Eyang. Kami berharap rumah ini bisa menjadi tempat kami pulang kalau lagi kangen rumah. Semua perbaikan kami serahkan pada Lik Giman, salah satu sepupu Bapak yang bekerja sebagai tukang bangunan."Ca.""Nggih Umi.""Besok masak soto
Kumenangis ....Haduh demi apa ini, kok malah nonton ginian mending streaming drakornya oppa gebetan."Huh ... untung Simbah Kakung ndak kayak suami yang di tipi itu Nduk. Kalau Mbah Kakung kayak gitu awas tak sunat pokoke." Greget Simbah Suseni ibunya Umi Aisyah."Lah, aku kan esih duwe iman, masa aku mau menyakiti wanita yang telah mendampingiku, memberikanku anak yang lucu-lucu. Ya mbotenlah Bu," sahut Simbah Nardi, suaminya.Aku sedang menemani orangtua Umi Aisyah nonton TV. Abah, Umi, dan Gus Azmi sedang pergi ke acara pengajian di daerah Kalibagor. Jangan tanya Gus Azzam ada dimana? Dia itu orang dengan sejuta agenda, kampus, pondok, sekolah, kerja dan jarang ada di rumah. Rumah itu hanya tempat tidur."Eh, Nduk kamu kalau punya suami kayak gitu mau kamu apain?" tanya Simbah Putri."Caca lempar ke sungai Amazon Mbah, biar ketemu temennya ular anaconda sama piranha.""Hahaha. Bagus." Simbah putri mengacungkan jempolnya."Kalau misal
Aku baru saja memarkirkan mobilku. Capek, hari ini jadwal mengajarku di kampus full. Ditambah membimbing para mahasiswa yang mengikuti lomba desain arsitektur "Spectaculer" di Jogja."Assalamu’alaikum.""Wa’alaikumsalam."Kulihat ada tamu Abah, nampaknya mereka juga para kyai. Aku segera menyalami Abah dan para tamunya."Wah, Azzam kayak njenengan Pak Kyai. Pas muda dulu. Gagah." Puji salah satu teman Abah yang kuketahui bernama Kyai Mahfud."Bener Kyai Mahfud, kok gak jadi tentara Gus kayak abahnya?" sambung Kyai Habib."Mboten Pak Kyai," jawabku."Oh iya sekarang sibuk apa Gus?" tanya Kyai Mahfud lagi."Sibuk mengajar saja Kyai sama kerja," jawabku singkat."Njenengan kok gak pernah cerita kalau putramu itu kuliah arsitek sih Kyai? Malah kuliahnya sampai ke Australia lagi." Seseorang yang dari tadi diam saja mulai bertanya. Aku tahu namanya Kyai Sholeh, ayah dari Furqon sahabatku."Hehehe. Memangnya saya harus cerita ap
"Umi ...""Iya Zam." Umi sedang melipat baju. Walau ada khadamah, Umi tak pernah menyuruh mereka mencucikan baju kami sekeluarga. Katanya malu, kalau sampai lihat barang pribadi dicuciin sama orang lain."Tadi Furqon main.""Owh.""Dia tanya Caca udah punya calon apa belum.""Terus kamu jawab apa?""Azzam bilang aja kayaknya Umi udah punya calon. Kan Caca anak angkat kesayangan Umi. Azzam aja kalah saing sama dia." Sungutku sambil ndusel ke keteknya."Ya Allah Zam, udah gede masih saja suka ndusel sama Umi." Umi terkekeh melihat kelakuanku."Biarin, nanti kalau Azzam sudah punya istri, Umi gak boleh iri.""Gak, Umi gak bakalan iri, malah Umi seneng jadi Umi cukup ngurusi bayi tua sama bayi remaja. Bayi bujangnya sudah punya pawang. Kalau kamu sering ndusel kan nanti Umi cepet dapat cucu.""Ckckck ... Umi ... Umi ... pasti kesitu lagi bahasnya." Aku memilih merebahkan kepalaku pada pangkuan Umi. Umi pasti akan menyisiri ra
*Cahaya Mustika*Aku dan para khadamah yang berniat sholat tahajud di masjid mendengar suara kegaduhan di ndalem. Tampak Kang Bimo sedang menyiapakan mobil."Ada apa Kang?" tanyaku."Gus Azzam pingsan Ca. Ini kita mau bawa ke klinik dulu."Apa? Gus Azzam sakit apa? Perasaan tadi malam baik-baik saja."Caca!" teriak umi."I-iya Um. Eh ... nggih Um pripun?""Kamu ikut, cepetan!""Nggih Um."Aku segera berlari ke kamar dan mengganti bajuku. Dan ikut mengantar Gus Azzam. Aku tak sadar malah ikut duduk di tengah bersama Umi dan Gus Azzam."Duh Bim, yang cepet ini tangan Azzam dingin banget.""Nggih Umi," sahut Kang Bimo."Sabar Umi, jangan panik. Bimo tetap jaga keselamatan.""Nggih Bah."Aku ikut terenyuh melihat Gus Azzam yang biasa garang tampak terkulai lemas. Keringat dingin, wajah pucat bahkan kulihat bibirnya seperti menahan sakit. Duh gus, jangan sakit kenapa? Mending aku lihat njenengan macam singa daripada sa
Hamdan menatap istrinya dengan sorot kemarahan, sementara Saroh hanya bisa menunduk. Safina sendiri sudah gemetar ketakutan. Sementara Nida menatap ketiganya dengan ekspresi datar. Nida baru saja ada urusan. Berhubung dia melewati sebuah mall, dia memutuskan mampir karena mau membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sudah habis. Tak menyangka dia bertemu dengan Saroh dan Safina. Seperti biasa Saroh akan mendesak Nida untuk menerima Safina jadi madu. Safina sendiri bertekad untuk berani jadi dia pun mengemis-ngemis kepada Nida agar menerimanya. Namun hal yang tidak diketahui Saroh adalah Hamdan ayah Hilman tidak sengaja berada di tempat yang sama dengan mereka. Hamdan baru saja berceramah di sebuah masjid yang berada dekat dengan mall. Dia yang melihat keberadaan ketiga orang yang dikasihinya, mendekat. Namun saat mendekati ketiganya, Hamdan sempat berhenti mendekat ketika mendengar kalimat Saroh yang meminta Nida menerima Safina menjadi madu. Nida yang menghadap ke arah Hamdan,
Hilman memeluk istrinya penuh dengan sayang. Sesekali mencium kepalanya."Maafkan Umi Saroh ya?"Nida hanya diam dan lebih mengetatkan pelukannya pada sang suami. Sungguh dia merasa lelah sekali. Hasil tespeck yang lagi-lagi gagal. Omongan julit orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa dia belum hamil sementara Nada sudah punya sepasang putra dan putri. Ditambah rongrongan dari Saroh membuat mentalnya down. "Gimana kalau kapan-kapan kita pergi. Kemana gitu. Mau ke pantai atau muncak? Refreshing biar pikiran adem.""Gampang lah Mas, kalau Abah sama Umi atau Nada udah balik. Gak tenang aku kalau ninggalin pondok tanpa ada yang jaga.""Ya udah. Kamu ada agenda ngajar kan jam sebelas?""Iya, Mas juga kan?""Iya.""Ya udah, yuk kita siap-siap Mas."Kedua pasangan suami istri berdiri, kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap mengajar di sekolah.Selama seharian keduanya sibuk dengan tugas di sekolah. Pun Nida. Sejak tadi dia seperti tak ada waktu untuk duduk atau makan karena
Nida melemparkan hasil tespeck yang untuk kesekian kalinya hanya menunjukkan garis satu ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandinya. Setelah itu menarik napas secara dalam dan mengembuskannya secara kasar. Dia memilih jongkok lalu menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang tertekuk.Tangisnya muncul. Meski berusaha tegar, Nida tetaplah manusia biasa wanita biasa. Dia bisa saja terluka, dia bisa sedih dan butuh menangis. Cukup lama, Nida berada di kamar mandi. Setelah puas menumpahkan air matanya. Nida segera mencuci muka untuk menyamarkan bekas air matanya.Nida kemudian melihat ke arah kaca berukuran kecil. Begitu mata sembabnya sudah tak terlihat, Nida segera keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Nida melirik ke dalam kamar, kemudian tatapannya tertuju pada jam dinding. Ternyata masih setengah enam, itu berarti suaminya masih berada di masjid kompleks pondok putra. Nida segera menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kebetulan keluarga Nada sedang
POV JamalAku masih duduk di dekat sebuah pusara. Sesekali kubelai nisan yang terbuat dari kayu. Atau mengambil butiran tanah dan kutaruh lagi pada gundukan yang masih basah. Bau beberapa macam bunga yang tersebar di atas makam begitu menyengat di indera penciumanku.Pandangan mataku mencoba menelusuri sekeliling tanah perkuburan yang terlihat sejuk dan rimbun dengan beberapa pohon Kamboja maupun beringin yang terlihat gagah dan tinggi."Mas."Sebuah usapan pada bahu kananku menyadarkanku pada sosok wanita yang sudah sepuluh tahun ini menemaniku dalam suka dan duka. "Sudah mulai sore. Ayok pulang. Kasihan juga Umi."Aku melirik ke arah Umi yang kini sedang menyandarkan kepalanya di atas bahu Mas Jalal. Terlihat sekali kesedihan di mata Umi. Meski Umi terlihat tidak menangis lagi, tapi aku tahu Umi adalah orang yang paling terpukul dengan kematian Abah.Aku bangkit lalu menuju ke arah Umi. Kuusap lembut kedua tangannya. "Kita pulang yuk Umi. Kasihan Abah. Kita harus ikhlas."Umi hany
POV NadaAku masih bergelung malas di atas kasur. Setelah sholat subuh harusnya gak tidur lagi, tapi beneran deh ngantuk. Capek juga. Sebuah kecupan hangat mampir di keningku. Aku tersenyum pada sosok pria berkulit eksotis dengan senyum sangat menawan."Capek?" tanyanya."Iya.""Mau jalan-jalan lagi gak?"Aku menggeleng. "Capek, mager juga.""Mau makan?"Aku menggeleng. "Kan tadi habis makan roti, masih kenyang.""Hehehe. Ya udah."Jamal ikut rebahan dan memelukku. Namun, kedua tangan dan bibirnya seperti biasa tidak suka nganggur. Suka sekali bikin tubuhku merinding disko."Mas! Aku udah mandi dua kali loh sepagi ini," rengekku. Semenjak menikah, aku menambahkan embel-embel 'mas' saat menyebut nama Jamal."Ya nanti mandi lagi. Mandi bareng sama aku," ucapnya genit."Mas! Astaga!"Akhirnya aku hanya bisa pasrah akan kelakuan suamiku. Ya sudahlah, toh kewajibanku juga sebagai istri.Selesai mandi untuk ketiga kalinya, aku dan Jamal segera melaksanakan sholat dhuhur kemudian kami seger
POV Jamal Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Pokoknya kalau ada sutradara yang lagi nyari orang buat casting produk pasta gigi dijamin aku bakalan langsung tanda tangan kontrak. Lah, senyumku kan menawan. Wajahku rupawan lagi. Sesekali kulirik istri cantikku yang pukul sembilan tadi kuucapkan janji sehidup semati di hadapan abahnya, para tamu dan paling penting di hadapan Allah. Senyum pun tak pernah lepas dari bibirnya. Lalu kutolehkan pandanganku pada pelaminan di sisi kanan, terlihat pasangan pengantin lain pun tersenyum semringah. Hari ini, sedang terselenggara pernikahan dengan dua pasangan pengantin. Siapa lagi pengantinnya kalau bukan antara aku dan Nada. Dan di sebelah kanan kami, berdiri pasangan Mbak Nida dan Mas Hilman. Karena mereka udah jadi kakak iparku ya kupanggil dong dengan sebutan mas dan mbak. Aku bersyukur perjuanganku untuk mendapatkan Nada berhasil. Sempat down kemarin-kemarin. Sempat mutung (ngambek) juga. Untung ada Mas Singa Garang sama Si Jutek Caca ya
Begitu menginjakkan kaki di halaman rumah Jamal, aku tertegun. Tampak sosok Jamal yang berada di teras rumah. Di belakangnya ada Kamal dan sosok remaja lelaki yang begitu asing. Ketiganya kaget melihatku. Tapi aku justru senang. Itu artinya Jamal gak jadi pergi ke Mesir. Namun kesenanganku hilang saat melihat koper besar yang berada di tangan Jamal. Aku panik. Jangan-jangan Jamal beneran mau pergi ke Mesir."Jamal." Aku langsung menghampiri Jamal."Kamu mau ke Mesir?""Iya. Mau pindah ke sana, nyari cewek sana. Kan cantik-cantik." Suara Jamal terdengar ketus."Jamal. Aku minta maaf. Jangan pergi!""Buat apa di sini, cewek yang aku perjuangin gak mau nerima aku. Dia pasti malu. Aku kan gak tinggi-tinggi amat, kulitku eksotik, cuma penjual udang. Kalah sama cowok-cowok diluaran sana."Jamal menarik kopernya, dia berjalan melewatiku. Tentu saja aku mengekori langkahnya."Mal." Aku menekan pintu bagasi yang baru saja dia buka. Mataku menatapnya sendu."Mal, jangan pergi.""Minggir, Nad.
Aku hanya bisa tertunduk. Semua orang sedang menatapku dengan pandangan beraneka macam. Ada yang terlihat prihatin, sedih, kesal bahkan marah. "Sekarang maunya Ning apa? Minta Jamal menikahi Hana? Percuma Ning. Jamal udah pergi. Tadi malam dia minta ijin sama Abah, katanya mau ke Mesir aja. Katanya dia mau mengobati luka hati sambil usaha nyari istri, orang sana. Jamal bilang, siapa tahu di sana ada yang cinta sama dia. Menerima dia apa adanya. Ckckck. Jangankan di Mesir, orang di Indonesia saja ditolak mulu." Gus Jalal salah satu kakak Jamal bicara dengan nada biasa. Bahkan suaranya terdengar lembut. Sayang, bagiku ini seperti sindirian telak untukku. Abah dan uminya Jamal sendiri hanya diam. Tak ada satu pun kata terucap dari bibir keduanya. Tapi dari tatapan matanya, aku tahu. Mereka berdua begitu kecewa padaku."Maaf." Akhirnya hanya itu saja kata yang bisa keluar dari mulutku.Aku melirik ke arah Mas Azzam. Sayang, Mas Azzam sejak tadi tak bersuara. Dia hanya diam. Namun, tatap
POV NadaAku sedang merenung di salah satu kamar yang ada di pondok putri. Banyak hal yang sedang aku pikirkan. Salah satunya, percakapanku dengan Hana dan ibunya waktu itu.Flashback."Ning Nada kan?" Seorang wanita paruh baya menghampiriku yang baru saja selesai melaksanakan sholat duha."Iya, siapa?""Herlin. Mamahnya Hana.""Oh."Kami bersalaman. Bu Herlin tersenyum ramah padaku dan tentu kubalas senyumnya walau aku sedikit merasa kikuk."Boleh kita bicara?""Mau bicara apa, Bu?""Tentang Hana. Ayok ikut saya."Mau tak mau aku mengikuti langkah Bu Herlin menuju kamar Hana. Sampai di sana, aku kaget menemukan Hana yang kondisinya menyedihkan. Aku ingat, Mas Gino bilang jika Hana tak bisa berjalan lagi. Dia lumpuh. Ya Allah, kasihan sekali dia."Nada." Hana memanggilku dengan suara parau. Tangannya terulur padaku, dia menangis.Aku merasa tak tega melihat keadaannya, hingga kuputuskan