Manhattan, USA. | 20.14 PM.Malam ini Liam datang ke tempatnya setelah Kate pulang dari tempat Paman Rodrigo. Karena sudah tiga hari dia mengabaikan pesan dan telepon Liam, setelah dia melihat secara langsung Liam merangkul seorang perempuan yang mengenakan masker. Kate tidak buta, dia dapat mengenali Liam meski dari radar yang jauh. Dia sudah mengenal Liam bertahun-tahun lamanya. Waktu itu Kate menelpon Liam, menanyakan keberadaannya. Dan laki-laki itu menjawab sedang meeting di kantor, hal itu membuat Kate marah karena merasa dibohongi. Pemikirannya langsung merambat ketika James yang memberi tahunya sempat melihat Liam dengan seorang perempuan. Dan sekarang Liam berada di hadapannya, duduk di sofa ruang tamunya.“Jadi apa yang membuatmu mengabaikanku selama tiga hari ini, Kate?” tanya Liam dengan sabar. Dia sudah kalang kabut untuk menghadapi sang kekasih jika sudah berubah seperti ini. Kate mendengkus, memutar bola matanya dengan malas kemudian menatap Liam datar. “Kau tahu aku
Manhattan Square, USA. | 16.41 PM.Pada sore hari parkiran Manhattan Square begitu ramai. Orang-orang yang mengendarai mobil mewah keluar masuk. Setelah kemacetan di jalan raya akibat jam pulang orang bekerja, kini Kate harus mengantri untuk sekedar memarkirkan mobilnya. Setelah lima belas menit berlalu, Kate sudah duduk cantik di sebuah restaurant Itali yang berada di lantai dasar Manhattan Square. Menunggu orang yang akan mengambil lukisan. Sudah satu minggu Liam berada di California, entah apa yang sedang dikerjakan laki-laki itu.Pertentangan yang terjadi malam itu masih terngiang-ngiang di benak Kate. Dia sudah merasa lelah dan tidak ingin terlalu memikirkan apa yang sudah terjadi. Cincin yang dikasih oleh Liam ketika hari jadi mereka, dia gabungkan dengan kalung pemberian Bryan. Dia ingin lupa sejenak, setidaknya sampai emosinya mereda. Sembari menunggu Kate memesan minuman dan makanan ringan. Sesaat Kate teringat dengan Sean, sudah begitu lama dia tidak mengetahui bagaimana k
Manhattan Square, USA. | 17.12 PM.Sean mengusap wajahnya dengan kesal. Menatap Zara yang justru tengah melemparkan senyuman jahilnya, turut menyadari ketika beberapa wartawan mulai menghampiri tempat mereka. Sean sudah menduga hal ini akan terjadi, Zara dan segala obsesinya kembali menjeratnya seperti ini.“Kenapa jadi ada wartawan begini?” tanya Kate bingung sendiri. Menatap satu persatu orang yang mulai berbondong-bondong menghampiri tempatnya.“Sudah cukup, Ra. Aku tidak mau lagi terjebak berita bodoh ini.” Sean memejamkan matanya sejenak. Mengabaikan orang-orang yang bertanya tentang kelangsungan hubungannya dengan Zara. Serta menanyakan siapa perempuan yang sedang bergabung dengan mereka. Sean tahu jika Kate mulai menunjukan ekspresi risih begitu ketara, desak-desakkan itu tidak berlangsung lama ketika para pengawalnya datang membelah kerumunan bersama Luke. Mengiring para wartawan itu untuk menjauh. “Mengapa Sean? Sampai kapan kau terus bersikap seperti sekarang ini?” tanya Za
Mansion Amberlane, Madrid, Spain. | 20.41 PM.Para pelayan berjalan hilir mudik keluar masuk membawa kebutuhan untuk malam pergantian tahun. Suasana kediaman Amberlane begitu ramai meski hanya ada satu keluarga, tapi ditambah dengan belasan pengawal dan pelayan.Bryan menjemputnya di Manhattan, laki-laki itu menepati janjinya. Menunda beberapa pekerjaannya di Kanada, demi keluarganya Bryan pasti akan mengusahakannya. Apa pun itu kesibukannya, dia akan selalu mengusahakannya. Hubungannya dengan Liam belum menemukan titik terang. Dia selalu menghindari laki-laki itu, baik lewat pesan atau pun panggilan. Lalu pertemuan terakhirnya dengan Sean tidak meninggalkan kesan yang buruk. Laki-laki itu sempat mengajaknya untuk merayakan pergantian tahun bersama keluarganya. Tentu saja dia menolak, karena sudah menjadi rutinitasnya setiap tahun merayakan bersama keluarga. Lagi pula Gustavo sudah memintanya untuk mengusahakan agar pulang, katanya ada yang harus dia bicarakan dengan Kate. “Kate, na
SKJ Pictures, Manhattan, USA. | 07.10 AM.Kantor pusat SKJ Pictures kepanjangan dari Sean, Kenneth, dan Julian sudah menjulang tinggi. Sudah banyak orang keluar masuk karena jam operasional perusahaan mulai berjalan. Ken mengumpulkan para sutradara dan editor untuk ikut rapat bersama. Membahas salah salah satu naskah cerita yang mulai masuk ke dalam antrian untuk penilaian. Apakah cerita itu layak untuk di filmkan atau belum. Untuk kali ini mereka ikut andil dalam membahas projek ini. Mereka harus dapat memastikan sendiri bagaimana kriteria naskah yang akan diterima. Lagi pula ada Julian yang hobi membaca, maka untuk hal penilaian pasti dibantu oleh Julian.“Untuk pencarian pemain akan dilakukan kapan, Ken? Biar aku menyuruh Luke untuk membagikan undangan kepada aktris atau pun aktor. Kita harus mengambil ancang-ancang dari sekarang,” ucap Sean, laki-laki itu berbalik untuk berbincang dengan Ken. Sedangkan Julian masih fokus dengan naskah yang akan dia urus bersama timnya. Bagian p
-Special talk Bryan and Katherine-Mansion Amberlane, Madrid, Spain. | 15.09 PM.Sudah satu minggu sejak malam pergantian tahun. Kate belum kembali ke Manhattan karena akan berangkat bersama Bryan. Dan kakak laki-lakinya itu baru kembali dari Thailand, ikut bersama Gustavo untuk perjalanan bisnis selama lima hari lamanya. Kate jadi merasa tidak enak, dia adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga Amberlane yang tidak betah berada di rumah. Sebentar lagi Samuel akan berangkat untuk berkuliah di Amerika. Adik laki-lakinya itu tidak mau mengikuti jejaknya, katanya ingin beda dari yang lain. Dia dan Bryan lulus di Universitas yang sama berada di London. “Aku dengar kau menerima tawaran Daddy, anak pintar.” Bryan datang menghampirinya dengan stelan rumahan. Celana pendek di atas lutut serta kaos oblong polos berwarna cokelat. Tidak terlihat seperti seorang pengusaha jika sedang bersantai seperti ini. Yang ada Bryan terlihat seperti seorang pengangguran yang belum kunjung mendapat p
Manhattan, USA. | 10.14 AMJalan raya kota Manhattan kembali diserang kemacetan, mobil-mobil sedikit lagi akan berdempetan. Suara klakson dari berbagai arah berbunyi begitu nyaring, membuat siapa pun yang tengah berada di tengah kemacetan ini akan merasa pusing. Terutama laki-laki yang kembali merilik lampu lalu lintas yang belum berubah warna. Dia sudah hampir satu jam terjebak keadaan seperti ini. Untungnya Sean tidak sendiri, dia berangkat dari kantor setelah rapat bersama Luke. Dan dua mobil pengawalnya dari belakang. Jika mobilnya berada diurutan paling depan, dia bisa melajukan mobilnya seenaknya. Melawan aturan lalu lintas, baginya itu mudah. Tinggal memberi petugas itu uang, maka urusan selesai. Tapi itu bukanlah jamannya lagi, dia sudah tahu aturan. Bukan lagi manusia dengan hobi kebut-kebutan di jalan raya. Apalagi dengan keadaan tercekik seperti ini. Bergeser sedikit pun sepertinya akan begitu sulit. Percayalah setelah ini Kate pasti akan mengamuk karena lama menunggu. J
Manhattan, USA. | 20.21 PM.Malam sudah tiba, anginnya berhembus sedikit kencang. Bayang-bayang pertengkarannya dengan Liam kembali berputar di ingatannya. Kate menutup pintu panthousenya dari luar, berjalan menuju lift untuk ke lantai dasar. Menunggu seseorang yang belum kunjung datang.Ketika sudah berada di bawah, Kate berjalan ke luar gedung. Duduk di sebuah kursi taman yang lumayan ramai. Banyak pengunjung yang bersantai di tempat ini. “Kate,” panggil Liam dari arah belakang, sehingga membuat Kate menoleh.Penampilan Liam begitu kusut, kemeja yang dikenakannya sudah tidak terlihat rapi. Jas kerjanya pun entah berada di mana, serta rambut yang acak-acakan. Kantung mata yang menghitam, terlihat jika Liam kurang tidur. Banyak yang berubah dari laki-laki itu semenjak pertemuan terakhir mereka. Dia beringsut mendekat ke hadapan Kate, merangkulnya ke dalam pelukan yang hangat. Kate tidak menolak, tidak juga membalas. Membiarkan Liam memeluknya, serta tidak berkomentar apa pun.“Aku m
POV Katherine MargarethaHal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya adalah menua bersama seseorang yang kau cintai dan kau kasihi dengan sepenuh hati, seseorang yang mampu mengubah hidupmu menjadi lebih indah dari sekadar angan-angan yang samar di ujung pikiran. Sean Axel William, pria yang kini menjadi suamiku, telah berhasil menjadikanku perempuan paling beruntung di dunia ini. Dengan kesabaran yang tak pernah goyah, usaha yang tulus dalam setiap langkahnya, dan cinta yang dia tunjukkan melalui tindakan-tindakan kecil yang penuh makna, dia mampu menyentuh diriku dari berbagai sudut yang bahkan aku sendiri tidak pernah sadari sebelumnya. Ada saat-saat ketika aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana mungkin seorang pria seperti Sean—dengan segala kelebihan yang dimilikinya, dengan ketegasan dan kelembutan yang berdampingan—memilih untuk mencurahkan hatinya sepenuhnya kepadaku? Namun, jawaban itu selalu sama: cinta sejati tidak memerlukan alasan yang rumit, hanya ketulusan untuk
Hospital International, Manhattan, USA | 18.45 PMTiga bulan kemudian, di sebuah rumah sakit besar di pusat New York, suasana ruang bersalin dipenuhi ketegangan sekaligus harapan yang membumbung tinggi di antara dinding-dinding putih steril yang mencerminkan cahaya lampu neon terang. Ruangan itu luas namun terasa sesak oleh emosi yang bergolak, dengan aroma antiseptik yang tajam menusuk hidung, bercampur dengan suara monitor detak jantung bayi yang berdengung pelan di latar belakang. Ritme cepat dan teratur dari monitor itu menjadi pengingat bahwa kehidupan baru sedang berjuang untuk hadir ke dunia, sebuah suara yang sekaligus menenangkan dan menegangkan. Kate terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat pasi namun penuh tekad, rambut cokelatnya yang basah oleh keringat menempel di dahi dan pipinya, membingkai wajahnya yang lelah. Kontraksi datang bertubi-tubi seperti gelombang yang tak kenal lelah, membuatnya menggenggam tangan Sean dengan kekuatan yang mengejutkan untuk tubuhnya
William’s Mansion, Manhattan, USA | 07.21 AMPagi itu, sinar matahari lembut menyelinap melalui celah-celah tirai beludru tebal yang menghiasi jendela besar kamar tidur utama di kediaman Sean dan Kate, sebuah rumah mewah bergaya modern yang berdiri di pusat kota dengan pemandangan taman hijau yang luas. Cahaya keemasan itu memantul di lantai marmer putih mengilap, menciptakan pola-pola halus yang menari-nari di sekitar ranjang besar berkanopi kayu mahoni tempat Kate duduk. Dia mengenakan gaun katun longgar berwarna putih yang lembut, kainnya mengalir lembut menutupi perutnya yang kini membuncit di usia kehamilan lima bulan. Beberapa bantal tambahan disusun di punggungnya, memberikan sedikit kenyamanan pada tubuhnya yang terasa semakin berat setiap hari. Udara pagi membawa aroma kopi yang baru diseduh oleh pelayan dari dapur di lantai bawah, bercampur dengan hembusan angin sejuk yang menyelinap melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa serta wangi samar bunga mawar dari taman. Kate
Mansion William’s, Manhattan, USA | 20.54 PMMalam itu, kediaman keluarga Sean di kawasan pinggiran kota dipenuhi kehangatan yang khas dari reuni keluarga. Rumah besar bergaya Victorian itu berdiri megah dengan dinding bata merah dan jendela-jendela lengkung yang dikelilingi taman kecil penuh bunga mawar. Ruang makan di dalamnya luas, dengan meja kayu mahoni panjang yang sudah berusia puluhan tahun, permukaannya dipoles hingga mengilap. Lampu gantung antik dari kuningan dan kristal bergoyang pelan di langit-langit, menyebarkan cahaya kuning keemasan yang lembut ke seluruh ruangan. Aroma daging panggang yang baru keluar dari oven bercampur dengan wangi kentang tumbuk dan sayuran segar, menciptakan suasana yang menggugah selera sekaligus nostalgia. Angeline sibuk mengatur hidangan di atas meja dan dibantu oleh beberapa pelayan. Wanita berusia lima puluh lima tahun itu mengenakan gaun biru tua yang sederhana namun elegan, rambutnya yang mulai memutih disanggul rapi. Mark duduk di ujung m
Manhattan, USA | 09.12 PMPagi itu, sebuah kafe kecil di pinggir kota menjadi saksi pertemuan Maria dan James. Bangunan sederhana dari kayu dengan jendela-jendela besar itu berdiri di tepi jalan yang sepi, dikelilingi pepohonan maple yang daunnya mulai menguning di awal musim gugur. Di dalam, aroma kopi panggang dan roti bakar mengisi udara, bercampur dengan suara mesin espresso yang berdengung pelan di belakang konter. Meja kayu kecil di sudut ruangan, tempat Maria dan James duduk berhadapan, tampak sederhana dengan dua cangkir kopi yang mulai mendingin dan beberapa remah roti di piring kecil. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela menyinari wajah mereka, namun suasana di antara keduanya terasa jauh dari hangat. Maria duduk dengan tangan bertopang di dagu, matanya yang cokelat tua menatap James dengan campuran harap dan frustrasi yang sulit disembunyikan. Rambutnya yang hitam panjang tergerai di bahunya, sedikit berantakan karena dia berkali-kali mengusapnya dengan gelisah. Dia menge
William Group’s, Manhattan, USA | 08.00 AMPagi itu, pukul delapan tepat, sinar matahari pagi menyelinap melalui jendela-jendela besar ruang rapat di lantai dua puluh gedung William Group, perkantoran modern yang menjulang di pusat kota. Cahaya keemasan itu memantul di permukaan kaca tempered yang menjadi dinding ruangan, menciptakan kilau lembut yang kontras dengan suasana tegang di dalam. Meja konferensi panjang dari kayu walnut mengilap mendominasi ruang, dikelilingi kursi-kursi kulit hitam yang ergonomis, tempat duduk para karyawan senior perusahaan. Aroma kopi yang baru diseduh menguar dari mesin espresso di sudut, bercampur dengan suara lembut kertas-kertas yang dibolak-balik dan ketukan pelan jari di tablet digital. Sean, direktur operasional berusia tiga puluh empat tahun yang baru menikah tiga bulan lalu, duduk di ujung meja, posisinya mencerminkan otoritas yang telah dia bangun selama bertahun-tahun di perusahaan ini. Sean mengenakan setelan abu-abu gelap dengan potongan sem
Xaviendra’ Penthouse, Brooklyn, USA | 01.45 AM Malam itu, setelah meninggalkan pesta pernikahan megah Sean Axel William dan Katherine Margaretha, Liam Xaviendra kembali ke penthouse barunya di Brooklyn. Ruangan itu terasa dingin dan sepi, hanya diterangi lampu meja kecil di sudut yang memancarkan cahaya kuning redup. Liam duduk di sofa tua kesayangannya, setelan abu-abu yang dia kenakan di pesta masih melekat di tubuhnya, namun dasinya telah dilepaskan, tergeletak sembarangan di lantai. Di tangannya, dia memegang segelas wiski, memutar-mutar cairan itu sambil menatap kosong ke arah jendela. Pemandangan kota New York yang biasanya memukau kini terasa hampa baginya. Bayangan Kate dalam gaun pengantin putih terus menghantui pikirannya. Senyum bahagia Kate saat menari dengan Sean, tatapan penuh cinta yang dia berikan pada suaminya, semua itu menusuk hati Liam seperti pisau. Dia tahu, dia tak punya hak atas apa pun lagi. Dua tahun lalu, dia menghancurkan hubungan mereka dengan perselingkuh
Mature content!William’s Mansion, Manhattan, USA | 01.02 AM Malam setelah pesta pernikahan megah, Sean Axel William dan Katherine Margaretha, kini suami-istri, tiba di mansion mewah Sean di Upper East Side, New York, pada pukul satu dini hari. Bangunan bergaya klasik itu telah disulap menjadi tempat istimewa untuk malam pertama mereka. Lampu-lampu redup menerangi fasad luar, sementara di dalam, kelopak mawar merah bertebaran di lantai kayu mengilap, membentuk jalur menuju kamar tidur utama. Lilin-lilin kecil berkelip di sepanjang lorong, memancarkan cahaya hangat yang berpadu dengan aroma lavender dan vanila, menciptakan suasana intim yang memabukkan. Jendela besar di kamar memperlihatkan gemerlap kota New York, menjadi latar sempurna untuk malam yang penuh cinta. Sean membuka pintu depan, tangannya menggenggam tangan Kate dengan erat. Kate, yang telah berganti dari gaun pengantinnya ke gaun satin putih sederhana, melangkah masuk, matanya membelalak kagum. Kelopak mawar membentuk jal
Malam ini dalam sebuah gedung megah di kota metropolitan Manhattan, New York City berkilau di bawah lampu kota yang tak pernah padam, saat pesta pernikahan Sean Axel William dan Katherine Margaretha berlangsung megah di ballroom The Plaza Hotel. Ruangan itu bagaikan istana modern, dengan chandelier kristal raksasa menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya ke meja-meja berbalut linen putih yang dihiasi rangkaian mawar putih, peony, dan aksen emas. Sean, pewaris William Group, tampak gagah dalam tuksedo hitam beraksen emas. Sementara Kate memukau dalam gaun pengantin berenda halus yang dirancang khusus, memancarkan aura anggun dan memikat. Di luar, media massa berdesakan, kamera berkedip tanpa henti, mencatat momen dengan tagline malam itu: "Sang Pewaris William Group Menemukan Cinta Sejatinya." Ballroom dipenuhi ratusan tamu dari kalangan elit, suara gelas sampanye berdenting bercampur dengan tawa dan obrolan ringan. Orkestra klasik memainkan melodi lembut di sudut ruangan, seme